Sesampainya dalam kelas, dengan kesal Marren menghempaskan tubuhnya. Wira terheran-heran menatap sahabatnya yang terlihat kacau dan berantakan.
"Pagi Ren, ada apa kamu? Tidak seperti biasanya kamu terlambat?" "Saya sedang kesal! Dan... Ah... Ini kenapa harus terbawa?"Marren tersadar bahwa ia masih membawa sapu tangan Pemuda tampan itu di tangannya saat ia akan mendekap wajahnya. Buru-buru ia memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas selempangnya dan mengambil botol minuman dari dalam tasnya.la minum dengan sangat puasnya, hal itu membuat Wira terkekeh geli melihat Marren terengah setelah hampir menghabiskan setengah botol air minumnya."Jadi?""Ya, jadi hari ini Saya dua kali berkelahi dengan preman! Yang satu karena dia menjambret tas dan satu lagi karena menolong bocah dipalak tapi malah dia seolah-olah 'tidak apa-apa kok, duit kecil ini! Benar-benar menyebalkan! Sumpah! Dan siapa pula dia?"Marren bersandar dengan kasar sambil menutup botol minumnya lalu memasukkannya kembali ke dalam tas.Wira terbelalak mendengar cerita. Marren yang nyerocos tanpa berhenti bicara dalam satu tarikan napas. "Tapi kamu tak apa-apa, kan? Apa kamu terluka?" "Tidak! Saya hanya Kesal!" "Ya, ya, ya... Itu tandanya kamu tidak kenapa-kenapa karena kamu masih bisa mengomel seperti itu....."Marren terkekeh mendengar ucapan Wira yang sangat hafal akan tabiatnya yang selalu bersemangat dalam setiap ucapan dan perbuatan. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang lebih tertutup, kalem dan lebih feminin dibanding Marren. Tak berapa lama seorang Dosen pria berpakaian sangat rapi dan elegan memasuki ruang kelas Marren.Pelajaran pagi berlangsung seperti biasanya, tegang dan serius karena pembawaan Pak Reza yang berwibawa dan tegas. Hal itu membuat Marren bisa lupa akan peristiwa besar yang telah ia lalui pagi itu. Tak terasa waktu berlalu, bel istirahat. pun berbunyi, Marren bergegas mengeluarkan kotak bekal makanannya dari dalam tas. la sangat kelaparan karena insiden pagi itu. Dengan antusias gadis berkucir cepol itu membuka kotak bekal makan siangnya yang berisi nasi dan telur gulung serta sop brokoli bikinan Mommy-nya, tak lupa sambal yang sangat nikmat. "Wah... Enak sekali!" Wira melihat dengan antusias menu makanan Marren.Gadis itu terkekeh dengan bangga seolah menunjukkan 'Mamaku gitu loh!' "Ambil saja kalau mau, Mommy masakannya selalu the best!" Balas Marren mendekatkan tempat sayur sop kepada Wira yang berbekal nasi dan berlauk ayam teriyaki. Wira mengernyit ingin menolak karena ia tak menyukai sayuran jenis apa pun. "Aaaaaa!"Marren memaksa menyuapi Wira, mau tak mau Wira melahap suapan sayur sop brokoli itu dengan wajah getir, namun wajahnya berubah senang beberapa saat kemudian. "Enak, kan? Apa kubilang?" sahut Marren tersenyum sementara Wira mengangguk karena sibuk mengunyah. "Wah kelihatannya enak, Saya juga mau!" Belum sempat kedua gadis itu menoleh dan menjawab sumber suara, sebuah tangan yang bertakhtakan jam tangan mewah melintasi wajah Marren dan dengan seenaknya mencomot satu potong telur gulung milik gadis itu. "Hei!!" bentak Marren menoleh kepada si pelaku yang ternyata Pemuda tampan yang ia temui pagi itu, kini sedang mengunyah telurnya dengan nikmat. Lagi-lagi belum sempat Marren melanjutkan omelannya, tiba-tiba beberapa perempuan histeris melihat ke arah mereka. Marren mengernyit bingung. "Aagk... Arsan!" "Tuan muda Arsan...!" "Aaaakkhgg... Kak Arsan! Kak Arsan!" "Kak Arsaaaan ada di sini?" Marren terbelalak kaget saat melihat kericuhan yang terjadi tiba-tiba. Para mahasiswi dari kalangan anak-anak tenar dari berbagai jurusan semua berkerumun