Share

Plz Don't Be Sad
Plz Don't Be Sad
Penulis: niinanola

Hi, Korea!

Kepalaku pusing. Aku ingin muntah. Tolong aku! Help me! Siapapun yang ada di sampingku sekarang, aku ingin muntah... Tolong! Tolong bantu aku!!!

Ku gerakkan kepalaku dengan pelan. Masih dalam keadaan tak sadar, aku disambut sebuah botol air mineral. Ternyata ada sekilas bayangan tepat berada di sampingku. Di samping kursiku.

"Oh... Maaf!" seruku saat melihat seorang pria berkulit putih dengan hidung mancung dan lengan yang sedikit berotot menyodorkan botol itu padaku.

Dia tersenyum dengan botol yang masih dipegangnya, "Tidak apa-apa. Apa kau sudah lebih baik sekarang?" tanyanya sambil memperhatikan seluruh bagian wajah dan tubuhku dengan sangat teliti.

 Aku mengangguk. "Aku sudah lebih baik."

"Ini, ambillah! Wajahmu berkeringat," ujarnya dan juga menyodorkan sebuah sapu tangan berwarna biru muda padaku.

Tanpa pikir panjang lagi, aku mengambilnya dan menyapukannya ke seluruh permukaan wajah. Sekilas ku lihat ada sulaman huruf GJ di sapu tangan itu.

"Kau akan pergi ke Korea?" tanyanya saat aku mulai membersihkan wajahku dengan sapu tangan yang diberikannya.

"Ya..." jawabku.

"Oh, begitu. Perkenalkan, aku Gyo Joon." Kali ini pria itu menyebutkan namanya sambil sedikit menundukkan kepalanya, memberi salam ala Korea.

"Kara. Almaira Karalina," jawabku sambil tersenyum dan mengikuti gerakannya tadi.

"Nice to meet you...."

Aku membalasnya lagi dengan senyuman dan mulai mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Apakah aku telah mengacaukan sesuatu? Atau telah terjadi sesuatu padaku? Aku terus berusaha mengingat setiap hal yang ku lakukan setelah berada di dalam pesawat ini.

"Kau tidak makan sebelum berangkat tadi?"

Aku mendadak kaget dan menoleh pada lelaki itu. "Kenapa?" tanyaku penuh penasaran.

Dia mengambil sesuatu dari bawah tempat duduknya dan menunjukkannya padaku. Sebuah kemeja. Sedikit noda. Oh, bukan. Kotoran. Seperti kotoran, tetapi apa itu? Kenapa dia menunjukkannya padaku? Aku memandang kemeja itu dengan sangat teliti.

"Kau tidak mengingatnya?" Dia kembali bertanya dan meletakkan kemeja itu kembali ke bawah.

Aku menggeleng.

"Benar? Benar-benar tidak mengingatnya?" tanyanya untuk ke-sekian kali.

Aku menggeleng lagi. Oh, Tuhan! Kenapa aku ini? Kenapa aku tidak mengingat apapun? Apa yang sedang dibicarakan oleh pria ini?

"Well, tidak masalah bagiku. Kalau begitu, ayo kita tidur saja!" ajaknya dan mulai menyandarkan kepalanya di bantalan kursi pesawat.

Dia menutup mata perlahan-lahan sampai terdengar suara dengusan nafasnya yang sangat merdu. Kenapa suara nafas bisa semerdu ini? Aku membiarkan pria itu tidur dengan pulas. Di samping itu, otakku juga terus berputar dengan apa yang baru saja ditunjukkannya tadi. Ada apa sebenarnya? Aku... Apakah ada hubungannya dengan kemeja kotor itu??? Aduh, kenapa aku susah sekali mengingatnya????

Akhirnya. Ku angkat ransel miniku yang berada tepat di samping kaki pria itu. Ku lirik dia. Dia masih tetap di posisi yang sama seperti tadi, bersandar dan menutup matanya.  Apa dia tidak tahu, kalau pesawat ini baru saja landing dan kami telah sampai? Ku kibaskan telapak tanganku di hadapannya. Dia tak bergeming sedikitpun. Apa dia masih tidur? Pelan-pelan aku berdiri dan berusaha melihat wajahnya dalam jarak yang sangat dekat. Wajahnya sangat bersinar, seperti seorang selebriti. Ah, mana mungkin! Memang kebanyakan orang Korea seperti ini. Mereka memiliki kulit yang putih dan wajah yang tirus. Aku dengar-dengar sih, itu semua karena bantuan operasi plastik yang sangat terkenal di negara mereka. Hum... Aku kembali konsentrasi pada pria ini. Tubuhnya juga mengeluarkan wangi yang sangat sedap. Aku hampir kehabisan nafas berada di dekatnya dan berlama-lama seperti ini. Ku pikir, dia harus bangun. Ku tepuk bahunya dengan pelan dan memanggil namanya berulang-ulang.

"Tuan Gyo Joon, kita sudah sampai. Apa kau masih tidur?" Aku terus mengatakannya berulang kali berharap dia mendengar suaraku.

Namun, posisinya masih belum berubah juga. Tetap seperti itu.

"Tuan... Bangunlah! Kita sudah sampai!" seruku lagi dan kali ini aku mengatakannya tepat di telinganya.

Tiba-tiba kepalanya bergerak dengan mata tertutup dan tangannya menyambar lenganku yang berpangku di pegangan kursi. Aku tak sadar dan oleng. Lalu....

