Share

Bab 2

Aku. Aku hanya seorang perempuan yang sejak kelahirannya tidak pernah mengenal ibu. Kata Bapak, ibuku mengalami preeklampsia sesaat setelah melahirkanku. Bapak pulang dari rumah bidan masih dengan aliran air mata. Sambil menggendongku, dia berusaha mencampurkan beberapa tetes susu kental manis kalengan dengan air hangat yang telah dijerangnya di kompor minyak tanah. Katanya lagi, aku baru berhenti mengoeek setelah sesendok demi sesendok air campuran berwarna putih itu masuk ke mulutku.

Lepas aku tertidur, dia meletakkan aku dari gendongan ke dipan bambu satu-satunya di rumah ini. Ketika malam, dia menangis sembari menyalakan damar—sebab saat itu belum terpasang aliran listrik di kampung ini. Hmm, Bapak menangis mengingat istrinya telah berpulang ke pangkuan Ilahi, sedangkan aku baru menikmati malam kesatu kelahiranku.

“Ibumu cantik, sama seperti dirimu, Fatma. Kelak, walau bapak tak bisa berbuat banyak untukmu, jadilah wanita baik-baik.” Begitulah setiap hari Bapak menasihati.

Bapak bukan pria kaya yang siap setiap saat meladeni kemauan putrinya. Aku harus menerima apa adanya bapakku sebagai seorang tukang angkut sampah. Tak ada namanya baju-baju ala princess di perayaan ulang tahunku. Mana pula ada uang lebih untuk membeli mainan kesukaan atau makanan yang membikin liur menetes? Bahkan, aku harus puas makan bangku sekolah sampai kelas enam.

“Fatma, jika kamu bisa mendapat peringkat satu di ujian kemarin, pasti saat ini kamu masih bisa bersekolah melalui beasiswa,” sesal Bapak, kala kuikuti gerak tangannya memilah botol-botol plastik sepulang menarik gerobak sampah.

Apa waktu itu wajahku menyedihkan karena tak lagi mengenakan seragam sekolah? Entahlah. Aku sendiri tak yakin, sebab sebenarnya aku tak secantik yang Bapak bilang. Jadi, kemungkinan Bapak menangkap sorot kesedihan di balik wajah seorang putri yang sehari-hari dilihatnya.

“Fatma bisa bantu Bapak lebih lama.” Aku membohongi diri sendiri.

Tahu, apa yang sejujurnya ingin aku katakan? Aku ingin bilang bahwa aku mau terus sekolah, tumbuh menjadi remaja dengan gejolak cinta pertamanya, juga lulus sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak—untuk mengangkat derajat Bapak. Namun, kubuang jauh-jauh, manakala Bapak tiba-tiba mulai sakit-sakitan.

Hidup kami semakin sulit setiap harinya. Tak banyak yang bisa kulakukan demi kesembuhan Bapak. Aku melanjutkan menarik gerobak sampah semampuku, bergulat dengan lalat dan bau busuk sepanjang hari, juga tidur di antara gunungan botol plastik dan barang bekas lainnya.

Suatu ketika di pertengahan musim hujan, beberapa hari setelah ulang tahunku yang kedua puluh, aku menggantikan tubuh ringkih Bapak di atas dipan, tergolek tak berdaya. Badanku demam selama berhari-hari. Tak ada nafsu makan, apalagi sajian utama hanya singkong rebus dan air putih. Aku menggigil di antara rinai hujan yang tak kenal kesudahan di malam hari, meracau—menyebut nama Ibu berkali-kali dalam pejam mata, seolah-olah beliau berdiri di sampingku dan siap mengajakku pergi.

Angin yang bertiup kencang, menyusup masuk lewat daun pintu yang dibuka Bapak. Sempat aku membuka mata dan melihatnya sesak napas sebelum keluar menerjang hujan. Katanya sebelum pergi, “Tunggu, Fatma. Bapak akan panggilkan dokter untukmu.”

Akan tetapi, Bapak berbohong kepadaku. Dia tak lagi pulang ke rumah. Maksudku, dia mungkin pulang, hanya saja aku tak lagi mendengar suaranya. Sepanjang malam aku sudah menguatkan diri sendiri, bahwa menjadi orang tak mampu harus bersahabat dengan keras dunia. Panas, hujan, dingin, gerah, juga noda. Segala noda. Cara itu cukup manjur untuk menurunkan suhu tinggi tubuhku. Ajaib, bukan?