di sekeliling Arsan. Layaknya pangeran dengan dayang-dayangnya, Arsan berdiri dengan gaya yang angkuh nan menawan. Semua mata tertuju pada mereka. Bahkan beberapa mahasiswa ikut berkerumun tak jauh dari tempat itu. "Kamu mau jadi koki di rumah Saya? Saya sedang membutuhkan koki di rumah. Masakanmu enak!" "Siapa yang butuh..." "Saya saja kak! Saya kak!" "Saya kak!" "Sayaaaa! Sayaaaa...!" Bantahan Marren tertelan oleh suara-suara yang saling bersahutan saling memperebutkan posisi yang ditawarkan Arsan padanya. Gerakan tangan Arsan meredam keributan itu. "Oke, oke. Kalau begitu coba kalian buktikan kepadaku sekarang. Aku ada di kelas sebelah" ucap Arsan dengan mata yang menatap Marren dalam-dalam sebelum ia meninggalkan tempat itu. Marren membalas tatapan Arsan dengan memonyongkan bibirnya julit. "Huh? Apa-apaan sih? Siapa dia, orang sampai begitu semua? Cih.... Bocah culun seperti dia...." omel Marren seenaknya sambil beralih kepada Wira yang ternyata terpaku menatap sosok Arsan yang menjauh dengan wajah merona. "Heh! Wira! Kamu juga kenapa malah ikut-ikutan begitu?" "Em... Tidak...." Wira menutup wajahnya karena malu. Marren makin curiga akan tingkah sahabatnya itu. Namun dia mengabaikannya dan kembali duduk lalu melahap bekal makan siangnya. "Memangnya kamu tak tahu? Dia itu Tuan Muda Arsan dari keluarga Ryzadrd, Ryzadrd itu!" "Ryz..aa...drd?" "Ih... Ryzadrd pemilik XYNZ COMPAR OFFICE itu!" "Hah?" "Iya, Ren! Keluarga Ryzadrd pemilik saham terkuat Indonesia beberapa di Australia itu!" Wira sangat antusias. "Aku dengar kabarnya keluarga Ryzadrd punya pulau pribadi, bandara pribadi, dan grup itu penyokong terbesar pemerintahan!" Wira berbisik kepada Marren yang hanya menjawab acuh tak acuh. "Dan kudengar lagi keluarga Ryzadrd sedang mencari calon menantu untuk kedua Pangeran Ryzadrd lho!" Wira makin merona. Marren terpaku diam dan berhenti mengunyah, dia terus mendengarkan penuturan Wira tanpa berkomentar, apalagi melihat wajah Wira yang sangat antusias dan berbinar-binar saat menceritakan tentang pemuda itu. "Ah dia itu seperti Pangeran dalam dongeng ya? Sempurna! Dan aku tak menyangka akan bertemu dia sedekat ini!" lanjut Wira dengan wajah terpesona. "Memang dia mahasiswa Kampus ini, ya? Kenapa aku tak pernah melihatnya? Sejak kapan dia di sini?" Akhirnya Wira membuka suara dengan enggan. "Itu, aku dengar sih karena dia ingin hidup mandiri, makanya dia pindah kesini, dia baru hari ini kembali ke Indonesia." Wira masih tetap dengan wajah yang sama. Seolah menunjukkan dia sangat bangga mengetahui seluk beluk tentang Arsan. "Oh.... Sudah ah, buruan makan. Sebentar lagi jam istirahatnya selesai." Marren makan dengan lahap tanpa bersuara, karena ia benar-benar lapar serta mengacuhkan semua tentang Arsan. Mendengar ucapan Marren, Wira buru-buru melahap bekal makan siangnya dengan wajah antusias lebih dari sebelumnya. 🥀🥀🥀 "Marren...!" Marren menghentikan langkahnya saat keluar dari perpustakaan. Melihat arah sumber suara dengan wajah kesal. Eric mengangkat bahu tanda 'tau tuh!" Arsan merebut ponsel Marren tanpa memedulikan teriakan protes dari Sang Pemilik, dengan acuh ia menulis sebuah nomor ponsel lalu memencet tombol panggilan. Setelah memastikan nadanya terhubung, Arsan segera memutuskan sambungan telepon dan menyerahkan ponsel itu kepada pemiliknya yang telah memasang wajah masam. "Itu nomor ponsel Saya. Kamu harus mengangkatnya tiap saya menelepon! Ingat itu!" Arsan segera berlari menjauh tanpa memedulikan protes Marren. Pemuda berperawakan tinggi tegap itu berjalan berdampingan bersama Eric menuju arah berlawanan dengan Marren.Namun sebelum menjauh lagi-lagi Arsan