INICIAR SESIÓNAdrian membeku sesaat. Matanya yang gelap menatap Isla dalam-dalam, mencari apakah ini benar-benar yang mereka inginkan.Ia teringat bagaimana Ivy tidak menuntutnya jujur mengenai perasaannya terhadap Isla, seolah tahu apa yang ia simpan dan rasakan.Ivy hanya memintanya untuk terus menjaga Isla. Memastikan Isla baik-baik saja, setelah mendengarkan penjelasan tentang apa yang ia dan dua tetua Harrington bicarakan di ruang kerja tadi sore.Dan terakhir, Ivy memintanya melaporkan semua yang terjadi pada Isla, tanpa terkecuali.Adrian masih menatap Isla. Sudah jelas untuk momen yang satu ini, tidak akan pernah ia laporkan pada siapa-siapa, termasuk Ivy sekalipun.Ia melihat Isla mulai menangis pelan, tangan wanita itu gemetar saat meraih tangannya dan membawa ke pinggang sendiri, lalu perlahan menggeser lebih ke bawah, menuntun ke pinggul.“Aku takut ... tapi aku ingin merasakanmu. Hanya malam ini saja ... tolong.” Suara Isla begitu lembut, penuh kerapuhan, seperti gadis kecil yang memoh
Senyum Isla memudar, digantikan oleh rasa sesak yang kembali menghantam dadanya. Di ujung koridor yang remang, pintu ruang kerja Arthur baru saja terbuka.Adrian berdiri di sana.Pria itu tidak sendirian. Ia keluar bersama Arthur. Namun langkahnya terhenti saat melihat Isla dan Ivy berdiri bersisian di dekat jendela.Tatapan Adrian jatuh tepat pada mata Isla yang masih sedikit kemerahan dan basah.Sesaat, tapi cukup jelas, ada jeda yang menyakitkan di antara mereka.Adrian tidak menunjukkan keterkejutan. Wajahnya tetap tenang, persis seperti nada suaranya saat mengatakan pada Arthur bahwa Kairos adalah pilihan yang aman untuk dipertimbangkan.Namun, bagi Isla, tatapan tenang itu kini terasa seperti dinding tinggi yang mustahil ia panjat. Pria itu sendiri yang telah membangun penghalang di antara mereka.“Nona Ivy ... Isla,” sapa Adrian dengan sopan santun yang sempurna.Sopan santun yang kini dibenci Isla karena terasa begitu berjarak, meski Adrian tetap memanggil namanya tanpa s
Alexander tidak langsung menjawab. Ia menatap meja kerja, bukan ke wajah sang ayah. “Tidak,” katanya akhirnya. Singkat.Arthur mengangkat alis. “Tidak apa?” Rahangnya mengencang.“Tidak menikah sekarang,” jawab Alexander. Nadanya tetap datar. “Dan tidak langsung masuk ke perusahaan sebagai pengganti Ivy.”Arthur menyandarkan tubuhnya. “Kau menyarankan kita menunda dua hal sekaligus?”“Aku menyarankan kita tidak memaksanya memilih,” balas Alexander, tenang, namun tegas. “Isla baru kembali ke Norwick setelah sekian lama,” lanjutnya. “Dia baru mengenal kembali keluarga ini, mau tidak mau ia terus mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan kita.”Ia berhenti sebentar. “Kalau Kairos serius, dia bisa menunggu. Kalau Harrington butuh Isla, dia juga bisa disiapkan—bukan dengan cara terburu-buru seperti yang Ayah rencanakan.”Ruangan itu hening beberapa detik.Arthur menghela napas pelan. “Aku tidak terburu-buru. Cepat atau lambat, Isla memang harus menjadi bagian dari Harrington Company.”“T
Arthur bertanya, tapi Isla tidak bisa menduga apa yang sedang kakeknya itu pikirkan.Ia hanya akan menjawab berdasarkan apa yang kakek dan ayahnya ingin dengar darinya. Tapi ... ia bukan Ivy yang nyaris paham apa yang kakek dan ayah mereka paling harapkan dalam situasi sepert ini.“Jika itu yang Kakek anggap perlu,” ucap Isla hati-hati, “aku akan mencobanya.”Arthur mengangguk singkat. “Untuk sekarang, itu saja,” katanya. “Kita lihat nanti.”Perkataan Arthur terucap seperti kalimat penutup pembahasan dengan tepat.Pria paruh baya di sisi Kairos menahan senyum yang sempat muncul. Ia paham betul arti nada Arthur. Memang bukan lampu hijau, tapi juga bukan pintu tertutup. Ia menarik kembali tangannya dari bahu adiknya, memilih diam.Kairos tidak menunjukkan kekecewaan. Jika pun ada, ia menyimpannya dengan rapi. Hanya mengangguk kecil, menerima keputusan itu tanpa menyela, seolah memang tidak mengharapkan lebih. “Baiklah,” katanya singkat.Namun di balik sikap tenangnya, Kairos membaca fak
“Aku tidak pernah merasa itu kesabaran,” katanya pelan. “Aku hanya … terbiasa menjelaskan.”“Tapi kau tidak pernah berhenti, meski aku lambat,” Isla menimpali, hampir seperti gumaman.Adrian mengangkat wajahnya lagi. Kali ini lebih serius. “Aku tidak merasa kau lambat.”Isla tersenyum kecil. Bukan lagi gugup atau panik seperti tadi, melainkan hangat.Beberapa detik mereka berdiri begitu saja. Cukup dekat untuk orang yang hanya berinteraksi sebagai pengajar dan murid, sangat tenang bagi orang yang tidak peduli. Mereka seperti berada di tengah-tengah perasaan dekat, tenang, dan nyaman.“Terima kasih karena sudah bilang begitu, Adrian.” Setengah tertawa pelan, Isla menatap Adrian yang tenang, namun justru membuatnya gelisah. Tatapan pria itu hangat, tapi rumit dalam waktu bersamaan.Adrian mengangguk pelan. Melirik Isla yang masih tetap berdiri di sisinya. “Sekarang aku akan mengantarkan teh ini untuk kakekmu. Kau ingin tetap duduk di sini atau—”“Oh, aku akan kembali ke kamar,” sela Isl
Isla sendiri tidak tahu jawabannya. Mungkin lebih tepatnya, ia bingung. “Kau bisa tersedak rambutmu sendiri,” kata Adrian datar saat merasa bahwa reaksi Isla terasa berlebihan. “Coba ulangi apa yang telah kujelaskan tadi.” Isla seketika panik. Ia tidak bisa mengulangi semua penjelasan yang sudah Adrian katakan padanya dengan panjang lebar. Bukan tidak bisa, tapi semuanya tumpang tindih. Kacau dan tidak beraturan. Ada bagian yang ia dengar, dan selebihnya cuma tentang sentuhan pria itu yang terpikirkan. Memalukan sekali. “Isla?” Adrian menatap wanita itu dari samping. “Kenapa sejak tadi kau terus gugup?” Isla menegang. “A-aku tidak gugup!” “Berarti tolong jelaskan ulang apa yang sudah kuberitahukan padamu.” Isla menatap Adrian. Ada raut bersalah sekaligus gugup di wajahnya. “Aku ... aku kesulitan menjelaskan ulang.” Adrian mengerutkan kening sedikit. “Tapi kau paham dan sudah jelas dengan semua yang kuberitahu?” Isla mengangguk pelan. Ada ragu, tapi ia tak mau lagi menyusahka







