Rendi mengantar Mouza sampai ke depan pintu rumah, adik Mouza yang bernama Mona menatap heran kakaknya.
"Tumben ada cowok nganterin kakakku, ganteng pulak itu, agrrhh! paling tukang bengkel, mana ada cowok mau sama perempuan cerewet kelas kakap itu" Gumam Mona. Dia tetap berdiri mengawasi mereka di balik kaca jendela.
"Besok masuk pagi, kan? Minta nomor hapemu biar bisa kau ku telpon" titah Rendi.
"Nggak usah, besok aku berangkat sendiri" kata Mouza ketus.
"Naik apa kau paok, keretamu aja tinggal di galon"ejek Rendi sambil menonyor jidat Mouza.
"Bagus-bagus kau, kepala ini," pungkas Mouza kesal sambil mengurut jidatnya yang lebar itu.
"Pokoknya nggak mau aku titik! gak pake koma," tandas Mouza berlalu meninggalkan Rendi. Rendi menaikkan bahunya tanda tak peduli, yang terpenting baginya dia sudah tau alamat gadis cantik pekerja pom bensin itu.
Rendi tak perduli lagi teman nongkrongnya. Saat ini kembali kerumah lalu berkhayal, mengingat senyum manis Mouza adalah yang paling penting untuk hidupnya.
Di rumah Mouza, adiknya Mona si super kepo mencecar kakaknya dengan segudang pertanyaan. Siapa lelaki yang mengantarnya, kemana sepeda motornya dan kenapa bisa diantar lelaki tampan. Mouza tak menggubris satu pun pertanyaan adiknya. Dia memilih membersihkan diri lalu istirahat. Rasanya energi Mouza habis terkuras menghadapi laki-laki semena-mena dan keras kepala seperti Rendi. Meskipun Mona tetap menguntitnya, dia tidak terganggu, bahkan dia bisa langsung tidur pulas sesaat bertemu dengan bantal.
"Dasar kebo," umpat Mona kesal.
Pagi ini, sama seperti pagi sebelumnya, Mouza masih berada di shift pagi. Dia sengaja mempercepat jam alarmnya. Berhubung sepeda motor yang biasa menemani hari-harinya sedang menginap di Pom. Dia harus bangun lebih awal, karena menunggu angkot itu terkadang nasib-nasiban, kadang cepat kadang lama. Jam 5 pagi dia sudah berjalan kaki menyusuri gang rumahnya menuju jalan raya untuk menunggu angkot. Betapa terkejutnya dia saat melihat Rendi sudah menunggunya di depan gang.
"Pagi, nona cantik!" Sapa Rendi begitu melihat Mouza.
"Kau tidur disini?" tanya Mouza heran.
Rendi hanya membalas pertanyaan Mouza dengan senyum.
"Ayok, telat kau nanti, awas di gigit Si Tarigan kau nanti." Rendi menakut-nakuti Mouza dengan menirukan macan yang ingin mencabik mangsanya. Mouza menolak tegas, dia memilih naik angkot saja di banding naik motor Rendi yang suaranya bisa merusak gendang telinga.
"Kalau kau nggak naik, berarti hukumanmu nambah sebulan lagi, setiap kau menolak maka satu kali penolakan nambah satu bulan," kata Rendi mengancam. Tentu Mouza tak mau, sebulan saja rasanya lama apalagi nambah sebulan, bisa-bisa ikutan gila Si Mouza.
"Kok suka-suka kau aja buat aturan" ucap Mouza kesal.
"Lupa yah, kan korban dari kelalaianmu 'kan aku! jadi memang sudah kewajibmu menebus salahmu dengan caraku" terang Rendi santai.
Mouza menghentakkan kakinya kesal, bagaimana mungkin dia membuat aturan semaunya saja. Rendi tersenyum tidak acuh sambil menepuk belakang motornya mengisyaratkan Mouza untuk naik.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di perusahaan bahan bakar kendaraan itu, suara sepeda motor Rendi dengan suara berisik membuat Pak Tarigan, Rizal dan Rini yang sudah sampai sejak tadi tersentak. Mereka menoleh ke sumber suara, benar saja, Rendi, dan yah, dia mengantar Mouza sesuai hukuman yang mereka tau. Menurut mereka itu bukan hukuman tapi keberuntungan.
