"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Tania begitu pelan, berusaha agar tidak meneriaki Ray saat ini juga.
"Apakah tidak cukup dengan mengalungkan sebuah rantai di leherku?" batin Tania. Ingin rasanya Tania membatalkan semua ini. Membatalkan pernikahannya, dan menghilang dari dunia ini. Mungkin itu jalan terbaik yang seharusnya ia pilih. "Kembali pada perjanjian, jika kau membawa orang lain untuk ikut bersamamu, maka peraturan baru harus dibuat." Tania mendengus, "apa kau ingin menjadikan anak kecil sebagai budakmu juga?" teriak Tania, akhirnya ia benar-benar lepas kendali. "Apa kau tidak benar-benar membaca peraturannya? Kau bahkan dilarang meninggikan suaramu di depanku, dan beraninya kau berteriak!" Ray berdecak marah, untuk pertama kalinya ada orang yang berani berteriak di depannya. Ia benar-benar benci hal itu. "Kau tau 'kan apa yang harus kau lakukan, setelah kau melanggar aturan yang aku buat." Tania mencengkram gaun pernikahan yang masih melekat di tubuhnya. Wajahnya berubah merah, rasa marah membuatnya menitihkan air mata. "Berlutut, dan minta maaf!" "Aku bahkan belum menanda tangani surat perjanjian ini." Tania melempar surat perjanjian tersebut. Demi mempertahankan harga dirinya, Tania tidak akan berlutut. Tidak akan pernah! Melihat perlawanan Tania, Ray tertawa terbahak-bahak. Ia sampai memegang perutnya, seolah apa yang dilakukan Tania hanyalah sebuah lelucon. Melihat Ray yang tertawa terbahak-bahak, membuat rasa takut dalam diri Tania tiba-tiba muncul. Namun, semuanya sudah terlanjur, Tania tidak akan menyerah pada Ray. "Sepertinya kau memiliki keberanian lebih," ujar Ray setelah selesai tertawa. Kini ia kembali dengan wajah datarnya, berjalan mendekati Tania yang masih menatapnya marah. "Kau tidak pernah tahu apa saja yang bisa aku lakukan." "Apa kau pikir aku tidak tahu mengenai keluargamu, hm?" Jemari Ray bergerak menyentuh wajah Tania, "aku bisa menghancurkannya hingga tak tersisa!" ucapnya kemudian sembari mencengkram rahang Tania. Tania tak bisa berbicara, kedua tangannya memegang tangan Ray, berusaha melepaskan cengkraman di rahangnya. "Minta maaflah dengan benar!" Ray melepaskan cengkraman tangannya, membuat Tania jatuh tersungkur ke lantai. "Kecuali jika kau ingin melihat ayahmu harus mendekam dibalik jeruji. Kau tahu 'kan, dia menghilangkan nyawa seseorang." Tania terdiam. Ia bahkan seolah kehilangan akal sehatnya. Ia jelas tahu hal itu. "Aku mohon, jangan lakukan itu." Tania berlutut, memohon di hadapan Ray. "Aku akan melakukan apa pun, aku akan patuh dan tidak membantah. Aku tidak akan melanggar aturan yang ada, aku janji!" Kedua tangan Tania saling bertaut, memohon, berharap balas kasih Ray. "Aku tidak yakin, apa perkataanmu itu bisa dipercaya atau tidak!" Tania mengigit bibir bawahnya. Ia masih tetap pada posisinya, berlutut dan memohon. Air matanya menjadi saksi, bahwa ia benar-benar telah kehilangan harga dirinya. "Mama!" Tangisan Tania pecah saat ia mendengar suara lembut nan serak itu menyapanya. Tania tak bisa seperti ini, ia tidak akan mengorbankan Rose dan juga Ayahnya. "Mama, kenapa Mama menangis? Rose juga jadi sedih," ucap Rose dengan nada cadelnya, ia ikut berlinang air mata saat melihat Tania yang menangis sesenggukan. Rose, anak perempuan yang baru berusia tiga tahun itu, memeluk Tania erat. Membuat Tania menangis meraung-raung, hingga beberapa orang yang tadinya berada di luar, kini mengelilingi mereka dengan tatapan iba. "Sudahlah nak, Ayah yakin dan percaya. Nak Ray adalah orang yang baik, dia pasti akan menjagamu." Ayah Tania berusaha menenangkan putrinya, melontarkan pernyataan yang ia yakini benar adanya. “Ayah tidak mengenalnya, dan Ayah tidak pernah tahu apa yang bisa dia lakukan padaku!” batin Tania dalam hati. "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja. Nak Ray adalah orang yang baik." Cukup lama mereka berpelukan, berusaha