Ilana menghabiskan makan siangnya tanpa tersisa. Setelah bertemu Danish pagi ini, ia menjadi sangat bersemangat. Bahkan,lebih ceria dari biasanya. Kania bengong melihat sahabatnya yang biasanya tidak pernah menghabiskan makan siang. Kini, piring di depannya itu seperti habis dicuci.
“Rahang kamu hampir jatuh,” ujar Ilana seraya menyeka bibirnya dengan elegan.
Kania menutup mulutnya rapat-rapat. Setelah itu ia bertanya kepada Ilana dengan tatapan heran tidak terbendung di matanya. “Ada angin apa, Na? Tumben banget semua makan siang habis?”
“Tadi pagi ketemu Danish,” jawabnya polos.
“Danish?” Kania bertambah kaget. Ia sudah sejak lama mengetahui Ilana memiliki perasaan pada pria itu karena Kania merupakan tempat curhat Ilana. “Bukannya hampir tiap hari ketemu Danish? Sekarang apa bedanya?”
“Aku udah pernah bilang kan kalau aku enggak mau lanjut kuliah S2?”
Kania mengangguk, menunggu penjelasan sahabatnya itu dengan antusias. Sepertinya ia akan mendengar berita yang tidak terduga. Oleh sebab itu, Kania meneguk jus di depannya dalam sekali teguk.
Ilana melanjutkan ucapannya, “Aku mau nikah.”
Hening melanda meja mereka sebelum Kania terbatuk-batuk. Kaget mendengar ucapan Ilana yang terdengar tidak masuk akal. Sorot mata Kania menyiratkan keheranan dan keingintahuan yang dalam. Sejak kapan Ilana memiliki pemikiran seperti itu? Menikah di usianya yang baru saja menginjak 20 tahun? Apakah Kania tidak salah dengar?
Kania menggaruk telinganya, berharap kalau ia salah dengar barusan. Namun, Ilana meraih tangan Kania. Sekali lagi ia berucap agar meyakinkan Kania bahwa apa yang ia ucapkan tadi tidaklah main-main.
“Kamu enggak salah dengar. Kalian sama aja, enggak ada yang percaya sama aku.”
“Gimana mau percaya? Umur kamu baru 20 tahun. 20 tahun Ilana. Mau nikah sama siapa?”
“Sama Danish,” lagi-lagi Ilana menjawab dengan wajah polosnya seakan-akan tidak peduli dengan penderitaan dunia ini.
Ekspresi Kania berubah datar. Ia sangat tahu bagaimana perasaan Ilana pada Danish, dan ia juga tahu bagaimana perlakuan Danish pada Ilana. Kania melihat Danish tidak memiliki perasaan apa pun pada Ilana. Ya, dia mendukung Ilana, tapi untuk menikah? Kania tidak percaya kalau Danish mau menuruti permintaan Ilana.
“Terus Danish udah setuju nikah?”
Dengan polasnya Ilana menggeleng. Kania sudah dapat menduga kalau semua itu hanya angan-angan Ilana saja. Kania menghela napasnya sambil menyandarkan punggungnya.
“Udah ngomong sama Danish?”
Sekali lagi, Ilana menggelengkan kepala dengan lembut. Ia menundukkan kepala, memainkan kuku panjangnya. Ilana tidak tahu apa yang ia ucapkan tentang pernikahan itu merupakan hal yang besar. Setelah ia mengatakan pemikirannya kepada keluarganya, mereka tidak membantah ataupun melarang Ilana. Mungkin mereka tahu kalau Ilana hanya terobsesi sesaat saja.
“Kamu tahu pernikahan itu bukan buat main-main. Pernikahan itu hal yang besar, Ilana. Aku tahu persis perasaan kamu ke Danish, tapi apa kamu tahu perasaan Danish ke kamu? Enggak kan? Walaupun kamu pengen nikah sama Danish, tapi kalau Danish enggak memilih kamu bagaimana?”
“Aku ngerti apa yang kamu maksud. Jadi aku bakal serius ngejar Danish,” kata Ilana dengan percaya diri mendeklarasikan akan mengejar Danish.
🍁🍁🍁
Termenung sendirian di dalam kamarnya. Ilana tengah memikirkan ucapan Kania padanya tadi siang. Kania benar, selama ini Ilana mencintai Danish diam-diam, meski kadang tidak dapat ia sembunyikan. Ilana tidak pernah terang-terangan mengejar Danish. Yang dimaksud dalam hal ini adalah mengejar Danish sebagai seorang pria. Gadis itu bertingkah layaknya adik kecil yang manis dan terkadang manja pada Danish. Ya, Ilana merasa kalau ia bertingkah seperti seorang adik bagi Danish. Jadi mana mungkin Danish mengetahui perasaan Ilana padanya? Perasaan Ilana pada Danish adalah perasaan untuk seorang pria bukan untuk seorang kakak.
