MasukBarely a month after the murder of her father, Eliana does not expect her mother to get married to another man, especially with the murder still unsolved. She meets the brother to her soon to be step-father, Nicholas King and everything in her life changes. He is a forbidden fruit, one she should stay away from, but like a magnet he keeps pulling her in. Will she overcome or will she be sucked in to a different life full of secrets, lies and everything she has never dreamt of?
Lihat lebih banyak"Astaghfirullah! Apa yang kalian lakukan di kontrakanku ini!?" Teriakan seorang pria membangunkan Isha dan Satrio yang tertidur di ruang tamu.
"Bisa-bisanya kalian berzina di sini!" tuduh sang pemilik kontrakan sambil berkacak pinggang. Kesadaran Isha dan Satrio langsung terkumpul begitu mendengar tuduhan tersebut. Keduanya sontak berdiri. Satrio membenarkan ikatan sarungnya yang tidak sempurna, sementara Isha mengancingkan bagian atas kemeja yang terbuka dan menutupnya dengan hijab yang tadi tersingkap. Kedua orang itu membelalakkan mata begitu menyadari beberapa warga melihat mereka dengan sorot mata tajam dan penuh amarah. Membuat Isha jadi bergidik. "A-apa?! Zina? Itu tidak benar, Pak! Kami sama sekali tidak melakukan apa-apa!" sahut Isha dengan panik. “Jangan mengelak! Buktinya sudah jelas! Lihat! Kamu saja memakai baju Satrio!” Pemilik kontrakan itu menunjuk kemeja yang dikenakan Isha. Gadis berusia 25 tahun itu melihat pakaiannya. Dia baru ingat memakai kemeja Satrio karena kemejanya basah akibat kehujanan. “I-ni tidak seperti yang Bapak-bapak pikirkan!” sanggahnya. “Mana mungkin kalian berduaan tapi tidak melakukan apa-apa. Kalau ada pria dan wanita yang bukan mahram berduaan, pasti setan jadi orang ketiganya!” tukas pemilik kontrakan yang tetap bersikeras dengan pendapatnya. “Astaghfirullah! Itu tidak benar, Pak! Demi Allah, kami tidak melakukan zina.” Isha kembali menyangkal tuduhan warga. Matanya mulai berkaca-kaca. “Tidak usah menyebut nama Allah! Tidak pantas pezina kalian menyebut nama-Nya!” “Iya. Kelihatannya saja alim ternyata doyan juga tidur sama pria.” “Jangan-jangan ini bukan pertama kali mereka begituan, tapi baru ketahuan sekarang!” Berbagai celetukan warga yang menyudutkan Isha terdengar silih berganti hingga membuat air mata yang tadi menggenang, jatuh membasahi pipi gadis itu. Hatinya sakit sekali mendengar tuduhan warga yang sama sekali tidak benar. “Ketahuan zina saja menangis. Lupa tadi sudah bersenang-senang dengan Satrio!” lontar seorang warga dengan sinis. “Hapus air mata buayamu itu! Kami tidak akan terpengaruh!” hardik warga lainnya. “Bapak-bapak, tolong jangan berkata seperti itu pada Dek Isha!” Satrio akhirnya membuka mulut karena tidak tahan melihat Isha yang menangis. “Heh, Satrio! Kamu sok mau jadi pahlawan kesiangan? Pengangguran saja belagu!” “Kamu itu pendatang! Bisa-bisanya malah bikin masalah dan mencoreng nama baik kampung ini!” “Lagian Isha, mau-maunya sama pengangguran kaya Satrio. Apa yang mau dibanggakan kalau cuma bisa memberi kepuasan?!” “Kamu memang tidak tahu diuntung, Sat. Warga sudah menerimamu tapi kamu malah berbuat zina di kampung ini. Bikin malu saja!” Rahang Satrio mengetat, kedua tangannya pun mengepal saat mendengar berbagai hinaan warga padanya. Namun dia tetap diam. Percuma juga membela diri karena warga tak akan percaya. "Seret saja yang sudah berbuat mesum di kampung ini!" teriak salah satu warga. "Iya. Kita arak keliling kampung biar semua orang tahu kelakuan tidak bermoral mereka!" timpal warga yang lain. "Iya. Betul itu! Kalau perlu diusir karena sudah mempermalukan kampung ini!" Berbagai macam kalimat dilontarkan oleh warga. “Tenang, Bapak-bapak semua. Mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin!" Pak RT yang baru saja datang berusaha menenangkan warga. “Mereka harus dihukum biar jera, Pak. Jangan dilepas begitu saja!” “Ada apa ini, Pak?” Seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam satpam mendatangi kontrakan Satrio yang dipenuhi banyak orang. “Wah, Pak Baskoro. Kebetulan sekali Bapak datang. Kami sedang bermusyawarah untuk menentukan nasib Nak Satrio dan Nak Isha. Mereka kepergok berduaan di sini. Dan menurut warga yang memergoki, mereka sudah berzina,” jelas Pak RT. “Apa? Kurang ajar!” Mata Baskoro berubah nyalang. Tanpa mengatakan apa pun dia mendekati Satrio dan memukul pemuda itu sebanyak dua kali sebelum akhirnya ditarik oleh warga. “Pengangguran seperti kamu, berani-beraninya menodai anakku,” teriak Baskoro sambil menuding