Share

Chapter 4

Seperti biasa seusai kuliah Marren langsung menuju sebuah restoran yang ada di sebuah mall kecil yang terletak tak jauh dari Kampusnya.

Marren segera menuju ruang karyawan untuk berganti pakaian. Kini gadis itu telah berganti seragam pramusaji restoran.

Marren menyapa beberapa rekan kerja dan seorang manajer restoran yang sangat mengenalnya dengan baik.

"Hai Ren, apa kabar hari ini?" sapa Manajer yang sedang duduk di sebuah ceruk ruang karyawan melepas kesibukannya dengan pembukuan yang ada di hadapannya.

"Baik Pak! Sangat baik!" jawab Marren dengan antusias yang membuat lelaki bertubuh tinggi besar dan bertampang maskulin itu mengangkat wajahnya dari aktivitasnya. menatap lembaran bon dan buku kas.

"Hei, ada apa? Sepertinya kamu sedang sangat bersemangat, ya?" Pak Evan meneguk kopinya dengan senyuman khasnya yang membuat aura maskulinnya terlihat lebih ramah.

"Marren kan memang selalu kelebihan energi pak! Seperti baterai Kelinci itu Pak!" sahut Radi yang sedang melintasi ruangan sambil membawa nampan yang berisikan beberapa piring dan gelas kotor untuk di cuci.

Mendengar itu pak Evan tergelak dan mengiyakan ucapan Radi. Marren hanya mencibir dengan gaya khasnya sambil merapikan kembali rambut kucir kudanya. Lalu ia buru-buru ke ruang depan yang merupakan ruang makan untuk para pengunjung.

Maret segera membantu Radi mengangkat semua perkakas kotor sepeninggal para pengunjung. Marren sangat cekatan dan gesit melakukan pekerjaannya, kini ia sedang mengelap meja-meja yang siap diisi oleh pengunjung baru.

Akan tetapi ia merasakan sebuah tangan dengan enaknya meremas bokongnya yang terbalut celana hitam seragam yang ia kenakan. Bertepatan Pak Evan keluar dari ruang karyawan dan melihat hal itu.

Marren spontan menoleh ke belakang dan langsung mendapati seorang pria bertubuh gemuk sedang memandangi dengan tatapan nakal kepadanya.

"Apa yang Anda lakukan? Anda benar-benar kurang ajar!"

BUG!

Dengan kesal Marren memukul wajah Pria yang berpenampilan seperti seorang Sugar Dady. Pria itu mengerang kesakitan menerima pukulan Marren.

"KURANG AJARI BERANI-BERANINYA KAMU MEMUKULKU!" bentak Pria berjas hitam dan berkepala botak itu sangat marah hingga membuat semua mata menoleh ke arah mereka.

Bahkan tanpa mereka sadari ada beberapa pengunjung dari restoran itu dan restoran yang bersebelahan dengan mereka merekam insiden itu menggunakan ponsel mereka.

"BAPAK YANG KURANG AJAR PADA SAYA! DASAR ORANGTUA MESUM! BAPAK TADI MEREMAS BOKONG SAYA!" balas Marren tak mau kalah.

"JANGAN MENGADA-ADA YA! KAMU MAU DUIT, KAN? SENGAJA MERAYU SAYA TAPI KARENA SAYA MENOLAK KAMU BERBUAT KASAR!! KAMU TAHU SIAPA SAYA? BISA BUSUK KAMU DIPENJARA KARENA KELAKUANMU TADI!"

"YANG SAYA TAHU BAPAK ORANG MESUM DAN..... "

Belum selesai ucapan Marren, tiba-tiba 2 orang berbadan kekar segera mendekati Marren dan salah satunya hendak menangkap pergelangan tangan Marren namun terhalang oleh tangan Evan.

"Maaf Bapak sekalian, tolong jangan berbuat onar di restoran kami." Pak Evan segera menepis tangan salah satu pengawal itu dan berdiri di antara Marren dan ketiga Pria itu.

"ANAK BUAHMU YANG BERBUAT ONAR! LIHAT SAJA DIA MEMUKULKU DAN MEMFITNAHKU MESUM!'' Bentak Pria berkepala plontos tetap mengotot dengan pendiriannya.

Kini para pengunjung Mall makin ramai mengerumuni mereka.

"Oh, Bapak harusnya bukan hanya dapat pukulan tapi Bapak bisa dipenjara karena berbuat kurang ajar pada perempuan. Apalagi sekarang membuat keributan di sini. Saya melihat sendiri tangan Bapak melakukan itu pada anak buah saya. Kalau bapak masih mengotot tak percaya, biar saya buka CCTV restoran dan CCTV dari Mall. Banyak CCTV di sekitar sini, pasti salah satu di antaranya ada yang merekam kejadian tadi" ancam Pak Evan dengan tegas.

Pria plontos itu langsung berubah kecut. "Saya tahu Bapak siapa! Justru Bapak yang seorang anggota parlemen harusnya bisa menjadi contoh yang baik untuk masyarakat! Jika terbukti Bapak bersalah saya akan menuntut Bapak!" Pak Evan mengeluarkan ancamannya.

Bertepatan dua petugas keamanan Mall mendatangi mereka dan segera membubarkan kerumunan dengan membawa semua yang bersangkutan ke dalam kantor Mall.

"Aduh, ada-ada saja!"

Vina mendesah dengan kasar, sepeninggal mereka dan orang-orang di sekitar tempat itu mulai kembali normal dengan kegiatan masing-masing walau sebagian orang masih kasak-kusuk membicarakan insiden yang baru saja terjadi.

"lya, apes itu Om Botak! Marren yang dikerjai, untung saja bukan Botaknya yang dikeplak" Radi menimpali sambil terkekeh.

