“Ilana, saya mau bicara serius dengan kamu,” kata Danish. Menatap Ilana dengan mata gelapnya yang terlihat serius.
Ilana menajamkan pendengarannya. Matanya terfokus hanya pada wajah Danish. Gadis itu menunggu dengan sabar.
“Saya tidak mencintai kamu. Jadi, Ilana, tolong lupakan saja saya,” ujar Danish.
Runtuh semua harapan dan penantian Ilana selama ini. Dengan beberapa kata yang Danish ucapkan padanya, berhasil membuat bibir Ilana melengkung ke bawah.
Gadis itu masih termangu di depan Danish. Ia seolah tak tahu bagaimana harus menanggapi. Apakah Ilana baru saja mendapatkan penolakan cinta?
“Ilana, kamu enggak apa-apa?” Danish masih bisa bertanya, sedangkan hati Ilana sangat hancur sampai tak bisa berkata-kata.
Teganya Danish langsung menolak Ilana begitu saja. Pria itu sekarang merasa bersalah karena sudah terlalu jujur pada Ilana.
“Ilana, saya—”
Ilana tiba-tiba berdiri dan mengagetkan Danish. Gadis itu masih bisa tersenyum walau hatinya perih. “Kak Danish, kayaknya aku udah berlebihan, deh. Enggak apa-apa, kok. Aku baik-baik aja,” ujar Ilana. Danish tersentak mendengar pengakuan Ilana. “Aku ... keluar dulu, ya, Kak.”
Ilana buru-buru melangkah. Meskipun kakinya tersandung kaki meja. Namun, Ilana tak mengeluh dan tetap melangkah. Ia mempertahankan emosinya agar tak meluncurkan air mata. Ilana masih punya harga diri untuk tidak menangis.
“Ilana sudah mau pulang?” Serena bertanya, tapi diabaikan olehnya. “Lho? Pasti berantem sama Pak Danish, deh. Nanti juga baikkan sendiri.”
***
Ilana terus berjalan di trotoar. Ia tidak memanggil taksi dan memilih untuk berjalan, mudah-mudahan bisa menghapus ucapan Danish yang menyakitinya.
Hari ini ia mendapatkan penolakan seolah petir menghantam dada Ilana. Harus bagaimana lagi agar Danish menerimanya?
Ia kira dengan mengakui perasaannya ke Danish waktu itu, akan terjadi perubahan dalam hubungan mereka. Nyatanya inilah balasan yang Ilana dapatkan.
“Belum apa-apa udah ditolak,” lirihnya. “Apa caraku menarik perhatian Kak Danish salah, ya? Terus aku harus gimana?” Ilana menghentikan langkah yang tak teratur.
Berpikir sejenak, lalu menatap langit yang sedang terik-teriknya. Klakson mobil tiba-tiba terdengar dan mengagetkan Ilana.
Mobil berwarna hitam itu berhenti di sampingnya. Kaca mobil mulai diturunkan, yang memperlihatkan Arion.
“Kamu ngapain jalan kaki? Cepat masuk, Na! Ada banyak penjahat di dunia ini. Kakak enggak mau kamu diculik. Ayo buruan masuk.”
Ilana dengan patuh berjalan, dan masuk ke dalam mobil. Akan tetapi, bukannya duduk di kursi depan, Ilana memilih duduk di kursi belakang, yang membuat Arion menoleh padanya.
“Lho, kok, duduk di belakang?”
“Aku lelah, Kak. Kita bicara nanti aja, ya?” pinta Ilana dengan suara rendah.
Arion sedikit tercengang, tapi ia menuruti permintaan adiknya dan menatap lurus ke depan. Lantas ia mengemudikan mobilnya. Sesekali Arion melirik Ilana—yang saat ini memejamkan mata. Gadis itu tampak lelah. Namun, Arion tahu kalau Ilana tidak tidur.
“Kamu dari kantor Danish, ‘kan?” tanya Arion seraya melirik adiknya melalui kaca spion.
Gadis itu membuka mata setelah suara Arion berlalu. “Aku lagi enggak mau bahas Danish,” kata Ilana.
