Share

Chapter 5

 Selama makan malam. Ilena tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya ingin ia katakan pada Danish. Danish mengantar Ilana sampai di pintu gerbang rumahnya. Pria itu sudah membuka sabuk pengamannya dan bersiap turun guna membukakan pintu untuk Ilana. Namun, ketika Danish melihat Ilana yang tengah cemberut. Ia langsung mengurungkan niatnya untuk turun.

 Pandangannya mengarah pada gadis itu. Gelagat Ilana saat ini sedikit gelisah. Pastinya karena ia ingin mengatakan sesuatu pada Danish, tapi tidak tahu cara untuk mengatakannya. Ragu-ragu Ilana melirik Danish, lalu memalingkan tatapannya. Begitu seterusnya, hingga lima menit telah berlalu dan mereka masih berada di dalam mobil.

 “Kamu mau bilang sesuatu?” Danish akhirnya bersuara.

 Ilana mengangguk lembut. Menggigit bibirnya seraya mendaratkan tatapannya pada mata Danish. Ia tengah berpikir bagaimana memulai menyampaikan pada Danish, bahwa sebenarnya Ilana ingin mengejar Danish secara terang-terangan. Bahkan, ingin menikah dengan pria itu.

 Jika Ilana mengatakan itu pada Danish, apakah Danish akan terkejut dan langsung mengusirnya? Sebelumnya Ilana tidak pernah memikirkan bagaimana reaksi Danish jika berkata ingin menikahi Danish. Mengatakan hal itu pada Danish lebih sulit daripada mengatakan pada keluarga. Saat ini Ilana lebih memilih masuk ke kandang harimau daripada harus mengatakan hal itu pada Danish.

 Setelah berbicara dengan Kania hari ini, Ilana menjadi sadar bahwa, selama ini perasaannya pada Danish hanya sepihak. Memikirkan hal itu membuat Ilana tidak bertenaga.

 “Kenapa bengong?”

 Suara Danish menyadarkan Ilana. Buru-buru ia memalingkan wajahnya. Melepas sabuk pengaman lalu turun dari mobil. Danish mengerutkan kening, keheranan melihat tingkah Ilana. Merasa bahwa Ilana gagal fokus selama makan malam tadi, lalu ia turun mengejar Ilana.

 “Ilana,” panggilnya.

 Sontak Ilana menoleh.

 Danish berjalan mendekat. Ia tidak tahu ada apa dengan Ilana. Jadi Danish berpikir mungkin saja Ilana sakit. Ia menaruh tangannya di kening Ilana. “Tidak panas,” gumamnya.

 Di sisi Ilana, wajahnya terasa panas berkat perlakuan Danish. Ia menjilat bibirnya sendiri, napasnya semakin memburu dan entah dari mana datangnya keberanian gadis itu. Ilana berjinjit agar tingginya menyamai Danish. Ia tidak tahu apakah tindakannya sebentar lagi akan membawanya pada penyesalan atau tidak. Yang jelas hati Ilana tergerak untuk mengecup pipi Danish.

 Kecupan itu sangat singkat. Jika dihitung mungkin hanya satu detik. Debaran jantung Ilana membuat dirinya tidak canggung. Danish tertegun dengan kecupan itu. Ia menatap Ilana dengan mata sepenuhnya terbuka, serta kening yang terlipat menandakan ia heran dengan tingkah Ilana.

 Dalam kecanggungannya, Ilana bertambah gugup. Harusnya tidak begini. Ia mengambil tindakan impulsif hanya karena dukungan hatinya. Danish pasti akan menganggapnya gadis tidak baik karena mencium laki-laki begitu saja. Bibir Ilana bergerak-gerak ingin menjelaskan pada Danish, tapi mau menjelaskan apa?

 Sekalian saja Ilana mengungkapkan keinginannya yang tidak bisa ia katakan sebelumnya. “Kak Danish,” tatapannya tidak lepas dari wajah Danish.

 Danish menaikkan sebelah alisnya. Masih dalam keadaan terkejut dan tidak tahu harus mengatakan apa pada gadis itu, karena Ilana sudah berinisiatif untuk berbicara, Danish pikir gadis itu akan menjelaskan. Namun, ia tidak pernah menduga akan mendengar hal ini dari Ilana.

 “Aku mau mengejar Kak Danish, karena … karena ….” Ilana salah tingkah. Menundukkan kepalanya sambil menggigit bibir. Setelah itu kembali mendongak, “Kak Danish pasti mengerti maksud aku kan? Aku udah dewasa, dan … dan—”

 “Saya mengerti,” balas Danish yang membuat Ilana bungkam. “Tapi Ilana, kamu baru berusia 20 tahun, sedangkan umur kita terpaut 10 tahun. Apa kamu enggak masalah?”

