Share

Chapter 3

Sesampainya dalam kelas, dengan kesal Marren menghempaskan tubuhnya. Wira terheran-heran menatap sahabatnya yang terlihat kacau dan berantakan.

"Pagi Ren, ada apa kamu? Tidak seperti biasanya kamu terlambat?"

"Saya sedang kesal! Dan... Ah... Ini kenapa harus terbawa?"

Marren tersadar bahwa ia masih membawa sapu tangan Pemuda tampan itu di tangannya saat ia akan mendekap wajahnya.

Buru-buru ia memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas selempangnya dan mengambil botol minuman dari dalam tasnya.

la minum dengan sangat puasnya, hal itu membuat Wira terkekeh geli melihat Marren terengah setelah hampir menghabiskan setengah botol air minumnya.

"Jadi?"

"Ya, jadi hari ini Saya dua kali berkelahi dengan preman! Yang satu karena dia menjambret tas dan satu lagi karena menolong bocah dipalak tapi malah dia seolah-olah 'tidak apa-apa kok, duit kecil ini! Benar-benar menyebalkan! Sumpah! Dan siapa pula dia?"

Marren bersandar dengan kasar sambil menutup botol minumnya lalu memasukkannya kembali ke dalam tas.

Wira terbelalak mendengar cerita. Marren yang nyerocos tanpa berhenti bicara dalam satu tarikan napas.

"Tapi kamu tak apa-apa, kan? Apa kamu terluka?"

"Tidak! Saya hanya Kesal!"

"Ya, ya, ya... Itu tandanya kamu tidak kenapa-kenapa karena kamu masih bisa mengomel seperti itu....."

Marren terkekeh mendengar ucapan Wira yang sangat hafal akan tabiatnya yang selalu bersemangat dalam setiap ucapan dan perbuatan.

Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang lebih tertutup, kalem dan lebih feminin dibanding Marren.

Tak berapa lama seorang Dosen pria berpakaian sangat rapi dan elegan memasuki ruang kelas Marren.

Pelajaran pagi berlangsung seperti biasanya, tegang dan serius karena pembawaan Pak Reza yang berwibawa dan tegas.

Hal itu membuat Marren bisa lupa akan peristiwa besar yang telah ia lalui pagi itu.

Tak terasa waktu berlalu, bel istirahat. pun berbunyi, Marren bergegas mengeluarkan kotak bekal makanannya dari dalam tas. la sangat kelaparan karena insiden pagi itu.

Dengan antusias gadis berkucir cepol itu membuka kotak bekal makan siangnya yang berisi nasi dan telur gulung serta sop brokoli bikinan Mommy-nya, tak lupa sambal yang sangat nikmat.

"Wah... Enak sekali!" Wira melihat dengan antusias menu makanan Marren.

Gadis itu terkekeh dengan bangga seolah menunjukkan 'Mamaku gitu loh!'

"Ambil saja kalau mau, Mommy masakannya selalu the best!" Balas Marren mendekatkan tempat sayur sop kepada Wira yang berbekal nasi dan berlauk ayam teriyaki.

Wira mengernyit ingin menolak karena ia tak menyukai sayuran jenis apa pun.

"Aaaaaa!"

Marren memaksa menyuapi Wira, mau tak mau Wira melahap suapan sayur sop brokoli itu dengan wajah getir, namun wajahnya berubah senang beberapa saat kemudian.

"Enak, kan? Apa kubilang?" sahut Marren tersenyum sementara Wira mengangguk karena sibuk mengunyah.

"Wah kelihatannya enak, Saya juga mau!"

Belum sempat kedua gadis itu menoleh dan menjawab sumber suara, sebuah tangan yang bertakhtakan jam tangan mewah melintasi wajah Marren dan dengan seenaknya mencomot satu potong telur gulung milik gadis itu.

"Hei!!" bentak Marren menoleh kepada si pelaku yang ternyata Pemuda tampan yang ia temui pagi itu, kini sedang mengunyah telurnya dengan nikmat.

Lagi-lagi belum sempat Marren melanjutkan omelannya, tiba-tiba beberapa perempuan histeris melihat ke arah mereka.

Marren mengernyit bingung.

"Aagk... Arsan!"

"Tuan muda Arsan...!"

"Aaaakkhgg... Kak Arsan! Kak Arsan!"

"Kak Arsaaaan ada di sini?"

Marren terbelalak kaget saat melihat kericuhan yang terjadi tiba-tiba. Para mahasiswi dari kalangan anak-anak tenar dari berbagai jurusan semua berkerumun di sekeliling Arsan. Layaknya pangeran dengan dayang-dayangnya, Arsan berdiri dengan gaya yang angkuh nan menawan.

Semua mata tertuju pada mereka. Bahkan beberapa mahasiswa ikut berkerumun tak jauh dari tempat itu.

"Kamu mau jadi koki di rumah Saya? Saya sedang membutuhkan koki di rumah. Masakanmu enak!"

"Siapa yang butuh..."

"Saya saja kak! Saya kak!"

"Saya kak!"

"Sayaaaa! Sayaaaa...!"

Bantahan Marren tertelan oleh suara-suara yang saling bersahutan saling memperebutkan posisi yang ditawarkan Arsan padanya. Gerakan tangan Arsan meredam keributan itu.

"Oke, oke. Kalau begitu coba kalian buktikan kepadaku sekarang. Aku ada di kelas sebelah" ucap Arsan dengan mata yang menatap Marren dalam-dalam sebelum ia meninggalkan tempat itu.