“Lho? Bukannya kamu selalu suka kalau ngobrolin Danish? Kakak cuma nanya, Na. Kamu dari sana? Danish ngomong apa sama kamu?” desak Arion, merasa ada yang salah dengan Ilana.
“Enggak apa-apa, Kak Rion. Udah nyetir aja,” jawab Ilana. Ia tak mau membahas tentang Danish saat ini karena akan mengingatkannya pada ucapan Danish yang membuat hati Ilana perih.
Padahal kemarin Danish mengatakan boleh mengejar cintanya. Hari ini menolak Ilana mentah-mentah. Sebenarnya apa yang Danish pikirkan? Mengapa laki-laki mengubah pikirannya hanya dalam sehari?
***
“Na—”
Ucapan Arion terpotong ketika Ilana berjalan tanpa berhenti. Ia langsung naik ke lantai dua, sedangkan Arion masih mematung di tempatnya.
“Ilana kenapa?” Ike bertanya pada putranya.
Arion mengedikkan bahu. “Enggak tahu, Ma. Tadi aku ketemu di trotoar dekat kantor Danish,” jawab Arion.
“Mama ke atas dulu. Siapa tau Ilana mau bicara,” ujar Ike, lalu memberikan wadah berisi taoge pada Arion.
Sementara Ike sudah menaiki tangga saat ini. Kecepatan wanita itu seperti kilat saja. Ia mengejar Ilana yang sudah masuk ke dalam kamarnya.
“Lana, Mama boleh masuk?” Ike bertanya pelan pada Ilana. Diketuknya pintu kamar Ilana beberapa kali, sebelum ia kembali berucap, “Lana, ayo, kita bicara sebentar.”
Pintu kamar terbuka, dan memperlihatkan Ilana yang tengah bersimbah air mata. Ike terkejut dan segera memeluk putrinya.
“Kamu kenapa, sayang?” Ike menepuk punggung Ilana untuk menenangkan gadis itu.
“Game over, Ma,” lirih Ilana. Tangisnya tak berhenti, malah air matanya semakin deras.
“Cerita sama Mama, sayang.”
Ike mengajak Ilana duduk di tepi ranjang. Mengamati putrinya yang tengah bersedih. Rambutnya kusut dan tak teratur. Biasanya senyum akan mengembang di bibir mungilnya.
“Ada apa, sayang? Ceritakan semuanya pada Mama,” pinta Ike.
Ilana perlahan mengangkat wajahnya, matanya menampilkan kesedihan yang mencabik hatinya. “Ma,” rengek Ilana sambil memeluk ibunya. Ia merasa sedikit lebih nyaman setelah menjadikan ibunya sebagai sandaran untuk kesedihan hatinya.
“Enggak apa-apa, Ilana. Bilang aja, Mama bakal dengerin kamu.”
“Danish minta Ilana untuk lupain dia,” terangnya. Ike terlihat terkejut karena putrinya tengah menghadapi penolakan dari seorang pria.
“Ilana, apa pria yang ingin kamu nikahi itu, Danish?” Ike bertanya, dan kini memberikan tatapan mendesak pada putrinya.
Ilana membeku. Pasalnya dia belum mengatakan siapa laki-laki yang ingin dia nikahi, sampai tidak mau melanjutkan S2. Kepalanya tertunduk, ia menjawab malu-malu, “Iya, Ma. Cowok itu, Danish.”
Ike memalingkan wajah sambil menarik napas kasar. “Mama enggak mau ngomong ini sama kamu, tapi seperti yang Danish bilang; kamu lupakan dia, Nak.” Lantas wanita itu berdiri dari duduknya.
“Kenapa, Ma? Kenapa Mama juga minta aku lupain Danish? Sekarang aku enggak bisa membuat Danish suka sama aku, tapi aku bakal berusaha, Ma,” debat Ilana. Ia masih percaya suatu saat nanti, Danish akan memiliki perasaan padanya.
