"Halo, Baby, lama sekali aku sampai bosan menunggu." Seseorang lelaki bertubuh tambun merentangkan kedua tangannya saat melihat seorang yang dikenalnya mendekat.
"Ekhem, masa nunggu sebentar aja ngeluh. Dasar gendut," balas sang wanita.Lelaki itu tersenyum kemudian memeluk wanita yang berada di depannya."Ayolah, Han, ga usah ngatur suara jadi kaya perempuan gitu. Kita ini sama-sama punya kelainan dan sahabat sedari lama," bisiknya.
Wanita itu tersenyum manis, kemudian memukul pelan bahu lelaki yang berada di depannya.
Dua puluh menit kemudian, mereka sudah menikmati musik yang memekakkan telinga.
'Cih, enak aja bilang kelainan. Normalan juga aku, biar suka dandan sama pakai baju cewek, gak doyan laki-laki,' batin wanita yang disapa Baby.
Ternyata dia tidak menikmati musiknyang menghentak, karena ucapan lelaki tambun tadi. Benaknya terus saja berpikir tentang ucapan sahabatnya itu.
Handoko Utomo, demikian nama lelaki berpakaian seperti wanita nan seksi menggoda jika dia tidak mengeluarkan suara bass khas milik pria. Umurnya 30 tahun putra seorang pengusaha besar di Negeri Awan.
Ibu yang pekerja, dibesarkan oleh pengasuh serta lingkungan yang hampir seluruhnya perempuan, mempermudah dia bergaul dengan wanita. Hal yang menjadi pembeda adalah Handoko tidak menyukai sesama jenis.
Berbeda dengan Doni sang sahabat yang menyukai lelaki namun tidak berperilaku seperti lawan jenis.
“Han, aku cabut duluan, ya. Udah dapet selimut nih,” pamit Doni.
Tampak lelaki itu menggandeng seseorang bertubuh tegap berparas tampan, sesekali gerak tubuhnya gemulai bak wanita.
“Oke, hati-hati di jalan Doni,” sahut Handoko.
Doni hanya mengacungkan ibu jari dan berlalu dari tempat yang di kenal dengan nama diskotik.
Handoko bukan tidak mau mencari wanita untuk dijadikan kekasih, akan tetapi sampai saat ini belum ada gadis yang mampu menggetarkan hati dan juga khawatir jika tidak bisa menerima kekurangan pada dirinya yang tidak diketahui banyak orang, kecuali sang kakak dan Doni. Dia hanya belum siap menerima penolakan dan enggan mengambil resiko apabila rahasia itu terbongkar dan diketahui orang lain.
Handoko menggoyangkan tubuh dengan erotis, memancing gairah jantan seorang lelaki. Meski banyak pria yang menggoda, dia menolak dengan senyum dan jawaban sopan. Saat melihat penunjuk waktu pada ponsel, matanya terbelalak dan raut panik terbingkai di wajahnya.
"Waduh gawat. Sudah jam setengah empat subuh!" serunya.Handoko bergegas meninggalkan diskotik dan tergesa-gesa menuju lift yang menuju ke area parkir. Tiba di dalam mobil, Handoko memakai kembali pakaian lelaki lalu menghapus lipstik dari bibirnya, mencopot bulu mata dan rambut palsu kemudian menyusun dengan rapi di dalam tas ransel.Dipastikan semua sudah rapi, Handoko melajukan mobilnya menuju sebuah rumah yang nampak mewah. Kembali seorang petugas membuka pintu pagar.Mobilnya berhenti sejenak dan memberikan dua lembar uang pecahan seratus ribu kepada petugas keamanan.
Dengan mengendap-endap, dia kembali menuju kamarnya. Tas ransel itu disembunyikan di salah satu lemari yang selalu terkunci. Usai menyimpan tas dia menuju kamar mandi, membersihkan semua riasan di wajahnya. Hingga kini yang tersisa hanyalah seraut wajah tampan dengan kumis tipis menghias bibir. Handoko mengganti pakaian dalam dengan pakaian lelaki.“Hampir saja terlambat sampe rumah, gara-gara si Doni ngomong ngaco. Tidur ah, capek,” gumamnya.
Dirinya kini memandang sekeliling kamar. Memastikan tidak ada yang tertinggal dan nampak mencurigakan. Setelah merasa aman kemudian mematikan lampu lalu merebahkan tubuhnya yang lelah dan terlelap.Terdengar suara pintu diketuk. Tidak ada jawaban, pintu kamar pun dibuka perlahan. Nampak seorang wanita cantik berusia paruh baya masuk ke dalam kamar."Anak ini, sudah jam segini belum bangun juga mungkin dia termasuk bangun jam segitu kali ya, mana tidurnya nyenyak banget," ucapnya pelan.Ia mulai memandang ruangan sambil berkeliling. Kamar itu nampak rapi dan bersih. Beberapa pigura terpajang rapi. Kursi dan meja kecil di sudut ruangan pun nampak apik.
