'Bapak mabuk dan tidak melepaskan saya, jadi saya tidak bisa pergi. Hanya pagi tadi Bapak baru melepaskan saya.' Rangga yang tengah terduduk di kursi kebesarannya siang itu mengingat kembali penjelasan Vina.
Rangga mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Sudah berkali-kali Rangga mencoba mengingat kejadian semalam, tapi otaknya tak dapat diajak kerja sama.'Apa aku dan Vina benar-benar melakukannya?'Namun, Vina sama sekali tidak menuntut apa pun darinya. Rangga juga tak yakin, dengan siapa dia menghabiskan malam panasnya?Vina? Atau wanita asing yang terakhir bersemayam dalam ingatannya?Rangga bahkan tak tahu, Vina sendiri berusaha mati-matian mengeraskan hati sejak meninggalkan kamar hotel. Untuk apa Vina menuntut jika atasannya itu tidak mengingat perbuatannya?Vina pun sebenarnya enggan datang ke kantor karena belum siap bertemu dengan Rangga lagi. Dia tak pernah menyangka jika Rangga bisa berbuat sejauh itu padanya.Rangga memang mabuk. Tapi, Vina yakin Rangga seharusnya bisa mengendalikan diri.Sejauh ini, Vina juga sering melihat Rangga menyesap minuman keras saat menyambut rekan bisnis dari luar negeri. Tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.'Apa diam-diam Pak Rangga memang sering bermain dengan wanita? Lalu, karena aku mengusir wanitanya, dia lantas melampiaskannya padaku?'Rasa marah dan sedih kembali menguasai Vina. Tetapi, Vina segera menepisnya.'Lupakan, Vin! Sekarang aku harus serius kerja. Jangan sampai terbawa emosi yang bisa merusak karirku!'Begitu kata hatinya, meski Vina tak yakin dapat bersikap biasa-biasa saja di depan seseorang yang telah menorehkan luka di jiwa dan raganya. Namun, dia tetap harus mencoba.Mau bagaimana lagi? Vina butuh banyak dana untuk bertahan hidup. Terpaksa Vina membuang rasa malu dan mulai melangkahkan kaki memasuki gedung kantor.Mata Vina mengedar pada area lobi yang masih sepi. Hanya ada satu sekuriti dan resepsionis pun belum datang.Vina sengaja datang sedikit lebih awal agar tidak berpapasan dengan Rangga. Walaupun nantinya mereka tetap akan bertemu juga.Sampai di meja kerjanya, Vina segera menyibukkan diri untuk mengusir rasa sesak dalam dada yang belum juga sirna. Dan kesibukannya sukses mengalihkan perhatian Vina.Baru saja Vina merasa lebih tenang, pintu elevator terbuka. Rangga keluar dengan berwibawa dan memancarkan karisma luar biasa. Seolah-olah tak pernah terjadi apa pun sebelumnya.Pria maskulin berperawakan jangkung itu melangkahkan kaki dengan mantap. Setelan hitam mahal menutupi badan atletisnya. Sorot iris mata hitam dengan dengan aura dingin nan mengintimidasi itu menatap sekilas ke arah jam tangan seharga ratusan juta.Dada Vina kembali bergemuruh hebat. Matanya bergetar tak tahu harus melihat ke mana.Vina menahan napas di setiap langkah kaki Rangga yang datang mendekat. Jantung Vina seakan diremas-remas. Vina juga berusaha mati-matian mempertahankan ekspresi datar."Selamat pagi, Pak," sapa Vina sambil menunduk.Rangga menatap Vina sekilas. Keningnya berkerut sesaat. Tanpa menjawab, Rangga hanya melewati meja kerja Vina. Kemudian, masuk ke ruangannya."Pagi juga, Vin." Alih-alih Rangga, Dion yang berlari kecil menyusul Rangga, menjawab sapaan Vina dengan senyuman lebar.Setelah Rangga dan Dion tak lagi terlihat, Vina terduduk lemas di kursinya. Akhirnya, Vina dapat mengembuskan napas meski berat.Vina menepuk-nepuk dada kirinya yang tak berhenti berdebar-debar kencang. Sungguh, hanya melihat punggung Rangga saja membuat Vina seakan terkena serangan jantung.'Aku tidak boleh begini! Fokus kerja, Vin!'Vina meyakinkan diri sendiri. Lalu, kembali menyelesaikan pekerjaan. Sialnya, dia harus mendatangi Rangga untuk mengesahkan laporan.Berulang kali Vina mondar-mandir di lorong penghubung ruangan CEO. Mengatur perasaan yang kembali kacau walau hanya