Home / Rumah Tangga / Playboy in Love / 2. Awal Perjodohan

Share

2. Awal Perjodohan

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2022-11-13 10:00:44

"Usiamu sudah memasuki 20 tahun, Nak. Akhirnya anak Ibu tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Sebenarnya sudah lama ibu ingin mengatakan ini ... kamu tahu 'kan Pak Sultan Wardhana, majikan ibu?"

Lani mengangguk. Kemudian bersedekap di atas meja makan, menatap wajah meneduhkan Ainun-- ibunya.

"Beliau menyukaimu sejak kecil, Nak. Beliau suka sikap periangmu meski pun kau tumbuh tanpa seorang Ayah. Sejak ibu bekerja di rumah Pak Sultan dan tak sering membawamu ikut serta. Sudah beberapa kali beliau menawarkan kepada ibu untuk mengangkatmu sebagai cucu. Namun ibu menolak karena tak mau jauh darimu."

Senyum di wajah ayu Lani mengembang, ia meraih tangan Ainun dan menggenggamnya erat.

"Kalau pun Lani di berikan dua pilihan antara hidup mewah bersama orang lain atau sederhana tapi bersama orang yang dicintai ... Lani lebih memilih yang kedua. Tak apa Lani hidup susah asalkan ada ibu. Semenjak ayah meninggal kita sudah hidup seperti ini, Bu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Lani bahagia. Jadi, Lani mohon jangan pernah bergantung pada orang lain hanya demi membahagiakan Lani."

Ainun tersenyum, ia mengusap kepala Lani.

"Kamu hanya punya ibu di sini. Kerabat kita jauh di Aceh sana. Ibu hanya takut ketika nanti pergi tak ada yang menjagamu. Menjaga gadis cantik ini!"

"Pergi ... apa maksud ibu? Jangan buat Lani takut, ah. Ibu sehat-sehat aja kok." Lani menggeser tubuhnya, ia menggenggam tangan Ainun semakin erat dengan bibir mengerucut.

"Umur manusia hanya Allah yang tahu, Lan. Ibu mengatakannya untuk berjaga-jaga, karena cuma kamu yang ibu punya." Ainun menghapus setetes cairan bening yang luluh dari pelupuk matanya.

"Yah, kok Ibu nangis. Lani harus gimana, Bu? Apa yang Ibu mau Lani lakuin?"

"Ibu mau kamu menikah sayang."

"Menikah? Dengan siapa?" Dahi Lani berkerut bingung.

"Dengan Erick. Cucu Pak Sultan!"

Kerutan di dahi Lani semakin dalam. Ia berusaha mengingat-ingat. Nama itu seakan tak asing di telinganya.

"Maksud Ibu, Erick yang ... ah, Lani nggak tega bilangnya." Lani sulit mendeskripsikan bagaimana pribadi Erick. Menurut kabar yang ia dengar pria itu memang tak suka berkomitmen dan senang bermain perempuan.

Apa yang ibunya pikirkan hingga menjodohkan Lani dengan lelaki seperti itu?

Coba bayangkan, perempuan baik-baik mana yang mau menikahi pria seperti itu? Lani bahkan tak yakin Erick tak pernah melakukan hal yang dilarang Tuhan. Melihat sikap dan prilakunya yang sama sekali tak patut dicontoh.

Tabiat seorang istri adalah untuk dibimbing, bukan membimbing. Bagaimana Lani bisa membangun sebuah rumah tangga dengan lelaki macam itu?!

"Sikap seseorang itu bisa diubah dengan bagaimana kita menyikapinya. Lakukan pelan-pelan. Ibu yakin kamu bisa meluluhkannya. Jadikan hal itu sebagai ladang pahala untukmu, Sayang."

Lani tertegun, gadis berjilbab itu hanyut dalam lamunan panjang. Ia menatap wanita paruh baya di hadapannya. Hatinya gundah, ia harus memikirkannya dengan matang-matang, karena ini menyangkut komitmen dalam hidupnya. Lani tak boleh salah mengambil keputusan.

Dalam lamunan panjang itu tiba-tiba sebuah kejadian masa lampau terbersit di benaknya. Seketika darah gadis itu berdesir, saat mengingat pertemuan pertamanya dengan Erick kala itu.

* * *

Lani duduk di antara para tetua. Gadis itu menundukkan kepala tak sanggup menatap satu per satu pasang mata yang memperhatikannya.