Tidak ada pakaian yang terletak sembarangan. Kaos oblong menggantung, bahkan handuk yang terlempar di sembarang tempat.Perlahan, menuju kamar mandi, kemudian menyentuh handuk milik putranya itu. Keningnya pun berlipat merasa ada sesuatu yang aneh.
‘Handuk ini lembab, berarti dia mandi beberapa jam yang lalu. Kenapa sekarang malah masih tidur? Apa mungkin dia mimpi? Kan anak laki suka gitu,’ batinnya.
Selagi benaknya menerka-nerka tentang keanehan yang di temuinya, seorang pelayan pun datang dari arah belakang wanita cantik yang penampilan elegan itu.
"Maaf, Nyonya. Tuan sudah menunggu di meja makan," ujar pelayan.Dia mengangguk pelan. Kemudian melepas handuk yang sedari tadi dipegang sambil termenung, lalu meminta pelayan untuk membangunkan Handoko. Suara pelayan memutus lamunannya.Wanita cantik itu pun ke luar dari kamar putranya. Pelayan wanita segera melaksanakan perintah untuk membangunkan putra majikannya dengan hati-hati.Tak lama, tubuh lelaki itu menggeliat. Mengerjapkan mata, lalu bangkit menuju kamar mandi dan kembali membersihkan tubuhnya.
Tiga puluh menit kemudian Handoko keluar kamar. Lalu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai satu."Selamat pagi, Ma, Pa," sapanya riang.Seorang lelaki berumur lima puluh tahun meliriknya, tidak menjawab sepatah kata melanjutkan makanan yang berada di piring. Dia adalah Hari Hutomo, ayah dari Handoko."Nyenyak sekali tidur mu, Nak. Mama jadi gak tega bagunin. Kamu kayak kecapean gitu, padahal gak melakukan aktivitas yang berat. Apa kamu sakit?" tanya wanita yang disapa mama.Handoko hanya menggelengkan kepala, lalu menjawab pertanyaan wanita yang sudah melahirkannya itu."Handoko baik-baik saja, Ma, tenang saja." jawabnya menenangkan hati ibunya."Han, kakakmu Julia akan kembali dari luar negeri besok. Apakah kamu udah memikirkan tawaran Papa?" tanya Hari.
"Han akan pikirkan, Pa. Beri waktu tiga bulan agar bisa memikirkan cara menyesuaikan diri," sahut Handoko.Waktu sarapan pun usai. Handoko mengantar kedua orang tuanya sampai ke depan pintu. Tak lama, mobil yang dikendarai mereka pun menghilang dari pandangan.Hari Utomo dan Willa Sartika adalah dewan direksi. Keduanya berusia 50 tahun, pasangan serasa dengan suami tampan juga istri yang cantik. Mereka pemilik sebuah perusahaan yang bernama Boulevard.Perusahaan yang memiliki nama besar yang berkembang dan memiliki banyak cabang itu adalah bukti kerja keras mereka. Sepasang suami-istri itu bahu membahu merintis perusahaan dari nol. Hingga kini terkenal di Negeri Awan.
