''Ya Tuhan... Kumohon pertolongan-Mu, tolong selamatkanlah Mommy..." Marren mulai menitikkan air mata. Sekuat apa pun dia jika sesuatu menimpa Mommy-nya, ia akan hancur berkeping-keping. Segala yang ia lakukan demi kebahagiaan Mommy-nya yang kini sakit-sakitan akibat jantung lemah sejak kepergian Daddy Marren yang mengalami sebuah kecelakaan pesawat dalam perjalanan bisnis bersama Kakeknya, serasa tak ada artinya jika ia tak bisa menjaga Mommy-nya dengan benar. Dan kini Mommy-nya berada dalam bahaya di tangan seorang penculik atau bahkan lebih dari satu orang. ''Tidak! tidak ada waktu untuk menangis! Aku harus kuat demi Mommy, apa pun yang terjadi. Aku harus bisa menyelamatkan Mommy!" Sumpah Marren kepda dirinya sendiri. Gadis itu berlari ke gerbang utama rumah susun dan berdiri menunggu dengan tenang. Benar saja, tak berapa lama kemudian sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap memasuki jalanan rumah susun sederhana yang mengesankan pemandangan yang sangat kontras
Marren mengerjapkan mata sebelum akhirnya membuka mata sepenuhnya. Gadis itu terlonjak kaget dan bingung saat menyadari ia terbangun di sebuah kamar yang sangat indah dan penuh perabotan mewah. 'Nona, sudah sadar?" Marren menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari seorang gadis belia yang baru saja memasuki ruangan itu dan sedang berjalan ke arahnya. Gadis belia itu tampak sangat antusias menyambutnya. "Ini... Di mana? Kamu siapa?" Marren mencoba bangkit namun langsung di cegah oleh Sang Gadis yang memakai seragam itu. ''Aaah ini, ini di kamar Anda, Nona. Dan saya Haura, yang akan merawat dan membantu segala kebutuhan, Nona." jawab Haura menunduk penuh hormat. "Apa?" Belum sempat Marren bertanya lebih jauh, tiba-tiba seseorang membuka pintu. Ceklek! Pintu terbuka dan tertutup. Kali ini seorang wanita lebih tua dengan rambut putih yang menutupi hampir seluruh kepala datang dengan sikap anggun. Wanita itu terlihat sangat luwes dan berwibawa dengan setelan jas dan
Dengan perasaan malu, Marren mengamati dirinya di cermin kamar mandi, la benar-benar melihat tanda bekas ciuman seseorang. Bukan hanya satu, ada beberapa di leher, pundak dan dadanya. Marren merabanya, ada getaran aneh yang ia rasakan. la juga meraba bibirnya yang terasa lebih tebal dan bengkak. 'Itu kamar siapa? Tapi tak ada siapa pun di sana?' batin Marren penasaran, lalu segera memakai baju yang ia dapatkan dari Haura. 'Oh tidak! Apalagi ini? Kenapa pagi begini harus memakai gaun resmi seperti ini?" Marren menggerutu dalam hati. Lebih-lebih potongan baju yang agak rendah itu tak bisa menutupi tanda merah di leher dan pundaknya. 'Sial! Sepertinya aku harus memakai syal tinggi untuk menutupinya. Ah tapi pasti akan terlihat aneh, kan? Ini masih terlalu pagi!' gerutunya dalam hati. Tok! Tok! Tok! "Nona, apa Anda baik-baik saja?" panggil Haura dari balik pintu kamar mandi. "I... lya, sebentar lagi aku selesai," Marren menjawab dengan gugup, karena terlalu lam
"Ada apa ini? Kalian sepertinya sudah saling mengenal, tapi Kakek rasa bukan dalam keadaan baik. Apa itu benar?" Kakek Devan memandang keduanya bergantian. Refleks Marren menghela napas dengan kesal dan menceritakan kejadian saat pertama kali bertemu Arsan, seperti anak kecil yang sedang mengadukan kenakalan Kakak pada orang tuanya. Kakek Devan mendengarnya dengan antusias di selingi gelak tawanya menatap Marren yang bersungut-sungut. "Ya, mau bagaimana lagi. Arsan sedang bosan, Kek. Apalagi saat tahu kalau dia pandai berkelahi, makanya Arsan iseng saja sekalian" sahut Arsan dengan santai sambil duduk di seberang kursi Kakeknya. "Iseng! Yang benar saja!" Marren bersedekap defensif dan memandang Arsan dengan masam, akan tetapi Pria tampan yang mempunyai lesung pipi itu mengabaikannya dengan mengendikan bahunya. Bahkan ia mengerlingkan iris hazel dengan manis dan membuat Marren semakin jengkel. "Iya Kek! Coba Kakek melihatnya sendiri, saat dia menghajar penjambret
