Share

Chapter 6

“Pagi semua.” Ilana dengan penuh semangat menyapa keluarganya di ruang makan.

Arion menatap adiknya sampai-sampai berhenti mengunyah sarapan. “Pagi,” balasnya.

Ilana segera duduk, tidak lupa melirik Arion lalu tersenyum mengejek. “Buruan kunyah sarapannya, Kak.”

“Selamat pagi, Ilana,” ujar kedua orang tuanya.

Ibunya mengambil sarapan untuk Ilana lalu menaruh piring di yang sudah berisi telur orak-arik—di depan Ilana.

“Kamu semangat sekali pagi ini. Ada kabar gembira?” tanya ibunya.

Ilana hanya tersenyum. Setelah itu memasukkan sarapan ke dalam mulutnya. Barulah ia menjawab pertanyaan ibunya, “Cuma senang aja, Ma.” Lantas ia menoleh pada ayahnya. “Pa, gimana kalau malam ini kita undang Kak Danish makan malam?”

“Undang Danish?”

Ilana buru-buru mengangguk. Entah rencana apa lagi yang ia pikirkan dengan mengundang Danish makan malam. Ia begitu yakin kalau Danish sudah memberikannya harapan untuk mengejarnya.

“Oke, nanti Papa akan undang Danish.”

***

Serena membawakan kopi ke kantor Danish. Melihat pria itu hanya menatap dokumen tanpa membaca isinya. Serena menjadi penasaran dan bertanya, “Pak Direktur, Bapak melamun?”

Mendengar suara Serena, Danish mendongak. Secara bergantian ia menoleh pada Serena lalu pada dokumen di tangannya. Danish menghela napas lalu menaruh dokumen dan bolpoin tersebut di atas meja.

“Minum kopinya dulu, Pak,” ujar Serena karena Danish tidak menjawab pertanyaannya.

Danish melirik kopi hitam di atas meja. Diambilnya cangkir kopi sambil berkata pada Serena, “Kamu boleh keluar.”

“Baik, Pak.”

Namun, sebelum Serena membuka kenop pintu, Danish bersuara, “Serena kemari sebentar.”

Mendengar perintah atasnya yang sedikit plin-plan dan kurang fokus itu, Serena membalikkan badan lalu mendekat ke meja Danish.

“Ada yang Bapak butuhkan?”

“Saya mau bertanya,”

“Silakan Pak.”

Serena menajamkan pendengarannya. Menatap Danish dengan sungguh-sungguh lantaran intuisinya mengatakan kalau Danish akan menanyakan hal diluar pekerjaan. Meskipun Danish sangat jarang membahas hal di luar pekerjaan. Namun, setiap kali Danish terlihat uring-uringan dan kesulitan berbicara—pria itu pasti memiliki masalah pribadi.

“Saya mau tanya, apa gadis-gadis sekarang agresif?”

“Eh?” Serena merasa heran dengan pertanyaan Danish. Bukannya menjawab ia malah terheran-heran. Kiranya gadis mana yang tengah Danish bicarakan.

Sebelum Serena menjawab, Danish lebih dulu bersuara, “Tidak jadi. Kamu keluar saja.”

“Ah?” Serena tampak makin bingung. Belum selesai ia memikirkan jawabannya kalah diusir oleh Danish. Ia membalikkan badannya tanpa berbicara seolah-olah ada remot kontrol yang mengendalikan tubuhnya.

Namun, setelah membuka pintu Serena tersadar. Ia kembali membalikkan badannya. “Yang Pak Direktur maksudkan adalah Ilana?” tebak Serena.

Danish sedikit terkejut karena Serena menebak dengan benar. Namun, tampaknya Danish tidak mau mengakuinya. “Bukan siapa-siapa. Saya hanya bertanya. Kamu keluar saja.”

***

Sampai siang hari Danish masih tidak fokus. Pikirannya terganggu oleh apa yang Ilana katakan padanya semalam. Bukan hanya itu saja, Danish juga terganggu karena Ilana tiba-tiba mengecupnya. Mereka bukan pasangan kekasih dan lagi Ilana adalah seorang perempuan. Apa pantas baginya mencium seorang pria begitu saja?

“Mikirin apaan serius banget?”

Sorot mata Danish mengarah pada pria di depannya yang tidak lain adalah Farel—teman Danish. Helaan napas Danish terdengar lebih santai daripada sebelumnya. Agaknya ia harus menceritakan masalahnya pada Farel agar lebih tenang. Danish merasa terbebani oleh tindakan Ilana tadi malam.

“Rel, gue mau tanya, apa gadis-gadis sekarang semua agresif?” ia mengulangi pertanyaan yang diberikan pada Serena pagi tadi.