Marren membalas tatapan Arsan dengan memonyongkan bibirnya julit.

"Huh? Apa-apaan sih? Siapa dia, orang sampai begitu semua? Cih.... Bocah culun seperti dia...." omel Marren seenaknya sambil beralih kepada Wira yang ternyata terpaku menatap sosok Arsan yang menjauh dengan wajah merona.

"Heh! Wira! Kamu juga kenapa malah ikut-ikutan begitu?"

"Em... Tidak...." Wira menutup wajahnya karena malu.

Marren makin curiga akan tingkah sahabatnya itu. Namun dia mengabaikannya dan kembali duduk lalu melahap bekal makan siangnya.

"Memangnya kamu tak tahu? Dia itu Tuan Muda Arsan dari keluarga Ryzadrd, Ryzadrd itu!"

"Ryz..aa...drd?"

"Ih... Ryzadrd pemilik XYNZ COMPAR OFFICE itu!"

"Hah?"

"Iya, Ren! Keluarga Ryzadrd pemilik saham terkuat Indonesia beberapa di Australia itu!" Wira sangat antusias.

"Aku dengar kabarnya keluarga Ryzadrd punya pulau pribadi, bandara pribadi, dan grup itu penyokong terbesar pemerintahan!" Wira berbisik kepada Marren yang hanya menjawab acuh tak acuh.

"Dan kudengar lagi keluarga Ryzadrd sedang mencari calon menantu untuk kedua Pangeran Ryzadrd lho!" Wira makin merona.

Marren terpaku diam dan berhenti mengunyah, dia terus mendengarkan penuturan Wira tanpa berkomentar, apalagi melihat wajah Wira yang sangat antusias dan berbinar-binar saat menceritakan tentang pemuda itu.

"Ah dia itu seperti Pangeran dalam dongeng ya? Sempurna! Dan aku tak menyangka akan bertemu dia sedekat ini!" lanjut Wira dengan wajah terpesona.

"Memang dia mahasiswa Kampus ini, ya? Kenapa aku tak pernah melihatnya? Sejak kapan dia di sini?" Akhirnya Wira membuka suara dengan enggan.

"Itu, aku dengar sih karena dia ingin hidup mandiri, makanya dia pindah kesini, dia baru hari ini kembali ke Indonesia." Wira masih tetap dengan wajah yang sama. Seolah menunjukkan dia sangat bangga mengetahui seluk beluk tentang Arsan.

"Oh.... Sudah ah, buruan makan. Sebentar lagi jam istirahatnya selesai." Marren makan dengan lahap tanpa bersuara, karena ia benar-benar lapar serta mengacuhkan semua tentang Arsan.

Mendengar ucapan Marren, Wira buru-buru melahap bekal makan siangnya dengan wajah antusias lebih dari sebelumnya.

🥀🥀🥀

"Marren...!" Marren menghentikan langkahnya saat keluar dari perpustakaan. Melihat arah sumber suara dengan wajah kesal. Eric mengangkat bahu tanda 'tau tuh!"

Arsan merebut ponsel Marren tanpa memedulikan teriakan protes dari Sang Pemilik, dengan acuh ia menulis sebuah nomor ponsel lalu memencet tombol panggilan.

Setelah memastikan nadanya terhubung, Arsan segera memutuskan sambungan telepon dan menyerahkan ponsel itu kepada pemiliknya yang telah memasang wajah masam.

"Itu nomor ponsel Saya. Kamu harus mengangkatnya tiap saya menelepon! Ingat itu!" Arsan segera berlari menjauh tanpa memedulikan protes Marren.

Pemuda berperawakan tinggi tegap itu berjalan berdampingan bersama Eric menuju arah berlawanan dengan Marren.

Namun sebelum menjauh lagi-lagi Arsan menoleh ke arah Marren dan memberinya ancaman dengan pandangan.

Marren membalasnya dengan meletakkan jari telunjuk di atas keningnya dengan posisi miring.

"Sinting!" gumam Marren dengan santai. Walaupun ia tahu tak akan terdengar Arsan, tapi ia tahu pesannya tersampaikan karena Pemuda itu terkekeh menampilkan sederet giginya yang putih dan rapi.

Untuk sekian detik Marren seperti tersihir akan tawa menawan itu, namun histeris para mahasiswi di sekitarnya membuyarkan lamunannya. Marren bergegas meninggalkan tempat itu.

Dan benar saja, langkah Pemuda itu terhalang oleh beberapa mahasiswi dari kelas lain yang tergolong anak-anak tenar yang mencoba berkenalan dan meminta foto bersama. Akan tetapi Eric bertindak cepat layaknya pengawal yang mengusir para penggemar untuk Sang Bintang.

Walaupun Marren baru menginjak tahun pertama di kampus itu, ia pun terkenal karena kepiawaiannya dalam hal olahraga, namun ia tak pernah menonjolkan dirinya dan ikut dalam geng anak tenar. la hanya ingin fokus dalam kuliah dan bekerja.

Marren hanya menggeleng sinis saat melihat beberapa mahasiswi itu terlibat cek-cok saat Pemuda incaran mereka juga diperebutkan oleh para mahasiswi senior. Para junior hanya berani menatap di pinggiran seolah menunggu giliran.

"Kasihan" ujar Marren dengan tawa ringan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status