Handoko dan Bi Surti pun melihat ke arah sumber suara.
"Kakak? Kata Papa besok baru datang." Ucap Handoko, sambil memeluk kakaknya.
"Kejutan," sahut Julia.
Julia kemudian mengajak adiknya untuk duduk di sisi tempat tidur Handoko.
Bi Surti pun keluar, lalu tak lama sudah membawa dua gelas air putih dan beberapa makanan ringan untuk Julia dan Handoko.
"Kamu masih belum berubah, Dek?" tanya Julia.
Handoko hanya diam, lalu merebahkan dirinya dipangkuan Julia.
"Hentikan obsesimu mengagumi wanita berlebihan Adikku. Kau tahu, di luar sana pasti ada gadis yang layak untuk dicintai." sambung Julia, sambil mengelus kepala adiknya.
"Apa ... Ada gadis yang bisa menerima kekuranganku tanpa menyebarkan kemana-mana, Kak?" tanya Handoko.
Julia terkekeh mendapat pertanyaan dari adik bungsunya itu.
"Pasti ada, Dek. Di dunia ini kan tidak semua jahat dan begitu juga sebaliknya. Tidak ada manusia yang sempurna, pasti ada yang bisa menerima kamu apa adanya bukan ada apanya," terang Julia.
Julia sudah sejak lama menyadari kelainan kepada adiknya. Cara berjalan dan gaya bicara sesekali seperti perempuan. Namun alat kelamin tumbuh normal. Julia pernah memeriksakan fisik Handoko secara menyeluruh pada rekan sejawatnya.
Alasan itulah, yang membuat Julia belajar dengan keras agar bisa menjadi dokter. Supaya bisa membantu sang adik kembali kepada takdir yang seharusnya.
Sering ibu mereka memergoki Handoko yang berperilaku gemulai. Namun Julia menutupinya dengan dalih sedang meniru seseorang di sekolah.
Julia selalu membantu mengingatkan Handoko. Jika adiknya mulai terlihat gemulai maka, Julia akan memberi kode. Entah dengan mendehem, batuk atau menjatuhkan sesuatu. Dia bahkan memaksa Handoko untuk kuliah di kampus yang sama dengannya. Tentu saja agar dia bisa menyelamatkan adiknya dari perundungan.
"Kak, apa aku masih bisa normal?" tanya Handoko.
Julia tersenyum. Dirinya sudah meneliti hingga jauh ke luar negeri demi sang adik.
"Bisa dong. Kamu ga tertarik berhubungan dengan lelaki kan," sahut Julia.
"Dih enggak lah. Ini si Otong masih waras, Kak," gerutu Handoko.
Mereka bertiga pun terkekeh. Bi Surti memang tidak keluar kamar karena Julia memang memintanya demikian.
"Kak, beristirahatlah dulu. Nanti sore kita ke salon ya. Ini aku mau cek laporan keuangan perusahaan dulu," kata Handoko.
Julia pun mengangguk setuju. Kemudian ke luar kamar adiknya. Bi Surti mengambil tas ransel milik Handoko dan membawanya ke dalam kamar Julia. Memang seperti itu kesepakatan antara kakak beradik.
Sesampainya di kamar, Julia langsung merebahkan dirinya. Lalu terlelap karena lelah perjalanan yang memakan waktu belasan jam. Bi Surti pun ke luar dari kamar dan menutup pintu dengan perlahan. Tampak tiga buah koper berukuran besar sudah berjejer di depan kamar Julia.
Bi Surti tidak segera memasukkan koper-koper itu ke dalam kamar Julia, karena takut menganggu tidurnya. Wanita berusia lima puluh tujuh tahun itupun kembali menuju dapur dan mulai memasak.
Julia sudah pulang, maka Bi Surti memasak makanan kesukaan gadis itu. Dibantu oleh juru masak yang lain, Bi Surti adalah pengasuh Handoko sedari bayi. Wanita berusia setengah abad menyayangi Handoko karena dirinya mendambakan seorang anak lelaki.
Dia diceraikan oleh suaminya dengan alasan tidak bisa melahirkan anak lelaki. Padahal, penentu jenis kelamin bayi, ada pada gen yang disumbangkan oleh suami. Minimnya edukasi tentang hal itu, membuat banyak rumah tangga yang menjadi rusak. Bi Surti memiliki dua orang anak perempuan, kini kedua anaknya sudah menikah dan memiliki kehidupan yang sangat layak. Wanita itu tetap memilih bekerja, untuk mengisi hari tuanya.
