"Neng, kamu tahu kenapa bunga ini layu?"
Erick mengulurkan sebuah bunga mawar layu yang tersimpan di dasbor mobilnya. Entah sejak kapan, ia pun tak ingat.Perempuan bermake up tebal itu menggelengkan kepala dengan wajah yang dibuat se-cute mungkin."Nggak ... kenapa emang, Bang?""Karena bunga ini kalah dengan kecantikanmu!" Erick melemparkan senyuman maut yang membuat perempuan itu tersipu malu."Ah, abang bisa aja.""Hehe ... boleh minta nomber HPnya?" Mata Erick mengerling nakal.Perempuan yang diketahui sebagai seorang SPG salah salah satu produk minuman itu tampak malu-malu, saat Erick menyodorkan ponsel keluaran terbaru miliknya."Makasih cantik. Nanti lain kali Abang hubungin, ya. Ini ... minumannya nyegerin kayak lihat wajah kamu." perempuan itu salah tingkah saat Erick menggodanya. "Bye!"Kaca mobil kembali dinaikan. Dia melirik Lani sekilas yang sejak tadi berada satu mobil dan tepat duduk di sampingnya. Gadis itu tampak mengurut dada, bibirnya tak henti mengucap istigfar.Mobil yang dikendarai keduanya pun kembali melaju."Kenapa, Lan? Inilah konsekuensinya nikah sama orang ganteng kayak gue. Banyak cewek-cewek yang nyamperin!"Lani menggeleng, sudah jelas Erick yang memanggil sales tadi. Kenapa dengan percaya dirinya ia mengatakan perempuan itu yang menghampirinya? Lani juga masih ingat Erick sengaja menepikan mobil hanya untuk mengalihkan perhatiannya yang berdiri di trotoar jalan itu.Sekarang ia tak yakin bisa mengubah sikap Erick yang seperti sudah mendarah daging. Bagaimana mungkin ibunya yakin Lani mampu melakukan itu? Bila boleh memilih ia lebih sanggup menginsyafkan preman sekalian dari pada mengubah tabiat seorang Erick Wardhana.Baru tadi pagi ia lihat Erick marah-marah hanya karena cemburu pada sikap keluarganya, hingga mengakibatkan kepindahan mereka dipercepat. Padahal Lani masih ingin menghabiskan banyak waktu dengan ibunya meski pun jarak Jakarta dan Bogor tak terlalu jauh. Namun, tetap saja ini terasa terlalu cepat.Dan lihat! Apa yang baru saja ia saksikan ini? Seketika mood pria itu berubah saat melihat seorang perempuan bening yang melintas di depan mata? Lani benar-benar bingung dengan jalan pikiran Erick."Nggak apa-apa, Mas." Lani menjawab dengan nada sedikit ketus. Ia mengalihkan padangan, memperhatikan jalan yang terlihat lenggang siang ini."Nggak usah ngambek! Terima aja kenyataannya. Nanti lama-lama lo juga terbiasa."Terbiasa? Terbiasa dengan sikap genitnya, begitu?Lani mengurut kening, ia melirik Erick yang memasang tampang datar. Bagaimana mungkin ia bisa berkata sesantai itu disaat status mereka adalah suami-istri?"Minum dulu nih biar segeran dikit," Erick mengangsurkan botol minuman yang ia beli dari SPG tadi. "Sebentar lagi kita sampe."Lani menatap Erick sekilas, lalu mengambil alih botol minuman di tangan pria itu, lalu menegaknya sekaligus."Uhuk ... uhuk ...." Lani terbatuk karena minum terlalu cepat. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. Mengingat sikap Erick tadi entah mengapa membuatnya begitu kesal."Lo kenapa sih? Pelan-pelan minumnya, bisa, 'kan!" bentak Erick, lalu membantu mengurut punggung Lani seraya memperhatikan jalan di depan.