Marren menggeliat dengan manja dan merentangkan tangannya dengan bebas. Namun, ia merasakan tubuhnya terasa sangat berat seolah ada batu besar yang menimpanya. Perlahan gadis itu membuka lentik kedua matanya. Marren tersentak dari tidurnya dan betapa terkejutnya dia saat mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Dengan panik, ia membungkus diri dalam selimut dan menyalakan lampu tidur yang ada di meja samping ranjang. Gadis itu menahan gusar karena ia tak mengingat apa pun yang terjadi. ''Oh tidak! Apa yang sudah terjadi? Apa aku dan Arsan sudah...?" Marren menggigit bibir menahan isaknya, ia mencoba menenangkan diri untuk mengingat apa yang terjadi, namun ia tak bisa mengingat apa pun. Marren memaksakan untuk bangkit dan membasuh dirinya, ia berendam cukup lama untuk menenangkan diri jika saja hal terburuk yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Namun, tetap saja ia tidak bisa mengingat apa pun di malam pertama setelah pernikahannya. Apalagi ia m
🥀🥀🥀 Makan malam telah terhidang di meja makan. Namun, hanya Marren yang sedang asyik menikmati makan malam itu. Dua piring yang telah disediakan di atas meja masih dalam keadaan tertelungkup, karena Sang Empunya belum menampakkan batang hidungnya. Untuk itulah Marren sengaja makan lebih awal karena ingin buru-buru menyelesaikan aktivitasnya agar bisa menghindari kedua Kakak Beradik itu. Walaupun para asisten rumah tangga itu memandangnya aneh karena terlihat sangat jelas ingin menghindari makan malam bersama dengan para Tuan Muda, Marren tidak memedulikan itu semua, karena ia mulai tidak nyaman malam bersama dengan para Tuan Muda. Marren tidak memedulikan itu semua, karena ia mulai tidak nyaman dengan situasi yang ada. Belum sempat ia bisa hidup tenang karena sikap Arsan, kini Arland pun tiba-tiba hadir di antara mereka dan Marren merasakan perasaan yang aneh dan menekannya saat menatap sosok Arland. Dengan perasaan lega Marren meneguk air putih di tangannya, lalu b
"Maafkan Saya Pak Vano, Saya harus melakukan itu di hadapan Bapak, agar Bapak bisa segera melupakan Saya dengan rasa sakit yang Bapak terima hari ini. Tidak apa-apa jika saja Bapak memandang Saya seperti wanita ja***g atau bahkan pela**r yang menjual diri pada konglomerat! Tidak apa-apa, asal Bapak selamat!" jerit batin Marren yang berkecamuk tak karuan. Sambil menyisakan tangisnya, ia memasuki sebuah kamar kosong yang ada di lantai dua, la sengaja memilih kamar dengan posisi terjauh di rumah itu, agar ia bisa menenangkan dirinya tanpa gangguan siapa pun, terutama Arsan. Hatinya benar-benar remuk redam. Marren yang dulu memang sempat jatuh cinta pada Vano yang tampan, dewasa dan sangat bertanggung jawab itu kini harus mengubur rasa cintanya dalam-dalam. Walaupun begitu ia sangat tahu diri bahwa umur mereka yang terpaut cukup jauh membuatnya lebih memilih mundur, apalagi ia melihat teman kerjanya juga sangat menyukai manajernya itu dengan sepenuh
Siang itu Marren terbangun dengan keadaan yang masih tanpa sehelai benang pun. Tubuh polosnya tertutup selimut tebal yang hangat karena udara yang dingin dari AC menembus kulitnya. Marren menutup wajahnya dengan malu setelah teringat apa yang telah terjadi sebelumnya. la memeluk tubuhnya erat-erat dan segera berlari membilas diri di kamar mandi dengan selimut yang melilit tubuhnya. 'Tidak apa-apa. Toh dia suamimu Marren! Tidak apa-apa! Lagi pula ini demi menyelamatkan Pak Vano. Dan lagi, Saya selalu meminum pil KB itu terus, jadi Saya tidak akan hamil, sekiranya Arsan tidak memakai pengaman pun kurasa tidak akan apa-apa. Tapi si brengsek itu sepertinya tidak pernah pakai pengaman? Aku tidak sempat memperhatikannya! Boro-boro! Yang penting dengan begini Pak Vano terlepas dari cengkeraman Arsan!' Marren mendumel dalam hati dan mencoba membuang ingatan semua tingkah binalnya demi meredam amarah Arsan. Namun semakin ia membuang semakin jelas gambar