Pada akhirnya, ia menyetujui tawaran ibunya. Entah setan apa yang merasukinya kini, Lani pun tak tahu. Dia sudah sholat istikharah, meminta pertolongan pada Tuhan. Namun, jawaban yang ia dapatkan tak terduga. Dalam mimpi ia bertemu dengan Erick.

Apa benar, Erick jodohnya? Apa benar Tuhan menakdirkan laki-laki itu untuknya? Entahlah, Lani hanya berusaha menjalani takdir.

Meski pun pribahasa 'jodoh adalah cerminan diri' itu tak berlaku untuknya.

"Wah ada apa nih, rame-rame kayak acara lamaran."

Lani melihat seseorang baru saja masuk. Pria itu melenggang dengan gaya urakan khasnya. Kemeja yang ia kenakan di keluarkan dari celana. Tiga kancing teratas dibiarkan terbuka dengan rambut semrawut.

Sultan Wardhana menatap cucunya tajam. Pria berumur hampir 80 tahun itu mengulurkan tongkatnya ke depan.

"Duduk sini kamu!" titahnya meminta Erick untuk duduk di sampingnya, tepat berhadapan dengan Lani.

"Ada apa nih, Kek? Kok Erick dag-dig-dug, ya!" Erick mengedarkan pandangan, menatap setiap wajah di ruang tengah rumah besar keluarganya. Sejenak matanya terpaku pada Lani yang hari ini menggunakan jilbab berwarna maroon.

"Kita baru saja melamar Alani untuk menjadi bagian dari keluarga ini!" Sultan menjelaskan dengan suara berwibawa, khas pemimpin keluarga.

"Dia!" Dengan tidak sopannya Erick menunjuk tepat di wajah Lani yang membuat gadis itu terlonjak dengan mata melebar. "Anak pembantu ini!"

"ERICK! Jaga ucapanmu, anak bodoh!" Suara Sultan Wardana meninggi, ia menatap Erick tajam yang seketika membuat pria itu mencicit ketakutan.

"Lah, napa gue disalahin. Pan emang bener dia anak pembokat," gumamnya pelan.

"Alani ini gadis yang baik. Jangan sekali-kali kamu melontarkan kata-kata hinaan seperti itu. Lagi pula Ainun sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Dia bahkan yang mengurusmu sejak kecil."

Ainun tersenyum kecil. Ia cukup tahu bagaimana sikap Erick sejak dulu. Meski pun angkuh, ia mengenal Erick sebagai anak yang baik.

"Iya, iya, maaf deh ... Jadi, lamaran ini buat siapa? Bang Opick? Dia 'kan belum pulang dari Kairo."

"Siapa bilang lamaran ini buat Opick ... buat kamu, Rick!"

Mata Erick terbelalak kaget, secara repleks ia bangkit dari kursi, "Nggak ... nggak bisa kayak gini dong Kek. Kalian 'kan belum minta persetujuan Erick. Ini salah, lamaran atau pernikahan itu hanya bisa terjadi bila dua orang saling mencintai. Erick bahkan nggak terlalu kenal bocah hijaber ini, selain waktu itu lihat dia lagi jemurin celana dalem di belakang rumah!"

Kepala Lani yang memang sudah tertunduk semakin merunduk. Wajah gadis itu memerah, ketika mengingat kejadian Erick tak sengaja memergokinya menjemur pakaian.

"Sok bijak kamu. Tahu apa tentang cinta, hah? Kakek tanya, siapa di antara semua gadis yang kamu pacari benar-benar dicintai? Tak ada bukan. Kamu hanya suka bermain-main dengan mereka saja. Dengar Rick. Cinta itu akan datang karena terbiasa, kamu tidak bisa menyimpulkan suatu hal sebelum mencobanya!" Ucapan Sultan Wardhana tak bisa dibantah. Sekeras apa pun Erick menolak dia tak akan menang melawan kakeknya.

"Tapi tetap saja Kakek. Pernikahan tanpa dilandasi cinta itu tak akan bertahan lama!"

"Kata siapa? Lihat Mami dan Papimu sebagai contohnya!"

