Share

Chapter 4

 Ilana menghabiskan makan siangnya tanpa tersisa. Setelah bertemu Danish pagi ini, ia menjadi sangat bersemangat. Bahkan,lebih ceria dari biasanya. Kania bengong melihat sahabatnya yang biasanya tidak pernah menghabiskan makan siang. Kini, piring di depannya itu seperti habis dicuci.

 “Rahang kamu hampir jatuh,” ujar Ilana seraya menyeka bibirnya dengan elegan.

 Kania menutup mulutnya rapat-rapat. Setelah itu ia bertanya kepada Ilana dengan tatapan heran tidak terbendung di matanya. “Ada angin apa, Na? Tumben banget semua makan siang habis?”

 “Tadi pagi ketemu Danish,” jawabnya polos.

 “Danish?” Kania bertambah kaget. Ia sudah sejak lama mengetahui Ilana memiliki perasaan pada pria itu karena Kania merupakan tempat curhat Ilana. “Bukannya hampir tiap hari ketemu Danish? Sekarang apa bedanya?”

 “Aku udah pernah bilang kan kalau aku enggak mau lanjut kuliah S2?”

 Kania mengangguk, menunggu penjelasan sahabatnya itu dengan antusias. Sepertinya ia akan mendengar berita yang tidak terduga. Oleh sebab itu, Kania meneguk jus di depannya dalam sekali teguk.

 Ilana melanjutkan ucapannya, “Aku mau nikah.”

 Hening melanda meja mereka sebelum Kania terbatuk-batuk. Kaget mendengar ucapan Ilana yang terdengar tidak masuk akal. Sorot mata Kania menyiratkan keheranan dan keingintahuan yang dalam. Sejak kapan Ilana memiliki pemikiran seperti itu? Menikah di usianya yang baru saja menginjak 20 tahun? Apakah Kania tidak salah dengar?

 Kania menggaruk telinganya, berharap kalau ia salah dengar barusan. Namun, Ilana meraih tangan Kania. Sekali lagi ia berucap agar meyakinkan Kania bahwa apa yang ia ucapkan tadi tidaklah main-main.

 “Kamu enggak salah dengar. Kalian sama aja, enggak ada yang percaya sama aku.”

 “Gimana mau percaya? Umur kamu baru 20 tahun. 20 tahun Ilana. Mau nikah sama siapa?”

 “Sama Danish,” lagi-lagi Ilana menjawab dengan wajah polosnya seakan-akan tidak peduli dengan penderitaan dunia ini.

 Ekspresi Kania berubah datar. Ia sangat tahu bagaimana perasaan Ilana pada Danish, dan ia juga tahu bagaimana perlakuan Danish pada Ilana. Kania melihat Danish tidak memiliki perasaan apa pun pada Ilana. Ya, dia mendukung Ilana, tapi untuk menikah? Kania tidak percaya kalau Danish mau menuruti permintaan Ilana.

 “Terus Danish udah setuju nikah?”

 Dengan polasnya Ilana menggeleng. Kania sudah dapat menduga kalau semua itu hanya angan-angan Ilana saja. Kania menghela napasnya sambil menyandarkan punggungnya.

 “Udah ngomong sama Danish?”

 Sekali lagi, Ilana menggelengkan kepala dengan lembut. Ia menundukkan kepala, memainkan kuku panjangnya. Ilana tidak tahu apa yang ia ucapkan tentang pernikahan itu merupakan hal yang besar. Setelah ia mengatakan pemikirannya kepada keluarganya, mereka tidak membantah ataupun melarang Ilana. Mungkin mereka tahu kalau Ilana hanya terobsesi sesaat saja.

 “Kamu tahu pernikahan itu bukan buat main-main. Pernikahan itu hal yang besar, Ilana. Aku tahu persis perasaan kamu ke Danish, tapi apa kamu tahu perasaan Danish ke kamu? Enggak kan? Walaupun kamu pengen nikah sama Danish, tapi kalau Danish enggak memilih kamu bagaimana?”

 “Aku ngerti apa yang kamu maksud. Jadi aku bakal serius ngejar Danish,” kata Ilana dengan percaya diri mendeklarasikan akan mengejar Danish.

