Share

Bab 6

“Seekor harimau menjadi kucing jinak?” Mbak Ajeng mengangkat satu alisnya, lalu kembali berkata, “Itu bukan keajaiban, Fatma, tapi rencana terselubung!”

“Awalnya aku juga ragu, Mbak. Namun, hingga detik ini Surya memperlakukanku dengan sangat baik. Dia benar-benar berubah.”

Mbak Ajeng terdiam sejenak. Dia melirik sekilas jam berbentuk persegi panjang kecil di tangan kirinya—yang tampak mewah karena berwarna keemasan, lantas berdecak pelan.

“Mbak terburu-buru, ya? Aku belum buatkan teh, lagi pula cuaca tidak sedang hujan. Mbak Ajeng juga bawa mobil. Kenapa tidak menunggu sebentar lagi, sampai Surya pulang?”

“Ehm, tidak bisa, Fatma. Lain kali saja. Hari ini jadwalku mengantar Lio ke tempat terapi. Beberapa hari ke depan aku juga sibuk ke luar kota. Aku pasti akan banyak mencemaskanmu.” Mbak Ajeng menarik lebar sudut bibirnya. Namun, entah kenapa matanya malah berkaca-kaca.

Kupikir, dengan mengenalkan Surya, Mbak Ajeng tidak lagi menaruh rasa prihatin dan khawatir berlebihan. Sungguh, suamiku tidak lagi kejam beberapa minggu ini. Dia bahkan membolehkanku bertemu siapa saja. Dia lebih rajin bekerja dan pulang tanpa aroma alkohol. Setiap Sabtu malam dia mengajak pergi ke pasar malam, menawarkan segala kebutuhan sekunder, juga mengajak bercanda sampai aku tidak takut lagi melihat liar matanya.

“Kamu bisa berjanji untuk menjaga dirimu?”

Kuhela napas lalu terkikik. “Mbak Ajeng jangan seperti itu, dulu sebelum bertemu Mbak, aku menjaga diriku sendiri, ‘kan?”

Dia mengangguk-angguk. Lalu setelahnya berdiri, merapikan setelan baju kerja, dan menenteng tas mengilap dengan warna senada bajunya. Setiap penampilan wanita itu selalu sempurna, padu, dan terlihat berkelas. Anehnya, dia tidak canggung untuk bertandang ke rumah jelek dan duduk di kursi kayu berdebu milikku.

Sedikit berbeda dengannya, Dokter Pandri yang sama baik dan perhatian, justru tidak pernah mau masuk ke rumahku. Pernah, suatu kali satu keluarga itu baru pulang dari acara arisan keluarga, lalu mampir untuk berbagi banyak makanan dan kue. Mbak Ajeng membawa sendiri tumpukan kardus dari mobilnya yang terparkir di jalan—depan rumah. Dengan sepatu ber-hak tinggi, dia kesulitan berjalan sampai depan pintu.

Kutanya, apa dia datang sendirian. Jawabnya, tidak. Ada suaminya menunggu di mobil. Kutanya lagi, kenapa tidak ikut masuk, padahal sewaktu itu Mbak Ajeng masih mengobrol cukup lama denganku.

“Mas Pandri, umm ... menunggu di mobil saja, katanya.” Mbak Ajeng memberi alasan yang masuk akal, tetapi secara langsung membuatku sadar kalau pria itu enggan bertandang ke rumahku.

❤❤❤

Tiga bulan setelah pertemuan terakhir, Mbak Ajeng datang lagi. Kali ini pun dia sendirian. Disodorkannya tas-tas kertas bermacam warna dan ukuran kepadaku, lalu dia menurunkan kaca mata hitam dan menyeka peluh.

“Apa ini?” tanyaku penasaran.

“Baju.”

“Baju? Ah, aku tak akan pantas memakai baju bagus, Mbak.” Kusodorkan kembali baju itu.

“Kenapa tidak, Fatma? Coba saja pakai!”

Mbak Ajeng mengeluarkan beberapa pakaian dari tas itu. Dari modelnya saja sudah terkesan mewah. Ada baju terusan selutut, kaus berleher rendah, baju hangat, juga celana. Berwarna-warni. Melihatnya, rasanya seperti habis dibelikan baju baru oleh Bapak setiap hari raya setahun sekali.

“Tampillah lebih menarik, agar suamimu lebih perhatian!”

Aku tersenyum malu-malu mendengar penuturan Mbak Ajeng. Sebenarnya, selama Mbak Ajeng tidak berkunjung ke rumahku beberapa waktu ini, Surya justru lebih perhatian kepadaku.

“Tanpa semua ini, suamiku sangat memanjakanku, Mbak. Karena ada anaknya dalam perutku,” jujurku. “Ah, tapi terima kasih, ya, Mbak. Akan kusimpan dulu, kupakai kalau perutku sudah tak buncit lagi.”

Mbak Ajeng menjatuhkan semua bawaannya di lantai. Dia menatap takjub kepadaku. Dari ujung kepala hingga berakhir di perut. Ekspresinya susah ditebak, antara senang dan kecewa.