Ilana menatap ponselnya berlama-lama, tepatnya ia menatap nomor ponsel Danish. Ia ingin menelepon Danish, tapi tidak punya alasan. Jadi Ilana bolak-balik mengunci dan menghidupkan ponselnya beberapa kali.
“Kalau aku mau nikahin Danish, aku harus terang-terangan ngejar Danish kan? Aku udah putusin enggak melanjutkan kuliah demi belajar jadi Ibu rumah tangga yang baik. Biar nanti Danish enggak kecewa.” Ilana menghela napasnya ketika ucapan Kania lagi-lagi menggema di telinganya.
Merasa gelisah sampai ponselnya terjatuh dari tangannya. Buru-buru Ilana mengambil ponsel berwarna rose gold itu. Sejenak ia mengamati layar yang kini sebuah panggilan terjawab dari nomor Danish. Ilana panik dan hampir menjatuhkan ponselnya. Buru-buru ia menaruh ponsel tersebut di telinganya.
“Ada apa Ilana? Saya bertanya dari tadi. Kalau tidak ada yang penting, saya matikan panggilannya.”
“Tunggu Kak Dan.”
“Saya tunggu,” jawab Danish singkat.
“Kak Dan, ajakan makan malam kemarin masih berlaku enggak?” entah dari mana Ilana tiba-tiba bisa berpikir begitu cepat. Apa lagi pertanyaannya ini terbilang menguntungkan baginya. Tiba-tiba saja ia ingat Danish mengajaknya makan malam untuk menghindari masakannya kemarin.
Hening di seberang telepon. Ilana menjauhkan ponselnya, melihat pada layar tersebut apakah Danish masih di sana atau sudah mematikan teleponnya. Helaan napas pelan keluar dari mulutnya. Ternyata Danish belum mematikan telepon hanya saja pria itu terdiam seolah-olah enggan menjawab Ilana.
Sekali lagi Ilana bertanya, “Masih berlaku enggak? Kita makan malam ya malam ini?”
“Ok. Ketemu di tempat biasa.”
“Eh, Kak—” belum sempat Ilana menyelesaikan ucapannya, tapi telepon itu sudah terputus. Sedikit kesal lantaran Danish tidak akan menjemputnya malam ini. Meskipun demikian, setidaknya Danish mau makan malam bersama Ilana.
🍁🍁🍁
Sudah tiga kali tepatnya Ilana melirik pada jam tangannya. Ia sedang menunggu kedatangan Danish di restoran tempat mereka biasa makan malam. Mereka cukup sering makan malam, bukan hanya berdua saja, melainkan bersama keluarga Ilana juga.
Ilana mengangkat tangannya guna memanggil pelayan. Ia kembali memesan jus untuk kedua kalinya. Jam makan malam sudah lewat lima belas menit, tapi Danish—pria itu belum datang juga. Apakah Danish sengaja setuju lalu membohongi Ilana dengan tidak menepati janjinya? Ilana sebenarnya bukan gadis yang sabar dan hanya akan diam saja ketika disuruh menunggu. Akan tetapi, jika hal itu datang pada Danish, ia akan menunggu dengan sabar.
Gigi Ilana saling berbenturan sehingga menimbulkan bunyi. Ia tampak sudah tidak sabar menunggu Danish. Lantas ia bangkit dari duduknya, melakukan sedikit pergerakan untuk mengurangi rasa bosannya. Menunggu memang hal yang paling membosankan apalagi untuk gadis aktif seperti Ilana.
Beberapa menit kemudian, sosok pria yang ditunggu-tunggu berjalan mendekat. Sosok tinggi, berpenampilan rapi, bersih dan tampan perlahan duduk di depan Ilana.
“Udah lama nunggu? Aku ada urusan yang harus ditangani barusan. Jadi agak telat.”
Agak telat? Dua puluh lima menit Ilana menunggu di sana. Gadis itu tersenyum canggung, sejenak memalingkan muka. Kalau pria itu bukan Danish, mungkin Ilana sudah mengamuk di sana.
