Pada dini hari Senin, Vanilla terus melongok ke kamar depannya melalui jendela yang tertutup tirai. Dia terus-menerus memeriksa untuk memastikan apakah Ravi sudah kembali atau belum. Rindunya pada Ravi sangat mendalam.
Dalam hubungan istimewa yang telah berlangsung selama dua setengah bulan ini, Vanilla berhasil mengenal arti cinta dari seorang pria selain dari ayahnya.
Melalui ponselnya, Vanilla mengirim pesan kepada Ravi untuk menanyakan kapan dia akan pulang. Tak lama kemudian, Ravi membalas bahwa ia akan pulang hari itu juga. Dia mengatakan bahwa meskipun agak telat, ia akan segera berangkat ke sekolah.
Ravi memberinya pesan untuk langsung berangkat tanpa terlalu memperdulikannya. Vanilla merasa heran mengapa Ravi tidak pulang pada hari Minggu agar tidak terlambat pada hari Senin. Namun, dia menyadari bahwa itu bukanlah urusannya untuk mengetahui masalah apa yang sedang dihadapi Ravi di Busan.
***
"Vanilla, istirahat ke atap ya," ujar Ravi ketika bel masuk berbunyi. Vanilla, yang sedang asyik mengobrol dengan sahabatnya, sangat bersyukur bahwa Ravi tidak terlambat, meskipun dia berangkat dari Busan.
*Triiing* Bel istirahat telah berbunyi.
Setelah guru mata pelajaran meninggalkan kelas, Vanilla segera berbalik ke arah belakang untuk memastikan bahwa mereka akan pergi ke atap. Namun, Ravi mengatakan bahwa hal itu dibatalkan dan bisa dibicarakan lain kali saja. Mendengar hal itu, Vanilla hanya mengangguk setuju.
Untuk saat ini, Ravi merasa perlu untuk berpikir. Dia menyadari bahwa mengungkapkan hal tersebut sekarang akan terlalu dini secara mental. Setelah mereka baru saja bertemu, Ravi merasa bahwa tidak pantas untuk segera membicarakan hal tersebut.
Ravi memikirkan bahwa setidaknya ia harus memberikan quality time terakhir untuk Vanilla sebelum mereka berpisah. Mungkin itulah yang seharusnya dilakukannya.
***
Akhirnya, hari Sabtu tiba. Ada yang berbeda kali ini, Ravi membawa mobil untuk kencan mereka. Beberapa waktu sebelumnya, Ravi telah bertanya kepada Vanilla tentang tempat mana yang ingin dia kunjungi untuk kencan akhir pekan mereka.
Dengan semangat, Vanilla menunjukkan lokasi di ponselnya. Dia sangat ingin pergi ke kafe mewah yang khusus menyajikan dessert, meskipun letaknya agak jauh. Jarak antara titik awal dan kafe tersebut sekitar 11 kilometer.
Ravi tersenyum melihat Vanilla yang begitu ceria saat menyetujui tempat tersebut. Dia berharap quality time yang dia berikan setidaknya dapat membuat Vanilla bahagia.
***
"Vanilla, ada yang ingin aku bicarakan," kata Ravi, memecah keheningan.
Vanilla sedang menikmati rainbow layer cake di piringnya. Dia menatap Ravi tanpa curiga.
"Ayo akhiri hubungan kita," lanjutnya.
Garpu Vanilla terhenti. Dia menatap mata Ravi sekali lagi, memastikan kebenaran dari apa yang baru saja didengarnya.
"Apa?" jawab Vanilla.
Sambil menghela napas, Ravi mencoba menjelaskan, "Aku punya alasan. Tapi, aku harap kita berdua sudah cukup dewasa untuk menghadapi hal yang seperti ini."
Vanilla menatap Ravi dengan tidak percaya. Namun, ekspresi serius di wajah lawan bicaranya menunjukkan bahwa ini adalah keputusan yang sungguh-serius. Vanilla tidak pernah membayangkan bahwa hari yang ia anggap istimewa itu akan menjadi akhir dari hubungan mereka.
"Aku dijodohkan oleh orang tuaku," jawab Ravi.
"Sejujurnya... Orang tuaku baru ditanggung jawabkan untuk mengelola sebuah perusahaan. Perusahaan itu akan diakuisisi dengan jaminan bersyarat," tambahnya.
Mendengar penjelasan itu, Vanilla memahami kemana arah pembicaraan itu menuju. Dia tidak pernah menyangka bahwa dia akan menghadapi situasi seperti ini.
"Aku tidak mau mengecewakan orang tuaku. Aku akan bertunangan dengan anak dari pemimpin perusahaannya. Sebelum hubungan kita terlalu jauh, aku ingin segera melepas hubungan kita sebelum terlambat," jelas Ravi.
