Share

Chapter 3

 Pagi ini Danish bersiap-siap pergi ke Danadyaksa Group. Beberapa menit lalu Serena menelepon memberitahu pada Danish kalau ada kerusakan pada sistem web di perusahaan tersebut. Danish sendiri yang merancang website untuk perusahaan ayah Ilana. Jadi, setiap kali ada masalah dengan website pada perusahaan itu, Danish sendiri yang akan pergi ke sana. Danish mendirikan perusahaan IT sejak ia masih kuliah. Pada waktu itu ia bekerja sendiri dan setelah bertemu dengan Raihan—ayah Ilana. Laki-laki itu memberikan investasi pada Danish, sehingga perusahaannya semakin berkembang dalam sepuluh tahun ini.

 Danish sudah memiliki ratusan karyawan dan perusahaannya kini sudah semakin besar, hingga ia melebarkan sayapnya ke kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sementara itu, kantor pusat tetap berada di Bali.

 Hubungan Danish dan keluarga Danadyaksa sangat akrab. Maka tidak heran jika Ilana lengket pada Danish yang sudah dikenalnya selama sepuluh tahun. Danish mengendarai mobilnya, ia tidak menuju ke perusahaan dan langsung ke Danadyaksa Group. Ia memang seperti itu jika mendapatkan panggilan dari perusahaan ayah Ilana.

 Lima belas menit kemudian, ia sampai di Danadyaksa Group. Karyawan IT sudah berdiri di depan perusahaan menunggu kedatangan Danish. Orang itu langsung membawa Danish ke departemen IT.

 “Sejak kapan websitenya eror?” tanya Danish pada karyawan yang mengantarnya tersebut—yang tidak lain adalah manajer departemen IT.

 “Sejak setengah jam yang lalu,” jawabnya.

 Danish mengangguk. Pandangannya fokus pada layar datar di depannya itu. Sementara tangannya dengan cekatan menari di atas keyboard berwarna putih tersebut. Komputer dan juga keyboard pada perusahaan itu didominasi dengan warna putih yang bersih dan tampak sangat rapi. Pengaturan itu ditata oleh Danish sendiri karena Raihan menyerahkan urusan IT kepada Danish, bahkan untuk tata letak komputer juga Danish yang mengatur. Bisa dikatakan Danish memang calon menantu idaman bagi keluarga Danadyaksa.

 “Sudah selesai. Sebenarnya tidak ada yang serius hanya saja database sebelumnya terhapus dari server. Untungnya bisa dipulihkan lagi.”

 “Terima kasih, Pak Direktur.”

 “Lain kali hati-hati agar database jangan sampai terhapus. Hubungi saya kalau terjadi masalah lagi,” ucap Danish seraya mengembangkan senyum yang memperlihatkan lesung pipinya.

 Hal itu membuat para karyawan perempuan terkesima, sehingga bola mata mereka terjaga tidak berkedip sedikit pun sampai Danish meninggalkan departemen tersebut.

 Seperti biasa, tiap kali berkunjung ke perusahaan Danadyaksa, Danish akan menemui Raihan di kantornya. Raihan adalah orang yang paling dihormati oleh Danish. Apa pun yang dikatakan oleh laki-laki itu akan segera dituruti oleh Danish. Namun, Danish merasa sedikit aneh karena Raihan tidak menyuruhnya menikahi Ilana. Bukannya Danish menginginkan hal itu, hanya saja ia tidak tahu harus berkata apa jika permintaan itu keluar dari mulut Raihan suatu hari nanti.

 Apakah ia harus mengikuti permintaan itu atau menolak? Beruntung saja belum ada tanda-tanda permintaan itu akan keluar dari mulut Raihan, seperti yang diharapkan oleh Danish.

 “Selamat pagi, Direktur.” Danish menyapa Raihan yang tengah membaca dokumen.

 Pria itu menampilkan senyum seperti biasa. Lantas menyuruh Danish duduk di sofa dalam kantornya.

 “Kamu tidak kesulitan, ‘kan? Kenapa harus kamu sendiri yang datang Dan? Kan, bisa suruh bawahan kamu,” ujar Raihan saat ia bangkit dari kursinya lalu berkata ke arah sofa. Ia duduk di seberang Danish.

 “Saya senang bisa membantu Direktur. Kalau saya bisa sendiri kenapa harus menyuruh orang lain? Itu merupakan kewajiban saya.”

 Kewajiban? Sontak Raihan memberikan tatapan bingung pada Danish. Kewajiban apa yang Danish bicarakan? Sudut bibir pria itu terangkat ke atas. Memiliki ide untuk menggoda Danish dalam pikirannya. “Kewajiban yang kamu maksud itu, apa kewajiban sebagai menantu?”

 “Uhuk!” Danish terbatuk—memalingkan wajahnya. Menantu? Ia tidak bermaksud kewajiban seperti itu. Namun, pertanyaan Raihan telah membuat wajah Danish bersemu merah, sehingga merasa wajahnya seperti terbakar. Mengapa ia seperti itu? Lantas buru-buru Danish menyanggah, “Bukan, bukan seperti itu—”

 “Kalian lagi ngomongin apa?”