Vina, Bima dan Rudi ikut terkekeh mendengarnya.

"Eh guys, aku merasa Pak Evan perhatian sekali ya pada, Marren?" gumam Bima mengalihkan pembicaraan.

Radi terlihat terkejut. "Ya iyalah Pak Evan kan manajer kita, ya tentu saja harus membela Marren. Apalagi jelas-jelas orang itu yang salah, bagaimana sih kamu?" Radi mencoba menyampaikan logikanya.

"Ih, bukan sekarang saja! Sejak ada Marren, Pak Evan jadi lebih sering bercanda dan gayanya itu... Seperti apa ya? Seperti orang jatuh cinta!" Bima mencoba meyakinkan.

"Heh! Dasar Kakek bangka! Marren masih kuliah, baru juga dua puluh tahun! Umurnya saja separuhnya Bapak!" Radi makin menentang opini Bima.

"Halah, bilang saja kamu cemburu? lya, kan?" Bima menepuk-nepuk pundak Radi seolah menyabarkan Pemuda berperawakan kurus itu.

Radi tergelak menutupi perasaannya yang terbaca dengan jelas oleh Bima. Mereka pun ikut menertawakan dan meledek Radi tentang gosip yang sudah terungkap berkat pengamatan Bima. Hanya Vina yang tersenyum sekedarnya melihat itu.

"Heh, sudah, sudah! Itu Bapak dan Marren sudah kembali. Bubar! Bubar!" sahut Rudi yang muncul dari luar restoran.

Mendengar itu mereka langsung membubarkan diri dan kembali ke pos pekerjaan mereka masing-masing. Namun kepura-puraan itu tak berlangsung lama, begitu mereka melihat pak Evan dan Marren yang berwajah tegang memasuki restoran, mereka langsung mengerumuni kedua orang itu.

"Jadi? Jadi bagaimana tadi, Pak?" Radi menyerbu dengan tak sabar.

Pak Evan duduk di sebuah bangku pengunjung. Laki-laki tampan berjambang tipis dan berambut jabrik itu tersenyum miring yang membuat ketampanan maskulinnya itu makin memesona.

Vina menggigit bibirnya melihat pemandangan itu.

"Ya, begitulah, merasa orang yang punya kuasa mau semena-mena. Setelah ketahuan salah dari CCTV Mall dia minta damai, mau menyuap kita dengan uang asal masalah ini tak dibawa ke ranah hukum." Pak Evan mulai menjelaskan.

"Negosiasi berlangsung alot karena Sang Botak itu sangat keras kepala!" Marren menggerutu kesal.

"Pihak Mall setuju menyerahkan kasus ini untuk dibawa ke pihak berwajib, jadi mungkin beberapa hari ke depan saya akan mendampingi Marren sebagai saksi, jadi jika saya tak ada di tempat saat itu semua urusan saya serahkan ke kamu ya Radi."

"Hah? Oke pak! Siap!" jawab Radi yang kaget namun cepat tanggap dengan perintah mendadak itu.

"Huh, benar-benar hari yang aneh," gumam Marren sambil merenung.

"Ada apa, Ren? Kamu ada masalah apa lagi?" tanya Bima menoleh kepada Marren yang membuat semuanya ikut menoleh kepada gadis cantik bertahi lalat di pipi itu.

Mendengar pertanyaan itu lagi-lagi Marren mendesah dan menceritakan insiden-insiden yang ia alami sebelumnya. Semua yang mendengarnya melongo bengong dan kaget. Kecuali Pak Evan yang menatapnya dengan senyum terpana.

"Wah, wah, wah... Tahu begitu tadi Saya tak perlu menahan saja ya tangan pengawal-pengawal tadi? Kalau kamu bisa hajar mereka pasti seru" Pak Evan berdecap kagum menatap Marren yang cengengesan malu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Ya bukan begitu juga Pak...." Marren berusaha merendah.

"lya benar! Coba kepala Sang Botak di keplak sama Marren, biar bener dikit itu otaknya!" Celetuk Bima yang membuat semuanya terkekeh.

🥀🥀🥀

Malam itu Marren diantar pulang oleh Pak Evan dan Radi yang menumpang mobil Pak Evan. Pak Evan memaksa melakukan itu karena khawatir akan keselamatan Marren.

Sepeninggal mobil sedan hitam itu, Marren memasuki sebuah halaman rumah susun yang terletak di pinggiran kota. Gadis itu berjalan dengan riang, menggumamkan sebuah nada lagu di sela bibirnya yang mengulum permen coklat favoritnya. la memasuki lift dan memencet angka 3.

Sesampainya di depan rumah Marren mengetuk dan mengucapkan salam, namun tak ada jawaban. Marren mengernyit bingung dan memanggil sekali lagi sambil memuka pintu.

Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati pintu terbuka dengan sendirinya.

"Loh? Tak dikunci? Mommy?" Marren bergegas memasuki rumah yang gelap.

la menyalakan lampu ruang tamu sambil terus memanggil Ibunya. Marren mencoba menelepon ponsel Mommy-nya setelah ia tak menemukan Mommy-nya di mana pun, akan tetapi ponsel sang Mommy pun tak aktif.

Perasaan cemas mulai menghinggapinya. la beranjak dari kursinya untuk bertanya ke tetangga terdekat, namun langkahnya terhenti saat matanya tertumbuk oleh sebuah tulisan di atas kertas yang terpajang di balik pintu rumah.

"Jika ingin ibumu selamat, jangan bicara pada siapa pun! Akan ada mobil yang menjemputmu di depan gerbang. Ingat jangan macam-macam! Siapkan dirimu dari sekarang! Turuti perintah kami!"

''Oh Tuhan... Apa lagi ini?'' lirih Marren terduduk lemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status