Share

Chapter 7

“Ilana, saya mau bicara serius dengan kamu,” kata Danish. Menatap Ilana dengan mata gelapnya yang terlihat serius.

Ilana menajamkan pendengarannya. Matanya terfokus hanya pada wajah Danish. Gadis itu menunggu dengan sabar.

“Saya tidak mencintai kamu. Jadi, Ilana, tolong lupakan saja saya,” ujar Danish.

Runtuh semua harapan dan penantian Ilana selama ini. Dengan beberapa kata yang Danish ucapkan padanya, berhasil membuat bibir Ilana melengkung ke bawah.

Gadis itu masih termangu di depan Danish. Ia seolah tak tahu bagaimana harus menanggapi. Apakah Ilana baru saja mendapatkan penolakan cinta?

“Ilana, kamu enggak apa-apa?” Danish masih bisa bertanya, sedangkan hati Ilana sangat hancur sampai tak bisa berkata-kata.

Teganya Danish langsung menolak Ilana begitu saja. Pria itu sekarang merasa bersalah karena sudah terlalu jujur pada Ilana.

“Ilana, saya—”

Ilana tiba-tiba berdiri dan mengagetkan Danish. Gadis itu masih bisa tersenyum walau hatinya perih. “Kak Danish, kayaknya aku udah berlebihan, deh. Enggak apa-apa, kok. Aku baik-baik aja,” ujar Ilana. Danish tersentak mendengar pengakuan Ilana. “Aku ... keluar dulu, ya, Kak.”

Ilana buru-buru melangkah. Meskipun kakinya tersandung kaki meja. Namun, Ilana tak mengeluh dan tetap melangkah. Ia mempertahankan emosinya agar tak meluncurkan air mata. Ilana masih punya harga diri untuk tidak menangis.

“Ilana sudah mau pulang?” Serena bertanya, tapi diabaikan olehnya. “Lho? Pasti berantem sama Pak Danish, deh. Nanti juga baikkan sendiri.”

***

Ilana terus berjalan di trotoar. Ia tidak memanggil taksi dan memilih untuk berjalan, mudah-mudahan bisa menghapus ucapan Danish yang menyakitinya.

Hari ini ia mendapatkan penolakan seolah petir menghantam dada Ilana. Harus bagaimana lagi agar Danish menerimanya?

Ia kira dengan mengakui perasaannya ke Danish waktu itu, akan terjadi perubahan dalam hubungan mereka. Nyatanya inilah balasan yang Ilana dapatkan.

“Belum apa-apa udah ditolak,” lirihnya. “Apa caraku menarik perhatian Kak Danish salah, ya? Terus aku harus gimana?” Ilana menghentikan langkah yang tak teratur.

Berpikir sejenak, lalu menatap langit yang sedang terik-teriknya. Klakson mobil tiba-tiba terdengar dan mengagetkan Ilana.

Mobil berwarna hitam itu berhenti di sampingnya. Kaca mobil mulai diturunkan, yang memperlihatkan Arion.

“Kamu ngapain jalan kaki? Cepat masuk, Na! Ada banyak penjahat di dunia ini. Kakak enggak mau kamu diculik. Ayo buruan masuk.”

Ilana dengan patuh berjalan, dan masuk ke dalam mobil. Akan tetapi, bukannya duduk di kursi depan, Ilana memilih duduk di kursi belakang, yang membuat Arion menoleh padanya.

“Lho, kok, duduk di belakang?”

“Aku lelah, Kak. Kita bicara nanti aja, ya?” pinta Ilana dengan suara rendah.

Arion sedikit tercengang, tapi ia menuruti permintaan adiknya dan menatap lurus ke depan. Lantas ia mengemudikan mobilnya. Sesekali Arion melirik Ilana—yang saat ini memejamkan mata. Gadis itu tampak lelah. Namun, Arion tahu kalau Ilana tidak tidur.

“Kamu dari kantor Danish, ‘kan?” tanya Arion seraya melirik adiknya melalui kaca spion.

Gadis itu membuka mata setelah suara Arion berlalu. “Aku lagi enggak mau bahas Danish,” kata Ilana.

“Lho? Bukannya kamu selalu suka kalau ngobrolin Danish? Kakak cuma nanya, Na. Kamu dari sana? Danish ngomong apa sama kamu?” desak Arion, merasa ada yang salah dengan Ilana.

“Enggak apa-apa, Kak Rion. Udah nyetir aja,” jawab Ilana. Ia tak mau membahas tentang Danish saat ini karena akan mengingatkannya pada ucapan Danish yang membuat hati Ilana perih.