* * *Mereka sampai di kediaman Erick di Bogor. Lani turun lebih dulu sementara Erick mengekor di belakangnya. Gadis itu menyapukan pandangan ke sekitar, tak bisa ia sembunyikan rasa decak kagum saat melihat rumah Erick.Rumah ini tak terlalu besar bila dibandingkan dengan rumah yang ditinggali kakek dan Maminya. Namun, begitu berkonsep, detail, dan terlihat nyaman. Mungkin karena Erick seorang arsitek jadi ia bisa mengatur huniannya senyaman yang ia mau.Di halamannya bahkan terdapat sebuah taman dengan berbagai tanaman rambat dan bunga. Lani menjejakkan kaki di rumput berembun. Bekas hujan semalam. Ia mengangkat sedikit gamisnya sampai mata kaki."Eee ... eh, jangan diinjek!" Lani terlonjak dan kembali mundur ke tempat sebelumnya, ia menatap Erick dengan dahi berkerut. "Itu rumput Impor. Nyarinya susah. Seenak dengkul lo injek!" Erick menatap Lani tajam."Maaf." Lani menunduk."Udahlah gapapa. Jangan diulangi lagi, ya! Buruan masuk." Erick berjalan mendahului Lani yang masih tertegun ditempat karena cukup kaget dengan bentakan Erick."Mang Wawan! Woy, Bi Ningsih!" Erick celingukan mencari para penghuni rumah. "Yaelah Pada ke mana, sih mereka? Majikannya pulang bukan disambut masa suruh keluarin barang sendiri. Pasti pada masih molor jam segini. Kebiasaan." Lani menggeleng saat mendengar Erick menggerutu sepanjang jalan hingga sampai di depan pintu.Ceklek!Seseorang baru saja membuka pintu. Lani mengintip sedikit dari balik tubuh menjulang Erick. Terlihat wajah seorang perempuan paruh baya yang bisa ia taksir seumuran ibunya."Ba-Bapak sudah pulang?" tanyanya terbata dengan raut wajah ketakutan."Yaiyalah ... dipikir yang berdiri di sini dari tadi itu setan? Noh, panggilin Mang Wawan, angkut barang bawaan di mobil!" perintah Erick sebelum masuk ke dalam.Lani tersenyum kecil, saat melintas di depan wanita paruh baya bernama Ningsih yang ia ketahui asisten rumah tangga Erick.Sekali lagi ia dibuat takjub dengan asitektur rumah ini. Berbagai pajangan unik terletak di sudut ruangan. Temboknya dicat hijam muda, menyaru dengan konsep alam yang diusung. Terdapat sebuah kolam ikan kecil di ruang tengah, bisa membuat tamu tak bosan bila tengah menunggu si empunya rumah."Denger, Lan, jangan sekali-kali lo sentuh berbagai pajangan di rumah ini. Harganya mahal. Barang itu bahkan lebih berharga dari hidup lo!" Erick tiba-tiba berbalik dan memberikan peringatan itu. "Lo ke atas duluan. Kamar gue ... er, maksudnya kamar kita ada di sudut kanan, yang pintunya cat hijau tua. Beresin barang lo ke lemari. Gue ada urusan sebentar." Setelah itu Erick berlalu menuju bagian belakang rumah. Entah apa yang akan ia lakukan, Lani pun tak tahu.Hingga akhirnya Lani sampai di kamar yang tadi Erick sebutkan. Lagi-lagi nuansa hijau. Apakah Erick menyukai warna hijau? Pikir Lani.Ia menyeret kopernya dan berhenti di depan lemari berwarna putih yang berdampingan dengan lemari berwarna abu-abu. Apa semua ini sudah dipersiapkan sebelum kedatangannya?Seketika hati Lani menghangat. Meski pun Erick menolak keras pernikahan ini. Namun sedidaknya ia cukup menghargai Lani sebagai istri. Terlihat dari bagaimana Erick merelakan berbagi kamar dengannya.Lani mengeluarkan isi koper yang ia bawa. Dengan telaten menata barang itu ke dalam lemari. Menyusunnya dengan rapi.Waktu berjalan begitu cepat. Karena terlalu hanyut dalam pekerjaan itu Lani hampir tak ingat waktu. Ia baru sadar matahari sudah meninggi. Suara Adzan Dzuhur pun berkumandang. Bergegas ia meninggalkan pekerjaannya dan berjalan ke bawah.Gadis itu terlihat keheranan. Sudah satu jam setelah pamit ke belakang. Erick masih belum juga kembali."Bi, Ningsih!" panggilnya pada Ningsih yang kebetulan melintas dihadapannya."Iya, Neng ... ada yang