    🍁🍁🍁

 Termenung sendirian di dalam kamarnya. Ilana tengah memikirkan ucapan Kania padanya tadi siang. Kania benar, selama ini Ilana mencintai Danish diam-diam, meski kadang tidak dapat ia sembunyikan. Ilana tidak pernah terang-terangan mengejar Danish. Yang dimaksud dalam hal ini adalah mengejar Danish sebagai seorang pria. Gadis itu bertingkah layaknya adik kecil yang manis dan terkadang manja pada Danish. Ya, Ilana merasa kalau ia bertingkah seperti seorang adik bagi Danish. Jadi mana mungkin Danish mengetahui perasaan Ilana padanya? Perasaan Ilana pada Danish adalah perasaan untuk seorang pria bukan untuk seorang kakak.

 Ilana menatap ponselnya berlama-lama, tepatnya ia menatap nomor ponsel Danish. Ia ingin menelepon Danish, tapi tidak punya alasan. Jadi Ilana bolak-balik mengunci dan menghidupkan ponselnya beberapa kali.

 “Kalau aku mau nikahin Danish, aku harus terang-terangan ngejar Danish kan? Aku udah putusin enggak melanjutkan kuliah demi belajar jadi Ibu rumah tangga yang baik. Biar nanti Danish enggak kecewa.” Ilana menghela napasnya ketika ucapan Kania lagi-lagi menggema di telinganya.

 Merasa gelisah sampai ponselnya terjatuh dari tangannya. Buru-buru Ilana mengambil ponsel berwarna rose gold itu. Sejenak ia mengamati layar yang kini sebuah panggilan terjawab dari nomor Danish. Ilana panik dan hampir menjatuhkan ponselnya. Buru-buru ia menaruh ponsel tersebut di telinganya.

 “Ada apa Ilana? Saya bertanya dari tadi. Kalau tidak ada yang penting, saya matikan panggilannya.”

 “Tunggu Kak Dan.”

 “Saya tunggu,” jawab Danish singkat.

 “Kak Dan, ajakan makan malam kemarin masih berlaku enggak?” entah dari mana Ilana tiba-tiba bisa berpikir begitu cepat. Apa lagi pertanyaannya ini terbilang menguntungkan baginya. Tiba-tiba saja ia ingat Danish mengajaknya makan malam untuk menghindari masakannya kemarin.

 Hening di seberang telepon. Ilana menjauhkan ponselnya, melihat pada layar tersebut apakah Danish masih di sana atau sudah mematikan teleponnya. Helaan napas pelan keluar dari mulutnya. Ternyata Danish belum mematikan telepon hanya saja pria itu terdiam seolah-olah enggan menjawab Ilana.

 Sekali lagi Ilana bertanya, “Masih berlaku enggak? Kita makan malam ya malam ini?”

 “Ok. Ketemu di tempat biasa.”

 “Eh, Kak—” belum sempat Ilana menyelesaikan ucapannya, tapi telepon itu sudah terputus. Sedikit kesal lantaran Danish tidak akan menjemputnya malam ini. Meskipun demikian, setidaknya Danish mau makan malam bersama Ilana.

    🍁🍁🍁

 Sudah tiga kali tepatnya Ilana melirik pada jam tangannya. Ia sedang menunggu kedatangan Danish di restoran tempat mereka biasa makan malam. Mereka cukup sering makan malam, bukan hanya berdua saja, melainkan bersama keluarga Ilana juga.

 Ilana mengangkat tangannya guna memanggil pelayan. Ia kembali memesan jus untuk kedua kalinya. Jam makan malam sudah lewat lima belas menit, tapi Danish—pria itu belum datang juga. Apakah Danish sengaja setuju lalu membohongi Ilana dengan tidak menepati janjinya? Ilana sebenarnya bukan gadis yang sabar dan hanya akan diam saja ketika disuruh menunggu. Akan tetapi, jika hal itu datang pada Danish, ia akan menunggu dengan sabar.

 Gigi Ilana saling berbenturan sehingga menimbulkan bunyi. Ia tampak sudah tidak sabar menunggu Danish. Lantas ia bangkit dari duduknya, melakukan sedikit pergerakan untuk mengurangi rasa bosannya. Menunggu memang hal yang paling membosankan apalagi untuk gadis aktif seperti Ilana.

 Beberapa menit kemudian, sosok pria yang ditunggu-tunggu berjalan mendekat. Sosok tinggi, berpenampilan rapi, bersih dan tampan perlahan duduk di depan Ilana.

 “Udah lama nunggu? Aku ada urusan yang harus ditangani barusan. Jadi agak telat.”

 Agak telat? Dua puluh lima menit Ilana menunggu di sana. Gadis itu tersenyum canggung, sejenak memalingkan muka. Kalau pria itu bukan Danish, mungkin Ilana sudah mengamuk di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status