LOGINMalam pun tiba. Dila berjalan gontai pulang ke rumah, tubuhnya terasa lelah setelah seharian berjaga di stand bazar ditambah pulangnya dia juga harus bekerja di kafe dan bersama Daren lagi. Ia mendesah pelan, menyesali kesempatan yang terlewat begitu saja. Seharian ini, ia tidak sempat berbicara lagi dengan Vero karena standnya mendadak ramai.
Saat akhirnya ia punya waktu luang, laki-laki itu sudah pergi entah ke mana. Dila hanya bisa berharap besok, di hari terakhir bazar, ia bisa kembali bertemu dengan cinta pandangan pertamanya itu.
Begitu sampai di rumah, Dila langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dengan dramatis. Senyum bodoh terukir di wajahnya saat mengingat betapa tampannya Vero. Setiap detail wajahnya, suara baritonnya yang terdengar tenang, bahkan ekspresi bingungnya saat Dila menatapnya terlalu lama—semuanya membuatnya semakin yakin dia harus mengenal laki-laki itu lebih dalam!
Ada kalanya jodoh musti dijemput.
Setelah beberapa saat berkhayal, Dila mengeluarkan ponselnya. Ada satu orang yang harus pertama kali tahu soal ini. Tanpa ragu, ia menekan nama Laura di daftar kontak dan segera melakukan panggilan.
“Halo?” suara Laura terdengar sedikit malas dari seberang.
“Laura, kali ini gue jangan dijodohin lagi!” seru Dila penuh semangat. “Jodoh gue udah datang sendiri ke stand bazar!”
Hening sebentar.
“…Lo ngomong apa sih, Dil?” suara Laura terdengar waspada, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Dila terkikik sendiri. Dengan percaya diri, ia membayangkan masa depannya yang cerah bersama Vero. “Udah ya, kali ini kalau gue dikenalin ke Mama juga langsung yes si Mama teh!” katanya sok yakin.
“...Sumpah! Lo udah gila kelamaan jomblo, ya?”
Dila hanya tertawa, tidak terpengaruh sedikit pun. “Nggak, ini jodoh yang udah Tuhan tunjukin ke gue. Serius, Lau! Gue yakin banget!”
Di seberang telepon, Laura terdengar menghela napas panjang. Lalu, dengan nada yang sulit ditebak, ia bergumam, “Gue takut, jujur aja.”
Dila tertawa kecil, hampir terdengar jahat, sambil membayangkan bagaimana hidupnya jika bisa mengenal Vero lebih dalam. Seorang presiden BEM, tampan, anak Fakultas Kedokteran. Paket lengkap.
Dia membayangkan berjalan berdampingan dengan Vero di kampus, semua orang menoleh penuh iri. Gak akan ada yang meremehkan dia lagi! Siapa yang bakal menyesal kalau punya pacar sekeren itu? Jelas bukan Dila!
Sementara di seberang telepon, Laura hanya bisa menghela napas panjang. Mendengar suara tawa Dila yang semakin lama semakin mengerikan, ia pun memilih untuk langsung menutup panggilan.
"Horor." batin Laura.
"Aneh seperti biasa."
Namun, sebagai sahabat Dila, ia hanya bisa memaklumi kelakuan perempuan itu yang memang sering kali tidak bisa ditebak.
Tapi Dila tidak berhenti sampai di situ. Ia segera membuka ponselnya dan mengirim pesan ke satu orang yang kemungkinan besar bisa membantunya.
Dila: Daren, gue mau minta nomornya pres BEM dong.
Dila tersenyum puas. Menyerahkan soal jodoh ke takdir? Tidak ada dalam kamus hidupnya! Menjemput jodoh lebih dulu itu bukan tindakan kriminal, kan?
Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Bukan balasan chat, tapi panggilan masuk dari Daren.
Tanpa ragu, Dila langsung mengangkatnya. “Halo?”
Dari seberang sana, suara Daren terdengar waspada. “Dila, lo sehat?”
Dila mengerutkan kening. “Apaan sih?”
“Gue ulang ya, lo sehat gak, Dil? Atau ini efek kelamaan jomblo?”
Dila mendengus. “Halah, lo kebanyakan bacot. Kasih aja nomornya.”
Daren tertawa pelan, tapi ada nada takut di balik tawanya. “Lo serius mau nomor Mas Vero? Lo mau apain?!”
“Ya kenalan lah, Daaar…” jawab Dila dengan nada manja yang malah bikin Daren semakin curiga.
“Lo yakin bukan buat jual ke calo?”
“Ya enggak lah, goblok!”
