Pagi ini Danish bersiap-siap pergi ke Danadyaksa Group. Beberapa menit lalu Serena menelepon memberitahu pada Danish kalau ada kerusakan pada sistem web di perusahaan tersebut. Danish sendiri yang merancang website untuk perusahaan ayah Ilana. Jadi, setiap kali ada masalah dengan website pada perusahaan itu, Danish sendiri yang akan pergi ke sana. Danish mendirikan perusahaan IT sejak ia masih kuliah. Pada waktu itu ia bekerja sendiri dan setelah bertemu dengan Raihan—ayah Ilana. Laki-laki itu memberikan investasi pada Danish, sehingga perusahaannya semakin berkembang dalam sepuluh tahun ini.
Danish sudah memiliki ratusan karyawan dan perusahaannya kini sudah semakin besar, hingga ia melebarkan sayapnya ke kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sementara itu, kantor pusat tetap berada di Bali.
Hubungan Danish dan keluarga Danadyaksa sangat akrab. Maka tidak heran jika Ilana lengket pada Danish yang sudah dikenalnya selama sepuluh tahun. Danish mengendarai mobilnya, ia tidak menuju ke perusahaan dan langsung ke Danadyaksa Group. Ia memang seperti itu jika mendapatkan panggilan dari perusahaan ayah Ilana.
Lima belas menit kemudian, ia sampai di Danadyaksa Group. Karyawan IT sudah berdiri di depan perusahaan menunggu kedatangan Danish. Orang itu langsung membawa Danish ke departemen IT.
“Sejak kapan websitenya eror?” tanya Danish pada karyawan yang mengantarnya tersebut—yang tidak lain adalah manajer departemen IT.
“Sejak setengah jam yang lalu,” jawabnya.
Danish mengangguk. Pandangannya fokus pada layar datar di depannya itu. Sementara tangannya dengan cekatan menari di atas keyboard berwarna putih tersebut. Komputer dan juga keyboard pada perusahaan itu didominasi dengan warna putih yang bersih dan tampak sangat rapi. Pengaturan itu ditata oleh Danish sendiri karena Raihan menyerahkan urusan IT kepada Danish, bahkan untuk tata letak komputer juga Danish yang mengatur. Bisa dikatakan Danish memang calon menantu idaman bagi keluarga Danadyaksa.
“Sudah selesai. Sebenarnya tidak ada yang serius hanya saja database sebelumnya terhapus dari server. Untungnya bisa dipulihkan lagi.”
“Terima kasih, Pak Direktur.”
“Lain kali hati-hati agar database jangan sampai terhapus. Hubungi saya kalau terjadi masalah lagi,” ucap Danish seraya mengembangkan senyum yang memperlihatkan lesung pipinya.
Hal itu membuat para karyawan perempuan terkesima, sehingga bola mata mereka terjaga tidak berkedip sedikit pun sampai Danish meninggalkan departemen tersebut.
Seperti biasa, tiap kali berkunjung ke perusahaan Danadyaksa, Danish akan menemui Raihan di kantornya. Raihan adalah orang yang paling dihormati oleh Danish. Apa pun yang dikatakan oleh laki-laki itu akan segera dituruti oleh Danish. Namun, Danish merasa sedikit aneh karena Raihan tidak menyuruhnya menikahi Ilana. Bukannya Danish menginginkan hal itu, hanya saja ia tidak tahu harus berkata apa jika permintaan itu keluar dari mulut Raihan suatu hari nanti.
Apakah ia harus mengikuti permintaan itu atau menolak? Beruntung saja belum ada tanda-tanda permintaan itu akan keluar dari mulut Raihan, seperti yang diharapkan oleh Danish.
“Selamat pagi, Direktur.” Danish menyapa Raihan yang tengah membaca dokumen.
Pria itu menampilkan senyum seperti biasa. Lantas menyuruh Danish duduk di sofa dalam kantornya.
“Kamu tidak kesulitan, ‘kan? Kenapa harus kamu sendiri yang datang Dan? Kan, bisa suruh bawahan kamu,” ujar Raihan saat ia bangkit dari kursinya lalu berkata ke arah sofa. Ia duduk di seberang Danish.
“Saya senang bisa membantu Direktur. Kalau saya bisa sendiri kenapa harus menyuruh orang lain? Itu merupakan kewajiban saya.”
