Share

Selamat Tinggal

"Tempat menunggunya bukan di sini, Bu. Mari saya antar," ucap seorang perawat seraya membantu Vina berjalan.

Rangga pun yang sempat terhenti sejenak kembali melanjutkan perjalanan dengan tidak terlalu memikirkan urusan karyawannya yang ia lihat barusan, begitu pikir Rangga.

Vina sendiri dibawa ke tempat pengambilan obat oleh perawat itu. Dia cukup terbantu meski terlihat menyedihkan, berjalan sendiri saja belum sanggup.

Setelah mengambil vitamin, Vina duduk di taman rumah sakit sekian lama seraya merenungkan nasibnya. Hingga perasaannya mulai tenang, Vina memutuskan untuk kembali ke rumah.

Vina disambut oleh omelan Martha karena Vina baru pulang saat petang, telepon pun tak diangkat. Martha terlihat sangat mengkhawatirkan Vina, bercampur sedikit marah.

"Ibu hampir saja menghubungi polisi! Ibu pikir kamu pingsan di jalan atau kenapa-napa! Lain kali, jangan menghilang seharian tanpa kabar begini saat kamu masih sakit!"

Bukannya menjawab, Vina justru menangis. Dipeluknya sang ibu dengan sangat erat. Semua Vina tumpahkan dalam pelukan itu.

Vina pikir dirinya sudah lebih kuat. Tetapi, melihat sang ibu yang begitu peduli, membuat dada Vina kembali terasa sesak. Vina telah menghancurkan kepercayaan yang Martha berikan selama ini.

"Kamu kenapa? Apa yang sakit?"

Vina menggeleng dalam pelukan Martha.

"Jangan bilang ... kamu tidak sakit parah, bukan?"

"Tidak, Bu."

Hati ibu mana yang tak pedih mendengar tangisan pilu anaknya? Amarah Martha menghilang begitu saja. Martha justru ikut menangis walaupun tak tahu apa yang membuat Vina tersedu-sedu.

Setelah Vina kembali tenang, Martha kembali bertanya, "Kamu ada masalah apa, Nak? Ceritakan sama Ibu."

'Apa aku bilang pada Ibu sekarang? Tapi, bagaimana kalau Ibu marah dan menyuruh aborsi? Lalu, apa yang harus aku katakan jika Ibu bertanya siapa ayah dari anak ini?'

"Aku hanya sangat lelah, Bu. Aku masuk ke kamar dulu."

Sampai malam tiba dan hari pun berganti, Vina tetap tak mau keluar dari kamar. Beberapa kali Martha mengantar makanan, tetapi Vina tak menyentuhnya sama sekali.

Vina hanya meringkuk dalam kamar. Mencari sebuah solusi untuk menyembunyikan kehamilan.

Pikiran Vina selalu menemukan titik buntu. Tidak mungkin juga dia bisa menyembunyikan perutnya yang beberapa bulan lagi terus membesar.

Yang ada di kepalanya hanyalah bayangan suram masa depan. Wanita tanpa suami dan melahirkan seorang bayi. Bagaimana jadinya kehidupan Vina nanti?

"Vin ... kamu mau terus begini? Setidaknya, ceritakan masalahmu. Siapa tahu Ibu bisa memberi solusi untukmu."

Dengan enggan, Vina bangkit dari tidurnya. Diraihnya kedua tangan Martha dan digenggam erat-erat.

Hanya Martha yang dia punya sekarang. Vina ingin percaya bahwa ibunya akan mengerti keadaannya.

"Ibu ... Maafkan aku. Aku sudah berbuat kesalahan yang begitu besar." Air mata Vina kembali menetes.

"Semua orang pasti memiliki kesalahan, Nak. Jangan dipendam sendirian. Katakan ... Ibu akan mendengarkan."

Martha mengusap puncak kepada Vina penuh kasih sayang. Vina bukanlah orang cengeng. Tapi, sudah beberapa hari ini Vina sering menangis. Martha sangat sedih dan merasa dirinya gagal membahagiakan putri semata wayangnya.

"Aku ..." Vina menelan ludah dengan kasar. "aku hamil, Bu."

Keheningan tercipta setelah Vina mengucapkannya. Vina menunduk, tak berani menatap ibunya. Rasa malu dan bersalah membanjiri hatinya.

"K-kamu ... apa?" tanya Martha tak percaya oleh pendengarannya sendiri.

Bagaimana Martha bisa percaya? Vina tak pernah menjalin hubungan dengan pria selama ini. Martha juga tahu jika Vina bisa menjaga diri.

Meskipun banyak pria yang mendatangi, Vina tak pernah peduli. Vina hanya fokus belajar selama sekolah sampai kuliah. Setelah lulus, Vina pun disibukkan oleh pekerjaan.