mengalirkan kekuatan satu sama lain. Semua itu tak lepas dari pandangan Ray. "Tidak perlu membawa Rose, Ayah bisa menjaganya," pinta ayah Tania. "Rose biar bersama ayah saja. Kau bisa ikut dengan suamimu dan memulai kehidupan baru, Ayah akan menjaga Rose dengan baik, Ayah janji!" "Tidak Ayah, apa pun yang terjadi Rose harus bersamaku. Rose adalah putriku,” lirih Tania. "Mama, kita akan pergi kemana? Apakah kakek tidak ikut?" tanya Rose yang ikut menyahut dalam percakapan ibu dan kakeknya. Ayah Tania menatap Rose yang begitu menggemaskan, mengusap rambutnya yang sedikit berantakan. "Mama harus pergi, tapi tenang saja, Mama tidak meninggalkan Rose. jadi, sekarang Rose harus tinggal bersama kakek saja dulu," ujar Ayah Tania, berusaha membuat Rose mengerti. "Mengapa Rose tidak bisa ikut? Apakah karena Rose tidak memiliki ayah?" Tiba-tiba Rose menyahut, menatap Tania yang kembali berlinang air mata. Tidak! Tania tidak mungkin meninggalkan Rose, meski itu dengan ayahnya. Rose bisa diurus dengan baik oleh sang ayah, namun bagaimana dengan Tania? Ia tidak bisa tanpa kehadiran Rose di sisinya. "Ayah, Rose akan ikut denganku!" putus Tania, ia tidak akan meninggalkan Rose. Mereka akan selalu bersama, Rose adalah milik Tania. Tania menatap Ray yang juga menatapnya. Tania telah memantapkan hatinya. Ia akan menanggung semuanya, karena ia tidak akan mengorbankan Rose ataupun Ayahnya. "Tania, jangan keras kepala Nak!" Ayah Tania membantah dengan tegas, tidak setuju dengan keinginan Tania. Ayah Tania memiliki alasan tersendiri, dan semua itu demi kebaikan semua orang, bukan hanya Tania ataupun Rose. "Apa ayah tega memisahkan aku dengan Rose?" lirih Tania berucap, berusaha mengambil simpati ayahnya. "Tapi, Tania!" "Mengapa Ayah melarang aku membawa Rose?"“Tania,” tegur Ray saat Tania tidak memperhatikannya.“Iya, ada apa sayang?” tanya Tania. Ia keasikan bertukar pesan dengan Maudy, membuat Tania tidak memperhatikan apa yang dikatakan Ray.“Kamu dengar tidak apa yang aku katakan?”Tania kebingungan, ia bahkan tidak ingat kalau Ray berbicara sesuatu padanya. Namun untuk menyelamatkan dirinya, Tania hanya mengangguk pelan, tampak jelas kalau ia sendiri ragu.“Coba jelaskan ulang apa yang aku katakan tadi.”Tania jadi diam seribu bahasa, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia bahkan tidak tahu apa saja yang dikatakan Ray.“Kau tidak tahu ‘kan.” Ray menyentil dahi Tania, membuat Tania meringis.“Sayang,” rengeknya, mengusap dahinya.“Makanya kalau aku bicara itu dengarkan. Jangan hanya fokus pada ponselmu. Jika kau terus seperti ini, aku akan mematahkan ponselmu.”Tania langsung meletakkan ponselnya di meja. Ia tersenyum menatap Ray, seolah bersikap manis. Menunjukkan bahwa dirinya akan berperilaku baik.“Apa yang tadi kamu katakan, sayan
Tania merasa aneh, Juan tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Juan seolah menghilang begitu saja. Ray juga tidak pernah membahas tentang Juan, bahkan saat Tania bertanya, tidak ada yang memberikan jawaban.“Sayang, aku tidak pernah lagi melihat Juan. Apakah dia sakit?” tanya Tania pada suaminya, Ray.“Tania, sudah berapa kali aku katakan. Jangan pernah membahas tentang laki-laki lain. Aku tidak suka,” jawab Ray, mendengus kesal. Iya bahkan melepaskan pelukannya dan menatap Tania tajam.“Aku ‘kan hanya bertanya karena khawatir, lagipula dia sahabat kamu ‘kan.”Tania bergumam pelan, namun masih bisa didengarkan oleh Ray. Hal itu membuat Ray semakin kesal.“Sayang, kamu marah?” Melihat Ray yang langsung memutar tubuhnya, berbaring membelakangi Tania, membuat Tania menyadari kalau Ray benar-benar kesal. Tania lalu memeluk Ray dari belakang. Tania tidak bisa membiarkan Ray kesal, karena itu bisa berdampak pada hal lainnya juga. Jadi kunci segalanya berjalan baik adalah membuat