Pukul satu siang, makanan sudah tertata rapi dan terhidang di meja makan. Terdengar suara kendaraan roda empat berhenti kemudian terdengar suara derap langkah yang menuju meja makan.
"Selamat siang Tuan, Nyonya," sapa Bi Surti.
"Siang Bi. Handoko masih tidur?" tanya Willa Sartika.
Bi Surti pun menjawab jika Handoko sedang memeriksa laporan keuangan perusahaan di kamarnya.
Hari Hutomo meminta Bi Surti untuk memanggil Handoko untuk makan siang bersama.
Bi Surti pun menuju kamar Handoko. Wanita itu mengetuk pintu kamar Handoko. Tak lama pintu kamar pun terbuka. Lalu mengatakan jika orang tuanya sudah menunggu di meja makan. Kemudian dirinya menuju kamar Julia dan mengatakan hal yang sama. Mereka sengaja tidak memberi tahu Hari dan willa karena akan memberikan kejutan.
Julia pun menuju kamar mandi. Membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya, lalu menuju meja makan.
Denting sendok yang beradu dengan piring pun terdengar. Willa dan Hari tidak menyadari jika Julia berjalan menuju arah mereka. Mereka menikmati makanan di piringnya masing-masing tanpa berbicara satu sama lain.
"Apakah kalian tidak mengajakku makan siang?" tanya Julia.
Willa menoleh, kemudian meletakkan sendoknya dan berdiri. Julia setengah berlari menuju arah ibunya lalu memeluk dengan erat melepas rindu.
Hari tak kalah senang melihat anak sulungnya itu. Hari sangat menyayangi Julia, hampir semua permintaannya akan dituruti.
"My princess ... Sayangnya Papa," sambut Hari.
Julia pun memeluk sang ayah kemudian bergelayut di leher kokoh lelaki senja bertubuh tegap itu. Layaknya seorang anak kecil yang manja.
"Katanya besok pulang. Taunya udah nongol aja, apa kabarmu?" tanya Willa.
Julia pun menjawab jika dirinya baik-baik saja. Tak lupa menjelaskan, bahwa dia memang sengaja mempercepat kepulangannya satu hari. Ingin memberi kejutan kepada mereka semua.
Mereka kembali melanjutkan makan siang yang tertunda.
Hari dan Willa masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Sementara Julia menuju kamar Handoko, adiknya.
"Masih sibuk periksa laporan keuangan?" tanya Julia.
Tampak Handoko sedang serius menatap layar laptopnya.
"Iya Kak. Papa mulai mendesak agar aku menggantikannya," sahut Handoko tanpa menoleh.
Julia pun mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menemani ke salon. Karena akan menemui Adrian, kekasihnya.
"Ga papa kak. Aku juga ga bisa ke salon. Kerjaan dari Papa masih numpuk nih,"timpal Handoko.
"Ya sudah. Kalau begitu kakak pergi dulu, ya. Kalau Mama tanya, bilang aja ada di cafe Adrian," pesan Julia, sambil keluar kamar adiknya.
Julia kembali ke kamar. Memasukkan tiga buah koper yang berada di luar kamarnya. Kemudian memanggil Bi Surti untuk membantunya menyusun pakaian di lemari.
Selagi Bi Surti menyusun bajunya, Julia pun memilih beberapa baju untuk dipakai saat keluar nanti. Bi Surti bercerita jika kini Handoko lebih sering keluar malam.
"Aku juga mau bahas tentang ini sama Adrian, Bi. Keluarganya sudah mendesak kami menikah, sementara Handoko belun sembuh, hatiku gak tenang ninggalin dia," keluh Julia.
"Jangan sedih gitu, Non. Den Handoko bisa sembuh asal dia mau. Yang di alami sekarang bukanlah penyakit tapi hawa nafsu dari hatinya sendiri," papar Bi Surti.
Julia mengangguk. Memang benar perilaku adiknya itu adalah ke inginan hatinya bukan karena penyimpangan seksual menyukai sesama jenis.
Gadis cantik itu mengambil kunci mobil, lalu melajukannya menuju cafe Adrian.
Dua belas menit kemudian, Julia sampai di tujuan.
"Julia, kapan kamu sampai?" sapa seseorang.
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t