 Ilana cepat-cepat menggeleng, menyiratkan kalau perbedaan umur mereka tidak jadi masalah untuk Ilana karena ia sangat menyukai Danish. Ilana tersenyum senang, mengira kalau Danish sudah setuju dikejar olehnya.

 “Jadi aku boleh kejar Kak Danish?” Ilana bertanya terus terang.

 “Kamu boleh mengejar siapa pun karena kamu punya hak untuk itu,” ucap Danish.

 Ucapan Danish tampaknya membuat Ilana bingung. “Maksud Kak Danish?”

 Danish menampilkan wajah datar, laku berbalik menuju mobilnya. Ia tidak memberikan jawaban yang pasti untuk Ilana. Jadi apakah Ilana boleh mengejar Danish atau tidak?

    🍁🍁🍁

 Merasa gelisah tidak berdaya, Ilana mondar-mandir di kamarnya. Bukan hanya itu saja, tapi ia juga melompat-lompat. Bukan karena ia merasa senang, melainkan merasa dirinya bodoh telah mengungkapkan perasaan pada Danish apa lagi ia mengungkapkannya dengan tiba-tiba. Ia juga berkata akan mengejar Danish. Mengingat semua yang ia katakan tadi, membuat kepala Ilana serasa ingin pecah.

 “Aku harus gimana sekarang?”

 Setelah panik selama beberapa menit. Kemudian ia memutuskan untuk menelepon Kania. Mengambil ponselnya laku mencari nomor Kania. Akan tetapi, Ilana mengunci ponselnya lagi lalu meletakkannya di depan dada.

 “Enggak bisa. Aku enggak bisa kasih tahu Kania. Dia pasti bakal ngomel.”

 Lagi-lagi Ilana mondar-mandir di kamarnya sambil memandangi layar ponselnya yang menyala. Ia sangat ingin bercerita pada sahabatnya, tapi takut diomeli oleh Kania.

 “Aku telepon Kania aja.”

 Sebelum menekan nomor Kania, pertama-tama Ilana menarik napasnya dalam-dalam. Sedang mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan omelan dari sahabatnya.

 “Ada apa, Na?”

 Tangan Ilana mengipas-ngipasi wajahnya yang mulai panas, bahkan sebelum ia mulai bercerita pada Kania.

 “Begini,” kata Kania pelan-pelan. “Aku udah bilang ke Danish kalau aku bakal mengejar dia,” Ilana berucap lancar tanpa tekanan. Setelah itu ia merasa napasnya hampir habis lalu buru-buru menghirup oksigen agar paru-parunya terisi kembali.

 “Ah!”

 Mendengar teriakkan dari seberang telepon, buru-buru Ilana menjauh ponselnya. Bisa-bisanya Kania sampai berteriak. Tega sekali gadis itu membuat telinga Ilana berdengung.

 “Jangan terlalu heboh. Kalau mau ngomel, ngomel aja.” Ilana pasrah.

 “Enggak! Kamu hebat Ilana.”

 Hening. Ilana memutar bola mata heran. Bisa-bisanya sahabatnya itu mengatakan ia hebat. Hebat dalam hal apa? Apakah karena mengungkapkan perasaan pada Danish?

 “Kamu hebat, Na. Hebat kenapa? Karena kamu seorang gadis berani mengakui perasaan sama pria yang lebih tua 10 tahun dari kamu.”

 “Apanya yang hebat? Aku lihat teman-teman yang lain juga nyatain perasaan mereka.”

 “Beda.” Sanggah Kania. “Bedanya mereka itu seumuran dan usia mereka enggak beda jauhlah. Terus gimana tanggapan Danish?”

 Ilana terdiam ketika ia mengingat ucapan Danish padanya. Masih tidak mengerti apa yang pria itu maksudkan.

 “Aku enggak mengerti dia ngomong apa,” jawab Ilana polos.

 “Ha? Dia bilang apa?”

 “Dia bilang, aku boleh mengejar siapa pun karena aku punya hak. Jadi aku enggak tahu apa aku boleh mengejar dia atau enggak. Dia langsung pergi gitu aja.” Rengeknya manja.

 “Tunggu, tunggu, biar aku mikir dulu.”

 Ilana menunggu beberapa saat seraya mondar-mandir lalu duduk lagi setelah mendengar suara Kania.

 “Dia enggak marah sewaktu kamu kecup?”

 “Enggak,” jawab Ilana.

 “Kalau Danish enggak suka, dia pasti udah marah kan. Nah, itu tandanya kamu ada harapan, Na.”

 “Harapan? Danish ngasih harapan?” Ilana berjingkrak-jingkrak. Hatinya sungguh bahagia. Walaupun tadi ia melakukan tindakan impulsif, setidaknya ia merasa Danish telah memberikannya harapan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status