Share

Tak Ingin Menikah

'Bapak mabuk dan tidak melepaskan saya, jadi saya tidak bisa pergi. Hanya pagi tadi Bapak baru melepaskan saya.' Rangga yang tengah terduduk di kursi kebesarannya siang itu mengingat kembali penjelasan Vina.

Rangga mengusap-usap wajahnya dengan kasar. Sudah berkali-kali Rangga mencoba mengingat kejadian semalam, tapi otaknya tak dapat diajak kerja sama.

'Apa aku dan Vina benar-benar melakukannya?'

Namun, Vina sama sekali tidak menuntut apa pun darinya. Rangga juga tak yakin, dengan siapa dia menghabiskan malam panasnya?

Vina? Atau wanita asing yang terakhir bersemayam dalam ingatannya?

Rangga bahkan tak tahu, Vina sendiri berusaha mati-matian mengeraskan hati sejak meninggalkan kamar hotel. Untuk apa Vina menuntut jika atasannya itu tidak mengingat perbuatannya?

Vina pun sebenarnya enggan datang ke kantor karena belum siap bertemu dengan Rangga lagi. Dia tak pernah menyangka jika Rangga bisa berbuat sejauh itu padanya.

Rangga memang mabuk. Tapi, Vina yakin Rangga seharusnya bisa mengendalikan diri.

Sejauh ini, Vina juga sering melihat Rangga menyesap minuman keras saat menyambut rekan bisnis dari luar negeri. Tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

'Apa diam-diam Pak Rangga memang sering bermain dengan wanita? Lalu, karena aku mengusir wanitanya, dia lantas melampiaskannya padaku?'

Rasa marah dan sedih kembali menguasai Vina. Tetapi, Vina segera menepisnya.

'Lupakan, Vin! Sekarang aku harus serius kerja. Jangan sampai terbawa emosi yang bisa merusak karirku!'

Begitu kata hatinya, meski Vina tak yakin dapat bersikap biasa-biasa saja di depan seseorang yang telah menorehkan luka di jiwa dan raganya. Namun, dia tetap harus mencoba.

Mau bagaimana lagi? Vina butuh banyak dana untuk bertahan hidup. Terpaksa Vina membuang rasa malu dan mulai melangkahkan kaki memasuki gedung kantor.

Mata Vina mengedar pada area lobi yang masih sepi. Hanya ada satu sekuriti dan resepsionis pun belum datang.

Vina sengaja datang sedikit lebih awal agar tidak berpapasan dengan Rangga. Walaupun nantinya mereka tetap akan bertemu juga.

Sampai di meja kerjanya, Vina segera menyibukkan diri untuk mengusir rasa sesak dalam dada yang belum juga sirna. Dan kesibukannya sukses mengalihkan perhatian Vina.

Baru saja Vina merasa lebih tenang, pintu elevator terbuka. Rangga keluar dengan berwibawa dan memancarkan karisma luar biasa. Seolah-olah tak pernah terjadi apa pun sebelumnya.

Pria maskulin berperawakan jangkung itu melangkahkan kaki dengan mantap. Setelan hitam mahal menutupi badan atletisnya. Sorot iris mata hitam dengan dengan aura dingin nan mengintimidasi itu menatap sekilas ke arah jam tangan seharga ratusan juta.

Dada Vina kembali bergemuruh hebat. Matanya bergetar tak tahu harus melihat ke mana.

Vina menahan napas di setiap langkah kaki Rangga yang datang mendekat. Jantung Vina seakan diremas-remas. Vina juga berusaha mati-matian mempertahankan ekspresi datar.

"Selamat pagi, Pak," sapa Vina sambil menunduk.

Rangga menatap Vina sekilas. Keningnya berkerut sesaat. Tanpa menjawab, Rangga hanya melewati meja kerja Vina. Kemudian, masuk ke ruangannya.

"Pagi juga, Vin." Alih-alih Rangga, Dion yang berlari kecil menyusul Rangga, menjawab sapaan Vina dengan senyuman lebar.

Setelah Rangga dan Dion tak lagi terlihat, Vina terduduk lemas di kursinya. Akhirnya, Vina dapat mengembuskan napas meski berat.

Vina menepuk-nepuk dada kirinya yang tak berhenti berdebar-debar kencang. Sungguh, hanya melihat punggung Rangga saja membuat Vina seakan terkena serangan jantung.

'Aku tidak boleh begini! Fokus kerja, Vin!'

Vina meyakinkan diri sendiri. Lalu, kembali menyelesaikan pekerjaan. Sialnya, dia harus mendatangi Rangga untuk mengesahkan laporan.

Berulang kali Vina mondar-mandir di lorong penghubung ruangan CEO. Mengatur perasaan yang kembali kacau walau hanya dengan membaca nama Rangga dalam berkas.