Lagi-lagi Ike menarik napas kasar. Putrinya begitu yakin bisa meluluhkan Danish. Ia tak bisa memengaruhi Ilana saat ini untuk melupakan Danish. Jika Danish sudah meminta Ilana untuk melupakannya, maka Ike tahu putrinya tak memiliki harapan untuk mendapatkan secercah cinta dari Danish.
“Mama mau keluar dulu,” ujar Ike dengan nada kecewa.
“Mama enggak mau Kak Danish jadi menantu Mama?” tanya Ilana sambil berdiri, menatap punggung ibunya dengan lekat.
“Walaupun Mama mau kamu bahagia dengan pilihan kamu, tapi kalau Danish enggak setuju, kamu enggak bisa apa-apa, Ilana.” Kemudian, Ike keluar dari kamar Ilana.
Sontak Ilana terduduk di tepi ranjangnya. Ia merosot, hingga terduduk di lantai. “Sebenarnya apa yang salah?” Ilana bertanya pada dirinya sambil memeluk lututnya.
Esok paginya Ilana dijemput oleh Danish. Saking semangatnya, Ilana bahkan tidak sarapan. Dia berpamitan pada orang tuanya lalu langsung masuk ke mobil Danish. Meski kantor Ilana dan kantor Danish berlawanan arah, tetapi tak masalah bagi Danish.Hubungan mereka baru saja berjalan, Danish ingin berpacaran seperti pasangan kekasih pada umumnya. Salah satunya mengantar kekasihnya ke kantor."Kamu buru-buru keluar rumah, jangan bilang kamu belum sarapan," tebak Danish.Ilana tersipu dan menjawab, "Karena kamu bilang bakal jemput aku, jadinya aku terlalu bersemangat. Kamu beliin aku sarapan, oke?""Udah saya duga. Lihat ke bekalang. Saya udah beli sarapan untuk kita," ujar Danish.Ilana pun menengok ke belakang, melihat ada dua kotak yang berisi sarapan. Danish sebetulnya sangat perhatian, hanya sajabaru sekarang dapat ia lakukan."Makasih, Kak Danish."Danish sekilas memalingkan muka begitu mendengar sebutan yang akrab di telinganya. Simpul senyumnya tak bisa dia tutupi."Udah lama banget
"Adik kamu belum pulang juga?" Raihan bertanya pada Arion ketika sudah tiba di rumah. Kania dan Arion saling menatap karena seharian ini mereka tak melihat Ilana.Arion menggeleng, balik bertanya, "Emangnya Ilana pergi ke mana? Dia enggak telepon?""Papa sudah hubungi berkali-kali, tapi ponselnya enggak aktif." Sejak tadi Raihan sudah menghubungi nomor ponsel Ilana, tapi panggilan tersebut tidak tersambung. Sekarang sudah pukul 10 malam dan Ilana pergi sejak pagi, tentu saja Raihan dan Oke khawatir."Papa enggak coba hubungi Danish? Siapa tahu sekarang mereka lagi bersama," dengan santai Arion berkata. "Pa, aku ke kamar dulu. Biar aku yang hubungi Danish kalau Papa enggak mau." Arion segera menuju ke kamarnya. Sedangkan Kania sudah pergi lebih dulu.Di luar kamarnya, Arion menghubungi Danish melalui telepon. Dia berharap agar tak terjadi apa pun pada Ilana. Pasalnya Ilana tak memberi kabar ke rumah."Halo, Pak Danish," Arion segera berucap dan bertanya, "saya mau tahu apa Ilana sedang
