Pukul 10.30 malam sudah berlalu. Ravi tiba-tiba merasa tidak enak saat melihat jam. Rasanya ada sesuatu yang penting yang dia lupakan.
Ravi segera memeriksa ponselnya, tapi tidak ada pesan baru. Dia tertegun melihat aplikasi obrolan di ponselnya. Nama yang dipasang di bagian atas adalah 'Vanilla Kim'.
Dia mulai memikirkan bagaimana Vanilla pulang dari kafe. Dia menerka-nerka apakah Vanilla sudah kembali ke rumahnya atau belum. Walaupun sekarang hanya sebatas teman, dia memutuskan untuk mengirim pesan.
***
Sekarang sudah pukul 12 malam dan belum ada balasan dari Vanilla untuk pesannya. Di aplikasi tersebut, hanya ada satu centang, yang berarti pesan tersebut belum diterima oleh Vanilla.
Ravi merasa bingung apakah Vanilla mematikan ponselnya atau memblokirnya. Namun, yang membuatnya semakin gelisah adalah perasaannya yang merasa tidak enak. Ada firasat bahwa Vanilla tidak berada di rumah atau apartemennya.
Pikiran Ravi menjadi kacau. Dia berpikir bahwa seharusnya Vanilla bisa pulang dengan aman, mengingat mereka berpisah pada pukul 2 siang. Bus juga masih menjadi opsi yang layak untuk pulang.
Meskipun secara logika Vanilla seharusnya sudah pulang, firasat buruk masih menguasai pikiran Ravi. Dia mencoba meneleponnya untuk memastikan keadaannya.
Walaupun mereka tidak lagi berpacaran, ini mungkin menjadi kali terakhir dia menanyakan tentang keberadaannya. Paling tidak, dia ingin memastikan bahwa Vanilla dalam keadaan baik-baik saja.
***
Calling (Vanilla Kim)....
***
Telepon itu menunjukkan bahwa ponsel pemiliknya memang tidak aktif. Firasat buruknya semakin menguat. Jika Vanilla tertidur dengan ponselnya dimatikan, maka firasat ini seharusnya tidak semakin kuat.
Pukul 12.30 malam, Ravi melihat jam dan segera menyalakan motor sportnya. Dengan perasaan yang masih penuh dugaan, ia berangkat menuju apartemen lamanya dengan kecepatan penuh.
Dengan cepat, dia naik ke lantai 2 dan mengetuk pintu kamar Vanilla dengan cukup keras. Meskipun berharap Vanilla ada di dalam, dia siap menerima kemungkinan respon yang penuh dengan kemarahan.
Namun, kamar itu hampa dan tidak ada jawaban. Tanpa menghabiskan waktu lebih lama, dia segera berbalik arah menuju kafe.
Sekarang sudah jam 2 pagi. Jalanan sunyi dan sepi. Meskipun mungkin Vanilla berada di rumah orang tuanya, entah mengapa Ravi masih merasa yakin bahwa Vanilla masih berada di kafe tersebut.
***
Tanpa sadar, Vanilla tertidur di halte bus saat menunggu. Rasa sedih membuatnya lelah sehingga ia terlelap. Suara kendaraan bermotor terdengar semakin dekat. Diikuti dengan siluet seorang pria yang tampak mirip dengan Ravi.
Vanilla memilih untuk menutup mata lagi. Dia berpikir bahwa mungkin siluet itu tidak nyata. Sulit dipercaya bahwa dia melihat Ravi di malam yang tidak ia sadari pukul berapa ini.
Vanilla semakin khawatir. Dia mempertanyakan apakah dia mungkin mengalami halusinasi, membayangkan apa yang dia harapkan saat ini.
"VANILLA?!"
Vanilla terbangun dari tidurnya dengan kaget. Ternyata, itu bukanlah khayalan. Ravi berdiri di depannya. Vanilla terdiam, tidak mampu mengatakan apapun. Mulutnya terkatup rapat dan matanya berusaha menahan air mata.
Tidak sampai sehari setelah berpisah, Vanilla merasa telah melakukan sebuah kesalahan yang pastinya tidak terlihat dewasa di mata Ravi.
"A-aku..."
Vanilla tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Ravi mulai memudar dari pandangannya secara perlahan. Vanilla berharap bahwa itu hanya khayalan belaka. Dia tidak ingin Ravi menyaksikan kecerobohannya seperti tertidur di halte sampai jam 2 pagi, bahkan sampai hipotermianya kambuh.
***
Vanilla terbangun di kamar kosnya dengan tubuhnya terbungkus rapi dalam selimut. Dia tidak ingat bagaimana dia bisa sampai ke sini. Yang dia ingat, bus akhirnya datang.