Dielusnya perutku yang mulai membulat, lalu beralih menggenggam tangan. Tak tunggu lama pelukannya hangat terasa olehku. Mbak Ajeng mengucap syukur berkali-kali, juga tertawa kecil.

“Kamu hamil, Fatma? Benar?”

“Ya, Mbak.” Aku menjawab cepat sambil berlalu ke kamar. Kusimpan pemberian Mbak Ajeng dan bergegas membuatkan teh untuknya.

Beberapa saat kemudian kami sudah asyik bercanda di dapur. Meski Mbak Ajeng sudah kularang ikut masuk—sebab dapurku sangat kotor, dia kukuh berdiri di sampingku. Kali ini dia mau mencoba teh hangat dengan sedikit gula, tetapi dia sendiri yang membuatnya.

Katanya, “Ibu hamil jangan banyak bekerja, apalagi yang berat-berat. Kerjakan saja semampumu. Kalau lelah, istirahatlah!”

“Ya, Mbak. Surya juga bilang begitu.”

“Kamu sudah periksa kehamilan tiap bulan?”

Aku tergemap. Sesaat kami saling memandang. Mungkin, detik itulah Mbak Ajeng paham kalau jawaban dari pertanyaannya adalah “belum”.

“Besok, aku akan mengantarmu periksa kandungan, Fatma. Jangan menolak, dan jangan banyak alasan!” katanya sebelum meminum teh buatannya sendiri.

Apa aku merepotkannya? Kenapa Mbak Ajeng begitu perhatian kepadaku? Memang, Surya hanya memberi perhatian, tetapi tidak sekali pun pernah menawariku untuk periksa kandungan. Lalu, kalau aku menerima tawaran Mbak Ajeng, tidak ada salahnya, bukan?

Sedang seru mengobrol tentang kehamilan, terdengar suara ketuk pintu dari arah depan. Masih pukul dua siang, tentu bukan Surya yang datang. Meski dia yang datang pun tak apa, sudah lama ingin kukenalkan Mbak Ajeng kepadanya.

Kami berjalan bersisian menyambut tamu—yang ternyata adalah Dokter Pandri. Wow! Dokter tampan itu mau menginjakkan kaki di sini?

“Lio jatuh dari perosotan. Kita ke rumah sakit sekarang!” ucap dokter itu tanpa basa-basi.

Mbak Ajeng terperanjat, lalu buru-buru mengambil tas. “Bagaimana bisa, Mas?”

Mereka tergesa-gesa berlalu, sampai lupa mengucap pamit. Dalam hitungan detik dua mobil yang dikendarai masing-masing oleh Mbak Ajeng dan Dokter Pandri melewati pandangan. Aku agak kecewa dibuatnya.

Namun, sepertinya perasaan ini berlebihan. Selang semenit aku tepekur memandangi jalanan, mobil Dokter Pandri muncul lagi. Dia turun dari mobil dan berjalan ke arahku.

Ada debar yang aneh saat pria itu memberikan senyuman, mengingat tadi dia datang tanpa sapa maupun bertanya kabar. Air muka yang tadinya suram, mendadak tampak semringah.

“Ayo ikut ke rumah sakit, Fatma! Kita bisa periksakan kandunganmu sekalian.”

“Oh! Itu ....”

Aku menelan ludah. Lidah kelu, tak tahu harus berkata apa lagi, juga tak tahu harus berbuat apa.

Dokter Pandri menjentikkan jemari di depan wajahku, menyadarkan aku dari lamunan.

“Fatma, apa lagi yang kamu tunggu?” Dia menutup pintu rumahku, menggenggam pergelangan tanganku, lalu menuntunku hingga ke mobilnya. Bahkan, aku masuk ke mobil setelah dia membukakan pintunya.

Di dalam mobil, dia memutar lagu dengan entakan pelan dan bersyair romantis yang hampir membuatku tertidur. Dia juga melucu seperti waktu mengantarku dulu. Untuk sesaat dia tidak menampakkan kecemasannya terhadap Lio. Mengherankannya, dia bisa tertawa lepas sembari menyetir.

“Dokter bisa tertawa, padahal Lio sedang sakit,” sindirku.

Dokter Pandri berdeham pelan. “Lio akan baik-baik saja di tangan dokternya. Dan saat ini, tugasku menghibur ibu hamil. Ini perintah nyonya besar,” ungkapnya.

“Oh, jadi Mbak Ajeng yang meminta Dokter menjemputku?”

“Ehm, tidak juga.”

“Maksudnya?”

“Sampai di perempatan, dia menelepon. Katanya, dia menyesal belum berpamitan. Dia juga bilang besok mau mengantarmu memeriksakan kandungan. Jadi, kamu hamil?”

Aku mengiyakan.

“Makanya, aku berpikir sekalian mengajakmu ke rumah sakit. Jangan menunda pemeriksaan kehamilan, Fatma! Kamu harus tahu perkembangan janin dalam rahimmu.”

Darahku berdesir pelan dan menimbulkan denyar yang tak biasa dalam dada. Bukan, bukan karena aku terbawa perasaan—pastinya. Namun, ini karena aku ....

Ah, bagaimana aku bisa menjelaskannya kepada kalian?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status