bisa Bibi bantu?""Mas Erick ke mana, ya?""Oh, tadi dia pamit mau ke supermarket sebentar.""Oh ... makasih, Bi." Lani tersenyum, kemudian undur pamit."Eh, Neng Lani!"Lani berbalik saat Ningsih tiba-tiba memanggilnya."Kalau ada apa-apa jangan sungkan tanya Bibi ya! Maaf belum bisa nemenin keliling rumah. Pak Erick nyuruh Bibi siapin bahan masakan buat acara nanti malem."Dahi Lani mengernyit, bingung.Acara nanti malem?Kenapa Lani tak diberi tahu?"Iya nggak apa-apa, Bi. Lani bisa keliling sendiri. Sekarang mau mandi terus sholat dzuhur. Di sini ada mushola 'kan?""Ada. Di sudut kiri dekat kolam. Di sana ada tempat wudhunya juga.""Makasih, Bi."Lani berlalu, dia berjalan menuju kamar mandi bawah yang tak jauh dari tempat wudhu.Sepanjang perjalanan menuju kamar mandi ia melamun. Ucapan Bi Ningsih mengganggunya. Namun, Lani berusaha berpikiran positif. Lagi pula siapa dia di mata Erick? Hingga apa pun kegiatan pria itu harus diketahuinya. Dia cukup tahu diri untuk tak bertanya lebih banyak.Pada akhirnya Lani mengubur rasa penasaran itu dan masuk ke kamar mandi.* * *"Hallo panjul ... nanti malem acara Party ngerayain suksesnya proyek kita yang di Kota Baru Parahyangan ... jadi ya di rumah gue. Kasih tahu anak-anak yang lain. Tapi jangan bawa yang aneh-aneh. Awas aja ... abis lo gue bacok kalo bawa cewek nggak bener kayak waktu ntu!"" .... ""Iya, gue ada di rumah, kok. Kemaren cuma ada acara keluarga aja sebentar. Lusa gue udah mulai kerja."" .... ""Hah, apa? Nggak lah, Hoak itu. Mana mungkin seorang Erick Wardhana si petualang cinta ini Married. Gue masih betah melajang kayak kalian, Bro. Nggak usah dengerin berita nggak bener macem itu!"Alani yang tanpa sengaja mendengar percakapan Erick dan temannya di telepon, seketika menghentikan langkah saat hendak menuruni tangga. Baru setengah jam Erick kembali dengan banyak belanjaan yang dipersiapkan untuk acara yang hendak ia gelar malam ini. Entah acara apa itu ... Lani pun tak tahu. Erick seolah tak ingin Lani mencampuri urusannya.Gadis itu tertegun, bagaimana mungkin pria itu bisa dengan mudah mengatakan belum menikah? Di saat ijab lantangnya masih terngiang di telinga Lani."Astagfirullahaladzim ... mudah-mudahan Allah segera membuka pintu hatimu, Mas!" Lani meremas gamis panjangnya, menekan perasaan sesak yang menggerogoti hati saat Erick tak mengakuinya sebagai istri."Eh, sejak kapan Lo ngejogrog di situ, Lan? Wih, udah mandi. Wangi lagi, yaudah nyok masuk! Kebetulan masih ada beberapa jam sebelum anak-anak dateng."Tiba-tiba Erick muncul di hadapan Lani, ia tersenyum penuh arti kemudian menarik tangan Lani untuk memasuki kamar."Mas!""Ya?""Aku nggak bisa.""Maksud lo?""Tamu bulanannya dateng!" Lani menunduk, ia tak mampu menatap mata Erick."Ck, nggak asik lo, Lan, masa udah dateng bulan lagi ... ya udah kalau gitu. Gue maen mobile legend aja. Dari pada nganggur mending bantuin Bi Ningsih sono!" Erick berlalu dari pandangan Lani. Pria itu menuruni tangga lalu duduk di sofa ruang tamu.Meraih ponselnya dari saku celana, lalu selonjoran.Lani memegangi dadanya. Ia sedang berdosa karena menolak Erick dengan alasan datang bulan. Padahal sebenarnya tidak. Ia hanya merasa belum siap bila Erick menggaulinya hanya karena nafsu belaka.Meski pun mustahil, Lani ingin menunggu sebentar, sampai Erick bisa sedikit membuka hati untuknya.Pada akhirnya ia berjalan menuju dapur untuk membantu Bi Ningsih memasak di sana seperti yang Erick bilang."Ada