Karena khawatir hipotermia kambuh, Vanilla pun melilitkan dirinya dengan selimut secara erat. Seingatnya, dia begitu lelah sehingga bahkan tidak mengganti pakaiannya semalaman.
***
Setelah mandi, Vanilla menyadari bahwa hari ini adalah Minggu. Ini akan menjadi minggu pertamanya menjalani hari sendirian. Meskipun masih merasa sedih, dia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan sendirian. Vanilla berharap bahwa mungkin, seiring berjalannya waktu, dia akan terbiasa dengan keadaan tersebut.
Saat membuka pintu kamarnya, Vanilla langsung melihat pintu kamar Ravi. Hal tersebut membuatnya mempertanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk melupakan Ravi. Tapi, tunggu dulu. Sejak kapan pintu kamarnya tidak terkunci?
Apakah kemarin Vanilla sangat lelah sehingga ia lupa mengunci pintu? Padahal, ia yakin sudah mengunci pintu setelah pulang menggunakan bus. Ini sungguh aneh!
***
Vanilla mengunjungi pameran buku di pusat kota yang menampilkan seorang bintang tamu yang baru terkenal, seorang penulis muda bernama Aithne Han, yang baru berusia 25 tahun.
Pameran buku tersebut sangat ramai dengan tempat yang luas. Vanilla sangat bersemangat untuk membeli banyak buku dan berharap bisa mengikuti acara fanmeet dengan penulis Han.
Saat melangkah menuju rak paling ujung, Vanilla melihat siluet beberapa orang di ruangan sebelah. Di antara mereka, terdapat tiga pria yang berpakaian serba hitam. Salah satunya adalah seorang politikus yang cukup dikenal.
Vanilla berpikir betapa meriahnya pameran buku ini, bahkan tokoh politikus pun turut hadir. Itu sungguh menarik baginya.
Di rak paling ujung, Vanilla menghabiskan waktu cukup lama untuk memilih buku yang akan dibawanya pulang. Dia mendengar percakapan samar-samar dari tiga pria di sebelahnya, salah satunya mengatakan, "sekap dengan bius dan buang dia hidup-hidup."
Vanilla cukup terkejut mendengar itu. Mungkin dia salah dengar? Apakah politikus dan pria-pria berpakaian hitam itu membicarakan buku? Ini membuatnya ingin mendengarkan lagi dengan seksama.
Namun, suara percakapan itu semakin terselubungi oleh keramaian di sekitar. Vanilla masih sempat menangkap kata-kata "Aithne Han" dalam percakapan mereka. Mungkin itu adalah tentang karya buku yang baru saja diterbitkan oleh penulis baru tersebut?
Tanpa menunda, Vanilla segera melangkah menuju rak buku best seller tempat karya Aithne Han dipajang. Tanpa disadarinya, salah satu dari pria berpakaian hitam itu sedang memperhatikan setiap langkahnya.
Pria yang mengenakan pakaian hitam itu khawatir bahwa gadis itu mungkin mendengar percakapan mereka karena dia terlalu dekat dengan tempat mereka berdiskusi.
***
Buku-buku Aithne Han membahas berbagai kontroversi yang terjadi di Korea Selatan. Dalam waktu singkat, penulis ini telah menerbitkan tiga buku dan akan segera merilis yang keempat, semuanya mengulas kontroversi yang sama.
Buku-bukunya menggali kasus-kasus yang belum terselesaikan, terutama yang terkait dengan pembunuhan atau kejahatan. Mereka mengungkap fakta-fakta baru yang belum terungkap sebelumnya melalui karya-karya tersebut.
Fokus pada kesimpulan yang didukung oleh fakta-fakta baru menjadi titik penting dalam buku tersebut. Semua argumennya sangat logis. Kabarnya, buku volume keempat akan mengeksplorasi kontroversi seputar pemerintahan.
Menulis materi seperti itu memang berpotensi berbahaya. Bagaimana jika tersangka pembunuhan atau pihak terkait dalam kasus tersebut masih hidup? Hal tersebut bisa sangat berisiko dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka.
***
Vanilla kini menghubungkan pembicaraan antara pria-pria berjas hitam dan topi hitam. Kemungkinan kesimpulan dari percakapan mereka semuanya terdengar menyeramkan. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa penulis tersebut sedang berada di depan para penggemar tanpa pengawalan oleh sekuriti pribadi atau yang sejenisnya.
