Share

Nyawa Baru

"Vina tidak memberi tahu Anda? Semalam saya ada urusan mendadak, jadi saya meminta Vina untuk menggantikan saya."

"Hanya itu?" Rangga mengangkat salah satu alisnya, meneliti wajah Dion lekat-lekat. Tidak ada kejanggalan yang dia temukan.

"Apa lagi memangnya, Pak?" Dion menggaruk tengkuknya, tak mengerti arah pembicaraan ini.

"Lupakan ..." Rangga menjeda ucapannya sesaat. "Carikan rekaman semalam. Dari saat di bar, hotel, dan semuanya."

"Untuk apa, Pak?"

Rangga menatap Dion penuh penekanan. Dion tahu jika Rangga tak suka ditanya-tanya, apalagi dibantah. Tak mau dimarahi, asisten pribadinya itu bergegas pamit, lalu melaksanakan perintahnya.

Hanya butuh waktu kurang dari satu jam, Dion telah kembali membawa seluruh rekaman CCTV. Setelah mengusir Dion, Rangga mulai meneliti satu persatu semuanya.

Rangga mengusap wajah dengan kasar. Kemudian, mengambil tangkapan layar wanita misterius yang membawa dirinya dari bar sampai hotel dan mengirimkan kepada Dion untuk mencari tahu identitasnya.

Wanita itu juga tertangkap kamera pengawas sedang membubuhkan sesuatu ke dalam minuman saat Rangga berpaling sejenak.

Rangga menggeram marah. Siapa orang yang berani bermain-main dengannya?

Dia kembali memutar lanjutan video dari depan kamar hotel setelah amarahnya sedikit reda. Sosok Vina muncul dan mengusir si wanita saat berusaha memapah Rangga ke kamar.

Rangga juga yang menarik Vina ke dalam setelah wanita itu pergi. Hingga pagi menjelang, hanya dirinya dan Vina yang keluar dari kamar.

***

Satu bulan berlalu, Vina akhirnya dapat menerima situasi. Lebih tepatnya, memaksa diri untuk menerima keadaan dirinya yang bukan gadis lagi.

Baik Vina maupun Rangga juga tak banyak berkomunikasi. Vina memilih mengingatkan pertemuan-pertemuan penting dan beberapa hal mendesak melalui pesan singkat atau telepon. Sebagian besar laporan pun hanya dikirim melalui email.

Rangga juga tak pernah bertanya, tak juga menegur perubahan Vina. Dari awal, pria itu memang irit bicara jika bukan untuk membahas masalah penting.

"Vin, Pak Rangga sudah datang? Aku mau menyerahkan laporan akhir bulan, boleh titip?" tanya Melia yang baru saja datang.

"Aku lagi sibuk sekali. Langsung masuk saja ke ruangannya. Sebentar lagi Pak Rangga mau pergi."

Melia mengomel tak jelas meninggalkan Vina. Sudah beberapa minggu Vina sengaja tak mau mengantarkan sesuatu yang tidak benar-benar harus dilakukan oleh dirinya sendiri.

Begitu cara Vina menghindari bertemu dengan Rangga secara langsung. Namun, akhir-akhir ini, Vina memang banyak disibukkan oleh pekerjaan. Hingga kepalanya sering terasa pusing.

Seperti sekarang, baru juga duduk selama dua jam, Vina sudah merasa letih, panggulnya pun terasa sangat nyeri. Mendadak Vina ingin menangis karena tubuhnya terasa sangat tak nyaman.

Belum juga rasa itu menghilang, Vina merasa perutnya seperti diaduk-aduk. Dia bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi dalam perutnya.

Vina memegang keningnya sendiri guna mengecek suhu badan. "Tidak demam. Apa aku pulang saja hari ini?"

'Tidak ... aku harus bertemu Pak Rangga untuk minta izin.'

Hari berikutnya, Vina terpaksa mengambil cuti karena kondisinya tak kunjung membaik. Lalu, Vina hanya mengirim pesan singkat kepada Rangga karena tak ingin mendengar suaranya melalui sambungan telepon.

Rangga membalasnya, tetapi sebelum Vina melihatnya, Vina berlari ke kamar mandi dan muntah lagi. Pagi ini, sudah dua kali dia muntah-muntah. Sampai hanya tersisa cairan saja.