Kewajiban? Sontak Raihan memberikan tatapan bingung pada Danish. Kewajiban apa yang Danish bicarakan? Sudut bibir pria itu terangkat ke atas. Memiliki ide untuk menggoda Danish dalam pikirannya. “Kewajiban yang kamu maksud itu, apa kewajiban sebagai menantu?”
“Uhuk!” Danish terbatuk—memalingkan wajahnya. Menantu? Ia tidak bermaksud kewajiban seperti itu. Namun, pertanyaan Raihan telah membuat wajah Danish bersemu merah, sehingga merasa wajahnya seperti terbakar. Mengapa ia seperti itu? Lantas buru-buru Danish menyanggah, “Bukan, bukan seperti itu—”
“Kalian lagi ngomongin apa?”
Suara manis itu tiba-tiba menyela dari ambang pintu yang terbuka. Sontak kedua pasang mata itu mengarahkan pandangan mereka bersamaan. Ilana menampilkan senyum tidak bersalahnya. Seolah-olah menyela pembicaraan dan membuka pintu tanpa izin adalah benar baginya.
“Ilana, harusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk,” ujar Raihan.
“Aku, kan, masuk ke kantor Papa. Apa masih perlu ketuk pintu?”
“Papa ada tamu, sayang.”
“Iya. Ilana salah. Ilana minta maaf.”
Ilana segera menutup pintu. Bukan karena ia marah atau kecewa. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh ayahnya tadi bahwa, ia harus mengetuk pintu sebelum masuk. Jadi Ilana mempraktikkan apa yang ayahnya katakan.
Suara ketukan pada pintu itu pun terdengar. Kedua orang di dalam ruangan tersebut menatap heran ke arah pintu. Danish tiba-tiba cekikikan, tapi dengan cepat ia menutup mulutnya. Ia merasa kalau Ilana sangat lucu hari ini. Ataukah memang Ilana lucu setiap harinya?
“Masuk,” ujar Raihan sambil menahan tawa.
Setelah Ilana membuka pintu, ekspresi Raihan dan Danish kembali seperti biasa. Dengan begitu cepat mereka melenyapkan tawa yang tertahan tadi.
Ilana bergegas duduk di sebelah ayahnya. Memang tidak salah tebakannya pagi ini kalau ia pasti akan bertemu Danish di perusahaan ayahnya. Pagi-pagi sekali Ilana sudah bersiap-siap karena mimpinya semalam. Ia bermimpi bertemu Danish di perusahaan ayahnya. Jadi Ilana bertaruh pada dirinya sendiri. Benar saja mimpinya menjadi kenyataan pagi ini.
“Kak Dan, pagi-pagi udah di sini. Ada urusan apa?”
“Memperbaiki website,” jawab Danish seperlunya.
Ilana mengangguk—mengerti—jawaban Danish memang akan seperlunya saja jika berada di perusahaan.
“Kamu sendiri pagi-pagi sudah ke kantor Papa, mau ngapain?” suara ayahnya mengagetkan Ilana.
Seketika ia mengarahkan tatapan pada ayahnya. Dengan senyum canggung Ilana berdalih, “Ilana pengen jalan-jalan.”
“Jalan-jalan sepagi ini?”
“Pa, Ilana bosan di rumah. Jadi ikut Kak Arion ke sini.” Buru-buru Ilana memalingkan wajah dan tidak sengaja tatapannya bertemu dengan tatapan Danish.
Merasakan kalau putrinya terus memandangi Danish, Raihan berdehem. Setelah itu Danish berdiri. Ia merasa sudah cukup lama berada di sana. Lagi pula Ilana juga ada di kantor yang sama. Danish sedikit merasa bersalah pada Ilana karena makan malam yang Ilana buat tadi malam, ia tolak mentah-mentah. Akan tetapi, Danish tetap menghabiskan makan malam itu tanpa diketahui Ilana.
“Direktur, saya harus kembali ke kantor sekarang.”
Raihan memberikan anggukan laku berdiri. “Lain kali sempatkan waktu untuk makan malam bersama.”
“Tentu.”
Tidak berlama-lama Danish langsung keluar dari kantor Raihan. Sementara itu, Ilana hanya menatap kepergian Danish. Ia pun beranjak dari duduknya lalu berjalan ke pintu. Namun, suara ayahnya mengagetkan Ilana, “Kamu mau ke mana, Na?”