Mereka memiliki dua orang anak. Yang pertama adalah Julia Utomo dan si bungsu mereka adalah Handoko Utomo."Bi Surti, gimana? Aman pakaianku? Apa Mama mulai curiga?" tanya Handoko kepada pelayannya."Aman, Den. Nyonya sepertinya sedikit mulai curiga. Apakah Aden lupa kalau Nyonya itu cerdas," jawab Bi Surti."Apa yang membuat Mama mulai curiga kepadamu?" tanya seorang wanita.Suara itu, datang dari arah belakang mereka.Handoko dan Bi Surti pun melihat ke arah sumber suara. "Kakak? Kata Papa besok baru datang." Ucap Handoko, sambil memeluk kakaknya. "Kejutan," sahut Julia. Julia kemudian mengajak adiknya untuk duduk di sisi tempat tidur Handoko. Bi Surti pun keluar, lalu tak lama sudah membawa dua gelas air putih dan beberapa makanan ringan untuk Julia dan Handoko. "Kamu masih belum berubah, Dek?" tanya Julia. Handoko hanya diam, lalu merebahkan dirinya dipangkuan Julia. "Hentikan obsesimu mengagumi wanita berlebihan Adikku. Kau tahu, di luar sana pasti ada gadis yang layak untuk dicintai." sambung Julia, sambil mengelus kepala adiknya. "Apa ... Ada gadis yang bisa menerima kekuranganku tanpa menyebarkan kemana-mana, Kak?" tanya Handoko. Julia terkekeh mendapat pertanyaan dari adik bungsunya itu. "Pasti ada, Dek. Di dunia ini kan tidak semua jahat dan begitu juga sebaliknya. Tidak ada manusia yang sempurna, pasti ada yang bisa menerima kamu apa adanya bukan ada apanya," terang Julia. Julia
Julia menoleh mencari orang yang menyapa. Tampak seorang wanita berjalan menuju arahnya."Meliana, apa kabar? Aku tiba tadi pagi," jawab Julia.Kedua wanita itu pun berpelukan, melepas rindu.Julia mengajak Melia Darwin, sahabatnya untuk duduk di sudut cafe."Gimana perkembangan studi kamu?" tanya Meliana.Julia pun menarik napas dan menghembuskan dengan kasar."Gak ada obat untuk itu Mel. Paling mentok therapi dan hormon aja," sahut Julia.Meliana pun mengelus punggung tangan sahabatnya."Kalau therapist, kamu bawa aja ke klinik. Aku punya .... " Meliana belum usai dengan kalimat, terdengar suara cempreng melengking memanggil dirinya."Kakak!" seru suara gadis dengan suara khas yang dikenal Meliana.Nampak gadis itu memakai kaos oblong yang tampak lusuh, celana jeans dan ransel hitam yang tak kalah kusam dengan kaosnya. Hanya sepatu kets yang nampak mahal menyelamatkan penampilan yang terkesan urakan.Kecantikan gadis itu tidak terpengaruh dengan cara pakaiannya.Diandra Darwin. Itu l
Rendi tersenyum misterius. Tanpa menjawab pertanyaan kemudian mengajak Diandra dan Brandon pulang. Gadis itu menyerahkan tas kepada Rendi dan Brandon. Ketiganya nampak berjalan keluar meninggalkan diskotik itu. Dua puluh menit berselang, mereka sudah sampai di rumah gadis itu. Tampak seorang lelaki membuka pintu pagar dan gadis itu pun masuk. Lalu mengendap-endap menuju jendela, kemudian menghilang. "Ah ... Nyampe rumah juga. Lumayan, dapet tambahan uang satu juta. Buat uang jajan si Bejo," ujarnya. Diandra merebahkan dirinya dan tertidur, tanpa mengganti pakaian atau membersihkan tubuh terlebih dahulu. Pukul sepuluh pagi, gadis itu mulai menggeliatkan tubuhnya. Setelah mendengar riuh di depan kamar yang di mulai dari satu jam yang lalu. Gadis itu pun membuka pintu kamar. Tampak seorang wanita muda, seorang wanita paruh baya dan lelaki muda sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Masing-masing mereka membawa panci, kuali, tutup panci lengkap dengan sendok berbahan stainless. Merek
Leofrand pun kembali melajukan mobilnya, meninggalkan rumah Diandra. Lelaki itu kembali ke rumahnya. Hilang sudah keinginannya untuk kembali ke diskotik itu. Sesampainya di rumah, dirinya melihat ayahnya belum tidur. Masih nampak sibuk dengan pekerjaan dengan laptop di depannya. "Dari mana kamu? Gimana dengan anak bungsu Darwin? Apa kamu sudah berhasil mendekatinya?" tanya Mahendra, ayah Leofrand. "Sejauh ini baru aja kenalan Pa. Anak itu persis seperti informasi yang Papa berikan. Gadis aneh dan unik," jawab Leofrand. Mahendra pun merapikan kertas-kertas yang berada di mejanya. Lalu mengajak Leofrand untuk beristirahat, karena besok ada presentasi penting, merebut tender besar untuk perusahaan mereka. Di dalam kamar, Leofrand tidak bisa tidur. Lelaki itu selalu terbayang wajah Diandra dan tingkah konyolnya itu. Lalu tersenyum sendiri. Dua jam setelahnya akhirnya tertidur. Matahari mulai menyembul malu-malu dari peraduannya. Beberapa burung gereja berkejaran, hinggap di balkon ka