(Bersambung)
Pameran itu diatur oleh panitia acara yang biasa mengadakan acara semacam itu. Vanilla berusaha untuk memverifikasi pemikirannya dengan mendekati salah satu pengunjung yang antusias."Apa ini fan meeting pertama kali penulis Han?" tanyanya.Penggemar tersebut pun menjawab, "Benar. Awalnya Aithne Han tidak pernah menunjukkan sedikitpun tentang informasi pribadinya. Namun, kali ini ia memulai untuk coba lebih terbuka demi penggemarnya."Vanilla merasa khawatir bahwa penulis tersebut bisa mengalami sesuatu yang buruk. Namun, apakah ada orang lain selain dirinya yang mendengar rencana jahat di ruangan itu? Vanilla sungguh tidak ingin skenario yang baru saja terlintas dalam pikirannya menjadi kenyataan.Dari kejauhan, Vanilla melihat kembali ruangan di mana para pria berpakaian serba hitam itu berada. Sepertinya mereka semua telah pergi."Anda mencari seseorang, Nona?"Vanilla pun berbalik dan menatap ke atas, mencari sumber pertanyaan yang mengusiknya.Rupanya, sang penanya adalah salah sa
Vanilla menangis mendengar kata-kata pria itu. Dia tidak pernah membayangkan bahwa situasi seperti ini bisa terjadi, di mana tubuhnya yang selalu dijaga bisa saja dikotori oleh pria tersebut.Pria itu pun mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Aku akan mempermudah urusan kau dengan kasus itu. Intinya, jangan beritahu siapapun siapa pelaku dari pembunuhan itu, atau aku bisa dengan mudah memperkosamu disini."Pria itu segera melepaskan pegangannya, memberi kesempatan pada Vanilla untuk berbicara. Dengan air mata mengalir di wajahnya, Vanilla mencoba mengajukan pertanyaan kepada pria tersebut."Tapi... bukankah awalnya kalian akan menyekapnya...? Bukan menembaknya dengan senapan...." tutur Vanilla.Vanilla merasa sangat banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa melarikan diri dari situasi ini. Vanilla sudah terjerat dalam tragedi pembunuhan ini."Hahaha, kau masih belum mengerti?! Kaulah penyebabnya!! Penulis itu meninggal lebih awal karena kau... Pembunuhan
"Namanya Cerise Park, guys!!" teriak Sierra kepada kedua sahabatnya sambil memasuki kelas dengan heboh."Cerise?" ucap Vanilla mengulangi nama itu."Anak kelas sebelah, ya?" sela salah satu teman sekelasnya yang menguping pembicaraan mereka."Seirra, kamu pasti cembokir kan, dia deket banget sama Altair di kelas sebelah," sahut teman sekelas lain sambil mengejek. Satu kelas pun ikut riuh dan menyoraki Sierra yang merupakan mantan dari siswa tampan bernama Altair itu."Wah, sayang sekali sang mantan mudah move-on!!" sorak Sovann, yang merupakan anggota ekskul basket Ravi dan Altair. Ia dengan usil ikut menyoraki Sierra yang semakin memeriahkan sorakan kelas.Mendengar komentar tersebut, Sierra menatap tajam semua teman sekelasnya yang mengganggunya. Tanpa berkata apa pun, dia duduk di bangkunya dan memilih untuk tidak peduli.Saat melihat kehebohan di kelas, Ravi justru merasa panas dingin, yang membuatnya menjadi panik.***Sierra nampaknya iri terhadap hubungan dekat antara Altair dan
Akhirnya, bel istirahat sekolah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya menuju kantin. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Altair yang langsung menyapanya.“Hai, nyonya Kim. Waduh, kakimu kenapa tuh?” ucap Altair sambil menanyakan kondisi kaki Vanilla.“Hai juga, Altair,” balas Vanilla yang hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyuman.Dari balik tubuh Altair, muncul siswi baru tersebut. Murid baru itu merasa mengenal cincin merah muda yang ada di jari gadis di depannya.“Tunggu sebentar,” ucapnya. Ia meraih tangan Vanilla untuk memastikan bahwa cincin itu merupakan cincin miliknya.“Ini ‘kan cincin pemberian Ravi untukku kemarin?” tanya Cerise pada gadis yang baru ia jumpai itu. Ia cukup kaget mengapa cincin itu persis dengan cincin yang ia beli. Hal itu terbukti dari ukiran huruf ‘R’ yang ada pada cincin itu.“Kamu bilang apa barusan?” tanya Avery sambil mendekat. Ia merasa salah dengar karena gadis itu menyebut mantan dari sahabatnya tersebut."Ma-maaf, sepertinya aku sal