"Aku harap kita berdua juga masih bisa menjadi teman yang baik," tambahnya.
Vanilla tentu saja merasa sulit mempercayainya. Namun, sebagai seseorang yang selalu mempercayai Ravi, ia memilih untuk tidak bereaksi berlebihan. Vanilla teringat akan definisi dewasa yang telah dijelaskan oleh Ravi sebelumnya. Dia takut dianggap tidak dewasa oleh pria di depannya itu.
"Jika Tuhan memang menakdirkan kita tetap bersama, kita pasti dipertemukan kembali," tambah Ravi lagi.
Ravi segera membayar bill pesanan. Dia berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas kebahagiaan yang pernah diberikan Vanilla. Hal ini ia lakukan selagi keduanya masih sangat muda. Ravi berharap Vanilla dapat merelakannya dan menemukan orang yang tepat selain dirinya.
Vanilla melihat jam di ponselnya yang masih menunjukkan pukul 2 siang. Meskipun baterai ponselnya hanya tersisa 22%, waktu masih terlalu siang untuk pulang.
Semua kenangan bersama Ravi terus berputar di pikirannya seperti pita kaset yang rusak. Kenyataan pahit yang baru saja diucapkan oleh Ravi membuatnya ingin memperpanjang waktu di sini untuk menerima semua yang baru saja terjadi.
Biasanya, setiap kali mereka berkencan pada hari Sabtu dan Minggu, mereka selalu totalitas menikmati waktu istirahat dari tugas sekolah. Mereka biasanya kembali pulang sekitar pukul 7 hingga 8 malam.
Sekarang, Vanilla harus mengubur kenangan-kenangan indah itu dalam-dalam untuk mencapai definisi "dewasa" yang disebutkan oleh Ravi.
Mengapa Vanilla tidak meminta penjelasan lebih lanjut? Mengapa Vanilla tidak menunjukkan ketidaksetujuannya dan meminta Ravi untuk memohon kepada orang tuanya?
Kekurangan yang dimiliki oleh keduanya adalah kecenderungan untuk selalu mengiyakan (yes man dan yes girl). Mereka merasa tidak nyaman jika harus menolak sesuatu. Tanpa harus ditanyakan, Vanilla sudah cukup paham apa yang akan menjadi jawaban dari Ravi.
Dia memahami alasan di balik keputusan Ravi untuk menerima keinginan orang tuanya. Dia menyadari bahwa menolak hanya karena alasan pribadi dapat memperumit urusan bisnis keluarganya. Cintanya terhadap Ravi juga menjadi alasan mengapa dia menerima situasi ini.
Vanilla tidak ingin membuat Ravi merasa kecewa. Menolak akan membuatnya terlihat tidak dewasa. Dia juga tidak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan yang akan dijalani Ravi. Vanilla tidak ingin berada dalam posisi seperti itu.
***
Setelah menenangkan diri, Vanilla tidak menyadari berapa lama dia terdiam. Dia mencoba membuka layar kunci ponselnya, namun ia baru menyadari bahwa baterainya sudah habis. Vanilla bertanya kepada pelayan di kafe tentang jam berapa saat ini. Ternyata sudah pukul 9 malam.
Baru saja teringat bahwa dia harus pulang dengan bus, Vanilla segera bergegas menuju halte. Lokasinya cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Malam semakin gelap dan jalanan menjadi sepi. Dalam kegelapan itu, Vanilla hanya bisa berharap agar bus terakhir segera datang. Dia menyesali kecerobohannya karena memilih kafe yang cukup jauh dari pusat kota.
Sedikit kendaraan melintasi jalan. Kebanyakan dari mereka tampak akan melakukan perjalanan jauh dari satu kota ke kota lainnya. Sekarang, Vanilla menyesali lagi karena tidak mengisi daya ponselnya sebelum berangkat.
Dia sama sekali tidak menyadari bahwa sesuatu yang buruk seperti ini bisa terjadi.
***
Ravi sekarang tinggal di apartemen barunya. Lokasinya agak lebih jauh dari sekolah dibandingkan dengan apartemennya sebelumnya. Apartemen itu dibeli oleh ibunya untuk memudahkan urusannya setelah menikahi gadis bernama Cerise Park, mengingat Ravi belum lulus SMA.
Tanggal pernikahan sebenarnya belum diputuskan, tetapi tanggal pertunangan mereka sudah ditetapkan dalam waktu dekat. Ravi menyerahkan penentuan tanggal pernikahannya kepada orang tuanya dan orang tua Cerise.