"Kamu ini ... seperti orang hamil muda saja." Martha–Ibu Vina yang tadinya berada di kamar pun menyusul ke dalam kamar mandi dan memijat tengkuk Vina.

Vina tertegun sesaat oleh kata-kata Martha. Mendadak tubuhnya menggigil. Vina baru ingat jika malam itu Rangga tak menggunakan pengaman.

Dalam benak, Vina menghitung kapan terakhir periodel datang bulannya. Dadanya terasa sesak saat sadar enam minggu telah terlewati sejak terakhir datang bulan.

Vina bergegas meraih jaket dan mengambil dompet. Lalu, keluar menuju apotek yang tak jauh dari rumah.

'Semoga tidak ... Jangan sampai aku benar-benar hamil. Aku mohon ....'

Namun, harapan mengkhianati. Semua lima test pack berbeda merek di tangan Vina menampilkan dua garis merah yang menandakan bahwa dirinya benar-benar tengah mengandung.

Vina menangis dan menjerit sejadi-jadinya tanpa suara sambil menutup mulut. Tak mau Martha sampai mendengar.

'Ini pasti salah ...'

Luka yang telah Vina sembunyikan rapat-rapat kembali terbuka. Jauh lebih perih daripada sebelumnya.

Akan tetapi, Vina terus menolak untuk percaya. Dia pun menuju ke rumah sakit dengan perasaan gelisah. Sampai tak sadar, taksi yang membawanya telah sampai di depan rumah sakit.

Vina berjalan lemah menuju poli kandungan. Dia menoleh ke kanan dan kiri sebelum memasuki ruang pemeriksaan. Memastikan tak ada seseorang yang dikenalnya.

Degup jantung Vina berpacu kencang tatkala dokter spesialis kandungan mulai membalurkan gel di perutnya. Dokter itu mulai menggerakkan transducer. Beberapa saat kemudian, muncul sebuah gambar di layar monitor.

"Ibu bisa lihat bagian kecil ini?" Tunjuk sang dokter pada monitor. "Itu adalah kantung kehamilan, Bu. Melihat dari ukurannya, kandungan Ibu telah memasuki usia empat minggu."

Air mata Vina meleleh begitu mendengar penjelasan dokter. Dokter yang berpikir Vina menangis bahagia itu membantu Vina bangkit setelah membersihkan sisa gel di perut.

"Saya akan meresepkan vitamin ..."

Dokter itu terus menjelaskan panjang lebar mengenai kehamilan di trimester pertama. Vina sama sekali tak mendengar. Ucapan doker itu begitu samar di telinga.

'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana ini? Apakah aku ...'

Vina menelan ludah susah payah. Baru saja, Vina berpikir untuk melenyapkan bayi yang baru seukuran kacang itu. Vina segera mengenyahkan pikiran jahat yang sempat terlintas sesaat.

'Tidak ... bayi ini tidak bersalah! Dia berhak hidup di dunia ini. Haruskah aku memberi tahu Pak Rangga?'

Setelah mendapatkan resepnya, Vina duduk di bangku depan poli kandungan. Kakinya terasa sangat lemas, susah dibawa ke mana-mana.

Dunia di sekitar Vina seakan runtuh begitu teringat ucapan Rangga sebulan lalu. Rangga tak ingin memiliki istri, apalagi seorang anak. Dari seorang Vina yang tak ada hubungan apa-apa dengannya pula.

Jika nekat mengatakan kehamilannya, Vina takut kalau Rangga akan mendesak untuk menggugurkan kandungan. Meskipun tak menginginkannya, Vina tak mungkin tega membuang kehidupan baru yang ada di rahimnya.

Bukan hanya itu saja yang tengah Vina pikirkan. Bagaimana cara Vina menjelaskan pada sang ibu? Bagaimana reaksi Martha jika tahu Vina hamil di luar nikah?

Vina tak ingin menyakiti dan mempermalukan ibunya. Tetapi, dia juga tak bisa menyembunyikan kehamilannya.

Tanpa Vina sadari, seseorang tengah menyorot dirinya. "Kenapa Vina keluar dari poli kandungan?"

Komen (14)
goodnovel comment avatar
Zuroidaa
Vina hamil ya Tuhan
goodnovel comment avatar
Siti Sundari Zawa
baguuuus ceritanya
goodnovel comment avatar
Peny Valerea
semakin lama critanya smkin mnarik...dan bikin penasaran..endingnya nti gimana ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status