Share

Pria Gemulai Itu Suamiku
Pria Gemulai Itu Suamiku
Author: Dinara Sofia

Sisi lain

"Halo, Baby, lama sekali aku sampai bosan menunggu." Seseorang lelaki bertubuh tambun merentangkan kedua tangannya saat melihat seorang yang dikenalnya mendekat.

"Ekhem, masa nunggu sebentar aja ngeluh. Dasar gendut," balas sang wanita.

Lelaki itu tersenyum kemudian memeluk wanita yang berada di depannya.

"Ayolah, Han, ga usah ngatur suara jadi kaya perempuan gitu. Kita ini sama-sama punya kelainan dan sahabat sedari lama," bisiknya.

Wanita itu tersenyum manis, kemudian memukul pelan bahu lelaki yang berada di depannya.

Dua puluh menit kemudian, mereka sudah menikmati musik yang memekakkan telinga.

'Cih, enak aja bilang kelainan. Normalan juga aku, biar suka dandan sama pakai baju cewek, gak doyan laki-laki,' batin wanita yang disapa Baby.

Ternyata dia tidak menikmati musiknyang menghentak, karena ucapan lelaki tambun tadi. Benaknya terus saja berpikir tentang ucapan sahabatnya itu.

Handoko Utomo, demikian nama lelaki berpakaian seperti wanita nan seksi menggoda jika dia tidak mengeluarkan suara bass khas milik pria. Umurnya 30 tahun putra seorang pengusaha besar di Negeri Awan.

Ibu yang pekerja, dibesarkan oleh pengasuh serta lingkungan yang hampir seluruhnya perempuan, mempermudah dia bergaul dengan wanita. Hal yang menjadi pembeda adalah Handoko tidak menyukai sesama jenis.

Berbeda dengan Doni sang sahabat yang menyukai lelaki namun tidak berperilaku seperti lawan jenis.

“Han, aku cabut duluan, ya. Udah dapet selimut nih,” pamit Doni.

Tampak lelaki itu menggandeng seseorang bertubuh tegap berparas tampan, sesekali gerak tubuhnya gemulai bak wanita.

“Oke, hati-hati di jalan Doni,” sahut Handoko.

Doni hanya mengacungkan ibu jari dan berlalu dari tempat yang di kenal dengan nama diskotik.

Handoko bukan tidak mau mencari wanita untuk dijadikan kekasih, akan tetapi sampai saat ini belum ada gadis yang mampu menggetarkan hati dan juga khawatir jika tidak bisa menerima kekurangan pada dirinya yang tidak diketahui banyak orang, kecuali sang kakak dan Doni. Dia hanya belum siap menerima penolakan dan enggan mengambil resiko apabila rahasia itu terbongkar dan diketahui orang lain.

Handoko menggoyangkan tubuh dengan erotis, memancing gairah jantan seorang lelaki. Meski banyak pria yang menggoda, dia menolak dengan senyum dan jawaban sopan. Saat melihat penunjuk waktu pada ponsel, matanya terbelalak dan raut panik terbingkai di wajahnya.

"Waduh gawat. Sudah jam setengah empat subuh!" serunya.

Handoko bergegas meninggalkan diskotik dan tergesa-gesa menuju lift yang menuju ke area parkir. Tiba di dalam mobil, Handoko memakai kembali pakaian lelaki lalu menghapus lipstik dari bibirnya, mencopot bulu mata dan rambut palsu kemudian menyusun dengan rapi di dalam tas ransel.

Dipastikan semua sudah rapi, Handoko melajukan mobilnya menuju sebuah rumah yang nampak mewah. Kembali seorang petugas membuka pintu pagar.

Mobilnya berhenti sejenak dan memberikan dua lembar uang pecahan seratus ribu kepada petugas keamanan.

Dengan mengendap-endap, dia kembali menuju kamarnya. Tas ransel itu disembunyikan di salah satu lemari yang selalu terkunci. Usai menyimpan tas dia menuju kamar mandi, membersihkan semua riasan di wajahnya. Hingga kini yang tersisa hanyalah seraut wajah tampan dengan kumis tipis menghias bibir. Handoko mengganti pakaian dalam dengan pakaian lelaki.

“Hampir saja terlambat sampe rumah, gara-gara si Doni ngomong ngaco. Tidur ah, capek,” gumamnya.