yang bisa Lani bantu, Bi?" tanyanya pada Bi Ningsih yang berkutat di pantry, setelah sampai di dapur."Eh, Neng Lani. Boleh, boleh, sebelah sini!" Bi Ningsih meminta Lani untuk berdiri di sampingnya, perempuan parubaya itu menyodorkan berbagai sayuran yang belum dipotong.Lani mengambil alih baskom itu, kemudian mulai memotongnya kecil-kecil. Seraya memotong sayuran ia mulai mendengarkan Bi Ningsih bercerita tentang keseharian Erick yang tak ia tahu banyak."Pak Erick itu orangnya perfeksionis. Dia nggak suka kalau apa yang Bibi kerjakan nggak sesuai sama keinginannya. Mulai dari penataan barang, cara nyimpen pakaian, cara motong rumpuh. Semuanya harus sempurna. Oh, iya ... dia juga nggak suka sama daun bawang, kalau tanpa sengaja Bibi masukin daun bawang di makanannya, satu biji aja. Dia bisa sampe nggak jadi makan!" Bi Ningsih bercerita seraya memanaskan wajan dan menggoreng ayam. Perempuan parubaya itu terlihat senang karena selama dua tahun bekerja dengan Erick akhirnya ada teman yang bisa ia ajak sharing."Wah ... sampe segitunya Bi?" Lani mulai antusias mendengarkan cerita Bi Ningsih tentang Erick yang tak ia ketahui."Iya, Neng. Rumah harus selalu bersih setiap hari meski pun dia jarang pulang. Kolam yang nyaris nggak pernah dipake pun harus dibersihkan."Lani mengerjapkan mata, ia tak menyangka ternyata di balik penampilan Erick yang bisa dibilang urakan. Ia mempunyai pribadi yang perfeksionis."Oh, iya. Omong-omong apa Mas Erick pernah ... bawa perempuan ke rumah?" tanya Lani hati-hati. Sudah lama pertanyaan ini mengganggunya.Bi Ningsih terlihat berpikir. "Kayaknya belum pernah, deh. Dua tahun kerja di sini bibi belum pernah liat dia bawa pulang perempuan. Kecuali bareng sama temen-temennya yang lain. Kayak malem ini nih, pasti bakal banyak temen-temen cewek Pak Erick yang seksi-seksi dateng.""Memangnya dia sering ngadain acara begini di rumah, Bi?" Lani tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Pertanyaan demi pertanyaan ia lontarkan."Sering. Hampir tiap bulan.""Temen perempuannya Mas Erick banyak Bi?"Dahi perempuan paruh baya itu mengernyit. Ya, Lani tahu. Pertanyaan konyol yang baru saja ia lontarkan. Kenapa harus bertanya kalau sudah tahu jawabannya!"Banyak! Yang dateng ke rumah nanyain juga banyak ... eh, maaf Neng!" Bi Ningsih membekap mulutnya. Ia tak sadar baru saja mengatakannya di depan Lani yang notabennya istri sah Erick."Nggak apa-apa, Bi. Aku tahu kok!" Lani tersenyum kecil. Ia kembali sibuk dengan pekerjaannya yang hampir selesai.Sebenarnya apa sih yang Lani pikirkan. Kenapa ia mulai terganggu dengan hal-hal yang jelas ia tahu kebenarannya. Suaminya Erick adalah Buaya Darat, itulah fakta yang tak bisa Lani sangkal.* * *Petang berganti malam. Lani berdiri di depan cermin. Memperhatikan dirinya di dalam sana dengan balutan gamis panjang berwarna navy dengan jilbab yang senada. Gadis itu terlihat begitu anggun malam ini.Ia bersiap untuk turun ke bawah dan menyambut teman-teman Erick. Setelah mendengar percakapan Erick dengan temannya di telepon tadi. Lani tak yakin pria itu akan memperkenalkan dia sebagai istri.Namun, siapa yang tahu? Bisa saja Erick menundanya untuk memberi kejutan pada teman-temannya yang waktu itu tak ada satu pun yang hadir di resepsi pernikahannya."Dia siapa, Rick?" Seseorang menyenggol lengan Erick saat melihat Lani menuruni tangga.Erick mengikuti pandangan pria itu dan melihat Lani yang malam ini tampak begitu