Selama makan malam. Ilena tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya ingin ia katakan pada Danish. Danish mengantar Ilana sampai di pintu gerbang rumahnya. Pria itu sudah membuka sabuk pengamannya dan bersiap turun guna membukakan pintu untuk Ilana. Namun, ketika Danish melihat Ilana yang tengah cemberut. Ia langsung mengurungkan niatnya untuk turun.Pandangannya mengarah pada gadis itu. Gelagat Ilana saat ini sedikit gelisah. Pastinya karena ia ingin mengatakan sesuatu pada Danish, tapi tidak tahu cara untuk mengatakannya. Ragu-ragu Ilana melirik Danish, lalu memalingkan tatapannya. Begitu seterusnya, hingga lima menit telah berlalu dan mereka masih berada di dalam mobil.“Kamu mau bilang sesuatu?” Danish akhirnya bersuara.Ilana mengangguk lembut. Menggigit bibirnya seraya mendaratkan tatapannya pada mata Danish. Ia tengah berpikir bagaimana memulai menyampaikan pada Danish, bahwa sebenarnya Ilana ingin mengejar Danish secara terang-terangan.
“Pagi semua.” Ilana dengan penuh semangat menyapa keluarganya di ruang makan. Arion menatap adiknya sampai-sampai berhenti mengunyah sarapan. “Pagi,” balasnya. Ilana segera duduk, tidak lupa melirik Arion lalu tersenyum mengejek. “Buruan kunyah sarapannya, Kak.” “Selamat pagi, Ilana,” ujar kedua orang tuanya. Ibunya mengambil sarapan untuk Ilana lalu menaruh piring di yang sudah berisi telur orak-arik—di depan Ilana. “Kamu semangat sekali pagi ini. Ada kabar gembira?” tanya ibunya. Ilana hanya tersenyum. Setelah itu memasukkan sarapan ke dalam mulutnya. Barulah ia menjawab pertanyaan ibunya, “Cuma senang aja, Ma.” Lantas ia menoleh pada ayahnya. “Pa, gimana kalau malam ini kita undang Kak Danish makan malam?” “Undang Danish?” Ilana buru-buru mengangguk. Entah rencana apa lagi yang ia pikirkan dengan mengundang Danish makan malam. Ia begitu yakin kalau Danish sudah memberikannya harapan untuk mengejarnya. “Oke, n
“Ilana, saya mau bicara serius dengan kamu,” kata Danish. Menatap Ilana dengan mata gelapnya yang terlihat serius.Ilana menajamkan pendengarannya. Matanya terfokus hanya pada wajah Danish. Gadis itu menunggu dengan sabar.“Saya tidak mencintai kamu. Jadi, Ilana, tolong lupakan saja saya,” ujar Danish.Runtuh semua harapan dan penantian Ilana selama ini. Dengan beberapa kata yang Danish ucapkan padanya, berhasil membuat bibir Ilana melengkung ke bawah.Gadis itu masih termangu di depan Danish. Ia seolah tak tahu bagaimana harus menanggapi. Apakah Ilana baru saja mendapatkan penolakan cinta?“Ilana, kamu enggak apa-apa?” Danish masih bisa bertanya, sedangkan hati Ilana sangat hancur sampai tak bisa berkata-kata.Teganya Danish langsung menolak Ilana begitu saja. Pria itu sekarang merasa bersalah karena sudah terlalu jujur pada Ilana.“Ilana, saya—”Ilana tiba-tiba berdiri dan
Ketika Danish beranjak dari ranjang, pecahan momen tadi malam mengusik pikirannya. Ia terduduk di tepi ranjang sembari mengusap wajahnya. Ilana menyebabkan Danish tak bisa tenang, bahkan dalam tidur pun ada Ilana dalam mimpinya.“Ilana seharusnya enggak berkata begitu,” gumam Danish. Ia beranjak dari tepi ranjang menuju kamar mandi. Kalau bisa untuk sementara waktu Danish tidak ingin bertemu Ilana. Semoga saja harapan Danish itu tidak dikecewakan oleh takdir.Setelah ia selesai mandi, mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja—Danish menerima telepon masuk. Ia menoleh pada ponselnya di atas nakas. Ekspresi Danish memperlihatkan keterkejutan yang luar biasa. Raihan—ayah Ilana meneleponnya—sepagi ini.Danish menelan ludah dalam-dalam dan banyak sekali pikiran aneh bermunculan. Tangan Danish menyambar ponsel tersebut menekan ikon hijau lalu menempelkan benda itu ke telinga dan setelahnya terdengar suara Raihan.Danish memohon dalam hatinya; semoga Raihan belum mengetahui percakapannya de