Satrio yang sedang menyeka darah di sudut bibirnya. “Kamu benar-benar tidak tahu diri!” Baskoro kembali ingin memukul Satrio, tapi warga berhasil menahannya. Satrio hanya diam, menunduk. Tidak membalas juga tidak berbicara untuk membela diri. “Bapak! Sudah! Jangan pukuli Bang Satrio!” Isha berdiri di depan Satrio. “Isha, minggir! Buat apa kamu membela pengangguran tidak berguna seperti dia! Apa kamu sudah dibutakan dengan ketampanannya?” Baskoro menatap tajam putrinya. “Astaghfirullah! Apa yang mereka katakan tidak benar, Pak. Apa Bapak tidak percaya sama aku, anak kandung Bapak sendiri? Demi Allah, aku tidak melakukan zina, Pak!” tukas Isha. Air matanya semakin deras mengalir. Hatinya semakin sakit karena Baskoro tidak percaya padanya. “Terus apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya pulang ke rumah, malah berduaan sama pengangguran itu! Kalau kamu suka sama laki-laki, carilah yang masa depannya bagus. Jangan seperti dia!” Baskoro kembali menunjuk Satrio. “Mau dikasih makan apa kamu sama anak-anakmu nanti? Batu?” sergah pria paruh baya itu. “Pak, aku sama Bang Satrio tidak melakukan apa-apa. Tadinya aku mau pulang tapi tidak ada orang di rumah. Aku tidak bawa kunci, makanya aku nunggu Bapak di sini,” jelas Isha. Berharap dengan penjelasannya itu bapaknya bisa mengerti. “Kamu ‘kan bisa menunggu di teras rumah. Kenapa harus di sini, Is?” tukas Baskoro. Isha terdiam karena tidak punya alasan yang tepat. Benar apa yang dikatakan bapaknya, harusnya dia menunggu saja di teras, tidak malah ikut ajakan Satrio. “Sudah, tidak usah banyak drama! Kita arak saja mereka keliling kampung biar jera!” lontar warga. “Ya, benar. Ayo!” “Bapak-bapak, saya mohon tenang! Tahan emosi dulu! Negara kita negara demokrasi, mari kita selesaikan masalah ini dengan musyawarah.” Pak RT lagi-lagi menenangkan warga. Setelah kondisi kembali kondusif, dia kembali berbicara. “Pak Baskoro, warga kampung sini tidak bisa menerima tindakan tidak terpuji yang sudah dilakukan Nak Satrio dan Nak Isha. Mereka ingin mengarak lalu mengusir pelaku zina dari kampung sini,” ujar Pak RT. “Siapa yang akan diusir, Pak?” Baskoro memandang Pak RT. Kepalanya berdenyut mendengar ucapan pengurus kampung itu. Pulang kerja harusnya beristirahat, malah anak dari almarhum istri pertamanya membuat masalah. “Nak Satrio dan Nak Isha, Pak,” jawab Pak RT. “Apa? Kami ‘kan sudah lama tinggal di sini. Masa warga sendiri mau diusir? Kalau Satrio, wajar karena dia pendatang dan belum lama tinggal di sini,” protes Baskoro, tak terima dengan keputusan warga. Emosi yang sempat turun, naik lagi. “Warga tidak mau tahu, Pak. Mereka tidak ingin kampung ini jadi sial karena ada yang melakukan zina. Siapa pun yang berbuat zina di sini harus mendapat sanksi sosial baik warga lama maupun baru. Karena Pak Baskoro dan keluarga sudah lama menjadi warga sini, jadi satu-satunya solusi agar Nak Isha dan Nak Satrio tidak diusir, ya harus dinikahkan saat ini juga,” jelas Pak RT dengan tenang. “Apa? Menikah?”Eliana Two Years Later "Hurry the fuck up, Eliana. I do not want Rachel's wrath on her wedding day," Nicholas shouted from downstairs, making me roll my eyes as I strapped my silver 4-inch heels on, right at the top of the staircase. "Stop cussing around E.J," I responded, running down the stairs. Nicholas was carrying our son, tapping his foot on the floor while staring at his watch. "Well, you made me do it," he defended himself, shrugged, then headed for the door while our son giggled. "How? We agreed that we wouldn't be using that language, especially now that E.J. is learning to speak." I walked after him to catch up. "I'm sorry it slipped. You can be so annoying, especially when you are required to keep time," he defended again, nodding at our chauffer as he opened the passenger door and the back seat door. "Wait until he starts cussing; your sorry won't make sense anymore." I stood behind him as he strapped E.J. into his baby car seat, then used the other side to
Three Months Later Eliana "I hereby sentence you to life in prison without the possibility of parole." The judge finished, staring right at Gavin, who hung his head, closed his eyes, opened them, and then outright glared at me with moisture in them. His father protested, violence ensuing between his security men and the Court's enforcement officers. I was quickly escorted out by Nick and his security, shielding me from the violence. Despite the adrenaline levels rising inside of me, the smile inside me couldn't be wiped off. My efforts had totally paid off, and I could finally breathe a long sigh of relief. My mother had already been sentenced to death, Matthew to two consecutive life sentences, and the family doctor and lawyer getting reduced sentences of 15 years each for entering a plea deal. Finally, my father's soul could rest in peace. "You did it, Ellie; you put him right where he deserves," Allan stated with an equally big smile as we descended the stairs leading to the p