cantik."Oh, dia adek gue!" jawabnya santai.Seketika senyum di wajah Lani sirna. Seperti ribuan jarum yang menusuk jantungnya, rasa sakit kembali ia rasakan.Mungkin seiring berjalannya waktu Lani akan berkawan dengan rasa tersebut. Tergantung dengan bagaimana Erick memperlakukannya."Adek? Sejak kapan lo punya adek. Yang gue tahu lo cuma punya satu saudara laki!""Iya, dia adek angkat gue. Kakek pengen banget punya cucu cewek, jadi dia ngangkat anak pembantu gitu.""Oh ... begono. Ngomong-ngomong dia cakep banget, putih bersih, senyumnya manis, pakaiannya tertutup. Siapa yang nggak mau punya istri kayak gitu coba. Bolehlah ...." Pria itu mengerlingkan matanya."Kagak! Enak aja lo Panjul. Pacar lo aja udah banyak," tolak Erick keras."Elah pelit amat. Jangan-jangan mau lo embat juga!""Ng ... itu, ya terserah guelah!""Tuhkan, dasar Buaya Darat! Adek angkat aja diembat.""Bodo!" Erick mengedikkan bahunya, perhatiannya kembali tertuju pada Lani yang berdiri dipojokan. "Sini, Lan!"Lani berjalan menghampiri Erick. Sebenarnya ia benar-benar tak nyaman dengan keramaian seperti ini, apalagi banyak sekali perempuan yang berpakaian minim."Kenapa turun? Padahal lo diem aja di atas. Di sini berisik!" Erick berbisik di telinga Lani.Gadis itu menatap Erick sekilas lalu mengangguk. "Aku ke atas lagi kalau gitu Mas!""Iya, balik aja tidur. Udah malem. Nggak baek bocah hijaber kayak lo ikut acara model begini."Lani mengangguk sekali kemudian melangkahkan kakinya untuk kembali ke kamar. Namun, panggilan seseorang menghentikan langkahnya."Hey, ikut gabung aja!""Apaan, sih Panjul!" Erick menahan lengan pria itu yang hendak menghampiri Lani.Namun pria yang bernama asli Panji itu menepisnya."Nggak apa-apa, Rick. Biar dia adaptasi dengan lingkungan lo ... tapi sebelum itu, ganti dulu pakaiannya. Dan--" Panji mendekati Lani, tangannya terjulur menuju kepala gadis itu. "Ininya dilepa--"Bugh!Tepat sebelum ia berhasil menarik jilbab Lani. Sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya hingga tubuh Panji tersungkur menabrak sebuah pajangan hingga pecah.Kehebohan itu menjadikan mereka pusat perhatian. Para tamu Erick yang menghadiri acara malam ini mulai penasaran dan mengelilingi mereka.Tubuh Lani meluruh hingga terduduk di lantai. Ia begitu terkejut dengan yang baru saja terjadi. Lani mencengkeram jilbabnya yang nyaris saja terlepas, erat-erat."Jangan sekali-kali lo sentuh bini gue, Bangsat!"...Bersambung."Arggh ... kampret, setan, b*bi ngepet, wewe gombel! Gue keceplosan!!"Lani menatap suaminya yang seperti kerasukan setan itu di sana. Erick terlihat menendang-nendang sofa yang tak bersalah setelah acara ia bubarkan begitu saja bahkan sebelum dimulai."Astaga pajangan mahal gue. Pala si Panjul sama ini barang yang gue impor dari Itali lebih berharga barang ini." Erick memunguti serpihan guci yang berserakan di lantai. Guci itu pecah karena tubuh Panji menghantam benda tersebut saat Erick melayangkan bogemnya.Panji pun tak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit. Namun, bukannya merasa bersalah Erick justru menangisi guci mahalnya."Mas ...," panggil Lani lirih, gadis itu berjalan menghampiri Erick yang bersimpuh di lantai."APA?" Erick menatap Lani dengan pelototan hingga membuat gadis itu mengurungkan niatnya untuk menyentuh bahu Erick. "Ini semua terjadi gara-gara lo tahu nggak, Lan. Coba kalau lo nggak turun dan menarik perhatian ... guci mahal gue nggak akan jadi korbannya!"