"Diandra ini kemana, sih. Udah sore begini belum pulang juga," resah Sisy. Wanita itu terus menatap ke arah pintu masuk. "Non Diandra biasanya sebentar lagi pulang, Nyonya," ucap Bi Munih. Kemudian Sisy menuju ruang keluarga dan duduk di sana. Lima menit kemudian, kembali gelisah. Anak bungsu kesayangan tetap juga belum tampak batang hidungnya. "Assalamualaikum, selamat petang pemirsa," sapa Diandra. Gadis itu melepas sepatunya, lalu melemparkan begitu saja ke sembarang arah. "Wa'alaikumussalam. Diandra, kamu ambil gak sepatu kamu itu! Simpan di rak, atau Mama buang!" perintah Sisy. Dia kesal dengan tingkah laku putri bungsunya itu. Diandra pun segera menuruti perintah ibunya itu, dengan memungut kembali sepatu yang sudah di lemparkan sembarangan itu, kemudian meletakkan di rak sepatu. "Mama, mau minta tolong sama kamu. Anterin ke butik ada perlu," titah Sisy. "Boleh, Ma. Syaratnya pakai motor ya. Sama si Bejo," sahut Diandra. Sisy menimbang sejenak. Dirinya sangat jarang, ba
"Bangun ... Diandra!" teriak Sisy. Wanita menggedor pintu kamar anak bungsunya itu. Seperti biasa, ritual membangunkan Diandra memang memakan waktu. Meski kamar tidak di kunci namun mereka tidak ada yang menerobos masuk ke kamar, jika tidak dalam keadaan darurat.Kemudian terdengar suara pintu di buka dari dalam. Tampak lah wajah bangun tidur Diandra."Kamu ini, anak perawan bangun jam sepuluh. Cepat mandi sana kita mau ke salon," perintah Sisy.Diandra hanya mengangguk, lalu kembali ke dalam kamar dengan pintu yang masih terbuka. Lalu menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.Setelah selesai, gadis itu menutup pintu kamarnya. Lalu memilih pakaian yang akan di kenakan. Kaos oblong berwarna abu-abu dan celana pendek se lutut, berbahan jeans, menjadi pilihan. Kemudian keluar kamar menuju ruang tamu."Astagaaaa ... Begini pakaian kamu ke salon? Apa ga bisa pakai rok atau apalah yang mencerminkan kalau kamu itu perempuan," keluh Sisy kesal. Dia resah melihat penampilan anaknya. Semen
"Allahuakbar ..." ucap Sisy dan Meliana melihat tingkah Diandra.Sisy dan Meliana saling pandang, kemudian membuang nafas kasar."Dek. Perhatikan Kakak, ya," perintah Meliana. Gadis itu berbicara dengan nada pelan namun, suara gemeratak gigi terdengar jelas.Meliana mencontohkan cara berjalan yang benar dan bagaimana membawa tas. Sepuluh menit kemudian, dia meminta Diandra mempraktekkan yang sudah diperagakannya tadi.Diandra mulai berjalan anggun. Sisy dan Meliana senang, namun ada hal yang membuat mereka kembali mengelus dada.Gadis tomboy itu berjalan sangat lambat, mirip pengantin tetapi sambil sedikit mengayunkan tubuhnya."Sudah bagus, Diandra. Ayo kita pulang," ajak Sisy karena merasa sudah putus asa.Sisy keluar ruangan. Diandra mengganti pakaiannya, melepas sepatu yang di pakai. Lalu di masukkan ke dalam kantong belanja. Kemudian menyusul ibu dan kakaknya. Meliana kemudian berpesan kepada karyawan, agar menutup butik.Waktu sudah menunjukkan pukul enam. Sisy meminta mereka un
"Cih, bukannya harusnya aku yang tanya? Kamu ini siapa? Marah-marah ga jelas di rumahku. kamu jangan geer kalau aku menyukaimu, yang tadi aku lakukan adalah menghormati orang tua dan berbakti kepada kedua orang tua," ejek Handoko.Julia meminta Handoko untuk tenang. Sementara Meliana melakukan hal yang sama kepada adiknya. Diandra kesal lalu berjalan keluar. Gadis itu kini duduk di teras menenangkan diri."Perjodohan apa-apaan ini? Aku ngebayangin cowok cool, keren. Kok malah si Domo sih? Ga sudi aku," gerutu Diandra.Julia dan Meliana menyusul Diandra ke teras. Sementara Handoko kembali ke kamarnya."Dek, kamu ga papa?" tanya Meliana."Aku kesal, Kak. Berusaha biar mempesona, eh malah ketemunya sama si Domo," jawab Diandra."Sebentar. Kamu sudah kenal Adikku? Dimana? Kapan?" tanya Julia penasaran.Diandra pun menceritakan bahwa setahun belakangan ini, mereka sering bertemu di taman. Biasanya saat bermain sepeda dua kali seminggu. Gadis itu menuturkan, bahwa dia tidak tahu sama sekali