Satu bulan kemudian Danish mendapati hal tak terduga karena Ilana mengikuti wawancara kerja di perusahaannya, dan gadis itu berhasil menempati posisi pegawai magang. Ada tiga orang yang diterima sebagai pegawai magang, dua orang itu akan bekerja sama dengan Ilana.Danish memijat pelipisnya. Setelah sebulan tidak diganggu oleh Ilana, rupanya inilah rencana Ilana. Malam itu sebulan yang lalu Danish sempat merasa sedih, tapi kini rasanya percuma merasa sedih. Danish tahu Ilana sudah menyusun rencana untuk mendekatinya. Lagi.Bagaimanapun juga dia harus berterima kasih pada gadis itu karena memberinya ruang selama satu bulan. Dan rasa pusing menghadapi gadis itu telah hilang.Danish kembali fokus pada pekerjaannya. Setidaknya pegawai magang tidak berhubungan langsung dengan Direktur, jadi Danish tidak mungkin diganggu, ‘kan oleh Ilana? Namun, Danish meragukan hal itu karena Ilana punya banyak cara.Misalnya sekarang gadis itu membawakan kopi ke kantornya. Danish langsung mencari sekretar
Wanita itu mengulurkan tangan ke depan Ilana, sembari memasang senyum ramah. “Kenalin, namaku Vela.”Tanpa berpikir aneh-aneh Ilana menjabat tangan Vela. Meski sebagian karyawan sudah Ilana kenal, tapi wanita di hadapannya ini terlihat asing.Mereka saat ini berada di atap gedung perusahaan tersebut. Padahal masih jam kerja dan seorang karyawan senior membawa anak magang ke atap gedung di jam kerja?“Aku dari divisi perencanaan,” kata Vela, lalu melanjutkan setelah jeda beberapa detik, “katanya kamu sering datang ke perusahaan, bahkan sebelum bekerja di sini?”Ilana sedikit mengernyitkan kening. Hanya wanita ini yang berani bertanya seperti itu padanya. Dengan nada percaya diri Ilana menjawab, “Iya. Aku sering datang ke sini.”Kini gilaran Vela yang mengerutkan1 kening. “Menemui Pak Danish?” Tanpa basa-basi Vela langsung menebak. “Kalau kamu kenalan Pak Danish dan akhirnya bekerja di sini—”Ilana memotong ucapan Vela, “Enggak usah berpikir macam-macam. Aku ke terima di sini kare
Tika dan Gagan pulang lebih dulu, sedangkan Ilana menunggu Arion di depan restoran. Ternyata makan malam dengan orang-orang yang baru dikenalnya itu cukup mengasyikkan. Kalau saja sahabatnya—Kania bisa ikut makan malam. Sayangnya gadis itu mengatakan sudah punya janji.Beberapa saat kemudian mobil Arion berhenti di depan restoran. Ilana segera mengambil langkah menuju mobil Arion, membuka pintu mobil putih itu lalu masuk ke dalam.Arion menatap ke arah Ilana. Mengetahui adiknya langsung bersandar pada sandaran kursi mobil, lelaki itu menggeleng. Arion membantu Ilana memasangkan sabuk pengaman."Kerja di kantor Danish bikin kamu kecapean? Padahal baru hari pertama," ledek Arion. Seketika Arion menerima tatapan jengkel Ilana."Aku kekenyangan tahu! Rekan kerja aku pesan banyak makanan. Kan, sayang kalau enggak habis," balas Ilana.Arion hanya tersenyum menanggapi. Sesekali Arion melirik Ilana sembari mengemudikan mobil. "Kamu enggak merencanakan sesuatu, kan?""Enggak." Ilana menjawab s
Danish membantu wanita itu mengeluarkan belanjaan dari mobil dan menaruh benda itu di depan pintu. Sejak tadi pikirannya terusik oleh pertemuan tanpa sengaja dengan Ilana."Danish, dari tadi kamu diam aja. Apa ada yang menganggu pikiran kamu?" tanya wanita itu.Danish menggeleng pelan lalu membalik badan bersiap menuju mobilnya, tetapi lengannya ditahan oleh tangan wanita itu. Wanita itu enggan membiarkan Danish pergi. Jemari Danish menyentuh tangan wanita itu guna melepaskan genggaman tangan wanita itu di lengannya."Saya harus pulang sekarang.""Apa enggak bisa kita ngobrol sebentar lagi?""Saya sudah menemani kamu sejak tadi sore. Menemani makan malam, bahkan berbelanja. Apa itu enggak cukup?"Wanita itu tanpa berkata lagi akhirnya membiarkan Danish pergi. Jika wanita itu memaksa menahan Danish, sepertinya dia akan dianggap tamak oleh Danish.Danish tidak repot-repot melirik wanita itu yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Sorot mata wanita itu memperlihatkan kekesalan terhad