Lalu, ingatan Martha beralih ke hari itu. Suatu malam, Vina pergi dengan tergesa-gesa. Vina berkata jika ada pekerjaan mendadak yang harus dia tangani. Namun, Vina ternyata tak pulang ke rumah tanpa mengabari.

Vina beralasan memiliki pekerjaan dadakan di luar kota paginya. Tapi, Vina tak membawa baju ganti. Penampilan Vina waktu itu pun terlihat acak-acakan. Martha tak sempat bertanya karena Vina buru-buru masuk kerja.

"Jangan bercanda, Vin!" Martha tertawa canggung.

"Aku tidak bohong, Bu," lirih Vina.

Wajah Martha memerah dan mengeras seketika. "Siapa ... siapa yang menghamilimu?"

Vina tak bisa menjawab. Bagaimana mungkin Vina mengatakan jika atasannya berbuat sesuatu yang buruk padanya? Apakah Martha akan percaya?

Rangga Cakrawala dikenal orang sebagai pria berwibawa dan tak pernah digosipkan dengan wanita mana pun. Jika Vina mengatakannya, Martha mungkin akan berpikir jika Vina-lah yang telah menggoda.

Kalaupun Martha percaya padanya, Vina tak mau Martha emosi dan mendatangi Rangga. Vina sendiri yang akan dipermalukan. Apalagi, kalau sampai Rangga tak mau mengakui perbuatannya malam itu.

"Katakan, Vin! Siapa lelaki itu?" Kali ini Martha bertanya dengan meninggikan suara.

Martha juga melepas tangan Vina dengan kasar. Vina melirik ibunya takut-takut. Tampak jelas guratan kemarahan dan kekecewaan sekaligus di wajah ibunya.

"Aku ... dia ... Vina tidak tahu."

"Apa?! Mana mungkin kamu tidak tahu?!" Martha jadi benar-benar marah.

Vina semakin menundukkan wajah. Air matanya semakin banyak menetes di tangannya yang gemetaran.

"Jangan bilang … kamu ... diperko-" Martha tak sanggup mengatakannya. Dia menutup mulutnya yang terbuka lebar, disusul tangisan tanpa suara.

"Maaf, Bu ..."

'Maaf karena tidak bisa mengatakan siapa ayah dari bayi ini.'

Martha lantas memeluk Vina. Tangannya meremas-remas baju belakang Vina. Mereka berdua pun menangis dan saling menguatkan.

Vina lantas mengusap air matanya sendiri dan juga Martha. "Maaf ... Aku sudah mengecewakan Ibu."

"Tidak apa-apa ... jangan takut ... Kamu tidak salah, bayi itu juga tidak berdosa. Mari kita besarkan sama-sama."

Beban yang Vina rasakan terangkat oleh ucapan ibunya. Vina tak bisa lagi berucap apa pun, kecuali rasa syukur dalam hati pada wanita baik hati dan pengertian yang telah melahirkannya itu.

Vina bertekad tak akan ada lagi tangisan untuk pria itu. Rangga hanya akan menjadi masa lalu pahit untuknya. Dia akan hidup untuk dirinya sendiri dan anak yang ada dalam kandungannya, dengan Martha juga tentunya.

***

Keesokan harinya, Vina berangkat seperti biasa. Membawa dirinya dengan versi baru. Vina yang tegar dan tabah.

Akan tetapi, ketika melihat Rangga yang baru saja datang, perut Vina bergejolak. Bukan mual, melainkan karena perasaan yang dia sendiri tidak tahu itu apa.

"Selamat pagi, Pak." Hari ini Vina menyapa Rangga dengan senyuman lebar.

Rangga sempat tertegun sesaat, tapi Rangga hanya berlalu seperti yang sudah-sudah. Tak masalah. Vina hanya ingin bersikap baik untuk yang terakhir kalinya pada ayah dari sang buah hati.

Ya, Vina akan mengundurkan diri hari ini. Tak mungkin dia terus melanjutkan hidup membawa perut yang sebentar lagi membesar di tempat orang-orang yang tahu bahwa dirinya belum menikah.

Keputusan Vina sudah bulat. Rangga tak perlu tahu jika Vina tengah mengandung anaknya. Lagi pula, Rangga tak pernah menginginkan sebuah pernikahan maupun anak.

Dengan langkah percaya diri, Vina memasuki ruang kerja Rangga. Diserahkannya amplop putih yang telah dia siapkan sejak semalam.

"Apa ini?"

Vina tersenyum sangat manis. "Saya ingin mengundurkan diri, Pak. Terima kasih sudah menjadi atasan yang baik selama ini."

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Siti Sundari Zawa
bagus sekali alurnya
goodnovel comment avatar
Siti Sundari Zawa
selalu bersemangat kalau baca novel..
goodnovel comment avatar
Peny Valerea
ibu Martha sangat pengertian KPD anaknya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status