Share

Pandainya Engkau Berbohong

Suara burung yang berkicau dan hinggap di sebuah pohon di dekat jendela kamar terdengar sangat merdu. Beryl masih merasakan semuanya getir. Mungkin karena semalam di samping menghisap vape, dia juga kelewat banyak mengonsumsi rokok kretek. Matahari sudah mengirimkan sinarnya lewat celah-celah jendela. Namun, tidak seperti biasanya, Beryl malas untuk bangun.

Tubuh Beryl terasa lunglai. Hari itu dia enggan melakukan apa pun. Yang dia mau, hanya tiduran. Bahkan kalau bisa seharian kamarnya tak perlu dibuka. Namun, apa yang dia mau tak mungkin untuk dilakukan. Dia harus bergerak. Harus bangkit. Harus tegar dan kuat.

Cahaya matahari pagi jatuh di bola matanya. Mata Beryl terasa silau. Dia sadar, telah terlambat untuk bangun. Rumah juga sudah terlihat sepi.

Hari itu dia tak ingin kemana-mana. Tak juga ingin berkeliling meninjau lokasi bimbingan penyuluhan. Tubuhnya terasa letih. Beryl berbaring lagi di kamar. Matahari juga sudah mulai bergeser, karena bayangan pepohonan sudah mulai memendek.

Hari itu banyak wajah yang melintas di kepala Beryl. Wajah Ririn, Bu Liana, Lidya. Ibu kost Lidya, mamanya Lidya, wajah Mirna, Ernasari, Winda, Jamilah, dan banyak sekali yang melintas. Silih berganti mengganggunya.

Pintu depan berbunyi. Mungkin Jamilah yang membukanya. Beryl sangat tak ingin bertemu dengan Jamilah. Lalu, terdengar langkah-langkah kaki di ruang tengah. Pintu kamar Beryl terbuka sedikit. Terdengar suara memanggilnya.

“Mas Beryl?”

Beryl pura-pura tertidur. Tetapi, Jamilah membuka pintu dan masuk.

“Mas Beryl?” kata Jamilah.

“Hem,” jawab Beryl sambil bangkit.

Jamilah telah berdiri tegak di depannya dengan wajahnya yang terlihat murung. Membuat kemelut kembali membalut Beryl.

“Saya sudah tahu semua pembicaraan Mas Beryl dengan ayah dan Pak Dhe Pardi semalam.”

Beryl duduk di tepi ranjang. Jamilah juga duduk menjejerinya.

“Saya juga menyadari bahwa saya terlalu lancang telah berani mencintai Mas Beryl,” kata Jamilah dengan suara yang pelan.

Beryl masih belum bereaksi.

“Namun, saya tidak akan pernah melupakan Mas Beryl. Meskipun saya tak pantas untuk Mas Beryl.” Kata Jamilah yang mulai gemetar menahan isak.

“Kamu tak sepantasnya untuk berkata seperti itu,” kata Beryl dengan cepat bermaksud mengatasi rasa gemuruh.

“Saya memang tak pantas untuk Mas Beryl,” Jamilah menangis.

Beryl memegang bahunya. Namun, tangis Jamilah tambah kencang.

“Karena di kota telah ada yang merenggut kesucian saya…” kata Jamilah dengan tersendat.

Jamilah bangkit dan meninggalkan kamar Beryl. Setengah berlari dia melangkah.

Beryl hanya diam terpaku. Sementara pintu kamar masih terbentang dengan lebar. Beryl hanya memandang kosong. Di luar suara anak-anak tengah ramai bermain layang-layang di tanah lapang yang tak jauh dari rumah Pak Lurah. Namun, suara anak-anak itu tak begitu mengganggu Beryl. Telinganya seperti dipenuhi isak tangis dari Jamilah yang berlalu.

*****

Deretan pepohonan di depan gedung perpustakaan Unair meluruhkan daun-daun kering. Daun-daun itu melayang dan beterbangan sebelum terjatuh ke tanah. Daun-daun yang luruh itu, akhirnya beterbangan kemana-mana.