Sayangnya, ketika kakiku baru bisa turun dari dipan dan menyentuh ubin, aku harus membukakan pintu untuk Bapak yang ... tak lagi bernapas. Bapakku pergi, membawa beberapa pertanyaanku yang tak pernah terjawab—di malam aku sakit.

Apa menjadi orang miskin bisa bahagia? Apa seorang putri raja harus cantik dan punya istana? Apa aku ... akan punya suami seperti pangeran?

Bapak pergi, sebelum mendatangkan dokter untukku. Riuh suara tetangga—yang selama ini tak pernah mengunjungi rumahku—berdengung, menyebut-nyebut Bapak sebagai korban tabrak lari. Apa itu penting? Tidak. Tidak ada yang lebih penting selain menangisi kepergian orang tua tunggalku, ketika untuk sesaat aku menyalahkan kata “takdir”.

Oh, ya, takdir!

Kuberi tahu satu pertanyaanku soal takdir. Kenapa takdirku buruk?

Kupikir aku hanya manusia sampah, dalam artian seorang gadis yang dibesarkan di lingkungan sampah. Namun, entah mengapa masih ada pria yang tertarik melihat bodiku yang tak terawat. Pria itu sungguh jahanam!

Purna empat puluh hari kepergian Bapak, pria itu datang ke rumah. Awalnya memintaku secara baik-baik. Namun, kutolak mentah-mentah keinginannya memperistriku. Aku tak begitu kenal, hanya beberapa kali sempat melihatnya minum kopi di warung-warung seberang tempat pembakaran sampah. Meski secara fisik dia tampan dan berbadan kekar, tetapi aku tak suka melihat liar matanya saat menatapku.

Dua-tiga kali dia datang melamar, masih kutolak. Akhirnya, dia tampakkan wajah yang sesungguhnya. Pria binal! Lancang sekali dia masuk rumah seperti kucing jalanan hendak mencuri ikan. Sialnya, ikan itu tak lagi ada yang menjaga dan memiliki.

“Cukup kamu buat aku menahan liur, Fatma! Malam ini kamu milikku!” Dia menyeringai—masih di bawah gemuruh hujan. Tangannya membekap mulutku, lututnya menindih dadaku hingga aku tak mampu berkutik.

Tuhan? Di mana Tuhan berada kala itu? Aku tak tahu.

“Jangan khawatir, Sayang! Aku akan menikahimu setelah ini, kita akan tinggal bersama, dan kamu tak payah mendorong gerobak bau itu lagi.”

Pria itu mendengkur tanpa rasa bersalah, tepat saat aku menyeka cairan menjijikkan di sekujur tubuh. Aku memekik dalam hati, menangis tanpa suara, berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi.

Mimpi, mimpi, mimpi ....

Sayangnya aku tidak hidup di dunia mimpi. Ya, aku boleh bermimpi seindah mungkin, tetapi saat aku membuka mata, aku adalah Fatma si gadis—ah, tidak! Bukan lagi gadis—buruk rupa, yang membersihkan darah keperawanannya dengan air mata, lalu membanjiri pernikahannya dengan air mata pula. Jelas, meski aku bukan wanita perebut suami orang, aku adalah perempuan hina yang telah ternoda. Sama-sama rendah.

Dua tahun berlalu, dan kehidupan masih tak berubah. Itu sebabnya, aku mulai merasa Tuhan tidak adil, tatkala Dia datangkan wanita sesempurna Mbak Ajeng dalam pandanganku.

Aku benar, bukan?

“Sudah kubilang, tidak ada yang namanya kesempurnaan, Fatma.”

Aku mengangkat wajah, bertautan pandang dengan Mbak Ajeng. Siang yang cerah ini dia kembali bertandang ke rumah, lalu mendengarkan kisah pahitku.

“Tapi, tidak beruntung itu ... jelas adalah sebuah ketidaksempurnaan yang paling menyakitkan, Mbak.”

“Apa itu berarti yang selalu beruntung sepertiku ini, akan selalu mendapat kesempurnaan?”

“Nyatanya Mbak Ajeng tetap beruntung meski ditimpa ketidaksempurnaan. Setidaknya, sisi sempurna yang lain menutup kekurangan itu, ‘kan?”

“Kamu kurang jauh berjalan, Fatma. Sangat kurang jauh.” Dia memicingkan mata.

“Aku berjalan, Mbak. Hanya saja ... saat pulang ke rumah, aku kembali tidak beruntung,” jawabku lesu.

“Kalau begitu, kenapa kamu harus pulang? Kenapa tidak lari saja?”

Aku terperanjat. “Lari? Bisakah?”

Bisakah aku lari? Ke mana? Bersama siapa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status