Share

Poor Fatma
Poor Fatma
Penulis: Peri Manta

Bab 1

Bab 1: Kesempurnaan

Namanya Ajeng Warih Kinasih. Wanita yang katanya sudah berusia tiga puluh dua tahun, tetapi tampak lebih muda dariku—yang baru dua puluh tiga tahun. Saat dia menyelipkan anak rambut di daun telinga, aku bahkan tidak melihat ada garis jejak kaki burung gagak di sudut matanya. Dua kali bertemu dengannya, dia selalu berpakaian rapi layaknya wanita berpendidikan tinggi. Wangi parfum yang tercium berkat gesekan kain pembungkus badannya, juga meninggalkan jejak yang membuat kepayang.

Terkadang aku berpikir, Mbak Ajeng ini manusia atau malaikat? Dia terlihat sempurna sebagai wanita. Tak hanya cantik secara fisik, dari suaranya yang bak nyanyian bidadari, dapat kusimpulkan kalau hatinya juga sebening zam-zam. Setiap kata dari bibir ranumnya yang terpoles pewarna merah kecokelatan, selalu teriring tanjakan sudut bibir. Belum lagi kulit pipinya yang licin walau tanpa bedak, tampak tirus diapit helai-helai rambut panjang bergelombang.

“Fatma, kamu tahu? Suamiku sebenarnya suka aku apa adanya, tidak banyak polesan.”

“Iya, Mbak Ajeng akan tetap cantik walau tanpa riasan,” sanjungku.

Mbak Ajeng terkikik. “Tapi, aku harus tampil lebih cantik dengan riasan, Fatma. Aku memegang bisnis di bidang kecantikan. Apa jadinya anak buahku, kalau bosnya sendiri tidak menggunakan produknya?”

“Mbak Ajeng hebat, ya. Beruntung sekali, sudah punya suami seorang dokter, juga sukses berkarier sendiri.”

Mendengar ucapanku, Mbak Ajeng tertegun. Dia menjatuhkan pandangan ke gelas beling—di mana teh tawar hangat pesanannya tinggal setengah gelas. Aku tak tahu, apakah ucapanku salah atau bagaimana, yang jelas dia tampak membisu setelah aku bicara tadi.

Di luar hujan masih terguyur lebat dari langit. Ah, langit yang muram di atas sana pun serupa wajah Mbak Ajeng detik ini. Aku jadi tersadar, kalau sudah dua kali ini dia duduk di kursi ruang tamu rumahku, momennya juga ketika turun hujan. Hanya selisih sebulan saja dari pertemuan pertama.

Waktu itu, aku tengah menikmati deras hujan sambil duduk di kursi kayu. Tatapanku menembus kaca jendela bening selebar satu meter, hingga dapat memuaskan diri menatap jarum langit yang memandikan pohon mangga di halaman depan. Sedang asyiknya mendengar bunyi timpaan hujan di plafon depan, aku lihat Mbak Ajeng setengah berlari mencari tempat berteduh. Dia menjatuhkan pilihan kepada rumahku, sebab teras depan memungkinkan untuk berlindung barang sejenak—dibandingkan rumah tetangga lain yang berpagar besi.

“Masuk, Mbak,” tawarku, kala itu.

Dia mengangguk takzim, lalu menerima tawaranku. Dari handuk, baju ganti, sampai segelas teh tawar hangat. Entah seperti apa benang merah di antara kami, hingga dalam waktu sesingkat tandang hujan, kami bisa saling cocok mengobrol. Awalnya hanya bicara tentang hujan, tentang hati, tentang rasa ... lalu lama-lama dia bercerita tentang dirinya sendiri.

Kali ini pun dia terjebak hujan. Aku sempat terheran-heran, kenapa wanita berpenampilan keren seperti dia tidak naik mobil atau diantar suaminya. Bodohnya lagi, aku tidak pernah menanyakan untuk tujuan apa dia berjalan-jalan di sekitar kampung ini. Mbak Ajeng hanya bilang kalau dia sedang ingin berjalan-jalan sendiri, kemudian diantarkan hujan pada titik waktu bernama takdir. Takdir bertemu denganku.

“Aku punya seorang anak lelaki, Fatma. Usianya lima tahun, baru dua bulan lalu dia masuk sekolah. Dia tampan seperti Mas Pandri.” Mbak Ajeng kembali bicara, sekaligus menarikku kembali dalam lamunan tempo lalu.

Mataku membulat lagi, senang rasanya melihat dia kembali bicara dan bercerita.

“Jadi nama suami Mbak itu Dokter Pandri? Lalu, anak Mbak namanya siapa?” Aku berapi-api agar dia juga bersemangat.

“He–em. Mas Pandri. Di rumah sakit orang-orang memanggilnya Dokter Papa, karena anakku Lio memanggilnya pa–pa.” Dia tertawa kecil.

“Ooh, namanya Lio. Lucu, Mbak.”