Belum lagi polusi yang ditimbulkan oleh suaran kendaraan bermotor. Lebih membisingkan telinga.

Sepasang kaki tengah melangkah, sambil mendekap buku-buku di dadanya. Pemilik kaki itu hanya diam. Melangkah sambil menunduk. Pemilik kaki itu tiba di depan gedung perpustakaan. Dia masih berjalan sambil menunduk. Kemudian menatap buku-buku yang di dekapnya.

Pemilik kaki itu Winda. Dia masuk ke gedung perpustakaan. Di gedung perpustakaan, terasa hening dan sejuk. Banyak juga mahasiswa lain yang ada di ruangan itu bersama bahan pustaka yang digelutinya. Maka tak ada suara yang terdengar.

Setelah kegiatan ospek berakhir, di kampus masih sepi kegiatan. Hanya perkuliahan efektif yang terjadi. Winda ingin mengejar semua ketinggalan kuliahnya. Tiap hari cewe itu selalu rajin datang ke perpustakaan. Winda bertekat, untuk meraih gelar sarjananya tahun ini.

Winda menghela nafas dalam-dalam. Dia menghela nafasnya dalam-dalam. Winda sering meratapi hidup yang harus dilaluinya. Dia meratapi kesendirian yang selalu mencekamnya.

Winda membuka lembar-lembar buku yang dipegangnya tanpa sebuah semangat. Barisan huruf yang ada di buku itu kian memusingkan kepalanya. Lama-lama Winda merasa jengkel dengan buku yang dipegangnya. Otak Winda sangat malas untuk menerjemahkan deretan huruf itu menjadi simbol yang berarti.

Tetapi, ujian tengah semester tinggal beberapa hari lagi. Winda tak ingin jatuh pada ulangan kali ini. Dia bertekat harus lulus. Tapi, nanti setelah lulus ujian, apa yang harus dilakukannya? Dia akan kembali pada sebuah kata: kesepian.

Jika kegiatan di kampus vakum, maka mulailah babak itu. Jika saja saat ini, Beryl ada di kampus, pasti dia akan bisa sering ketemu dan bisa sering bersama-sama untuk melakukan kegiatan mahasiswa. Dan, Winda akan mulai mendekatinya. Winda tak ingin kesepian terus melandanya. Winda takkan lagi membiarkan malam berlalu tanpa sebuah kepastian. Akan dia singkirkan sifat malu yang berujung pada kesepian. Winda akan memulai sebuah agresivitas.

Tapi, apa semua itu mungkin? Apakah mungkin dirinya bisa mendekati Beryl? Sebuah keraguan membuatnya menjadi gamang. Sanggupkah dia meluluhkan hatinya? Seperti Winda yang telah meluluhkan hati Beryl? Sanggupkah dirinya menjadi perusak cinta bagi dua hati yang saling berkasihan? Tidak. Winda menggeleng. Dia tidak akan mampu melakukan itu.

“Hai, mbak! Mengapa melamun?” sebuah suara membuatnya tersentak.

Winda mengangkat kepala. Ernasari telah berdiri di sampingnya. Cewe itu hanya tersenyum-senyum. Matanya yang bersinar seperti mengejek dan menertawakannya.

“Kok melamun sih, Mbak? Jalan-jalan, yuk! Biar gak bosan.”

“Sebentar lagi aku ujian, Dik Erna.”

“Ini kan hanya sesekali, Mbak. Ntar, Mbak Winda bisa belajar lagi.”

Winda menatap cewe yang ada di sampingnya. Pakaian yang membalut tubuhnya sangat ketat. Kemudian, Winda menarik nafasnya dalam-dalam.

“Ayolah, Mbak! Mbak Winda sebenarnya mikirin apa?”

“Gak apa-apa,” jawab Winda dengan cepat.

“Kalau begitu, kita jalan-jalan.”

“Jalan-jalan kemana?”

“Kemana sajalah, Mbak.”

“Lalu, dengan buku-buku ini?”

“Memang masalah, Mbak?”