(Bersambung)
Pukul 10.30 malam sudah berlalu. Ravi tiba-tiba merasa tidak enak saat melihat jam. Rasanya ada sesuatu yang penting yang dia lupakan.Ravi segera memeriksa ponselnya, tapi tidak ada pesan baru. Dia tertegun melihat aplikasi obrolan di ponselnya. Nama yang dipasang di bagian atas adalah 'Vanilla Kim'.Dia mulai memikirkan bagaimana Vanilla pulang dari kafe. Dia menerka-nerka apakah Vanilla sudah kembali ke rumahnya atau belum. Walaupun sekarang hanya sebatas teman, dia memutuskan untuk mengirim pesan.***Sekarang sudah pukul 12 malam dan belum ada balasan dari Vanilla untuk pesannya. Di aplikasi tersebut, hanya ada satu centang, yang berarti pesan tersebut belum diterima oleh Vanilla.Ravi merasa bingung apakah Vanilla mematikan ponselnya atau memblokirnya. Namun, yang membuatnya semakin gelisah adalah perasaannya yang merasa tidak enak. Ada firasat bahwa Vanilla tidak berada di rumah atau apartemennya.Pikiran Ravi menjadi kacau. Dia berpikir bahwa seharusnya Vanilla bisa pulang deng
Pameran itu diatur oleh panitia acara yang biasa mengadakan acara semacam itu. Vanilla berusaha untuk memverifikasi pemikirannya dengan mendekati salah satu pengunjung yang antusias."Apa ini fan meeting pertama kali penulis Han?" tanyanya.Penggemar tersebut pun menjawab, "Benar. Awalnya Aithne Han tidak pernah menunjukkan sedikitpun tentang informasi pribadinya. Namun, kali ini ia memulai untuk coba lebih terbuka demi penggemarnya."Vanilla merasa khawatir bahwa penulis tersebut bisa mengalami sesuatu yang buruk. Namun, apakah ada orang lain selain dirinya yang mendengar rencana jahat di ruangan itu? Vanilla sungguh tidak ingin skenario yang baru saja terlintas dalam pikirannya menjadi kenyataan.Dari kejauhan, Vanilla melihat kembali ruangan di mana para pria berpakaian serba hitam itu berada. Sepertinya mereka semua telah pergi."Anda mencari seseorang, Nona?"Vanilla pun berbalik dan menatap ke atas, mencari sumber pertanyaan yang mengusiknya.Rupanya, sang penanya adalah salah sa
Vanilla menangis mendengar kata-kata pria itu. Dia tidak pernah membayangkan bahwa situasi seperti ini bisa terjadi, di mana tubuhnya yang selalu dijaga bisa saja dikotori oleh pria tersebut.Pria itu pun mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Aku akan mempermudah urusan kau dengan kasus itu. Intinya, jangan beritahu siapapun siapa pelaku dari pembunuhan itu, atau aku bisa dengan mudah memperkosamu disini."Pria itu segera melepaskan pegangannya, memberi kesempatan pada Vanilla untuk berbicara. Dengan air mata mengalir di wajahnya, Vanilla mencoba mengajukan pertanyaan kepada pria tersebut."Tapi... bukankah awalnya kalian akan menyekapnya...? Bukan menembaknya dengan senapan...." tutur Vanilla.Vanilla merasa sangat banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa melarikan diri dari situasi ini. Vanilla sudah terjerat dalam tragedi pembunuhan ini."Hahaha, kau masih belum mengerti?! Kaulah penyebabnya!! Penulis itu meninggal lebih awal karena kau... Pembunuhan
"Namanya Cerise Park, guys!!" teriak Sierra kepada kedua sahabatnya sambil memasuki kelas dengan heboh."Cerise?" ucap Vanilla mengulangi nama itu."Anak kelas sebelah, ya?" sela salah satu teman sekelasnya yang menguping pembicaraan mereka."Seirra, kamu pasti cembokir kan, dia deket banget sama Altair di kelas sebelah," sahut teman sekelas lain sambil mengejek. Satu kelas pun ikut riuh dan menyoraki Sierra yang merupakan mantan dari siswa tampan bernama Altair itu."Wah, sayang sekali sang mantan mudah move-on!!" sorak Sovann, yang merupakan anggota ekskul basket Ravi dan Altair. Ia dengan usil ikut menyoraki Sierra yang semakin memeriahkan sorakan kelas.Mendengar komentar tersebut, Sierra menatap tajam semua teman sekelasnya yang mengganggunya. Tanpa berkata apa pun, dia duduk di bangkunya dan memilih untuk tidak peduli.Saat melihat kehebohan di kelas, Ravi justru merasa panas dingin, yang membuatnya menjadi panik.***Sierra nampaknya iri terhadap hubungan dekat antara Altair dan