"Haha ...." Erick tergelak, ia tak bisa menahan tawa saat Sultan menjadikan orang tuanya sebagai contoh pernikahan yang awet meski tak dilandasi cinta awalnya. "Nggak salah, Kek? Mami sama Papi Kakek jadiin contoh?! Iya sih, pernikahan mereka awet sampe sekarang. Tapi Kakek juga nggak bisa nutup mata begitu saja, dong kalau pernikahan mereka pun tak pernah harmonis. Mami sibuk dengan genk sosialitanya, dan Papi ... menantumu itu, ke mana dia sekarang? Apa mungkin sedang bergumul dengan istri mudanya? Haha ... lucu sekali. Seharusnya Kakek tak perlu ngomentari hobiku yang senang bermain wanita. Karena perilaku itu diturunkan dari Papi ... menantumu. Buahaha ...." Tawa Erick menggelegar mengisi keheningan di ruang tengah.

Rima-- Mami Erick hanya bisa mengurut kening seraya menggelengkan kepala, dalam hati ia terus bergumam. "Dia bukan anakku ... dia bukan anakku!"

Sultan Wardhana benar-benar kehilangan kesabaran. Wajah keriputnya mengeras karena kesal melihat tingkah Erick.

TAK!

"Aw ...." Erick meringis kesakitan ketika tongkat yang sering Sultan gunakan untuk menopang tubuh-- mendarat di kepalanya.

"Sudah cukup Erick, tak ada bantahan. Sekali lagi kamu buka mulut untuk menimpali ucapan Kakek. Tongkat ini akan digunakan untuk menyumpal mulutmu!"

"Tapi, Kek--"

"Tidak ada tapi-tapian. Kakek coret namamu dari daftar ahli waris dan cabut semua fasilitas yang kamu miliki ... kalau sekali lagi membantah."

Erick bungkam. Tak ada lagi bantahan. Kakeknya mengerikan. Erick tak bisa bila harus mengorbankan harta warisnya. Ia tak sanggup hidup melarat.

"Kampret ... kapan Tuhan Kau cabut nyawa Kakek tua ini!" ucapnya dalam hati.

Akhirnya hari itu lamaran diresmikan. Dua bulan setelahnya Erick dan Alani pun menikah.

.

.

.

"Hey, Alamak!"

Panggilan itu menarik Lani dari lamunan. Gadis itu mengalihkan pandangannya dari layar televisi menuju Erick yang berdiri di ambang kamar mandi.

"Namaku Lani, Mas. Alani!" ucap gadis itu mengingatkan.

"Iyalah, sorry. Lupa. Terlalu banyak nama cewek di kepala gue ... btw tolong ambilin handuk dong, gue lupa bawa!"

Sejenak Lani menarik napas panjang. Pada akhirnya ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju almari. Mencari handuk bersih di sana untuk Erick gunakan.

"Buruan elah ... gue kedinginan ini."

Lani mempercepat langkahnya menuju kamar mandi. Namun, karena tak memperhatikan jalan, ia tersandung kaki sendiri.

BRAK!

"Wah ... wah ... ternyata Lo mesum juga yah. Bilang dong kalau mau ikutan mandi!" Erick menatap Lani yang terjerembap dengan kepala membentur pintu kamar mandi.

Bergegas ia mengambil alih handuk di tangan Lani dan menggunakannya untuk menutupi tubuh.

Bukan ekspresi terkejut atau kaget yang ia dapatkan dari wajah manis itu. Melainkan ringisan kesakitan. Lani memegangi kaki kanannya. Erick lihat kepala gadis itu juga sedikit memar.

"Lo kenapa?" Erick berjongkok untuk menyejajarkan tubuhnya dengan Lani. "Nah, 'kan keseleo. Gue bilang juga hati-hati. Ck, ngerepotin banget sih pagi-pagi juga. Sini!" Erick memapah tubuh Lani, mengiringnya menuju ranjang.

"Duduk dulu, gue pake baju sebentar! Atau mau liat begini aja?" tawar Erick yang mengundang gelengan kepala Lani. "Lagian gue juga becanda kali. Kalau Lo liat gue begini, entar kepengen lagi."

Pada akhirnya Erick berlalu menuju kamar mandi, setelah meraih acak pakaiannya di almari. Sedangkan Lani duduk tertegun di tepi ranjang. Gadis itu tampak menatap punggung telanjang Erick yang menghilang di balik pintu. Tanpa sadar pipinya menghangat.

Ceklek!

Erick keluar dengan setelan santai. Sebuah kaos polos dengan celana selutut membalut tubuhnya. Ia melirik Lani sekilas lalu mencari sesuatu di laci nakas.

Setelah menemukan apa yang dibutuhkan, ia berjalan kembali menghampiri Lani, lalu berlutut di hadapannya.

"Eh, jangan Mas!" Lani menghentikan gerakan Erick saat hendak menyentuh kakinya.