Daren terdiam sebentar. Lalu mendesah panjang. “Sumpah, Dil. Gue makin takut ama kelakuan lo.”
Dila hanya cengengesan. “Udah buruan kasih, Daren. Jangan pelit. Gue ini calon pacarnya loh!”
Hening sejenak. Seolah Daren masih ragu dengan keputusannya. Tapi pada akhirnya, sebuah pesan masuk ke ponsel Dila.
Daren: 0812XXXXXXX – Jangan lo apa-apain, Dil. Sumpah, gue gak mau kena getahnya kalau lo ngelakuin hal aneh.
Dila tersenyum penuh kemenangan. Langkah pertama sukses!
Dila langsung mengetik pesan ke nomor yang diberikan Daren.
Tidak ada waktu untuk ragu.
Jangan harap dia bakal menunggu kesempatan datang sendiri—kalau bisa dikejar, kenapa harus menunggu? Dila percaya, kalau dia tak segera bergerak, bisa-bisa kesempatan untuk mengenal Vero hilang begitu saja.
Jarinya lincah menari di atas layar, menyusun kata-kata dengan hati-hati.
Harus terdengar santai, tapi tetap meninggalkan kesan.
Dila:
Tak kenal maka tak sayang, habis kenal maka harus disayang. Mas Vero masih inget nggak sama aku? Cewek yang tadi di bazar sama Mas. Kenalin, nama aku Ardila, orang-orang manggilnya Dila. Kalau kamu sayang, juga boleh~
Dila membaca ulang pesannya, lalu tersenyum simpul. Udah pas.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menekan tombol kirim.
Tak butuh waktu lama, tanda centang dua segera muncul. Dibaca.
Dila menahan napas, menunggu dengan jantung berdebar. Dan dalam hitungan detik, balasan datang.
Mas Vero: Kamu dapat nomor saya dari siapa?
Dila mengangguk pelan. Wajar sih dia nanya begitu. Tapi kalau langsung dijawab jujur, kayaknya nggak seru. Maka, dengan cekatan, dia mengetik balasan.
Dila: Rahasia~
Terkirim.
Dila menunggu, dan lagi-lagi Vero langsung membalas.
Mas Vero: Ada perlu apa sama saya?
Dila tersenyum penuh kemenangan. Masih dibales, berarti ada harapan.
Tanpa ragu, dia membalas dengan nada santai.
Dila: Bakal ada banyak perlu, jadi Mas jangan bosen-bosen bales chat aku ya~
Setelah mengirim pesan itu, Dila meletakkan ponselnya di samping kepala, masih tersenyum sendiri.
“Awal yang bagus,” gumamnya.
Merasa puas dengan interaksi singkat itu, Dila akhirnya bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi. Hari ini menyenangkan, tapi besok harus lebih baik lagi.
.
Pagi tiba, dan Dila sudah berkutat di dapur bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Tangannya cekatan menata lauk satu per satu ke dalam kotak bekal, memastikan semuanya tersusun rapi. Bukan bekal biasa, ini untuk orang spesial.
Dari tadi senyumnya tak luntur. Bayangan tentang ekspresi Vero saat menerima bekal darinya terus berputar di kepalanya. Kira-kira dia akan senang? Gak nyangka? Atau malah langsung mau jadian, ya?
"Hitung-hitung simulasi berumah tangga," gumamnya sambil terkikik sendiri.
Setelah memastikan semuanya sempurna, Dila menyeka tangannya dan mengambil ponsel. Jarinya dengan cepat mengetik pesan.
Dila:
Mas Vero, pagi ini aku bawain sarapan buat kamu. Aku anter ke ormawa ya~
Dila menekan tombol kirim dengan penuh percaya diri. Hari ini pasti akan jadi hari yang menyenangkan.
Dila melirik jam di dinding dan terkejut—ternyata sudah siang! Astaga, keterusan masak!
Hari ini, bekal yang ia siapkan punya banyak varian menu. Mungkin itu sebabnya waktu terasa begitu cepat berlalu. Tapi tak ada penyesalan, yang penting Vero dapat makanan terbaik.
Namun, ada masalah lain. Ia juga punya kelas pagi! Jika terlalu lama, bisa-bisa ia tak sempat mengantarkan bekal itu sendiri.
Tanpa berpikir panjang, Dila segera bergegas ke kamar mandi. Setelah ini, ia harus bersiap secepat mungkin agar semuanya tetap berjalan sesuai rencana.
Tak butuh waktu lama bagi Dila untuk bersiap. Dengan cekatan, ia menyelesaikan semuanya lalu berangkat tepat sesuai rencananya.
Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi berbagai pertimbangan—pintu ORMAWA bakal dibuka jam berapa? Kalau seperti kemarin, setelah acara besar, biasanya ada yang menginap di sana untuk persiapan esok harinya.
Dila tersenyum puas. Rencananya berjalan lancar.
Setibanya di kampus, ia langsung menuju ruang BEM. Dari kejauhan, terlihat beberapa laki-laki anggota BEM tengah sibuk mempersiapkan beberapa barang. Tanpa ragu, ia melangkah masuk, membawa kotak bekal di tangannya dengan hati-hati.
Dila membayangkan ekspresi Vero saat menerimanya. Harusnya senang, kan?
“Permisi, Mas Vero ada?” tanyanya sambil mengintip dari balik pintu.
Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Salah seorang anggota BEM yang tengah duduk di dekat meja menatapnya heran.
“Dila?”
Dila menoleh ke arah suara itu, ternyata sosok yang bicara bukan yang tadi ia tanyai.
“Ngapain di sini?”
Dila tersenyum lebar, lalu mengangkat kotak bekalnya tinggi-tinggi. “Ngantar bekalnya Mas Vero.”
Laki-laki itu menaikkan alis, lalu menoleh ke teman-temannya yang mulai bersiul kecil, menggoda suasana.
“Kayaknya Vero masih sibuk, sini buat gue aja,” ujarnya, nyengir.
Dila langsung menggeleng kuat. “Gue buatin ini buat Mas Vero, bukan buat satwa liar.”
Sontak ruangan itu riuh dengan tawa.
“Sialan lo!” ujar laki-laki itu sambil berjalan mendekati Dila, tapi gadis itu segera mundur selangkah, masih mempertahankan bekalnya erat-erat.
“Sini, nanti gue sampaiin.”
Akhirnya, salah satu anggota BEM menengahi mereka. Ia menerima kotak bekal dari tangan Dila, lalu meletakkannya di atas etalase dengan santai.
Dila mengangguk sambil tersenyum puas. Misi mengantar bekal sukses!
Tanpa berlama-lama, ia berbalik meninggalkan ruangan. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik ke arah laki-laki yang tadi sok akrab dengannya.
“Dadah, monyet,” ujarnya santai, lalu melenggang keluar dengan langkah ringan.
Di belakangnya, terdengar suara tawa serta protes dari laki-laki itu. “Awas ya lo, gak gue jodohin sama Vero!”
Tapi Dila malah menjulurkan lidahnya mengejek.
TO BE CONTINUED —
Dila duduk dengan semangat di kursi seberang Vero, kedua tangannya sibuk dengan buku menu yang diberikan. Mereka memilih tempat makan yang cukup nyaman—tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi.“Kita pesan apa?” tanya Dila sambil membolak balik halaman di buku menu itu.Vero menyesap air putihnya sebelum menjawab, “Apa aja yang kamu mau.”Dila menatapnya sebentar, lalu tersenyum puas. “Okey deal.”Gadis itu tersenyum puas kemudian mengatakan pada pelayan pesanannya. Cukup banyak, dia memesan seporsi chicken katsu dengan saus keju, French fries, potato balls dan segelas jus alpukat. Vero sendiri memilih menu yang lebih simpel—nasi dengan ayam panggang dan teh tawar hangat.Vero hanya mengangkat bahu santai. “Selama masih bisa dimakan, terserah.” Gumamnya.Saat makanan tiba, Dila langsung menyerang dengan lahap, sementara Vero menikmati makanannya dengan tenang. Jarang-jarang Dila m
“Kelas saya akhiri sampai sini. Terima kasih, selamat siang.”Seorang wanita dengan sepatu hak tinggi melangkah keluar dengan anggun setelah mengucapkan kalimat tersebut. Seluruh mahasiswa di dalam kelas mulai membereskan barang-barang mereka, beberapa mengobrol sebentar sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduk.“Terima kasih, Bu,” ujar mereka serempak sebelum dosen benar-benar meninggalkan kelas.Dila merapikan bukunya dengan sedikit lamban. Hari ini dia harus lembur menggantikan hari saat dia keluar bersama Vero untuk mencari sponsor. Jam kerjanya bertambah, dan itu berarti harinya akan terasa lebih panjang dan melelahkan.“La, jadi bareng gue nggak?”Daren, yang sejak tadi duduk di belakangnya, sudah siap dengan tasnya. Dila mengangguk sebagai jawaban, kemudian menggendong tasnya dan mulai mengekor Daren keluar dari kelas.Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara memang