“Ilana lupa. Ilana ada perlu, Pa. Bye-bye, Pa.”
Gegas Ilana keluar dan mengejar Danish yang belum jauh.
🍁🍁🍁
Ilana mengajak Danish membeli sarapan. Gadis itu tahu kalau Danish belum sarapan karena pagi-pagi sudah berada di kantor ayahnya. Namun, Danish membungkus sarapannya untuk dibawa ke kantor dengan alasan ia sudah sangat siang. Ilana juga ikut ke kantor Danish.
Sudah bukan hal yang mengherankan lagi kalau Ilana sering keluar masuk kantor Danish. Bahkan, para karyawan sudah berpikiran kalau Ilana akan menjadi nyonya bos mereka. Gadis itu sangat lengket hanya pada Danish seorang.
Ilana tidak membiarkan Danish membuka sarapannya sendiri. Ia melakukan hal itu karena suka merawat Danish.
“Mau aku suapin enggak?” Ilana terkekeh ketika ia menjulurkan tangannya yang sudah memegang sendok.
Tatapan Danish mendarat pada sendok tersebut, lalu berpaling pada Ilana. Ia berkata dengan tegas, “Tidak usah. Kamu makan sarapan kamu aja.”
Namun, Ilana tidak mau memberikan sendok tersebut pada Danish. Ia bersikeras ingin menyuapi Danish. Melihat kekeraskepalaan Ilana, akhirnya Danish menyerah dan memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Para karyawan yang tengah mengintip padangan mereka senantiasa tidak lepas dari Ilana dan Danish. Sampai Danish mengetahui keberadaan mereka yang sedang mengintip—tatapan menghunus mendarat pada mereka.
Esok paginya Ilana dijemput oleh Danish. Saking semangatnya, Ilana bahkan tidak sarapan. Dia berpamitan pada orang tuanya lalu langsung masuk ke mobil Danish. Meski kantor Ilana dan kantor Danish berlawanan arah, tetapi tak masalah bagi Danish.Hubungan mereka baru saja berjalan, Danish ingin berpacaran seperti pasangan kekasih pada umumnya. Salah satunya mengantar kekasihnya ke kantor."Kamu buru-buru keluar rumah, jangan bilang kamu belum sarapan," tebak Danish.Ilana tersipu dan menjawab, "Karena kamu bilang bakal jemput aku, jadinya aku terlalu bersemangat. Kamu beliin aku sarapan, oke?""Udah saya duga. Lihat ke bekalang. Saya udah beli sarapan untuk kita," ujar Danish.Ilana pun menengok ke belakang, melihat ada dua kotak yang berisi sarapan. Danish sebetulnya sangat perhatian, hanya sajabaru sekarang dapat ia lakukan."Makasih, Kak Danish."Danish sekilas memalingkan muka begitu mendengar sebutan yang akrab di telinganya. Simpul senyumnya tak bisa dia tutupi."Udah lama banget
"Adik kamu belum pulang juga?" Raihan bertanya pada Arion ketika sudah tiba di rumah. Kania dan Arion saling menatap karena seharian ini mereka tak melihat Ilana.Arion menggeleng, balik bertanya, "Emangnya Ilana pergi ke mana? Dia enggak telepon?""Papa sudah hubungi berkali-kali, tapi ponselnya enggak aktif." Sejak tadi Raihan sudah menghubungi nomor ponsel Ilana, tapi panggilan tersebut tidak tersambung. Sekarang sudah pukul 10 malam dan Ilana pergi sejak pagi, tentu saja Raihan dan Oke khawatir."Papa enggak coba hubungi Danish? Siapa tahu sekarang mereka lagi bersama," dengan santai Arion berkata. "Pa, aku ke kamar dulu. Biar aku yang hubungi Danish kalau Papa enggak mau." Arion segera menuju ke kamarnya. Sedangkan Kania sudah pergi lebih dulu.Di luar kamarnya, Arion menghubungi Danish melalui telepon. Dia berharap agar tak terjadi apa pun pada Ilana. Pasalnya Ilana tak memberi kabar ke rumah."Halo, Pak Danish," Arion segera berucap dan bertanya, "saya mau tahu apa Ilana sedang