"Udah diem! Gini-gini gue mantan tukang urut yang pensiun gara-gara lebih milih jadi Arsitek. Seharusnya lo bangga, karena tangan berharga ini sudi menyentuh kaki bau lo." Tak mendengarkan kata-kata Lani, Erick meraih kaki kanan Lani dan membalurinya dengan minyak. Lalu memberikan pijatan ringan.

Senyum Lani mengembang. Berada sedekat ini dengan Erick entah kenapa membuat dadanya berdegup kencang. Meskipun kata-kata pria itu masih saja menyakitkan, setidaknya Lani bersyukur karena Erick cukup perhatian padanya.

"Gimana, mendingan?" Erick mendongak, mata mereka bertemu beberapa detik.

Sejenak Lani terbuai oleh mata hitam pekat yang dimiliki suaminya itu.

"Nggak usah terpesona gitu, gue emang udah ganteng dari orok!"

Segera setelah Erick mengatakannya, Lani memalingkan pandangan.

Ia memang tak bisa memungkiri itu. Terlepas dari sikap narsisnya yang sudah akut. Mungkin semua orang juga setuju dengan Lani kalau Erick mempunyai wajah yang menawan. Ditunjang tubuh tinggi tegapnya. Erick mempunyai kharisma yang kuat hingga tak heran banyak gadis terjerat pesonanya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menarik Lani dari Lamunan.

"Den Erick, Lani! Ditunggu sama Kakek di bawah buat sarapan!" Suara Ainun terdengar dari baliknya.

"Nyokap, lo, tuh!" ucap Erick memberi isyarat dengan dagu.

"Iya, Bu. Kita turun sebentar lagi!" sahut Lani dari dalam, seraya mencoba bangkit.

"Shh ...." Gadis itu meringis kecil.

"Masih sakit?" tanya Erick.

"Sedikit, tapi udah agak mendingan kok, Mas!" jawab Lani dengan senyum.

"Hmm ... ngomong aja kalau minta dipapah, 'kan? Dasar Lo ini emang tukang modus ya, Lan!" Erick tampak mendelik.

Lani mengerutkan kening, dengan wajah polos ia menggeleng keras. "Astagfirullah. Nggak gitu kok, Mas. Lani cum--"

"Ya udahlah gapapa. Toh, karena gue juga Lo nyungsep di sana. Sini!" Erick meraih pinggang Lani lalu memapahnya turun ke bawah.

* * *

"Astagfirullah ... apa yang kamu lakuin sama Lani sampai dia pincang kayak gitu. Dasar maniak!"

Suara Sultan Wardhana menggelegar mengisi keheningan. Di ruang makan Erick dan Lani baru saja bergabung dengan anggota keluarga lain. Lani mengambil tempat di samping Erick.

Makanan sudah tersedia apik di piring dengan berbagai menu lengkap. Lani menelan ludahnya.

"Astaga kakek ... Erick nggak ngapa-ngapain si Lani. Dia keseleo karena ceroboh." Erick tak terima dengan tuduhan Kakeknya. Suaranya tak kalah tinggi dengan Sultan, "lagi pula semalem kita cuma tidur. Cape!"

Sejenak perhatian Lani teralihkan. Ia memperhatikan Erick dan kakeknya bergantian.

"Syukurlah ... kakek cuma takut kamu nyakitin Lani!"

"Iyalah ... buruk sangka aja teros. Tampang ganteng ini emang nggak ada baik-baiknya di mata kakek. Dipikir cucunya ini kriminal kali, sampe tega nyiksa istrinya sendiri."

"Baguslah ... kakek kayak gini itu bukan tanpa alasan, Rick. Semua sikapmu itu memang patut dicurigai. Coba kalau kamu kayak Opick ... nggak akan kakek kayak begini!"

Erick memutar bola mata jengah, saat mendengar Sultan membanding-bandingkan ia dengan saudaranya. Erick kesal dengan topik seperti ini. Bagaimana tidak, karena sikap mereka yang bagai langit dan bumi itu sering kali membuatnya ingin teriak, karena seluruh keluarga selalu membanding-bandingkan mereka.

"Opick lagi, Opick lagi! Bosen tahu, Kek. Orangnya aja nggak ada di sini. Dia jauh di Mesir sana. Tapi kenapa kalian selalu bahas dia?"

"Erick cukup!" Rima akhirnya membuka suara, karena jengah dengan perdebatan kakek dan cucu ini.