Bel pulang telah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya saling berpamitan di gerbang sekolah karena arah pulang mereka yang berbeda-beda.Vanilla sebenarnya memiliki rencana untuk singgah di suatu tempat. Dia merasa gelisah, dan merasa bahwa akan lebih sulit bagi dirinya jika hanya diam sendirian di kamar kosnya.“Vanilla,” panggil seseorang dari belakang.Saat Vanilla berbalik, dia kaget mendapati bahwa yang muncul di hadapannya adalah Ravi. Ravi menyempatkan diri untuk bertemu dengan Vanilla sebelum dia pergi ke tempat parkir motor, sambil menunggu kedatangan Cerise.“Vanilla, cincin itu-”“Maaf!” tutur Vanilla dan ia langsung membungkuk.“Cincin ini akan aku kembalikan ke Cerise. Maaf karena aku telah mencurinya!” jelas Vanilla. Ia jelas malu dan tengah menahan tangisan. Tak ia sangka bahwa ternyata ini yang terjadi, jika memungut cincin Cerise.Ravi dan teman-temannya bahkan telah mengetahui situasi tersebut. Yang lebih buruk lagi, kesalahpahaman Ravi menyebabkan dia memberitahu semu
Altair mencoba melihat kondisi Vanilla. Ia tampak seperti menahan kesakitan.“Inilah hal yang aku takutkan terjadi padamu. Kau hancur karena cintamu terhadap Ravi,” ucap Altair.“Bukan hal itu….” jawab Vanilla sambil menangis terisak-isak.Ia pun berusaha melanjutkan, “Aku dikejar… oleh dua orang pria... Tapi aku tidak bisa cerita sekarang….”Vanilla ingat bahwa ia hampir dilecehkan pada waktu itu. Seharusnya ia tidak mengatakan kasus ini kepada siapapun. Masa depannya akan menjadi taruhan.Pria-pria tersebut bisa saja ia temui dimana saja. Ia juga baru ingat bahwa pergerakannya juga dimata-matai. Dirinya bahkan bisa saja berakhir sama persis dengan penulis Aithne Han, atau mungkin lebih buruk.“Astaga, lalu bagaimana?” ucap Altair dengan panik.Mata Vanilla mulai berkunang-kunang. Efek dari lari sejauh itu ternyata separah ini. Lalu, bagaimana caranya aku bisa p
“Ngomong-ngomong kita bakal pulang jam berapa?” tanya Akarsana pada yang lain. “Sekarang masih jam tiga lebih. Kayaknya sampai jam lima, sesuai jam pulang les gua,” sahut Zavier. Semuanya setuju untuk tidak main berlama-lama. Selesai bermain permainan tembak-tembakan, Vanilla sekilas melihat pria yang memakai seluruh baju hitam. Topi itu. Pria baju hitam yang memakai topi khasnya. Matanya terlihat sedang melihatnya. Dengan melihat atributnya saja, Vanilla mengenali bahwa itu adalah pria yang selalu mengikutinya. Kini, Vanilla tidak akan lupa. Vanilla sempat beranggapan bahwa dirinya akan aman, jika bersama dengan yang lain. Nyatanya, kini ia takut kasus yang menjeratnya itu malah berdampak buruk pada yang lain. Vanilla berpikir, masa depan teman-temannya jangan sampai ikut rusak karena kasus yang menimpanya. Melihat semuanya sedang bersenang-senang, ia tidak ingin merusak kebahagiaan teman-temannya itu. “Vanilla?” Vanilla terse
Mereka sedang berada di kamar Vanilla. Ravi mengantarkannya hingga Vanilla duduk di kasurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. “Kamu gak pulang?” tanya Vanilla. “Pulang kemana?” jawab Ravi. “Pulang ke rumahmu, lah,” ucap Vanilla dengan heran. “Ini ‘kan udah pulang,” jawab Ravi dengan santai. “Sana pulang!” suruh Vanilla sambil menendang-nendang. Ia menganggap omongan Ravi itu hanya bercanda. “Lima langkah dari sini ‘kan udah pulang. Ngapain juga diam-diaman terus di kamar masing-masing?” tanya Ravi yang juga heran dengan reaksi Vanilla. “Kamu masih ngekos di kamar itu?” tanya Vanilla tidak menyangka. “Masih, lah,” jawab Ravi. “Kok, gitu? Bayaran sewanya ‘kan masih jalan kalau gak ditempatin,” ucap Vanilla. “Ya, gak apa-apa. Entah kenapa gua masih ingin tinggal disini,” jawabnya. “Jual ‘overkost’ aja di akun sewaan sekolah,” tutur Vanilla. “Gua juga punya alasan. Sama kayak lu yang izi