Vina merasa sangat konyol pada diri sendiri. Mengapa sulit sekali bersikap seperti biasa? Padahal, Rangga sama sekali tak menganggap dirinya.

Vina lantas menyeret kakinya menuju ruangan Rangga. Sampai di depan pintu, Vina kembali meragu.

Dia mengintip ke dalam melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Dion tengah menyampaikan rentetan jadwal Rangga.

'Aku akan menyerahkan berkas ini nanti saja, mereka sepertinya sedang sibuk.'

Vina berbalik pergi. Hanya beberapa langkah saja dia memutuskan untuk kembali.

'Tidak. Dokumen ini sangat penting. Pak Rangga perlu memberikan tanda tangan sekarang juga. Kamu harus profesional, Vin!'

Vina menarik napas dalam, kemudian mengembuskan perlahan. Buku-buku jarinya siap mengetuk pintu, namun tertahan di tengah jalan oleh suara keras perdebatan Dion dan Rangga.

"Saya yang akan dimarahi kalau Bapak seenaknya menolak undangan Pak Mahendra! Lagi pula, cuma makan siang barang setengah jam saja cukup, Pak."

Rangga mendengus kesal. "Aku malas bertemu Kakek! Kamu tahu sendiri, Kakek selalu memaksaku menikah kalau bertemu."

"Ya, tinggal menikah saja apa susahnya, Pak? Tinggal pilih wanita mana yang Anda suka. Siapa yang berani menolak Anda?" Dion terkekeh-kekeh.

"Kamu pikir menikah itu enak? Setelah menikah, aku harus bertanggung jawab mengurusi anak orang. Belum lagi kalau kami punya anak. Membayangkan ada istri dan anak kecil di sekitarku saja sudah bikin sakit kepala. Merepotkan!"

Vina meremas berkas di tangannya. Entah mengapa dadanya bertambah sesak setelah mendengar pernyataan Rangga.

'Kenapa aku jadi kesal? Mau dia menikah atau tidak, apa urusannya denganku?'

Vina pun akhirnya mengetuk pintu dan melangkah masuk. Rangga dan Dion pun langsung terdiam.

"Ini laporan anggaran proyek kemarin, Pak. Sudah saya cek semua," ucap Vina sambil menunduk.

Rangga membolak-balik dokumen yang diserahkan Vina. Dia menyipitkan mata ketika mendapati pinggiran kertas yang kusut.

Rangga berdecak sambil menggoyangkan kertas di tangan. "Kamu memberiku sampah?"

"M-maaf, Pak. Saya akan ganti sebentar." Vina merebut berkas dan berlari meninggalkan ruangan.

Sesaat kemudian, Vina kembali menemui Rangga. Dion sudah tak ada di sana. Vina jadi semakin resah karena hanya berdua dengan Rangga.

"I-ini, Pak." Tangan Vina sampai gemetaran saat menyodorkan dokumen.

Rangga pun mengecek hasil pekerjaan Vina. Beberapa menit berlalu, tak ada suara apa pun kecuali detikan pada jam dinding yang berjalan lebih lambat daripada denyut jantung Vina.

'Kenapa lama sekali, sih?'

"Saya ... saya pergi dulu kalau-"

"Kamu menyuruhku mengantar ini?" potong Rangga dengan nada dingin.

Vina menggeleng, lalu kembali menunduk. Kakinya begitu letih berdiri menanti, padahal ada tempat duduk di sampingnya. Kegugupan Vina membuat pikirannya benar-benar kosong.

Perasaan Vina sedikit lega ketika Dion masuk ke dalam ruangan. Hingga Vina tak sadar menghela napas begitu keras.

Rangga melirik sesaat. Kemudian, dia mulai menggores tanda tangan di atas kertas dan mengembalikan pada Vina. Matanya menatap tajam Vina, lalu beralih ke arah pintu sambil menaikkan sedikit dagu.

"Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu."

Vina menunduk kecil dan berbalik pergi tanpa menatap Rangga barang sedetik saja. Rangga diam dengan ekspresi yang sulit diartikan saat Vina pergi menjauh.

"Pak?" Dion membuyarkan lamunan Rangga. "Bagaimana dengan makan siangnya? Saya baru saja dihubungi Pak Mahendra lagi."

"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Rangga mengabaikan pertanyaan Dion.

"Tanya apa, Pak?"

Rangga mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja. Dia tampak memikirkan sesuatu sebelum membuka suara.

"Jelaskan padaku mengapa tadi malam Vina ada di bar?"

Komen (14)
goodnovel comment avatar
Asep Part2
bagus menarik
goodnovel comment avatar
Peny Valerea
sangat seru sekali
goodnovel comment avatar
Eliza Eva Yanti
lanjutkan hingga akhir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status