Teman-teman satu timnya takjub melihat Mouza yang datang dalam keadaan baik-baik saja. Bagaimana bisa seorang Rendi, mempekerjakan dirinya jadi ojek gratis untuk seorang Mouza, gadis biasa, yang hanya bekerja sebagai operator di pom bensin. Sebagaimana rumor yang beredar, wanita manapun siap menemani hari Rendi, dengan embel-embel anak tunggal, calon pewaris harta kekayaan seorang juragan kaya di kampung ini.
Mereka berlari menghambur kepada Mouza. Mereka membolak-balikkan tubuh Mouza, memastikan tidak ada lecet atau sesuatu yang terluka di tubuh Mouza.
"Kau gak papa 'kan, za?" tanya Rini dengan antusias. Sedang Pak Tarigan dan Rizal mendengarkan dengan serius. Mouza terkikik geli melihat kelakuan temannya.
"Apanya kau, mau kau aku kek mana?" tanya Mouza sambil berjalan ke loker penyimpanan barang. Mereka, Rini, Rizal dan Pak Tarigan mengekor dari belakang."Kau nggak diapakannya 'kan? maksudku ... Kau.. nggak di ituinya?" tanya Rini ragu sambil memainkan jari telunjuknya,
"Ish! apanya kalian, nggaklah," tandas Mouza.
"Bukan, kek gitu, Za! masalahnya memang Si Rendi itu 'kan berandalan, kami cuma khawatir aja," jelas Rini. Rizal dan Pak Tarigan mengangguk setuju.
Mouza membingkai wajah teman perempuannya itu. "Aku nggak apa-apa, terima kasih kalian udah ngehawatirin aku" jawab Mouza tersenyum manis."Betul kau?" tanya Rini lagi memastikan, Mouza mengangguk semangat.
"Oih! syukurlah kalo gitu, udah mau mati kami semalam mikiri kau, iya 'kan Zal?"kata Pak Tarigan yang diangguki Rizal membenarkan.
Mouza hanya tersenyum, hatinya menghangat. Ternyata teman-temannya begitu peduli dengannya. "Tenang saja, semoga semua baik-baik aja" ucap Mouza yang diaminkan serempak oleh ketiga rekannya itu.Pekerjaan hari ini berjalan normal. Panas, lelah sudah biasa. Menurut Mouza apapun pekerjaannya, selama disyukuri dan dinikmati akan terasa nikmat saat gajian.(hahaha, Mak Author geleng kepala memikirkan prinsip Mouza)
Pom bensin ini tempat kerja paling dekat dengan rumahnya di banding harus kerja ke kota Medan yang belum tentu menjanjikan. Lagian dia sudah merasa nyaman dengan tim kerjanya.Gadis periang yang sebenarnya sedikit sengklek itu melirik jam yang melingkar di tangannya, waktu pergantian shift tinggal satu jam lagi. Dia melirik tempat Rendi kemarin menunggunya.
"Hufft! kosong, syukurlah," ucap Mouza dalam hati. Mouza berharap kali ini Rendi tidak datang.Hingga jam pulang, Mouza tetap tidak melihat batang hidung Rendi.Saat membereskan barang dan ingin pulang, ponsel Mouza berdering. Nomor tanpa nama memanggil. " Siapa pulak lagi ini?" gumam Mouza. Saat diangkat langsung di putuskan sepihak oleh penelepon.
"ish, banyak kali orang gila nelpon nomorku ini" kata Mouza mendumel sendiri.Dari kejauhan ada Rendi menatap Mouza bingung, bagaimana bisa feelingnya benar, Mouza dan perempuan yang hendak ditipunya malam itu adalah orang yang sama. Rendi jadi panik sendiri. Bagaimana kalau Mouza tau, bisa didepak dia sebelum berhasil merebut hati Mouza.
Rendi menggeleng keras. "Nggak, mana ada yang tau selain aku," kata rendi meyakinkan diri sendiri.Mouza sudah mengeluarkan sepeda motornya, saat Rendi tiba-tiba datang menghampirinya.