 Suara manis itu tiba-tiba menyela dari ambang pintu yang terbuka. Sontak kedua pasang mata itu mengarahkan pandangan mereka bersamaan. Ilana menampilkan senyum tidak bersalahnya. Seolah-olah menyela pembicaraan dan membuka pintu tanpa izin adalah benar baginya.

 “Ilana, harusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum masuk,” ujar Raihan.

 “Aku, kan, masuk ke kantor Papa. Apa masih perlu ketuk pintu?”

 “Papa ada tamu, sayang.”

 “Iya. Ilana salah. Ilana minta maaf.”

 Ilana segera menutup pintu. Bukan karena ia marah atau kecewa. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh ayahnya tadi bahwa, ia harus mengetuk pintu sebelum masuk. Jadi Ilana mempraktikkan apa yang ayahnya katakan.

 Suara ketukan pada pintu itu pun terdengar. Kedua orang di dalam ruangan tersebut menatap heran ke arah pintu. Danish tiba-tiba cekikikan, tapi dengan cepat ia menutup mulutnya. Ia merasa kalau Ilana sangat lucu hari ini. Ataukah memang Ilana lucu setiap harinya?

 “Masuk,” ujar Raihan sambil menahan tawa.

 Setelah Ilana membuka pintu, ekspresi Raihan dan Danish kembali seperti biasa. Dengan begitu cepat mereka melenyapkan tawa yang tertahan tadi.

 Ilana bergegas duduk di sebelah ayahnya. Memang tidak salah tebakannya pagi ini kalau ia pasti akan bertemu Danish di perusahaan ayahnya. Pagi-pagi sekali Ilana sudah bersiap-siap karena mimpinya semalam. Ia bermimpi bertemu Danish di perusahaan ayahnya. Jadi Ilana bertaruh pada dirinya sendiri. Benar saja mimpinya menjadi kenyataan pagi ini.

 “Kak Dan, pagi-pagi udah di sini. Ada urusan apa?”

 “Memperbaiki website,” jawab Danish seperlunya.

 Ilana mengangguk—mengerti—jawaban Danish memang akan seperlunya saja jika berada di perusahaan.

 “Kamu sendiri pagi-pagi sudah ke kantor Papa, mau ngapain?” suara ayahnya mengagetkan Ilana.

 Seketika ia mengarahkan tatapan pada ayahnya. Dengan senyum canggung Ilana berdalih, “Ilana pengen jalan-jalan.”

 “Jalan-jalan sepagi ini?”

 “Pa, Ilana bosan di rumah. Jadi ikut Kak Arion ke sini.” Buru-buru Ilana memalingkan wajah dan tidak sengaja tatapannya bertemu dengan tatapan Danish.

 Merasakan kalau putrinya terus memandangi Danish, Raihan berdehem. Setelah itu Danish berdiri. Ia merasa sudah cukup lama berada di sana. Lagi pula Ilana juga ada di kantor yang sama. Danish sedikit merasa bersalah pada Ilana karena makan malam yang Ilana buat tadi malam, ia tolak mentah-mentah. Akan tetapi, Danish tetap menghabiskan makan malam itu tanpa diketahui Ilana.

 “Direktur, saya harus kembali ke kantor sekarang.”

 Raihan memberikan anggukan laku berdiri. “Lain kali sempatkan waktu untuk makan malam bersama.”

 “Tentu.”

 Tidak berlama-lama Danish langsung keluar dari kantor Raihan. Sementara itu, Ilana hanya menatap kepergian Danish. Ia pun beranjak dari duduknya lalu berjalan ke pintu. Namun, suara ayahnya mengagetkan Ilana, “Kamu mau ke mana, Na?”

 “Ilana lupa. Ilana ada perlu, Pa. Bye-bye, Pa.”

 Gegas Ilana keluar dan mengejar Danish yang belum jauh.

    🍁🍁🍁

 Ilana mengajak Danish membeli sarapan. Gadis itu tahu kalau Danish belum sarapan karena pagi-pagi sudah berada di kantor ayahnya. Namun, Danish membungkus sarapannya untuk dibawa ke kantor dengan alasan ia sudah sangat siang. Ilana juga ikut ke kantor Danish.

 Sudah bukan hal yang mengherankan lagi kalau Ilana sering keluar masuk kantor Danish. Bahkan, para karyawan sudah berpikiran kalau Ilana akan menjadi nyonya bos mereka. Gadis itu sangat lengket hanya pada Danish seorang.

 Ilana tidak membiarkan Danish membuka sarapannya sendiri. Ia melakukan hal itu karena suka merawat Danish.

 “Mau aku suapin enggak?” Ilana terkekeh ketika ia menjulurkan tangannya yang sudah memegang sendok.

 Tatapan Danish mendarat pada sendok tersebut, lalu berpaling pada Ilana. Ia berkata dengan tegas, “Tidak usah. Kamu makan sarapan kamu aja.”

 Namun, Ilana tidak mau memberikan sendok tersebut pada Danish. Ia bersikeras ingin menyuapi Danish. Melihat kekeraskepalaan Ilana, akhirnya Danish menyerah dan memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.

 Para karyawan yang tengah mengintip padangan mereka senantiasa tidak lepas dari Ilana dan Danish. Sampai Danish mengetahui keberadaan mereka yang sedang mengintip—tatapan menghunus mendarat pada mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status