Nicholas "How can you even say that?" Eliana shot up, closing her eyes suddenly, while the doctor rushed to her side. "Do you really think so low of me to even imagine me carrying Gavin's child?" Her voice rose. I could feel the pain in it, making me wish I hadn't mentioned Gavin. "I will have to ask you to leave, sir. My patient needs peace right now, and you aren't exactly providing it," Dr. Dave sternly said, adjusting his spectacles. "Leave us." Eliana lowered her voice, her chest rising as she let out a loud breath. "But Nick is not exactly habitable right now," Allan argued, looking at Eliana, trying to make her change her mind. I could, however, see the determination in her eyes as she scooted back to the bed. "I need only a few minutes, please," she added, looking at the doctor. "We just stabilised your pressure, so I need you to know that stress might force it to rise—" "I will be right outside; if things go south, I will intervene," Allan chimed in, assuring the doc.
Eliana I ran into the ladies washrooms, trying to lose a number of paparazzi who were coming after me. The last thing I wanted was to do an interview about what had transpired. I leaned over one of the sinks, letting out a short sigh of relief. "It's done. I did it." I whispered, looking at my reflection in the mirror above the sink. What I saw were dark circles peeking from some concealer I had tried applying. I attempted to put on a smile for pushing Gavin out of Nick's way, but instead my lips trembled. The pain I had managed to push down while dealing with Gavin was knocking, threatening to consume me. "Why?" Nick's voice filled the space, making me close my eyes. I could feel his presence, but I wasn't sure I could face him. "Why didn't you tell me?" He pressed, his steps sounding louder the closer he came. The smell of alcohol hit me, making me close my eyes while I attempted to swallow the lump that was forming in my throat. I lowered my eyes, unable to look at his reflecti
Nicholas "Come on, Nick, we'll miss the most important part of the event," Allan nudged, looking at the time on his wrist watch, while I leaned on my leather couch. "I told you I am not going," I responded in a bored tone, the urge to open another bottle of Hennessy Paradis brewing up inside. Attending the Annual Excellence Business Awards was out of the question, knowing that Eliana would be there with Gavin. "But that is a great opportunity to meet other businessmen and women. You know the best deals we've bagged so far usually originate from this event." I covered my face with my hand, closed my eyes, and pulled my brows together. "You always do that without me, Allan. You know I have always hated parading myself out there for any media attention." I sighed, just yearning to be alone in the quiet, with a bottle of alcohol to numb my burning and broken insides. "Eliana is going to be there," he spoke, making me swallow heavily. "The very reason why I am not going," I mumbled,
Eliana "Finally, I was beginning to think that you had backed out of the deal," Gavin said when I walked into his study, one of his men holding the door for me. "Aren't we impatient?" I rolled my eyes, sitting down on the office chair opposite his. "I thought your head would be killing you after all the clubbing last night," he said, dismissing his employee with a wave of his hand. "Clubbing?" I asked, removing my cat-eyed glasses. He squirmed a bit but quickly covered it by moving his swivel office chair. In fact, if I hadn't been so keen, I would have missed his quick reaction entirely. "How do you know I was clubbing? Are your men following me?" I put the glasses on the desk, then leaned over, looking at him in his evil eyes. There was nothing in them except malice, which sent shivers down my spine. "What? Ha ha, no. Uuh, I mean, why would they?" He stuttered, making me place my clasped hands on the desk, right beside my glasses. "I just saw your red eyes and puffy lids," he












Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Komen