"Mau kemana kau? Mau coba kabur kau kan?" cecar Rendi. Mouza yang kaget menatap Rendi dengan malas. "Kukira nggak datang, udah nongol aja tiba-tiba macam hantu" lirihnya pelan namun masih jelas terdengar oleh Rendi."Ayok!" ajak Rendi yang sudah standby di atas motor Mouza.
"Loh, mana kereta kau? Kok naik keretaku, rugi bensin kau 'kan? udah kubilang, udahlah buat apa kau capek antar jemput aku" kata Mouza mengejek.
"Udah kuletak di warung samping gang rumahmu, biar bisa kita bawa kereta kau pulang, kasian kali dia ngangkrak disini, udah jelek, di pampang pulak disini pulaklah berhari-hari, dikira tukang botot nanti barang botot ini" kelakar Rendi yang dibalas cubitan pedas dari Mouza.
"Aduh! aduh! aduh! macam mama tiri cubitannya" ejek Rendi.
"Kepala otak kau itu, kau tau yah! biar jelek kek gini, hasil keringat sendiri ini," ucap Mouza sambil menepuk dadanya bangga.
Tapi menurut Rendi kata-kata itu lebih pedas dari cubitan Mouza tadi. Hatinya tertampar, tertendang, terjungkal, tercabik-cabik.Rendi seorang lelaki yang tidak kurang satu apapun, bahkan mengantongi ijasah sarjana ekonomi. Hanya untuk jajan di warung saja harus menengah menodong orang tuanya. Ada segumpal daging yang merasa tercubit di dalam sana. Mouza gadis mungil bertubuh ramping itu dengan perkasa menjadi tulang punggung untuk adik dan ibunya. Sementara dia? otak Rendi sibuk membandingkan ketidak bergunaannya dengan kemampuan Mouza.
"Kok bengong kau, kesurupan kau? tadi ketawa sekarang diam" ucap Mouza yang membuat Rendi terkejut.
"Ayoklah cepat, banyak kali bacotmu" pungkas Rendi.
"Paok anak ini, dia yang bengong, dia pulak yang ngegas," kata Mouza kesal.
Rendi hanya diam, dia membawa sepeda motor dengan kecepatan sedang. Pikirannya berputar-putar tentang ucapan Mouza. Entah sihir apa yang ada dalam diri Mouza, setiap perkataan Mouza seperti menghipnotis pikiran Rendi. Bahkan Rendi tidak pernah merasa menyusahkan kedua orang tuanya sebelum kata-kata Mouza barusan.
'Hasil keringat sendiri'
Hantaman kata-kata itu kembali membuat Rendi semakin tidak tertarik dengan kehidupan kelamnya. Dia mengantar Mouza hanya sampai depan gang, menyerahkan sepeda motor Mouza dan pergi pulang.
Tak semangat rasanya menggunakan uang kantong yang di beri orang tuanya.Mouza memperhatikan sikap Rendi yang aneh, dia merasa tidak mengucapkan kata-kata yang salah.
"Kurasa kejedot pintu kepala anak itu tadi" gumam Mouza sendiri. Mouza melajukan sepeda motornya menuju Rumah. Dia ingin segera sampai di rumah dan menonton dvd korea yang belum sempat dia putar karena sibuk bekerja.Matanya tertuju pada televisi tapi hati dan pikirannya mengarah ke Rendi. Otaknya sibuk menebak-nebak apa yang salah dengan Rendi.