menoleh ke arah Marren dan memberinya ancaman dengan pandangan. Marren membalasnya dengan meletakkan jari telunjuk di atas keningnya dengan posisi miring. "Sinting!" gumam Marren dengan santai. Walaupun ia tahu tak akan terdengar Arsan, tapi ia tahu pesannya tersampaikan karena Pemuda itu terkekeh menampilkan sederet giginya yang putih dan rapi. Untuk sekian detik Marren seperti tersihir akan tawa menawan itu, namun histeris para mahasiswi di sekitarnya membuyarkan lamunannya. Marren bergegas meninggalkan tempat itu. Dan benar saja, langkah Pemuda itu terhalang oleh beberapa mahasiswi dari kelas lain yang tergolong anak-anak tenar yang mencoba berkenalan dan meminta foto bersama. Akan tetapi Eric bertindak cepat layaknya pengawal yang mengusir para penggemar untuk Sang Bintang. Walaupun Marren baru menginjak tahun pertama di kampus itu, ia pun terkenal karena kepiawaiannya dalam hal olahraga, namun ia tak pernah menonjolkan dirinya dan ikut dalam geng anak tenar. la hanya ingin fokus dalam kuliah dan bekerja. Marren hanya menggeleng sinis saat melihat beberapa mahasiswi itu terlibat cek-cok saat Pemuda incaran mereka juga diperebutkan oleh para mahasiswi senior. Para junior hanya berani menatap di pinggiran seolah menunggu giliran."Kasihan" ujar Marren dengan tawa ringan.Marren mendorong Arsan dari dekapannya dan menatapnya dengan mata terbelalak tak percaya. "Ada apa, Arsan? Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Kenapa tiba-tiba kamu mengucapkan itu? Apa maksudmu, tiba-tiba seperti ini?" cecar Marren tercekat tak percaya. Wanita cantik itu menatap Arsan dengan tatapan mata berkaca-kaca.Melihat Arsan hanya terdiam membisu, Marren mengangguk paham."Apa ini ya.... Saya telah melarikan diri bersama Arland waktu itu? Jadi kamu tak percaya..." "Marren, Sayang...." sela Arsan yang kini bersimpuh di kaki Marren dan memeluk lututnya dan menghentikan ucapan Marren yang kini terpaku diam menatap Arsan yang ada di lututnya. "Dosa Ryzadrd terlalu besar untuk diampuni. Kakek telah menghancurkan hidupmu begini rupa. Saya terlalu malu untuk menatapmu sekarang. Tak ada lagi yang bisa Saya banggakan dan saya persembahkan untukmu, Marren. Saya bahkan yang hanya memiliki sedikit perasan kepadamu tanpa sadar hanya diperalat untuk mengikatmu secara paksa." Buliran a
"Sayang, apa kamu sudah selesai berbicara? Ayo, kita pulang, sepertinya Marren sedang kerepotan dengan anak-anaknya. Sebaiknya kita pamit," ucap seorang wanita yang tiba-tiba datang dan menggandeng lengan Vano, perut wanita itu terlihat sedikit buncit. Arsan menatap wanita tersebut, yang menatapnya dengan sopan namun sangat jelas terlihat dia menikmati apa yang sedang dilihatnya. "Sarah? Kamu sudah selesai berbicara dengan Marren?" tanya Vani menoleh pada wanita yang terlihat agak genit itu."Perkenalkan, Tuan Muda, ini istri saya Sarah, dan Sarah ini adalah Tuan Muda....""Arsan, Tuan Muda Arsan, suami Marren.""Salam kenal, Tuan Muda Arsan, saya Sarah, istri Tuan Vano ini, pemilik restoran yang punya banyak cabang di beberapa mall di kota-kota besar di Indonesia," sela Sarah memotong ucapan Vano dan mengulurkan tangannya untuk dijabat Arsan. Ucapan Sarah, membuat Vano jengah dan menegurnya walau dengan suara lembut. Akan tetapi sepertinya Sarah sangat menikmati pamer di hadap