Tangan Farel terhenti di udara, makanannya hampir masuk ke dalam mulutnya, tapi pertanyaan sahabatnya itu membuatnya cukup tercengang. Sudut bibir Farel terangkat menampakkan seringai. Sahabatnya yang tidak pernah ia dengar membicarakan perempuan, kini bertanya mengenai perempuan padanya.

Farel mengangguk-anggukan kepala. Tampaknya tahu siapa yang Danish bicarakan. Siapa lagi jika bukan Ilana? Semua orang tahu kalau gadis itu selalu lengket pada Farel. Setelah menebak dalam pikirnya, Farel pura-pura tidak tahu dan membalas pertanyaan Danish. “Kalau gue lihat, gadis-gadis sekarang lebih aktif daripada cowok. Kemarin adik sepupu gue diajak jalan duluan. Mereka sekarang udah enggak nunggu cowok buat bergerak duluan, Dan. Kenapa? Ada yang menyatakan cintanya?”

“Enggak ada. Gue cuma nanya.”

Seringai Farel semakin tinggi. Ia menyesap minumannya. Menaruhnya kembali lalu bertanya pada Danish, “Kalau enggak ada, lo pasti enggak akan nanya. Ilana ngomong apa?”

Harusnya Danish tahu kalau Farel akan langsung bisa menebak dengan mudah. Perempuan di sisi Danish hanya Serena dan Ilana. Farel tidak akan menebak gadis itu adalah Serena. Serena tidak akan jatuh cinta pada atasannya karena ia bekerja dengan profesional. Lantas siapa lagi yang terlalu berani jika bukan Ilana?

Danish mulai bercerita meski ia sedikit enggan. Akan tetapi, beban berat seperti mendarat di hatinya. “Dia bilang mau ngejar gue.”

Seketika itu juga Farel menyemburkan air yang hampir masuk ke dalam tenggorokannya. Dalam keadaan tersedak air, Farel masih bisa tertawa. Tidak menyangka kalau Ilana akan seberani itu langsung menyatakan akan mengejar Danish.

“Gimana rasanya dikejar anak kecil?” ledek Farel. Ia kembali tertawa diiringi dengan batuknya.

Sementara itu, Danish menyeka mulutnya. Ia tahu akan berakhir dengan ejekan hari ini. Lantas beranjak dari duduknya. “Lo yang bayar,” ujarnya.

Buru-buru Danish meninggalkan restoran dan membiarkan Farel membayar semua makan siang mereka sebagai ganjaran karena telah meledeknya.

***

Danish menghentikan langkahnya lalu mundur lagi karena sadar ada yang aneh dengan senyum Serena. Seketika ia menoleh pada perempuan itu. Sorot matanya yang penasaran mengikuti arah pandangan Serena yang tertuju pada kantornya.

“Dia di dalam?”

Serena menganggukkan kepala, masih tersenyum dan kian melebar. Danish menepuk kepalanya. Baru saja ia membicarakan gadis itu dengan Farel dan sekarang Ilana sudah berada di kantornya. Sekarang Danish benar-benar pusing karena sudah yakin kalau Ilana akan mengejar dirinya. Ia merasa seperti memiliki hutang ratusan juta pada gadis itu. Entah sejak kapan gadis itu menjadi begitu agresif. Sepertinya Danish harus memberikan beberapa wejangan pada Ilana nanti.

Tidak ragu lagi, Danish masuk ke dalam kantornya. Ia melihat Ilana tengah asyik membaca majalah di sofa tanpa mengetahui kedatangannya. Danish berdehem agar Ilana menyadari kedatangan. Dua manik mata indah dan penuh energi ceria itu—mendongak. Melihat Danish sudah di depannya, Ilana melambaikan tangan lalu berdiri.

“Ada perlu?” tanya Danish seadanya.

“Papa ngundang Kak Danish makan malam.”

“Hem,” ia mengangguk. Setelahnya berjalan menuju mejanya. “Kalau sudah tidak ada urusan lagi, kamu boleh pergi.”

Sudut bibir Ilana melengkung ke bawah. Tampaknya tidak senang karena Danish langsung mengusirnya begitu saja. Danish melirik Ilana yang tidak bergerak dari tempatnya. Ia menghela napas lalu memberikan isyarat dengan tangannya—menyuruh Ilana untuk duduk.

“Ada yang mau saya bicarakan.”

Dengan senang hati, Ilana duduk di depan meja Danish. Namun, gadis itu tidak tahu apa yang akan Danish katakan padanya. Bisa saja senyum yang tergantung itu akan kembali melengkung ke bawah.

Apple Leaf

Hai, semuanya. Jika suka novel ini komen, ya.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status