"Kenapa Mi? Emang gitu kenyataannya, 'kan? Kalau pun Erick bisa minta. Erick ingin dilahirkan kembali. Bukan sebagai buaya darat seperti yang banyak orang bilang atau pun asisten dosen seperti Opick. Tapi Erick akan memilih menjadi Ustadz tertampan yang pernah ada!"

"Subhanallah ...." Lani bergumam.

Keinginan yang mulia. Kalau pun Erick ingin dia bisa. Namun, Lani tak yakin. Ucapan itu keluar hanya karena dia marah, kesal, dan tak tahu harus berbuat apa.

Karena Lani tahu, dari balik wajah datarnya Erick menyimpan sebuah kecemburuan akan sikap keluarga pada saudaranya.

"Hilang sudah nafsu makan gue ... pokoknya kita pulang besok, Lan. Packing barangnya sekarang. Gue muak dengan pilih kasih keluarga ini!" Erick bangkit, mendorong kursi hingga terpelanting ke belakang. Ia menatap Lani tajam. Menegaskan pada gadis itu untuk segera menuruti kata-katanya.

Lani menurut, ia menunduk pamit pada semua yang ada di ruang makan. Sultan, Rima-- ibu mertuanya, dan Ainun. Sedangkan Papi Erick memang jarang sekali terlihat, yang Lani dengar pria paruh baya itu sibuk dengan bisnisnya di luar kota. Saat pernikahan pun Lani hanya melihatnya saat akad, lalu dia pamit setelahnya.

"Jangan buat alasan itu agar kamu bisa pulang dan semena-mena sama Lani Erick!" ucapan Sultan menghentikan langkah Erick.

Erick berbalik. Menatap wajah Sultan dan Lani yang mengekor di belakangnya bergantian.

"Nggak akan. Kakek bisa pegang kata-kataku. Sebejad apa pun kelakuan Erick di luar sana. Erick nggak akan tega nyakitin gadis sepolos dia!"

.

.

.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Playboy in Love   Akhir

    Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia memasangkan jilbab di kepala bocah menggemaskan dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... napa Ica harus pake keludung, tapi Kak Malik sama Kak Ridwan engga?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putri kecilnya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Khairunnisa Wardhana yang lebih sering dipanggil Ica itu setelah jilbabnya terpasang."Ridwan dan Malik itu laki-laki, Sayang. Sedang anak ayah yang cantik ini, 'kan perempuan shalihah. Ica selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak bunda, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Ica mau jadi kayak Buna. Buna cantik, telus sayang Ica sama Ayah!""Nah, kamu tahu? Jilbab itu adalah cara Allah buat ngelindungin kaum perempuan. Kalau udah gede Ica pasti ngerti.""Iya, Ayah. Ica juga suka pake keludung. Biar kelihatan cantik kayak Bun

  • Playboy in Love   Ngidam

    Semburat senja yang tampak di kaki langit telah berganti dengan pekatnya sang malam. Tepat ketika jam berpusat di angkat tujuh, Erick baru kembali dari lokasi proyek di daerah Jakarta Utara.Lelaki itu tampak berlari kecil menuju pintu masuk akses rumahnya. Ia merapatkan jaket saat udara dingin mulai menyergap."Assalamualaikum," salamnya setelah pintu dibuka Bi Ningsih."Wa'alaikumsallam," balas perempuan paruh baya itu, sembari mempersilakan Erick masuk."Lani di mana, Bi?" tanyanya."Oh, Neng Lani ada di atas, Pak. Tadarus kayaknya."Erick mengangguk, kemudian melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumah. Bergegas pria itu berjalan menuju lantai dua."Makan malamnya udah siap, Pak. Mau makan sekarang?"Erick menghentikan langkah, kemudian memutar kepala menghadap Bi Ningsih. "Nanti aja, Bi."Mengerti dengan maksudnya, Bi Ningsih tersenyum penuh arti. "Duh pasangan muda makin lama makin romantis aja. Jadi pengen muda lagi. Si Bapak ke mana lagi. Pan abi ge hoyong dimanja cita