Alih-alih mengantar Ilana pulang, Danish mengajak Ilana ke rumahnya sore itu. Jika dulu Ilana akan sangat senang, sekarang ekspresinya mengatakan sebuah penolakan."Kamu enggak suka saya ajak ke rumah?" tanya Danish."Ya, lagian ngapain, sih, ngajak aku ke rumah kamu?" Ilana membalas dengan pertanyaan. Meski begitu Ilana melangkah ke depan pintu, menekan tombol sandi yang ternyata—sandi tersebut masih sama seperti dulu. Danish tak sekalipun menggantinya.Ilana menoleh pada Danish di belakangnya memberikan tatapan yang tak dimengerti oleh Danish."Saya cuma malas aja ganti password," kata Danish. Dia mempersilakan Ilana masuk lebih dulu."Aku lapar," ujar Ilana menoleh pada Danish dan tiba-tiba tersenyum, "kamu harus masak makanan yang enak buat aku."Danish membalas dengan senyum. Dihampirinya Ilana lalu mendekatkan wajahnya dan seketika wajah Ilana merona. Danish sedang menggodanya saat ini?Ternyata pria itu sudah menahan keinginannya terlalu lama dan kini tak sungkan lagi mengecup
Menikmati keindahan pantai menjadi suatu hal yang menarik perhatian Ilana belakangan ini. Selain dapat menghilangkan penat akan kesehariannya yang sibuk.Meski sudah mengetahui kesalahpahaman tersebut, dia tak menghubungi Danish. Bukan karena tak ada rasa, melainkan Ilana menunggu Danish mengambil inisiatif.Pagi itu di Pantai Nyang Nyang Uluwatu, Ilana merentangkan kedua tangannya ketika angin pantai menyambut lembut. Suara ombak kecil terdengar menenangkan di telinganya. Saat ini pantai masih sepi, Ilana menikmati keindahan itu, berlari kecil ke tepi pantai dan kakinya menyentuh air.Seorang pria mengenakan busana santai melangkah mendekat ke tepi pantai. Kedatangan pria itu tertangkap oleh netra Ilana."Gimana dia bisa tahu aku ada di sini?"Ilana merasa kebingungan karena hanya ada dirinya dan pria itu di pantai. Suasana akan menjadi canggung begitu mereka berpapasan nanti.Tak lama kemudian pria itu sudah berdiri di depan Ilana. Seulas senyum terpasang di wajah tampannya. Jujur s
"Kenapa buru-buru Ilana?" Raihan yang duduk di kursi kerja bertanya penasaran.Arion dan Kania menyusul di belakang Ilana, sontak Raihan menjadi sangat terkejut."Ada apa ini?" Laki-laki itu segera berdiri."Gini, Pa, aku sama Kania enggak sengaja—”"Cukup!" potong Ilana, tanpa menoleh pada kakaknya, dia berucap lagi, "aku mau ngomong sama Papa. Kakak sebaiknya ngasih aku ruang."Arion dan Kania mengangguk. Mereka merasa bersalah karena tak hati-hati saat berbicara. Arion menutup pintu ruang kerja ayahnya. Kini ruang kerja itu sunyi karena Ilana belum mengutarakan maksudnya."Duduk, Na."Setelah keduanya duduk, Ilana menatap dalam pada ayahnya. Raihan belum pernah menerima tatapan ini dari Ilana. Raut mukanya sedikit khawatir."Pa, tolong jelasin sama aku," kata Ilana."Apa yang ingin kamu dengar?""Papa punya masalah apa sama Danish 5 tahun lalu? Aku pengen Papa jawab jujur!"Suasana di ruangan itu menjadi sedikit tegang. Keingintahuan Ilana adalah rahasia yang disimpan oleh Raihan.