"Mianhae... Mianhae... Mianhae..." Pria itu terus menerus menundukkan badannya padaku dan mengucapkan maaf dalam bahasa Korea berulang kali.

Aku tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk dan menganggap tidak terjadi apapun.

"Aku benar-benar tidak sengaja. Jangan kau pikir itu adalah taktikku! Tidak sama sekali!" Dia memandangku dengan sangat lama. Sudah hampir 10 menit kami keluar dari dalam pesawat dan dia belum juga selesai mengucapkan kata maaf padaku.

"Aku mengerti, Tuan. Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf. Aku hanya ingin membangunkanmu. Itu saja..." jawabku dengan perasaan malu. Bagaimana aku tidak malu? Kami baru saja berciuman di dalam pesawat. Sepi. Sunyi. Hanya kami. Ya, hanya kami berdua. Apakah ini sebuah keajaiban? Apakah aku sedang mengikuti acara reality show seperti di televisi itu? Apakah aku… Ah, rasanya ini mimpi!

Ku rebahkan tubuh yang sudah sangat kaku ini ke kasur empuk di kamar yang akan ku tempati selama beberapa tahun untuk menyelesaikan studiku. Aku lega. Aku sudah sampai di kota ini. Kota penuh bunga dan cinta. Kotanya para Kpop bergentayangan. Kota impianku. Seoul.

Drrrtttt... Drrrtttt... Drrrrttt... Bunda memanggil...

"Iya, Nda..." sapaku saat wajah bunda muncul dalam video call kami kali ini.

"Sudah sampai, Sayang?"

"Sudah. Baru saja."

"Bagaimana di sana? Kamu baik-baik saja, kan?"

"Alhamdulillah... Aku baik-baik saja, Nda. Oya, mana ayah dan Kak Nathan?"

"Mereka sedang keluar. Bunda khawatir kamu kesasar, Nak...."

"Tidak dong! Doa Bunda akan selalu menyertaiku." Aku tersenyum dengan rasa bahagia.

"Jaga diri baik-baik ya, Sayang! Selalu kasih kabar, kalau ada apa-apa di sana. Bunda akan selalu merindukanmu, Nak."

"Hahahaha... Iya, Nda. Doakan aku terus ya?"

Bagaimana beliau tidak gelisah? Ini adalah pertama kalinya aku pergi berjauhan darinya dan dalam waktu yang lama. Maklum saja, aku adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga. Dari kecil mereka semua sudah membiasakanku menjadi sosok yang mandiri walaupun Bunda tetap tidak bisa menerima, kalau aku sudah dewasa sekarang. Aku kembali merindukan mereka padahal kami baru saja berpisah selama kurang lebih 12 jam. Setelah berleha-leha tak karuan di atas kasur, ku angkat tubuhku dan melangkah keluar kamar. Mandi adalah langkah yang paling tepat setelah aku berpeluh keringat dan... Bajuku? Celanaku? Kenapa sekotor ini? Bahkan kotornya sama dengan... Ya... Kemeja Tuan Korea itu! Oh, Tuhan!!! Apa aku benar-benar tidak mengingatnya? Apakah aku muntah????? Handuk yang berada di atas koper langsung saja ku sambar dan berlari menuju kamar mandi. Bagaimana ini? Aku yakin, aku pasti muntah dan mengenai kemeja Tuan Korea itu. Hah, matilah aku! Bagaimana aku bisa seceroboh ini? Pantas saja dia menunjukkan kemejanya padaku berharap aku mengingat apa yang terjadi dan meminta maaf padanya. Aku tidak tahu harus mencarinya kemana sekarang. Setelah perpisahan di Bandara, aku tak lagi melihatnya. Padahal, kami baru saja membuat kenangan paling indah dalam hidupku. Oh, No! Tidak… Tidak… Jangan diingat lagi! Maafkan aku, Tuan Korea. Semoga kita bisa bertemu lagi, batinku. Sedang asyik membereskan pakaian dan semua perlengkapan di dalam lemari, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.

"Sebentar..." sahutku dari dalam kamar.

"Annaeyoenghaseyooo..." sapa seorang gadis putih, cantik, memakai hotpants biru, dan berkaus putih dengan dua kuncir di rambutnya menundukkan badannya padaku begitu pintu kamarku terbuka.

Aku tersenyum memandangnya, "Hai...."

"Kau yang datang dari Indonesia itu, kan?" tanyanya.

"Ya...."

"Aku Mi Hee. Kamarku berada di sudut kanan sana. Kalau kau perlu sesuatu, panggil saja aku!" serunya lagi sambil menunjuk sebuah ruangan berpintu ungu.

"Baiklah. Oya, namaku Kara. Almaira Karalina," ujarku dan menyodorkan tangan padanya.

"Senang bertemu denganmu, Kara...."

"Ehm... Kau sudah lama di sini?"

"Ku pikir 2 bulan waktu yang sudah cukup lama, bukan?"

"Erm. Begitu ya?"

"Oya... Kalau kau ada waktu, ayo kita jalan-jalan sore ini!"

Perkenalan itu membuatku dan Mi Hee semakin erat. Bahkan, aku tak ingin kehilangan dia, walau sedetikpun dalam keseharianku. Mi Hee sudah menjadi keluargaku satu-satunya di negeri ini. Negeri yang penuh dengan pria tampan juga wanita berparas cantik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status