“Sayang, lihat bukankah ini sangat lucu.” Tania yang antusias, jadi terkejut saat melihat bukan Ray yang ada di sebelahnya.“Iya, itu menggemaskan, cocok untuk Rose,” jawab Juan dengan senyuman tulus yang ia tunjukkan.“Di mana, Ray?” tanya Tania yang langsung menyadari ketidakhadiran Ray di dekatnya.Tania mengedarkan pandangan matanya, mencari keberadaan Ray. Namun, Ray tidak ada di mana pun. Saat ini hanya ada Tania dan juga Juan.“Mau ke mana? Bukankah kau ingin melihat pakaian untuk Rose?” Juan menarik tangan Tania yang hendak pergi. Hal itu membuat Tania menatap Juan heran, ini kali pertama Juan bersikap seperti ini.“Lepaskan.” Tania menarik tangannya yang digenggam oleh Juan.Tania benar-benar merasa tidak nyaman di dekat Juan. Tania merasa ada yang mengganjal dari sikap Juan. Dia tidak seperti biasanya.“Ray harus kembali ke kantor, karena itulah aku yang menemani kamu di sini,” jelas Juan.“Mengapa dia tidak mengatakannya padaku?” protes Tania, seharusnya Ray mengatakannya p
Tani duduk dengan gelisah di atas tempat tidur, ia tidak bisa turun atau bahkan meninggalkan tempat tidur tanpa izin Ray. Kecuali jika Tania sanggup menerima hukuman dua kali lipat, maka ia bisa bebas membangkang.“Dia kemana sih,” gerutu Tania, kesal. Ray sudah pergi sejak tadi dan belum kembali juga. Padahal Ray mengatakan kalau ia tidak akan lama.Karena penasaran, Tania akhirnya memberanikan diri untuk membangkang. Ia harus turun ke bawah dan melihat apa yang terjadi.Tania merasa tidak bisa tenang. Ia sangat yakin kalau Ray dan Juan akan menghukum pengawal dan mungkin juga asisten rumah. Padahal ini tidak ada hubungannya dengan mereka, semua ini murni kesalahan Tania. “Jangan sampai mereka menghukum orang yang tidak bersalah,” gumam Tania pelan.Dan seperti dugaan Tania, saat ia sampai di bawah. Juan sedang mendisiplinkan para pengawal dan seluruh asisten rumah, termasuk Ma Cee. Tania segera menghampirinya, meskipun harus dengan tertatih-tatih karena kakinya yang sedang sakit.
Rapat sedang berlangsung saat telepon Juan terus berdering, sehingga ia terpaksa meninggalkan rapat.Juan mulai curiga saat melihat banyak panggilan tidak terjawab dari telepon rumah, pengawal dan sekarang telpon dari Ma Cee menggunakan nomor pribadinya. Biasanya Ma Cee tidak menggunakan nomor pribadinya untuk menelpon.“Ada apa Ma Cee?” tanya Juan.“Nona Tania … Nona Tania tidak sadarkan diri, Nona Tania terluka, kakinya terluka dan mengeluarkan banyak darah.”Jantung Juan terasa berhenti berdetak mendengar suara ketakutan Ma Cee. Dalam keadaan darurat apa pun itu, Ma Cee biasanya selalu tenang. Namun, sekarang terdengar jelas suara Ma Cee yang bergetar disertai napasnya yang memburu, menunjukkan dengan jelas betapa takut dan khawatirnya Ma Cee.Juan memutar tubuhnya menatap pintu ruang rapat. Jika ia memberitahukan pada Ray sekarang, maka rapat akan terhenti dan semuanya harus ia susun kembali dari awal. Namun jika Juan tidak memberitahukan pada Ray sekarang, maka Juan tidak bisa me
“Apakah kamu ingin ikut ke kantor?” tanya Ray. Tania yang baru bangun dibuat terkejut dengan pertanyaan Ray. Yang benar saja, bagaimana mungkin Tania tiba-tiba muncul di kantor setelah semua yang terjadi. “Tidak, aku di rumah saja,” jawab Tania cepat.“Aku takut jika kau akan bosan di rumah,” ujar Ray, berjalan mendekati Tania yang masih duduk di tempat tidur.“Sudah tidak ada Rose yang akan mengganggumu,” ujar Ray lagi, mengusap wajah Tania yang memerah.Rose kembali ke luar negeri untuk melanjutkan akademik. Sebelumnya Rose memang tidak dikeluarkan, sehingga ia masih terdaftar sebagai siswa di sana. Meskipun berat, Tania tidak punya pilihan lain selain melepas Rose. Lagipula itu juga permintaan Rose yang ingin kembali belajar dan bermain bersama teman-temanya.“Aku bisa pergi ke pantai yang di depan rumah, apakah boleh?” tanya Tania.“Boleh, pergilah bersama asisten rumah dan beberapa pengawal.”“Ray,” ujar Tania memelas. Tania tahu, hubungannya dengan Ray sudah berubah, bukan l