  • Playboy in Love   Hadiah di Penghujung Tahun

    "Sebentar, ya." Setelah itu Erick berlari menuju garasi.Lani menunggu di pelataran, sampai suaminya kembali dari garasi dengan sebuah motor matix berwarna hitam metalic."Yuk, Mas!" Lani tampak sudah bersiap menggunakan helm dan naik di jok belakang. Namun, seketika kegiatannya terhenti saat sebuah cekalan tangan menahannya tetap berdiri di hadapan. Lekat mata Erick menatap Lani yang berdiri di hadapannya dengan gamis bermodel semi gaun yang bertumpuk di bagian bawahnya hingga membentuk beberapa layer. Pakaian itu dipadupadankan dengan khimar syar'i yang menutupi pinggang rampingnya berwarna senada. "Lan.""Iya?""Kenapa nasi harus ada lauknya?"Seketika dahi Lani mengernyit, pada akhirnya ia menjawab juga. "Untuk pelengkap. Kalau cuma makan nasi aja, 'kan nggak enak, Mas.""Nah, sama halnya dengan kamu. Allah menciptakanmu untuk menjadi pelengkap hidup Mas, Lan. Tanpamu dunia Mas hampa."Mendengar itu seketika tawa Lani meledak. Perempuan itu tampak membekap mulut, setelahnya ia

  • Playboy in Love   Lupa

    Suara azan subuh terdengar berkumandang, angin mulai berembus kencang masuk melalui ventilasi di sisi jendela, hingga menyibak gorden kamar berwarna cokelat lembut tersebut. Terbaring di atas ranjang berukuran king size, tampak sepasang suami istri yang telah memadu kasih. Bergelung dalam satu selimut yang sama. Seolah berbagi kehangatan tubuh masing-masing.Setelah mendengar suara azan berkumandang, terlihat sang suami beranjak. Melerai pelukan eratnya dari tubuh mungil sang istri yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Bibirnya terlihat mendekati daun telinga yang semula tertutup juntaian rambut tersebut. Lembut ia berbisik. "Lan, udah subuh. Bangun, yuk! Atau mau Mas pangku ke kamar mandi?" Merasakan napas hangat menyapu permukaan wajah, akhirnya Lani mengerjap. Perlahan tapi pasti mata bulat bening itu mulai tampak. Lalu bersitatap dengan iris hitam pekat yang menatapnya lekat. Kedua sudut bibirnya tertarik. Perlahan ia mulai beranjak. "Aku duluan, ya," sahutnya sembari mulai

  • Playboy in Love   Begitu Indah

    Ruang makan itu terlihat hening, hanya suara denting sendok garpu yang beradu dengan piring saja yang terdengar. Bi Ningsih menatap kedua majikannya dari kejauhan, tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya terangkat naik, membentuk senyuman. Kebahagiaan keluarga kecil ini seolah menular padanya. Bisa ia rasakan rumah yang tadinya sedingin es di kutub utara, sekarang menjadi sehangat ini. Bi Ningsih terus larut dalam tontonan, hingga tak sadar tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah guci besar di atas meja, yang terletak di lorong ruang makan, terhubung dengan dapur. Prang! Guci itu pecah, berserakan di lantai. Serpihan pecahannya bahkan sampai di bawah ubin yang Lani dan Erick pijak. Tepatnya di bawah meja makan. "An ... jritt!" Segera sebelum kata kasar itu terlontar, Erick membekap mulut. Dengan wajah polos dan lucu ia menatap Lani yang tak kalah terkejut. Namun, tampaknya perempuan itu justru menahan senyum. "So ... maaf, Lan. Keceplosan." Setelahnya ia menyengir. "Nggak apa-apa

  • Playboy in Love   Ungkapan Perasaan

    Seketika Erick termangu. Geming menatap Lani yang mulai beringsut mendekat. Kuat kepalan tangannya setiap melihat perempuan itu menghela napas, dan membuka mulut. Perasaan yang selama tiga bulan sempat teredam, kembali muncul ke permukaan kala Lani mulai mengungkitnya kembali.Erick pikir perempuan ini telah melupakan kejadian itu seiring berjalannya waktu bersama dengan proses konselingnya.Melupakan permintaan yang membuat lelaki itu untuk pertama kalinya merasa takut kehilangan. Namun, ternyata ia salah. Proses itu dilakukan hanya untuk mengendalikan trauma Lani serta mengontrol kendali pada dirinya. Bukan serta merta memengaruhi ingatan di benaknya, apalagi ingatan yang melekat dalam diri sang penderita. "Mas ...."Seketika lelaki itu mendongak, setelah menghela napas panjang ia meletakkan tangan di kedua bahu Lani. "Maaf karena aku nggak bisa menuruti keinginanmu beberapa bulan yang lalu. Jujur permintaanmu saat itu di luar kuasaku, Lan. Jadi, kumohon kasih aku kesempatan. K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status