Dirinya kini memandang sekeliling kamar. Memastikan tidak ada yang tertinggal dan nampak mencurigakan. Setelah merasa aman kemudian mematikan lampu lalu merebahkan tubuhnya yang lelah dan terlelap.

Terdengar suara pintu diketuk. Tidak ada jawaban, pintu kamar pun dibuka perlahan. Nampak seorang wanita cantik berusia paruh baya masuk ke dalam kamar.

"Anak ini, sudah jam segini belum bangun juga mungkin dia termasuk bangun jam segitu kali ya, mana tidurnya nyenyak banget," ucapnya pelan.

Ia mulai memandang ruangan sambil berkeliling. Kamar itu nampak rapi dan bersih. Beberapa pigura terpajang rapi. Kursi dan meja kecil di sudut ruangan pun nampak apik.

Tidak ada pakaian yang terletak sembarangan. Kaos oblong menggantung, bahkan handuk yang terlempar di sembarang tempat.

Perlahan, menuju kamar mandi, kemudian menyentuh handuk milik putranya itu. Keningnya pun berlipat merasa ada sesuatu yang aneh.

‘Handuk ini lembab, berarti dia mandi beberapa jam yang lalu. Kenapa sekarang malah masih tidur? Apa mungkin dia mimpi? Kan anak laki suka gitu,’ batinnya.

Selagi benaknya menerka-nerka tentang keanehan yang di temuinya, seorang pelayan pun datang dari arah belakang wanita cantik yang penampilan elegan itu.

"Maaf, Nyonya. Tuan sudah menunggu di meja makan," ujar pelayan.

Dia mengangguk pelan. Kemudian melepas handuk yang sedari tadi dipegang sambil termenung, lalu meminta pelayan untuk membangunkan Handoko. Suara pelayan memutus lamunannya.

Wanita cantik itu pun ke luar dari kamar putranya. Pelayan wanita segera melaksanakan perintah untuk membangunkan putra majikannya dengan hati-hati.

Tak lama, tubuh lelaki itu menggeliat. Mengerjapkan mata, lalu bangkit menuju kamar mandi dan kembali membersihkan tubuhnya.

Tiga puluh menit kemudian Handoko keluar kamar. Lalu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai satu.

"Selamat pagi, Ma, Pa," sapanya riang.

Seorang lelaki berumur lima puluh tahun meliriknya, tidak menjawab sepatah kata melanjutkan makanan yang berada di piring. Dia adalah Hari Hutomo, ayah dari Handoko.

"Nyenyak sekali tidur mu, Nak. Mama jadi gak tega bagunin. Kamu kayak kecapean gitu, padahal gak melakukan aktivitas yang berat. Apa kamu sakit?" tanya wanita yang disapa mama.

Handoko hanya menggelengkan kepala, lalu menjawab pertanyaan wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Handoko baik-baik saja, Ma, tenang saja." jawabnya menenangkan hati ibunya.

"Han, kakakmu Julia akan kembali dari luar negeri besok. Apakah kamu udah memikirkan tawaran Papa?" tanya Hari.

"Han akan pikirkan, Pa. Beri waktu tiga bulan agar bisa memikirkan cara menyesuaikan diri," sahut Handoko.

Waktu sarapan pun usai. Handoko mengantar kedua orang tuanya sampai ke depan pintu. Tak lama, mobil yang dikendarai mereka pun menghilang dari pandangan.

Hari Utomo dan Willa Sartika adalah dewan direksi. Keduanya berusia 50 tahun, pasangan serasa dengan suami tampan juga istri yang cantik. Mereka pemilik sebuah perusahaan yang bernama Boulevard.

 Perusahaan yang memiliki nama besar yang berkembang dan memiliki banyak cabang itu adalah bukti kerja keras mereka. Sepasang suami-istri itu bahu membahu merintis perusahaan dari nol. Hingga kini terkenal di Negeri Awan.

Mereka memiliki dua orang anak. Yang pertama adalah Julia Utomo dan si bungsu mereka adalah Handoko Utomo.

"Bi Surti, gimana? Aman pakaianku? Apa Mama mulai curiga?" tanya Handoko kepada pelayannya.

"Aman, Den. Nyonya sepertinya sedikit mulai curiga. Apakah Aden lupa kalau Nyonya itu cerdas," jawab Bi Surti.

"Apa yang membuat Mama mulai curiga kepadamu?" tanya seorang wanita.

Suara itu, datang dari arah belakang mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status