"Bagaimana, Brian?" tanya Arsan setelah dokter Brian memeriksa kondisi Kakek Ryzadrd. Dokter Brian memegang gagang kacamatanya dengan gelisah dan mendesah perlahan."Arsan, Kakek meninggal karena pembuluh darah arterinya putus dan kehilangan banyak darah dan mengakibatkan syok dalam jantungnya. Dan Kakek meninggal sekitar 2 sampai 3 jam yang lalu," ungkap dokter Brian dengan tatapan penuh simpati. "Kenapa tidak pasti?" sela Arland kepada Brian menutupi ranjang dan seprei yang berlumuran darah Kakek Ryzadrd yang mengering. "Karena suhu ruangan ini sangat rendah, jadi membuat suhu tubuh juga semakin cepat turun dan dapat mempengaruhi pembekuan dengan cepat," jawab Brian yang membuat Arland terdiam menguyup wajahnya sendiri dengan kasar. Pria itu terlihat sangat stres. "Dan memang beliau meninggal karena sebab bunuh diri, tak ada tanda-tanda kekerasan apa pun yang terjadi," lanjut Brian dengan wajah penuh duka. Dokter muda yang berumur tak jauh di atas Arsan itu menghela napas deng
Mendengar ucapan Arsan yang terbata-bata, Arland tak kuasa menahan gelak tawanya dan membuat Marren dan Madya menatapnya dengan tatapan heran."Ada apa, Arland? Apa yang sebenarnya terjadi?" tegur Madya yang langsung membuat Arland menghentikan gelak tawanya. Lalu dengan menyisakan tawanya, akhirnya Arland mengakui, bahwa dia sengaja membisikkan kata-kata itu untuk membuat Arsan marah dan bangun."Apalagi yang bisa membuatmu marah selain itu? Lihat saja, Ma, bahkan dia bisa melawan dan bangkit dari kematian hanya karena Marren," papar Arland yang membuat Marren dan Madya menangis terharu. Marren kembali memeluk dan menciumi tangan Arsan. Sementara Arsan menahan sakit karena tawanya yang terlepas begitu saja. "Awas... kau... Arland...." ancam Arsan dengan suara berat, namun lagi lagi Arland mengendikan bahunya dengan acuh. "Bangun dengan benar lebih dulu, baru kau bisa mengancamku," ledek Arland dengan wajah senang.🥀🥀🥀Akhirnya setelah beberapa hari di rawat, Arsan diperbolehk
Hari itu suasana ruang tunggu ICCU terlihat lengang dan penuh kesedihan. Karena saat mereka sampai di sana, kamar Arsan sedang di penuhi oleh para dokter dan perawat yang sedang mengupayakan keselamatan Arsan dari berhentinya detak jantung pria tampan itu. Dalam sehari sepeninggal Marren, sudah dua kali jantung Arsan berhenti berdetak hingga harus mendapatkan serangkai penyelamatan dari para dokter, seperti yang sedang dilakukan saat ini. "Ya, Tuhan, Saya mohon selamatkanlah Arsan, selamatkanlah suami Saya. Saya dan anak-anak masih sangat membutuhkannya. Izinkanlah Arsan sembuh dan hidup bersama anak-anaknya, karena itu adalah impiannya sejak dulu. Ya, Tuhan, Saya mohon kepada-Mu," doa Marren dalam hati seraya menahan isaknya. Marren terus menatap kaca transparan yang kini tertutup oleh korden tebal berwarna putih agar mereka tak melihat apa yang telah terjadi di dalam ruangan tersebut. Marren menguatkan hatinya seraya meletakkan tangan bersandarkan kaca itu. Sementara Masya t
Arland meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat rapat tanpa tahu jari-jemari Arsan mulai bergerak walau hanya sesaat. Hingga rombongan Arland dan Marren meninggalkan rumah sakit itu demi membawa Marren pulang setelah ia berbicara dengan Dokter pengawas Arsan dan menyerahkan nomor ponsel Arland jika ada perkembangan kondisi Arsan. Sesampainya di rumah, Marren menangis tersedu dalam pelukan Ibunya dan Arland menegaskan Marren harus makan dan beristirahat. Mengabaikan semua itu Marren menatap kedua bayinya yang terlelap dalam keranjang bayi. Marren meneteskan air mata menatap si kembar dengan lemah terkulai di ranjang. Madya menahan isaknya saat melihat Marren yang begitu pucat dan seolah kehilangan semangat dalam hidupnya. "Sayang, makanlah dan beristirahatlah barang sejenak. Kamu harus sehat demi anak-anak. Mommy akan siapkan makanan untukmu dan kamu harus makan," bujuk Madya seraya membelai rambut Marren yang tergerai berantakan di pundak. "Kamu juga harus makan, Arl