Kegiatan mengantar makanan kini terasa lebih menjengkelkan dari sebelumnya. Beberapa kali Dila datang ke ruang ORMAWA, ia selalu melihat gadis yang sama berada di dekat Vero—entah sedang mengobrol atau sekadar duduk bersama. Yang lebih menyebalkan, Vero sama sekali tak terlihat terganggu oleh kehadiran gadis itu.Menyukai pria yang memiliki sikap acuh memang melelahkan. Tidak peduli seberapa sering Dila datang, tidak peduli seberapa banyak perhatian yang ia berikan, sepertinya Vero tetap saja bersikap sama—dingin, tenang, seolah tak ada sesuatu yang bisa benar-benar menyita perhatiannya.Hari ini, saat ia kembali mengantar bekal, pemandangan yang sama kembali terulang. Vero dan gadis itu duduk berdampingan di depan ruang ORMAWA, masing-masing sibuk dengan gadget di tangan mereka tanpa banyak berbicara. Tapi justru keheningan itu yang terasa mengganggu bagi Dila.Merasa tak bisa terus diam saja, Dila akhirnya memberan
Jam malam tiba, Vero menghentikan mobilnya di depan rumah berwarna putih dengan pagar besi yang tertutup rapat. Cahaya lampu teras menerangi pekarangan yang tampak rapi, menandakan bahwa seseorang di dalam rumah sudah menunggu.Dila menoleh ke arah Vero dan tersenyum kecil sebelum membuka pintu mobil. "Makasih ya, Mas, buat tumpangannya," ujarnya dengan nada sedikit menggoda.Vero hanya mengangguk. "Sama-sama."Dila merapikan barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal, lalu menambahkan dengan semangat, "Lain kali kalau mau cari sponsor ajak aku lagi ya, Mas."Vero meliriknya sekilas, lalu menggeleng dengan ekspresi jengah. "Nggak ah. Kamu tukang makan, uang saya habis buat jajan kamu."Dila terkekeh, tak merasa tersinggung sama sekali. "Sekali-sekali ah, sama calon pacar."Vero memutar matanya, tapi diam-diam i
"Vero, gue nanti harus ke Bandung sama Bunda." Seorang laki-laki berkata dengan nada sedikit berteriak sambil berjalan cepat menghampiri Vero."Harus hari ini?" tanya Vero tanpa mengubah ekspresi wajahnya.Laki-laki itu mengangguk sambil membereskan barang-barangnya dengan terburu-buru. "Iya, Kakek gue masuk rumah sakit. Kayaknya gue bakal pulang-pergi terus selama beliau dirawat."Vero hanya mengangguk lagi. Ekspresinya tetap datar saat berkata, "Ya udah, gak apa-apa. Gue bisa nyari sponsor sendiri.""Loh, jangan!" sergah laki-laki itu cepat. "Sama Dila aja, Ro. Dia kan cewek lo, sekalian tuh PDKT kalian biar cepet jadian. Kasihan sekampus pada gemes," lanjutnya dengan seringai menggoda sambil menggendong tas ranselnya.Vero mendengus pelan, tapi sebelum sempat membalas, laki-laki itu menepuk punggungnya, seolah ingin meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.“Loh, kebetulan.”Suara lain menyela percakapan mereka. Vero spontan menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang teman laki-
Dila duduk di salah satu bangku panjang dekat kantin setelah kelasnya selesai. Makanan yang dia pesan mulai mendingin, tapi perhatiannya masih terpaku pada ponsel. Sesekali, alisnya mengernyit, lalu berubah jadi senyum, kemudian kembali serius—seakan-akan sedang membaca sesuatu yang penting.Akhirnya, apa yang dia tunggu datang juga.Seorang laki-laki dengan wajah datar, tanpa ekspresi antusias maupun bosan, berjalan mendekati mejanya. Seperti biasa, Vero selalu terlihat santai, tapi Dila tahu dia bukan tipe yang akan menyapa lebih dulu.“Hai, Mas Vero.” Dila mengangkat wajahnya, tersenyum lebar seperti biasa.Vero tidak langsung menanggapi. Dia hanya menarik kursi dan duduk di hadapan Dila, menghela napas tipis sebelum akhirnya bertanya, “Ada apa?”Dila menatapnya, kali ini dengan senyum yang lebih manis. “Mau tanya.”Vero menaikkan sebelah alis, bingung.Dila tahu, laki-laki itu pasti bertanya-tanya dalam hati. “Tadi aku antar bekel kamu kan…”Vero memiringkan kepalanya sedikit, dia