Dengan cepat, Ernasari mengemasi buku-buku Winda, lalu segera memasukkannya ke dalam tas. Dengan cepat pula, Ernasari menarik tangan Winda.

“Sebentar lagi, aku ada ujian, Dik Erna.” Kata Winda sedikit mengeluh.

Ernasari tak mempedulikan penjelasan Winda. Dia tetap menarik tangan Winda, hingga akhirnya dengan terpaksa Winda berdiri.

“Gitu dong, Mbak.”

Mereka meninggalkan perpustakaan. Sampai di luar gedung mereka masih tetap diam. Masing-masing taka da yang bersuara. Rambut Ernasari terurai sebahu. Sedang, Winda berjalan sambil menunduk.

“Lama juga Mas Beryl pergi ya, Mbak?” Ernasari mulai berbicara terlebih dahulu.

Winda tersentak mendengar kalimat Ernasari. Ernasari tersenyum saat menyadari Winda tersentak.

“Terasa panas ya, Mbak?” Tanya Ernasari kemudian.

“Iya. Udara panas sekali.” Jawab Winda sambil mendesah.

“Di desa, Mas Beryl juga terkena panas kan, Mbak?” kata Ernasari.

Di dalam hati, Winda merasa dongkol sehingga nafasnya terasa sesak. Winda menjadi berpikir tentang mau Ernasari yang sesungguhnya. Yang terus-terusan membicarakan Beryl.

“Mbak Winda sudah lama kenal Mas Beryl?”

“Sudah.”

“Menurut Mbak Winda sebenarnya Mas Beryl itu bagaimana?”

“Aku gak seberapa kenal.”

“Karakternya menurut Mbak Winda, bagaimana?”

“Aku juga kurang tahu.”

“Aku yakin, selama Mbak Winda berteman dengan Mas Beryl, pasti sedikit banyak tahu karakternya.”

“Aku tidak terlalu akrab dengan dia.”

“Mbak Winda ngomongnya yang bener?”

Winda tak menjawab. Matanya masih tetap menghunjam tanah. Sedang, Ernasari yang berjalan di sampingnya tengah tersenyum-senyum.

“Sebenarnya ini cewe model apa?” Winda mengeluh di dalam hati. Karena selama punya teman cewe belum ada yang seperti Ernasari.

“Mas Beryl itu orangnya terlihat pendiam. Sangat tak acuh pada perempuan. Tapi, sekalinya kenal perempuan, ganasnya luar biasa.”

Winda terkejut. Tubuhnya seperti mau melonjak sendiri. “Ini cewe sebenarnya macam apa?”

Ernasari kembali melirik Winda. Dan, dia tersenyum ketika melihat wajah Winda yang terlihat masam menyimpan kekecutan. Mereka masih tetap melanjutkan langkah. Berjalan-jalan di sekitar kampus.

“Kami pernah ke vila orang tuaku. Di sana baru kebongkar belangnya Mas Beryl. Gak nyangka. Selama ini tampak alim.”

Winda seperti tak mampu menelan ludahnya. Semua seperti menggumpal di tenggorokan.

“Dan, itu semua membuatku mencintai, Mas Beryl.” Kata Ernasari.

Kembali Ernasari melirik reaksi Winda. Namun, yang ada hanya mata dan bibir yang tampak beku dalam dingin. Meskipun, di dalam hati Winda ada rasa yang sangat mendidih tengah bergejolak. Hati Winda terasa sangat nyeri.

Kemudian Ernasari melanjutkan kalimatnya dengan menggunakan kata-kata yang menurutnya lebih tepat.

“Mas Beryl sangat beda dengan semua cowo yang selama ini pernah aku kenal,” katanya kemudian.

“Mbak Winda pengen tahu, bagaimana cara aku menaklukkannya?”

Winda tak menjawab.

“Memang prosesnya cukup a lot, Mbak. Semua berawal dari ketika ospek aku pingsan. Dia yang menyuruhku untuk ada di ruang panitia. Jadinya, setelah aku pingsan, aku selalu di ruang panitia. Semua itu karena permintaan Mas Beryl. Pada waktu pulang, dia juga yang mengantar aku.”