Alih-alih mengantar Ilana pulang, Danish mengajak Ilana ke rumahnya sore itu. Jika dulu Ilana akan sangat senang, sekarang ekspresinya mengatakan sebuah penolakan."Kamu enggak suka saya ajak ke rumah?" tanya Danish."Ya, lagian ngapain, sih, ngajak aku ke rumah kamu?" Ilana membalas dengan pertanyaan. Meski begitu Ilana melangkah ke depan pintu, menekan tombol sandi yang ternyata—sandi tersebut masih sama seperti dulu. Danish tak sekalipun menggantinya.Ilana menoleh pada Danish di belakangnya memberikan tatapan yang tak dimengerti oleh Danish."Saya cuma malas aja ganti password," kata Danish. Dia mempersilakan Ilana masuk lebih dulu."Aku lapar," ujar Ilana menoleh pada Danish dan tiba-tiba tersenyum, "kamu harus masak makanan yang enak buat aku."Danish membalas dengan senyum. Dihampirinya Ilana lalu mendekatkan wajahnya dan seketika wajah Ilana merona. Danish sedang menggodanya saat ini?Ternyata pria itu sudah menahan keinginannya terlalu lama dan kini tak sungkan lagi mengecup
Menikmati keindahan pantai menjadi suatu hal yang menarik perhatian Ilana belakangan ini. Selain dapat menghilangkan penat akan kesehariannya yang sibuk.Meski sudah mengetahui kesalahpahaman tersebut, dia tak menghubungi Danish. Bukan karena tak ada rasa, melainkan Ilana menunggu Danish mengambil inisiatif.Pagi itu di Pantai Nyang Nyang Uluwatu, Ilana merentangkan kedua tangannya ketika angin pantai menyambut lembut. Suara ombak kecil terdengar menenangkan di telinganya. Saat ini pantai masih sepi, Ilana menikmati keindahan itu, berlari kecil ke tepi pantai dan kakinya menyentuh air.Seorang pria mengenakan busana santai melangkah mendekat ke tepi pantai. Kedatangan pria itu tertangkap oleh netra Ilana."Gimana dia bisa tahu aku ada di sini?"Ilana merasa kebingungan karena hanya ada dirinya dan pria itu di pantai. Suasana akan menjadi canggung begitu mereka berpapasan nanti.Tak lama kemudian pria itu sudah berdiri di depan Ilana. Seulas senyum terpasang di wajah tampannya. Jujur s
"Kenapa buru-buru Ilana?" Raihan yang duduk di kursi kerja bertanya penasaran.Arion dan Kania menyusul di belakang Ilana, sontak Raihan menjadi sangat terkejut."Ada apa ini?" Laki-laki itu segera berdiri."Gini, Pa, aku sama Kania enggak sengaja—”"Cukup!" potong Ilana, tanpa menoleh pada kakaknya, dia berucap lagi, "aku mau ngomong sama Papa. Kakak sebaiknya ngasih aku ruang."Arion dan Kania mengangguk. Mereka merasa bersalah karena tak hati-hati saat berbicara. Arion menutup pintu ruang kerja ayahnya. Kini ruang kerja itu sunyi karena Ilana belum mengutarakan maksudnya."Duduk, Na."Setelah keduanya duduk, Ilana menatap dalam pada ayahnya. Raihan belum pernah menerima tatapan ini dari Ilana. Raut mukanya sedikit khawatir."Pa, tolong jelasin sama aku," kata Ilana."Apa yang ingin kamu dengar?""Papa punya masalah apa sama Danish 5 tahun lalu? Aku pengen Papa jawab jujur!"Suasana di ruangan itu menjadi sedikit tegang. Keingintahuan Ilana adalah rahasia yang disimpan oleh Raihan.