"Ilana!" Tiba-tiba Erna berseru dan segera memeluk Ilana. Tentu saja setelah acara pernikahannya selesai.Ilana menjadi sedikit canggung. "Bu Erna, tolong jangan meluk erat-erat, aku enggak bisa napas," kata Ilana. Oleh karena itu, Erna dengan segera melepaskan Ilana."Aduh, maaf. Habisnya aku senang sekali bisa bertemu Ilana lagi," timpal Erna."Selamat atas pernikahan Ibu," ujar Ilana. Kemudian pandangannya teralih pada Farrel, "Kak Farrel membuat aku tercengang, tapi aku sangat bahagia karena akhirnya kalian bersama."Farrel berdiri di samping Ilana, tetapi matanya mengarah pada Danish. "Ehem. Terus gimana sama kamu?"Kening Ilana mengkerut serta kedua alisnya bertautan. Sepertinya tak suka akan pertanyaan Farrel. Kalau saja hari ini bukan hari bahagia Farrel, maka Ilana akan benar-benar memukul lelaki itu."Ya, udah deh. Aku enggak akan bertanya. Makasih banget kamu udah mau datang di hari bahagiaku," ucap Farrel lagi.Kemudian Farrel dan Erna menyalami para tamu yang tengah berpa
Arion dan Kania telah turun dari mobil mereka, sedangkan Ilana masih mengatur pernapasannya. Entah mengapa jantungnya berdebar kencang padahal bukan dia yang akan menikah, tetapi dia menjadi canggung."Ilana ayo buruan turun. Acaranya udah mau mulai," ujar Arion.Farrel mengadakan pernikahannya di sebuah hotel mewah dengan pemandangan outdoor pantai. Para tamu sudah mulai berdatangan sejak tadi. Kebanyakan dari mereka datang bersama pasangan.Ketika melihat itu Ilana jadi berkecil hati karena dia tak membawa pasangan. Dia turun perlahan dari mobil dibantu oleh Arion. Dan setelah itu Arion menggandeng Kania, sedangkan Ilana berjalan di samping mereka.Mereka menunjukkan kartu undangan kepada staf yang bertugas dan mempersilakan mereka untuk masuk. Ilana terpukau melihat dekorasi indoor aula pernikahan, yang langsung memperlihatkan dekorasi outdoor di balik dinding kaca—yang terlihat mewah.Tanpa berkata apa pun pada kakaknya, Ilana melangkah melewati pintu kaca yang lebar itu, seketika
"Bu, ada surat undangan untuk Ibu," kata salah satu staf kepada Ilana.Ilana mendongak, lalu meraih surat undangan di tangan staf wanita itu. "Terima kasih."Ketika Ilana membaca nama yang tertera di surat undangan tersebut, matanya melebar tak percaya. Sudah lama sekali dia tak bertemu Farrel dan sekarang pria itu akan menikah dengan Erna yang membuat Ilana semakin tak percaya."Dulu pas aku muji Bu Erna, Farrel enggak mau dengar. Nah, sekarang mereka bakal nikah." Ilana tertawa di balik surat undangan pernikahan itu.Detik berikutnya tawanya menghilang karena Farrel mengingatkannya pada seseorang. Tangan Ilana spontan meletakkan kartu undangan tersebut. "Apa dia juga bakal datang?" Dengan cepat Ilana menghempaskan pikirannya tentang lelaki itu.***Mengingat hari pernikahan Farrel seminggu lagi, Ilana dan Kania pergi ke butik langganan mereka. Memilih gaun yang tepat dan pas bukan hal mudah ternyata. Ilana sudah mencoba 5 gaun, tetapi masih merasa tak sesuai. Sementara Kania sudah m
5 Tahun kemudian ....Banyak hal telah terjadi dalam 5 tahun terkahir. Ilana menyelesaikan kuliah S2-nya dua tahun lalu, dan dia langsung bergabung dengan perusahaan ayahnya. Tentunya Ilana memulai dari karyawan biasa sampai membawanya pada jabatan manajer. Sementara Arion adalah penerus ayahnya, dia kini menjabat sebagai Vice Presiden Director.Selain bekerja, Ilana juga menghabiskan waktunya berjalan-jalan—kapan pun dia mendapatkan waktu—menikmati masa mudanya, sendirian ataupun bersama sahabatnya. Oh, ya, siapa yang menduga kalau Kania dan Arion menjalin hubungan sejak 3 tahun lalu? Dan mereka pun melangsungkan pernikahan tak lama setelah menjalin kasih. Mereka juga dikarunia seorang anak perempuan yang sangat manis.Pagi itu, tak seperti biasanya Ilana bangun kesiangan akibat menonton film sampai dini hari. Jadi, sekarang ini dia terburu-buru, menenteng tasnya sambil mengenakan sepatu hak tingginya."Ma, Pa, Kak Arion udah berangkat?" tanya Ilana sesampainya di ruang makan. "Aduh p