Mendengar nama anak Mbak Ajeng, hatiku berkernyut nyeri. Aku membayangkan berada di posisi serupa wanita sempurna itu. Punya suami tampan dan mapan, punya anak yang lucu, dan menjadi pribadi yang cantik dan berkelas. Ah, mimpimu terlalu liar, Fatma!

“Tidak ada namanya kesempurnaan, Fatma. Tidak ada ....”

“Tapi Mbak Ajeng bahagia, ‘kan? Apa lagi? Jangan terpancing kata tidak sempurna, Mbak. Setiap yang dimiliki harusnya disyukuri, toh?” nasihatku.

“Iya, aku bahagia. Suamiku orangnya setia, perhatian, mapan, tampan pula. Aku pun sukses, tapi masih mampu mengimbangi tugas sebagai seorang ibu dan istri. Aku bersyukur mendapat semuanya, Fatma. Bahkan, tentang Lio ....”

“Lio? Ada apa dengan Lio?” Aku penasaran dengan kata-katanya yang menggantung. Ada sirat kepedihan di wajah Mbak Ajeng saat dia menyebut nama putranya.

“Anakku autis. Tapi, aah ... tak apa. Kami masih kompak mengatasi ketidaksempurnaan ini.”

Mbak Ajeng mengangkat wajah. Ketika meringis, deretan giginya yang putih menambah kesan cantik. Namun, bukan itu yang membuatnya spesial. Hati! Ada sesuatu dalam hatinya yang bersinar menyilaukan, hingga pendarnya mengelilingi raga Mbak Ajeng. Bayangkan! Dengan tegarnya dia menyampaikan kalau anak tercintanya ternyata autis, sedangkan dia tetap berjuang menjadi wanita sempurna—walau kuterka, rasanya pasti berat.

“Seminggu sekali, aku dan Mas Pandri menemani Lio terapi, kami saling bagi waktu menjaganya tanpa menggunakan jasa babysitter, kami juga pilihkan dia sekolah yang terbaik. Apa bedanya? Semua bisa berjalan dengan baik jika kita berniat baik, bukan?”

“Hemm, aku salut sama Mbak Ajeng.”

Hujan reda perlahan. Jam dinding hampir menunjuk angka dua belas dan empat. Seketika aku memandang nanar ke pintu, lantas beralih ke halaman depan, lalu jalanan ....

“Ah, sekarang giliranmu bercerita. Fatma, katakan padaku, bagaimana dengan kehidupanmu?”

“Aku, ehm ... ah, aku ....”

Mbak Ajeng menaikkan sedikit alisnya sambil berdeham lirih, meminta kepastian agar aku membuka jati diri. Senyumnya menenangkan, tetapi aku yang tak bisa tenang detik ini. Apa yang bisa kuceritakan kepadanya? Hidupku terlalu biasa saja untuk diungkap. Tak ada yang menarik, tak ada yang indah untuk dibanggakan. Lagi pula, ini bukan waktu yang tepat untuk mendongeng.

“Fatma, dengan siapa kamu tinggal di rumah ini? Waktu itu kamu sendirian, sekarang juga. Kamu bekerja di mana? Ehm, kamu sudah menikah belum?”

Sebentar lagi pukul empat. Dia akan datang. Ah, Tuhan ... tak bisakah Kau kirim hujan lebat sebentar saja agar pria itu terlambat pulang?

Keringatku membulat satu-satu di pelipis. Padahal, angin selepas hujan bertiup sejuk. Aku mencengkeram blus bunga-bunga milikku yang lusuh. Jantungku berdegup cepat. Amat cepat.

“Hei, wajahmu memucat. Fatma, kamu masuk angin?” Mbak Ajeng beralih duduk di sebelahku. Dia letakkan punggung tangannya di keningku. Sementara aku semakin dibuat cemas karena dia tak kunjung pamit.

“Mbak! Pulanglah, hujan sudah reda.” Kutepis kasar tangan Mbak Ajeng. Lantas,aku bangkit dari duduk dan membukakan pintu lebih lebar. Aku tak berani memandang Mbak Ajeng, ubin yang retak-retak lebih enak dilihat sekarang. Sebenarnya, aku lebih takut wanita di hadapanku tersinggung karena telah kuusir.

“Oh, ya. Hujan sudah reda,” katanya canggung. Dia mengambil tas bermereknya, lalu melangkah pasti keluar rumahku.

“Mbak Ajeng,” panggilku. “Maaf, bukan niat mengusir. Tapi takutnya keluarga Mbak Ajeng mencari-cari.”

Senyum bidadarinya lembut dan menenangkan seperti gerimis. Dia mengangguk di antara sisa rintik sore hari. “Tak apa, Fatma. Lain kali, berceritalah! Aku akan mendengarkanmu.”

Mbak Ajeng berlalu sampai menghilang ditelan jalanan. Dia pergi meninggalkan bibit-bibit asa—yang meresap dalam aliran darahku. Barangkali, lain kesempatan hujan membawa kami bertemu kembali dalam satu titik waktu bernama takdir. Boleh jadi nanti giliranku membuka suara dan berkisah.

Ah, berkisah ... apa berkisah tentang luka itu semudah kehidupan Mbak Ajeng?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status