Padahal kemarin Danish mengatakan boleh mengejar cintanya. Hari ini menolak Ilana mentah-mentah. Sebenarnya apa yang Danish pikirkan? Mengapa laki-laki mengubah pikirannya hanya dalam sehari?

***

“Na—”

Ucapan Arion terpotong ketika Ilana berjalan tanpa berhenti. Ia langsung naik ke lantai dua, sedangkan Arion masih mematung di tempatnya.

“Ilana kenapa?” Ike bertanya pada putranya.

Arion mengedikkan bahu. “Enggak tahu, Ma. Tadi aku ketemu di trotoar dekat kantor Danish,” jawab Arion.

“Mama ke atas dulu. Siapa tau Ilana mau bicara,” ujar Ike, lalu memberikan wadah berisi taoge pada Arion.

Sementara Ike sudah menaiki tangga saat ini. Kecepatan wanita itu seperti kilat saja. Ia mengejar Ilana yang sudah masuk ke dalam kamarnya.

“Lana, Mama boleh masuk?” Ike bertanya pelan pada Ilana. Diketuknya pintu kamar Ilana beberapa kali, sebelum ia kembali berucap, “Lana, ayo, kita bicara sebentar.”

Pintu kamar terbuka, dan memperlihatkan Ilana yang tengah bersimbah air mata. Ike terkejut dan segera memeluk putrinya.

“Kamu kenapa, sayang?” Ike menepuk punggung Ilana untuk menenangkan gadis itu.

“Game over, Ma,” lirih Ilana. Tangisnya tak berhenti, malah air matanya semakin deras.

“Cerita sama Mama, sayang.”

Ike mengajak Ilana duduk di tepi ranjang. Mengamati putrinya yang tengah bersedih. Rambutnya kusut dan tak teratur. Biasanya senyum akan mengembang di bibir mungilnya.

“Ada apa, sayang? Ceritakan semuanya pada Mama,” pinta Ike.

Ilana perlahan mengangkat wajahnya, matanya menampilkan kesedihan yang mencabik hatinya. “Ma,” rengek Ilana sambil memeluk ibunya. Ia merasa sedikit lebih nyaman setelah menjadikan ibunya sebagai sandaran untuk kesedihan hatinya.

“Enggak apa-apa, Ilana. Bilang aja, Mama bakal dengerin kamu.”

“Danish minta Ilana untuk lupain dia,” terangnya. Ike terlihat terkejut karena putrinya tengah menghadapi penolakan dari seorang pria.

“Ilana, apa pria yang ingin kamu nikahi itu, Danish?” Ike bertanya, dan kini memberikan tatapan mendesak pada putrinya.

Ilana membeku. Pasalnya dia belum mengatakan siapa laki-laki yang ingin dia nikahi, sampai tidak mau melanjutkan S2. Kepalanya tertunduk, ia menjawab malu-malu, “Iya, Ma. Cowok itu, Danish.”

Ike memalingkan wajah sambil menarik napas kasar. “Mama enggak mau ngomong ini sama kamu, tapi seperti yang Danish bilang; kamu lupakan dia, Nak.” Lantas wanita itu berdiri dari duduknya.

“Kenapa, Ma? Kenapa Mama juga minta aku lupain Danish? Sekarang aku enggak bisa membuat Danish suka sama aku, tapi aku bakal berusaha, Ma,” debat Ilana. Ia masih percaya suatu saat nanti, Danish akan memiliki perasaan padanya.

Lagi-lagi Ike menarik napas kasar. Putrinya begitu yakin bisa meluluhkan Danish. Ia tak bisa memengaruhi Ilana saat ini untuk melupakan Danish. Jika Danish sudah meminta Ilana untuk melupakannya, maka Ike tahu putrinya tak memiliki harapan untuk mendapatkan secercah cinta dari Danish.

“Mama mau keluar dulu,” ujar Ike dengan nada kecewa.

“Mama enggak mau Kak Danish jadi menantu Mama?” tanya Ilana sambil berdiri, menatap punggung ibunya dengan lekat.

“Walaupun Mama mau kamu bahagia dengan pilihan kamu, tapi kalau Danish enggak setuju, kamu enggak bisa apa-apa, Ilana.” Kemudian, Ike keluar dari kamar Ilana.

Sontak Ilana terduduk di tepi ranjangnya. Ia merosot, hingga terduduk di lantai. “Sebenarnya apa yang salah?” Ilana bertanya pada dirinya sambil memeluk lututnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status