"Bowo! Gue pulang dulu, ya. Tiba-tiba ada urusan mendadak ... kalau nggak balik lagi handle aja sama lo. Ntar kasih laporan aja lewat WA," ucap Erick pada mandor proyeknya di daerah Menteng, Bogor. Dia melepas helm orange itu, lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir.Pria itu duduk di balik kemudi, sejenak ia menggeram. "Diana ... Diana ... siapa ntu cewek? Gue inget pernah pergi liburan ke puncak sama temen-temen. Tapi perasaan nggak ngapa-ngapain. Atau gue lupa? Ah, kampret. Berabe kalau bener tuh cewek bunting!" Erick memukul stir, wajahnya tampak frustrasi. Ia masih ingat suara lirih Lani dari ujung telepon. Bagaimana tanggapan gadis itu kalau benar ia menghamili perempuan lain?Habis dia digorok kakeknya!Mobil melaju dengan kecepatan 40 km/jam. Melesat membelah kepadatan di Kota hujan ini. Beberapa kali Erick menarik napas. Namun, tak bisa mengurangi rasa geramnya.Erick sampai di pelataran rumah. Pria itu berjalan menghampiri dua orang yang berdiri di depan pintu. Entah a
"Astaga dragon!" Erick terlonjak kaget, setibanya di rumah dan melihat kakeknya tengah duduk di ruang tamu dengan bertumpang kaki.Ekspresi sama Lani tunjukan. Padahal tadi ia hanya bergurau bahwa kakek Erick akan datang. Namun, apa yang ia lihat kini, pria dengan rambut yang sudah memutih sepenuhnya itu tengah menunggu kepulangan mereka."Sejak kapan ntu kakek peyot ke sini?" Erick bergumam yang masih bisa terdengar oleh Lani.Bergegas Lani menghampiri Sultan Wardhana, kemudian mencium punggung tangannya. "Maaf buat kakek nunggu, tadi kita ada urusan sebentar." Lani merasa bersalah, gadis itu tersenyum kecil."Nggak apa-apa, Sayang. Duduk sini, Lan!" Sultan menepuk sofa di sampingnya, meminta untuk Lani duduki. "Kakek malah bersyukur kalian bisa keluar bareng. Walau bagaimana pun kamu dan anak kurang ajar itu memang harus lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Biar mata Si Erick nggak perlu jelalatan lagi."Lani hanya mampu menanggapi ucapan Sultan dengan senyuman tipis. Masih te
Cinta adalah suatu hal yang mutlak. Kita tak bisa menyangkal, maupun menghindarinya. Begitu pun dengan perasaan Lani kepada Erick. Perasaan yang awalnya tak ia sadari. Bahkan perempuan itu hanya berpikir hanya perasaan yang timbul sesaat, lalu hilang perlahan. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya ia mulai sadar. Perasaannya kepada Erick semakin dalam. Tak peduli seberapa banyak pria itu menyakiti perasaannya. Lani tahu cinta itu datangnya dari Tuhan. Jadi tak mungkin bila Tuhan meniupkan sebuah perasaan yang salah di hatinya. Perempuan itu yakin, cepat atau lambat suaminya akan berubah. Itu doa yang selalu ia sematkan di setiap sujudnya.Dia percaya Tuhan Maha membolak-balikan perasaan. Dia juga Maha tahu akan segala hal yang akan terjadi. Hanya kepada-Nya 'lah Lani memohon pertolongan. Hanya kepada-Nya 'lah Lani meminta agar kelak perasaan yang semakin dalam ini akan berbalas.Dalam hening ia menatap Erick yang terbaring di sampingnya. Malam tadi adalah malam panjang yang tela