“Biar aku mengantarmu pulang,” katanya seperti itu.

“Seperti itu, Mbak. Maka selama kegiatan ospek, aku selalu menemaninya di ruang panitia.”

Winda masih tetap membisu. Sedang, Ernasari hanya tersenyum.

“Pada saat dia mengantarku pulang, ketika tiba di depan pintu. Sebelum aku masuk rumah, Mas Beryl menciumku dulu, Mbak.”

Dada Winda semakin bergemuruh. Lama-lama, Winda menjadi benci, jengkel, dan merasa sangat dongkol pada Ernasari. Namun, Winda tetap berusaha untuk diam. Di dalam hati, Winda tidak percaya, Beryl melakukan perbuatan seperti yang diceritakan Ernasari. Pasalnya, Winda bukan sehari, dua hari mengenal Beryl. Kalaulah Beryl mengenal Ernasari sudah berbulan-bulan, baru dia percaya Beryl berani melakukan perbuatan seperti yang diceritakan Ernasari.

Beryl memang dikenal sebagai Playboy Kampus. Namun, pada cewe yang baru dikenalnya beberapa hari, Beryl tak mungkin sebiadab itu. Dalam hati, Winda membantah semua cerita Ernasari. Namun, tak pernah menyuarakannya.

“Aku awalnya ingin marah ketika Mas Beryl melakukan semua itu. Tapi, gimana lagi aku juga mencintainya. Apa lagi ketika dia bilang, ‘Aku mencintaimu, Erna.”

“Mendengar kalimat cintanya, hatiku sebagai perempuan menjadi lemah dan luluh. Sejak Mas Beryl bilang mencintaiku, aku juga ingin lebih dalam untuk mengenalnya.” Ernasari masih melanjutkan ceritanya.

Winda masih tetap membisu meskipun sebenarnya banyak sekali yang ingin diungkapkannya. Winda sama sekali tak percaya dengan semua cerita Ernasari. Ternyata, Ernasari pandai sekali berbohong.

“Misalnya, datang ke desa tempat Mas Beryl bertugas, boleh nggak, Mbak?”

Winda juga tak menjawab.

“Boleh kan, Mbak?” Ernasari mengulang kembali pertanyaannya.

“Aku juga gak tahu,” jawab Winda dengan malas.

“Aku rindu sekali dengan Mas Beryl, Mbak. Aku ingin menemuinya.”

Winda memandang ke atas. Langit tampak berwarna biru dan sangat bersih.

“Udara semakin panas, Dik Erna. Terkena sengatan matahari, kepalaku jadi pusing. Aku mau pulang,”

“Kenapa pulang, Mbak?”

“Aku pusing, Dik. Ini mau ujian juga.”

Tanpa menunggu jawaban lagi, Winda langsung meninggalkan Ernasari.

“Benar-benar cewe tak punya anggah-ungguh! Benar-benar tak memiliki kesopanan,” pikir Winda.

Ernasari adalah sebuah alasan yang membuat Winda tiba-tiba menjadi pusing. Kepalanya mendadak menjadi pening. Rasa pening itu lama-lama bercampur dengan nyeri. Winda melangkahkan kakinya dengan sangat cepat.

Di tempat lain, Ernasari ingin sekali tertawa. Ernasari masih belum melanjutkan langkahnya. Cewe yang kurang waras itu lebih tertarik mengawasi Winda sampai tubuh Winda lenyap.

“Dugaanku ternyata betul juga. Ternyata, dia juga mencintai Mas Beryl. Pasti di dalam hati, dia tadi sangat marah mendengar ceritaku. Sebuah cerita bohong.”

Bersambung

Ernasari cewe yang penuh kebohongan. Dan, Winda tidak pernah percaya pada semua kata-kata bohong Ernasari. Cewe macam apa sebenarnya Ernasari?

Reader setia, ikuti terus kisahnya hanya di Playboy Kampus. Jangan lupa kasih star vote, subscribe, dan review. Aku tunggu juga hadiahnya biar lebih semangat nulis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status