Lelaki itu terduduk lemah menyadari segalanya menyerangnya dari setiap sudut. Mouza yang menyadari lelaki yang menjadi kekasihnya itu kini tengah diambang kehancuran. Tidak mengejutkan jika lelaki itu memiliki musuh dari berbagai sisi. Masa kelam Rendi memang telah membekas dan berubah menjadi boomerang yang siap menghancurkan hidupnya. Tak ada kata terlambat untuk berbuat baik, tetapi segala jejak akan tetap membekas hingga kapanpun. Tak banyak orang yang siap dengan perubahanmu, bagi sebagian kau akan tetap buruk seperti masa lalumu. Tak perduli seberapa keras kau berusaha untuk menjadi orang baik. Usaha yang dirintis Ayah Rendi benar-benar hancur ditangan orang-orang kepercayaan ayahnya sendiri, bahkan ayah Rendi harus berulang kali mendapat perawatan intensif karena drop mendapat kabar buruk itu. Sia-sia segala pengorbanannya. Rendi memutuskan pergi dari kota itu, berharap nasib baik menghampirinya. Namun nyatanya dimana pun dia berada dosanya tetap menghantui dirinya. Bertahu
Mouza berjingkat-jingkat meraih lobang ventilasi yang berada di atas pintu. Namun, karena tinggi badan Mouza yang cukup mini, hanya satu meter lima puluh lebih beberapa sentimeter saja. Usahanya sia-sia.Sebagai pekerja baru, meski diberi wewenang oleh Rendi untuk mengawasi gerak-gerik Sri, Mouza tak boleh sembrono. Dia juga harus tetap bermain cantik supaya mangsa masuk ke dalam perangkap lebih mudah.Di sudut ruangan toko, terdapat kursi bulat tempat meletakkan manekin atau patung yang dikenakan longdress agar tidak terjuntai ke lantai dan berdebu.Mouza benar-benar menaruh rasa curiga yang besar terhadap Sri.Dia angkat kursi tersebut lalu berencana berdiri di atasnya, tapi, sebelum benar-benar berhas
Pagi ini Rendi memutuskan terjun ke dunia yang telah digeluti Ayahnya sejak 30 tahun silam. Tempat ini adalah tempat yang membawa kehidupan dan martabat Pak Dame melesat tinggi, dari seorang kondektur menjadi seorang yang berkecukupan, bahkan memiliki kelas yang cukup bergengsi di kalangannya, terutama di tempat mereka tinggal. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini untuk menggantikan Ayahnya, sebelumnya Rendi juga pernah bahkan sering berkunjung tapi bukan untuk membantu atau sekedar mempelajari kegiatan Ayahnya, tetapi hanya untuk meminta uang. Dari depan tampak tempat ini adalah toko pakaian, di atas pintu ruko terdapat spanduk label dari toko 'Dafa Collection' begitu tulisan besar itu terpampang besar. Toko ini juga merangkap sebagai kantor utama setelah ruang kerja yang ada di rumah kediaman mereka.&
Mouza gegas menghampiri Rendi ke rumah, dia takut Rendi dalam masalah. Kebetulan hari ini Mona sedang berada di sekolah, jadi tidak bisa menemani Mouza. Dengan sedikit negosiasi dengan ibunya, akhirnya Mouza bisa melangkah ke rumah Rendi. "Kau ngapain nyuruh aku kemari?" Pertanyaan Mouza membuat Rendi mulai bingung mau jawab dari mana. Tentu saja dia malu mengakui ketololannya di depan gadis pujaannya itu. Melihat Rendi bengong, Mouza nyelonong masuk ke dalam rumah dan membiarkan Rendi mematung sendiri di tempat itu. "Ya, ampun, beserak kali ini, Ren!" teriak Mouza kencang. Suara melengking Mouza berhasil mengembalikan nyaw
Aaggrrhh!" lolongan suara Pak Dame. HPnya terjatuh dari tangannya, sedang sebelah lagi memegangi dadanya yang terasa sesak.Bu Fatma berlari menghampiri suaminya yang terjatuh dari tempat duduknya. Dengan panik Bu Fatma meraih tubuh lelaki yang sudah tampak memucat."Kau kenapa, Bang?"Nafas Pak Dame nampak tersengal, menahan sakit di area dada sebelah kanannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Pak Dame, Bu Fatma belum tahu, dia hanya ingin membawa Pak Dame selekasnya ke rumah sakit."Tolong! siapa saja tolong aku!" jerit Bu Fatma setengah terisak.Rumah kediaman Bu Fatma yang tertutup rapat oleh pagar tinggi, menyulitkan orang di s
Mona pun akhirnya kesal, dia memutuskan mengangkat telepon tersebut.[halo!]Suara yang sangat familiar di telinga Mona.[Bang Ganteng?]Jawab Mona Reflek.[hehe, iya ini aku]Mouza yang sejak tadi menjauh mendadak mendekat, saat Mona menyebut nama Abang Ganteng. Panggilan itu Mona sematkan hanya untuk Rendi."Rendi?" tanya Mouza, antusias. Mona mengangguk seraya memberikan telepon genggam itu ke tangan Mouza. Dengan tangan gemetar Mouza meraih benda pipih miliknya itu.