"Rick, minggu depan Opick mau pulang. Katanya dia mau bawa seseorang dari Mesir!" Suara Sultan memecah keheningan di ruang makan. Erick mengalihkan pandangan dan menatap kakeknya yang duduk di kursi utama, sedangkan ia dan Lani berhadapan."Ngaku juga dia punya keluarga di Indonesia. Kirain udah ganti kewarganegaraan saking betahnya sampe 3,5 di Mesir." Pria itu tampak mengedikan bahu dan kembali fokus pada sarapannya di piring."Jangan gitu, Rick. Di Mesir, 'kan dia nuntun ilmu sambil kerja. Yang kakek denger tahun depan dia bisa jadi dosen termuda di sana!""Bodo amat. Terus kalau dia jadi Dosen Erick kudu koprol gitu, Kek? Lagian kerjaan Erick juga bisa dibilang keren. Nggak mudah loh jadi Arsitek.""Iya Kakek tahu. Maksud Kakek itu pengennya kamu jadi Dokter atau Dosen juga, biar bisa bantu orang banyak dengan kemampuan yang kamu miliki.""Emangnya Arsitek kerjaannya nggak bantu orang? Kalau nggak ada Arsitek ... noh, rumah-rumah, bangunan, jalan-jalan, taman, tempat wisata. Semu
"Mas, tadi ada Tante Melinda dateng ke rumah!" ucap Lani saat mereka tengah duduk di ruang tamu. Menonton TV."Tante Melinda?" Erick mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Kemudian menatap Lani dengan mata memicing."Kenapa Mas?" "Nggak apa-apa ... mau apa dia dateng? Nggak nitipin si Chico, 'kan, Lan?""Oh, nggak. Dia kasih rendang buatannya, Mas!""Kirain. Biasanya, 'kan dia dateng kalau cuma buat nitipin anaknya atau cari perhatian gue. Tante Melinda itu Janda kaya beranak satu. Bisnisnya jualin tas yang harganya selangit. Suaminya meninggal karena serangan jantung. Lo jangan sampai kepincut barang dagangan, ya! Soalnya strategi marketing ntu emak-emak nggak perlu diraguin lagi.""Kok Mas bisa tahu banget sih," tanya Lani dengan mata memicing."Ng, itu ... dulu gue pernah sempet ditawarin Ferrari buat hadiah ulang tahun.""Serius, Mas?""Iya, tapi gue nolaklah. Dia nggak mungkin ngasih cuma-cuma. Pasti ada udang dibalik bakwan. Emangnya gue cowok apaan!""Tapi keliatannya dia
Erick menunggu dengan tak sabar. Beberapa kali ia memeloti ponselnya yang tak bersalah, tapi masih belum ada balasan dari Lani. Pria itu menggeram, dicengkeramnya ponsel hanya untuk memastikan apakah centang dua di pesannya sudah berubah biru apa belum."Kampret! Ke mana lagi si Lani?" gumamnya kesal."Ada apa, Mas?" tanya Pak Agus pada Erick yang tampak sibuk sendiri. Sementara pesanan mereka sudah datang beberapa menit yang lalu, "Nanti Mie kocoknya keburu dingin nggak enak loh Mas!"Erick mengalihkan pandangan dari layar ponsel, ia menatap pria paruh baya itu kemudian tersenyum kecil."Duluan aja Pak, saya nunggu agak dingin sedikit. Nggak bisa makan yang panas-panas, soalnya sering panas dalem," ucap Erick kembali sibuk dengan ponselnya.To : Bini Voloz 😺Lan!Send.Lani!Send.Alani ... woy!Send.Alani Rhamadanti, lo masih hidup?!Send."Ah, kesel gue." Erick melempar ponselnya ke meja. Kemudian menyantap Mie kocok yang masih panas itu dengan lahap.Kekesalan menguasainya hingg
Sesampainya di hotel, Erick duduk di tepi ranjang. Pria itu meraih sebungkus rokok di kantong celana lalu menyalakannya dengan pematik. Asap rokok terlihat mengepul pekat mengisi ruangan. Sesekali ia melirik ponsel yang tergeletak di sampingnya. Benda itu bergetar beberapa kali. Awalnya ia abaikan karena itu mungkin saja panggilan dari perempuan-perempuan yang pernah menjadi korbannya dulu.Namun, saat melihat nama Lani tertera di sana, ia segera meraih benda persegi tersebut tanpa berpikir panjang."Jangan, Rick, jangan diangkat!" Erick menatap ponsel itu kemudian menggeleng keras, logika dan hatinya berjalan bertentangan. Sekali lagi ia tak bisa menurunkan ego yang selalu ia bumbung tinggi, hingga yang terjadi panggilan itu hanya ia biarkan begitu saja.Erick kembali menghisap rokoknya kuat-kuat, pikirannya berkelana entah kemana. Pernikahannya dan Lani baru berjalan seminggu. Namun, perempuan itu telah berhasil mengambil kendali dalam dirinya. Sepanjang hidup ia belum pernah merasa