"Ilana!" Tiba-tiba Erna berseru dan segera memeluk Ilana. Tentu saja setelah acara pernikahannya selesai.Ilana menjadi sedikit canggung. "Bu Erna, tolong jangan meluk erat-erat, aku enggak bisa napas," kata Ilana. Oleh karena itu, Erna dengan segera melepaskan Ilana."Aduh, maaf. Habisnya aku senang sekali bisa bertemu Ilana lagi," timpal Erna."Selamat atas pernikahan Ibu," ujar Ilana. Kemudian pandangannya teralih pada Farrel, "Kak Farrel membuat aku tercengang, tapi aku sangat bahagia karena akhirnya kalian bersama."Farrel berdiri di samping Ilana, tetapi matanya mengarah pada Danish. "Ehem. Terus gimana sama kamu?"Kening Ilana mengkerut serta kedua alisnya bertautan. Sepertinya tak suka akan pertanyaan Farrel. Kalau saja hari ini bukan hari bahagia Farrel, maka Ilana akan benar-benar memukul lelaki itu."Ya, udah deh. Aku enggak akan bertanya. Makasih banget kamu udah mau datang di hari bahagiaku," ucap Farrel lagi.Kemudian Farrel dan Erna menyalami para tamu yang tengah berpa
Arion dan Kania telah turun dari mobil mereka, sedangkan Ilana masih mengatur pernapasannya. Entah mengapa jantungnya berdebar kencang padahal bukan dia yang akan menikah, tetapi dia menjadi canggung."Ilana ayo buruan turun. Acaranya udah mau mulai," ujar Arion.Farrel mengadakan pernikahannya di sebuah hotel mewah dengan pemandangan outdoor pantai. Para tamu sudah mulai berdatangan sejak tadi. Kebanyakan dari mereka datang bersama pasangan.Ketika melihat itu Ilana jadi berkecil hati karena dia tak membawa pasangan. Dia turun perlahan dari mobil dibantu oleh Arion. Dan setelah itu Arion menggandeng Kania, sedangkan Ilana berjalan di samping mereka.Mereka menunjukkan kartu undangan kepada staf yang bertugas dan mempersilakan mereka untuk masuk. Ilana terpukau melihat dekorasi indoor aula pernikahan, yang langsung memperlihatkan dekorasi outdoor di balik dinding kaca—yang terlihat mewah.Tanpa berkata apa pun pada kakaknya, Ilana melangkah melewati pintu kaca yang lebar itu, seketika
"Bu, ada surat undangan untuk Ibu," kata salah satu staf kepada Ilana.Ilana mendongak, lalu meraih surat undangan di tangan staf wanita itu. "Terima kasih."Ketika Ilana membaca nama yang tertera di surat undangan tersebut, matanya melebar tak percaya. Sudah lama sekali dia tak bertemu Farrel dan sekarang pria itu akan menikah dengan Erna yang membuat Ilana semakin tak percaya."Dulu pas aku muji Bu Erna, Farrel enggak mau dengar. Nah, sekarang mereka bakal nikah." Ilana tertawa di balik surat undangan pernikahan itu.Detik berikutnya tawanya menghilang karena Farrel mengingatkannya pada seseorang. Tangan Ilana spontan meletakkan kartu undangan tersebut. "Apa dia juga bakal datang?" Dengan cepat Ilana menghempaskan pikirannya tentang lelaki itu.***Mengingat hari pernikahan Farrel seminggu lagi, Ilana dan Kania pergi ke butik langganan mereka. Memilih gaun yang tepat dan pas bukan hal mudah ternyata. Ilana sudah mencoba 5 gaun, tetapi masih merasa tak sesuai. Sementara Kania sudah m
5 Tahun kemudian ....Banyak hal telah terjadi dalam 5 tahun terkahir. Ilana menyelesaikan kuliah S2-nya dua tahun lalu, dan dia langsung bergabung dengan perusahaan ayahnya. Tentunya Ilana memulai dari karyawan biasa sampai membawanya pada jabatan manajer. Sementara Arion adalah penerus ayahnya, dia kini menjabat sebagai Vice Presiden Director.Selain bekerja, Ilana juga menghabiskan waktunya berjalan-jalan—kapan pun dia mendapatkan waktu—menikmati masa mudanya, sendirian ataupun bersama sahabatnya. Oh, ya, siapa yang menduga kalau Kania dan Arion menjalin hubungan sejak 3 tahun lalu? Dan mereka pun melangsungkan pernikahan tak lama setelah menjalin kasih. Mereka juga dikarunia seorang anak perempuan yang sangat manis.Pagi itu, tak seperti biasanya Ilana bangun kesiangan akibat menonton film sampai dini hari. Jadi, sekarang ini dia terburu-buru, menenteng tasnya sambil mengenakan sepatu hak tingginya."Ma, Pa, Kak Arion udah berangkat?" tanya Ilana sesampainya di ruang makan. "Aduh p