Akhirnya, bel istirahat sekolah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya menuju kantin. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Altair yang langsung menyapanya.“Hai, nyonya Kim. Waduh, kakimu kenapa tuh?” ucap Altair sambil menanyakan kondisi kaki Vanilla.“Hai juga, Altair,” balas Vanilla yang hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyuman.Dari balik tubuh Altair, muncul siswi baru tersebut. Murid baru itu merasa mengenal cincin merah muda yang ada di jari gadis di depannya.“Tunggu sebentar,” ucapnya. Ia meraih tangan Vanilla untuk memastikan bahwa cincin itu merupakan cincin miliknya.“Ini ‘kan cincin pemberian Ravi untukku kemarin?” tanya Cerise pada gadis yang baru ia jumpai itu. Ia cukup kaget mengapa cincin itu persis dengan cincin yang ia beli. Hal itu terbukti dari ukiran huruf ‘R’ yang ada pada cincin itu.“Kamu bilang apa barusan?” tanya Avery sambil mendekat. Ia merasa salah dengar karena gadis itu menyebut mantan dari sahabatnya tersebut."Ma-maaf, sepertinya aku sal
Bel pulang telah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya saling berpamitan di gerbang sekolah karena arah pulang mereka yang berbeda-beda.Vanilla sebenarnya memiliki rencana untuk singgah di suatu tempat. Dia merasa gelisah, dan merasa bahwa akan lebih sulit bagi dirinya jika hanya diam sendirian di kamar kosnya.“Vanilla,” panggil seseorang dari belakang.Saat Vanilla berbalik, dia kaget mendapati bahwa yang muncul di hadapannya adalah Ravi. Ravi menyempatkan diri untuk bertemu dengan Vanilla sebelum dia pergi ke tempat parkir motor, sambil menunggu kedatangan Cerise.“Vanilla, cincin itu-”“Maaf!” tutur Vanilla dan ia langsung membungkuk.“Cincin ini akan aku kembalikan ke Cerise. Maaf karena aku telah mencurinya!” jelas Vanilla. Ia jelas malu dan tengah menahan tangisan. Tak ia sangka bahwa ternyata ini yang terjadi, jika memungut cincin Cerise.Ravi dan teman-temannya bahkan telah mengetahui situasi tersebut. Yang lebih buruk lagi, kesalahpahaman Ravi menyebabkan dia memberitahu semu
Altair mencoba melihat kondisi Vanilla. Ia tampak seperti menahan kesakitan.“Inilah hal yang aku takutkan terjadi padamu. Kau hancur karena cintamu terhadap Ravi,” ucap Altair.“Bukan hal itu….” jawab Vanilla sambil menangis terisak-isak.Ia pun berusaha melanjutkan, “Aku dikejar… oleh dua orang pria... Tapi aku tidak bisa cerita sekarang….”Vanilla ingat bahwa ia hampir dilecehkan pada waktu itu. Seharusnya ia tidak mengatakan kasus ini kepada siapapun. Masa depannya akan menjadi taruhan.Pria-pria tersebut bisa saja ia temui dimana saja. Ia juga baru ingat bahwa pergerakannya juga dimata-matai. Dirinya bahkan bisa saja berakhir sama persis dengan penulis Aithne Han, atau mungkin lebih buruk.“Astaga, lalu bagaimana?” ucap Altair dengan panik.Mata Vanilla mulai berkunang-kunang. Efek dari lari sejauh itu ternyata separah ini. Lalu, bagaimana caranya aku bisa p
“Ngomong-ngomong kita bakal pulang jam berapa?” tanya Akarsana pada yang lain. “Sekarang masih jam tiga lebih. Kayaknya sampai jam lima, sesuai jam pulang les gua,” sahut Zavier. Semuanya setuju untuk tidak main berlama-lama. Selesai bermain permainan tembak-tembakan, Vanilla sekilas melihat pria yang memakai seluruh baju hitam. Topi itu. Pria baju hitam yang memakai topi khasnya. Matanya terlihat sedang melihatnya. Dengan melihat atributnya saja, Vanilla mengenali bahwa itu adalah pria yang selalu mengikutinya. Kini, Vanilla tidak akan lupa. Vanilla sempat beranggapan bahwa dirinya akan aman, jika bersama dengan yang lain. Nyatanya, kini ia takut kasus yang menjeratnya itu malah berdampak buruk pada yang lain. Vanilla berpikir, masa depan teman-temannya jangan sampai ikut rusak karena kasus yang menimpanya. Melihat semuanya sedang bersenang-senang, ia tidak ingin merusak kebahagiaan teman-temannya itu. “Vanilla?” Vanilla terse