dengan membaca nama Rangga dalam berkas.Vina merasa sangat konyol pada diri sendiri. Mengapa sulit sekali bersikap seperti biasa? Padahal, Rangga sama sekali tak menganggap dirinya.Vina lantas menyeret kakinya menuju ruangan Rangga. Sampai di depan pintu, Vina kembali meragu.Dia mengintip ke dalam melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Dion tengah menyampaikan rentetan jadwal Rangga.'Aku akan menyerahkan berkas ini nanti saja, mereka sepertinya sedang sibuk.'Vina berbalik pergi. Hanya beberapa langkah saja dia memutuskan untuk kembali.'Tidak. Dokumen ini sangat penting. Pak Rangga perlu memberikan tanda tangan sekarang juga. Kamu harus profesional, Vin!'Vina menarik napas dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Buku-buku jarinya siap mengetuk pintu, namun tertahan di tengah jalan oleh suara keras perdebatan Dion dan Rangga."Saya yang akan dimarahi kalau Bapak seenaknya menolak undangan Pak Mahendra! Lagi pula, cuma makan siang barang setengah jam saja cukup, Pak."Rangga mendengus kesal. "Aku malas bertemu Kakek! Kamu tahu sendiri, Kakek selalu memaksaku menikah kalau bertemu.""Ya, tinggal menikah saja apa susahnya, Pak? Tinggal pilih wanita mana yang Anda suka. Siapa yang berani menolak Anda?" Dion terkekeh-kekeh."Kamu pikir menikah itu enak? Setelah menikah, aku harus bertanggung jawab mengurusi anak orang. Belum lagi kalau kami punya anak. Membayangkan ada istri dan anak kecil di sekitarku saja sudah bikin sakit kepala. Merepotkan!"Vina meremas berkas di tangannya. Entah mengapa dadanya bertambah sesak setelah mendengar pernyataan Rangga.'Kenapa aku jadi kesal? Mau dia menikah atau tidak, apa urusannya denganku?'Vina pun akhirnya mengetuk pintu dan melangkah masuk. Rangga dan Dion pun langsung terdiam."Ini laporan anggaran proyek kemarin, Pak. Sudah saya cek semua," ucap Vina sambil menunduk.Rangga membolak-balik dokumen yang diserahkan Vina. Dia menyipitkan mata ketika mendapati pinggiran kertas yang kusut.Rangga berdecak sambil menggoyangkan kertas di tangan. "Kamu memberiku sampah?""M-maaf, Pak. Saya akan ganti sebentar." Vina merebut berkas dan berlari meninggalkan ruangan.Sesaat kemudian, Vina kembali menemui Rangga. Dion sudah tak ada di sana. Vina jadi semakin resah karena hanya berdua dengan Rangga."I-ini, Pak." Tangan Vina sampai gemetaran saat menyodorkan dokumen.Rangga pun mengecek hasil pekerjaan Vina. Beberapa menit berlalu, tak ada suara apa pun kecuali detikan pada jam dinding yang berjalan lebih lambat daripada denyut jantung Vina.'Kenapa lama sekali, sih?'"Saya ... saya pergi dulu kalau-""Kamu menyuruhku mengantar ini?" potong Rangga dengan nada dingin.Vina menggeleng, lalu kembali menunduk. Kakinya begitu letih berdiri menanti, padahal ada tempat duduk di sampingnya. Kegugupan Vina membuat pikirannya benar-benar kosong.Perasaan Vina sedikit lega ketika Dion masuk ke dalam ruangan. Hingga Vina tak sadar menghela napas begitu keras.Rangga melirik sesaat. Kemudian, dia mulai menggores tanda tangan di atas kertas dan mengembalikan pada Vina. Matanya menatap tajam Vina, lalu beralih ke arah pintu sambil menaikkan sedikit dagu."Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu."Vina menunduk kecil dan berbalik pergi tanpa menatap Rangga barang sedetik saja. Rangga diam dengan ekspresi yang sulit diartikan saat Vina pergi menjauh."Pak?" Dion membuyarkan lamunan Rangga. "Bagaimana dengan makan siangnya? Saya baru saja dihubungi Pak Mahendra lagi.""Aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Rangga mengabaikan pertanyaan Dion."Tanya apa, Pak?"Rangga mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja. Dia tampak memikirkan sesuatu sebelum membuka suara."Jelaskan padaku mengapa tadi malam Vina ada di bar?"Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg