“Jadi kau tertarik padanya?”Vincent yang tadi sempat berniat meninjau pendapatan kafe memilih untuk mengurungkan niatnya. Pandangan matanya kembali pada Jeremy yang nampak berpikir. Ia memang baru saja menceritakan pada Jeremy apa yang dirasakan pada wanita asing yang bahkan belum sebulan ia kenal. “Apa kau pikir aku tertarik padanya?”Jeremy berdecak. “Sangat terlihat dari caramu menceritakan tentang Jane, kau terlihat konyol. Maksudku, sadar tidak jika ini pertama kalinya kau menceritakan soal wanita padaku?”Vincent tertegun, ia baru menyadarinya. Tentu saja dirinya belum pernah bercerita tentang wanita manapun lantaran selama ini, ia disibukkan dengan perkembangan kafe. “Oy, sadar tidak jika selama ini kau juga tidak penah menceritakan apapun tentang Naomi,” kata Jeremy mencoba memancing reaksi apa yang ditunjukkan kawannya dan ternyata sesuai dengan ekpektasinya. Vincent terlihat bingung. “Kenapa aku harus menceritakan tentang Naomi, bukankah ia juga menghabiskan banyak wak
“Jadi sebenarnya apa yang membuat Jane sering terserang panik?” tanya Vincent. Pertanyaan itu kemungkinan terdengar lancang mengingat hubungan mereka tidak terlalu dekat. Jasmine yang tadi duduk di samping Jane yang masih tertidur setelah lelah menangis menghela nafas dan beranjak. Temannya itu memang sering terserang demam jika paiknya kambuh. "Sebaiknya kita keluar,” ucap wanita itu dan Vincent mengangguk. Ia melirik Jane yang masih terlelap sebelum keluar kamar mengikuti Jasmine. Vincent duduk di sofa tepat di depan Jasmine. Pria itu memperhatikan sekitar. Melihat apa yang kurang dan apa yang perlu diperbaiki dari penginapan milik ibunya itu.“Aku cukup terkejut ketika tahu kau pemilik penginapan ini.”Vincent menggaruk pelipisnya dan terkekeh.“Masih milik ibuku, terlalu dini untuk mengakui. Aku hanya bertugas membenarkan beberapa hal jika ada kerusakan. Kau bisa mengatakan padaku jika ada sesuatu yang bermasalah disini.”Jasmine mengangguk. Ujung matanya memperhatikan Vincen
Angin berhembus tipis, membuat helai rambut wanita itu menjadi berantakan. Namun si pemilik enggan merapikannya. Ia hanya ingin membiarkan rambutnya tersapu angin. Kepalanya menunduk, melihat pasir putih yang ada di bawah kaki. Nampak kasar namun tidak menyakitkan. Jane tersenyum kecil ketika ia melihat ada beberapa kepiting kecil yang nampak berlarian kembali ke rumah mereka ketika ia melangkah. Air laut pagi itu tidak dingin seperti biasanya. Dalam hati wanita itu bertanya-tanya apakah hari ini sudah memasuki musim panas?Jane tidak tahu, lantaran ia juga tidak pernah mencari tahu tentang seberapa lama ia meninggalkan gemerlap dunia hiburan yang sudah membesarkan namanya. Ketika ingat hal itu, ia merindukan Lucas, pemuda yang tak pernah mengeluh akan pekerjaannya, ia merindukan Thomas, pria tua mata keranjang namun sangat menyayanginya, dan LIlibet, ah wanita itu meskipun baru bertemu dengannya beberapa hari lalu. Ia juga merindukan omelannya. Jane kembali tidak bisa menyembunyik
Jane kebingungan ketika melihat Jasmine yang nampak berantakan dan langsung memasuki kamar ketika datang. Ia tak menyapanya dengan riang seperti biasanya. Membuatnya enggan mengatakan apa yang ingin disampaikan terkait dengan surat yang didapat dari Lukas. Ujung matanya melirik pada pria yang juga sama berantakannya, tengah menggelepar bak ikan kekurangan air di daratan di atas sofa ruang tamu. Jeremy yang biasanya rapi, hari ini juga terlihat kacau.“Kalian bertengkar?”Pria itu terlonjak, matanya membulat, dan bahunya menegang. Namun ketika menemukan tatapan bingung Jane ia memilih memperbaiki posisi duduknya dan mengalihkan pandangan ke arah kamar Jasmine yang tertutup. Telapak tangannya yang lebar meraup wajahnya dan mengeram rendah.Dahi Jane mengerut ketika di tengah kebingungannya ia menemukan sesuatu yang janggal. Beberapa bekas keunguan nampak terlihat jelas ada di leher pria itu, kulitnya yang memang putih membuatnya nampak sekali bahkan meskipun mengenakan jaket akan percu
“Kau mungkin bisa berdoa agar Tuhan mengasihimu dan mengeluarkan kamu dari sini.”“Aku tidak percaya pada Tuhan.”Percakapan itu Jane lakukan ketika usianya menginjak lima belas tahun dan itu tahun ketiganya di rumah bordil. Benar, orang tuanya menjualnya ke tempat setan dan ia sudah beberapa kali berganti tempat. Setiap malam sesuai jadwal, ia akan menjadi salah satu penghibur—yang tidak terlalu diminati. Mungkin karena keadaan fisiknya yang lemah, entahlah. Jane diam-diam cukup bersyukur akan hal itu. Namun, dibalik kegelapan itu. Ia bertemu dengan Angel, bukan nama asli, pun dirinya juga tidak memakai nama asli. Orang-orang sering memanggil dirinya blue. Angel, cukup berdedikasi padanya. Wanita yang memiliki renang umur jauh diatasnya itu mengajari Jane cara berbicara bak orang normal dan ternyata berhasil meskipun membutuhkan waktu hampir setengah tahun.Sebenarnya Angel melakukan itu bukan secara sukarela, wanita itu dibayar bos mereka untuk membantu Jane bisa berbicara setela
Masih pada pemandangan yang sama sejak beberapa menit lalu. Niat yang Jane buat untuk kembali sudah perempuan itu utarakan pada Jasmine. Namun kawannya itu menolak. Alasannya jelas, ia masih ingin bersama dengan kekasih barunya, Jeremy, lebih lama. Sempat Jane katakan untuk dirinya pulang duluan ke kota dan Jasmine bisa kembali kapanpun ia mau. Namun wanita itu menolak dan mengatakan akan membenci Jane seumur hidupnya jika ia meninggalkannya sendirian di tempat itu. Jane menghela nafas entah untuk yang keberapa, menyibak rambutnya yang mulai semakin panjang dan tanpa sadar ia juga melihat kakinya yang akhir-akhir ini jarang belum mendapatkan perawatan maksimal. Tapi, bukan itu yang penting sesungguhnya. Jane hanya ingin segera kembali dan memilih untuk menyelesaikan masalah yang kemungkinan akan ditimbulkan orang tuanya. Bukan bermaksud buruk, namun sudah tahu jika orang tuanya kemungkinan akan berbuat sesuatu yang di luar dugaan sampai ia mau menemui mereka yang bahkan dirinya se
Banguan tidur dengan kepala bak dihantam batu sungguh membuat Jane ingin mengumpat. Ini mungkin bukan pagi terburuknya, namun kemudian terasa seperti mimpi buruk ketika ia terbangun di kasur yang bukan miliknya dan ruangan asing yang entah milik siapa. Pandangannya memburam ketika rasa sakit kepala tak kunjung mereda ditambah ketika ia tengah berusaha untuk mengingat apa yang terjadi tadi malam. Minum di kafe dengan Vincent-Kemudian?Kapala Jane miring ke kanan, dengan dahi mengkerut ketika ia ingin menemukan secuil ingatan lain dan ketika ada sebuah ingatan yang teringat matanya membola. Ci—ciuman?Lalu setelahnya ia tak menemukan ingatan apapun. "Kau sudah bangun?”Jane tersentak, reflek menoleh pada pria yang berdiri di ujung ruangan, tubuhnya yang putih terlihat bercahaya lantaran terkena sinar matahari dari jendela. Vincent tak memakai atasan dan hanya memakai celana tidur panjang. Namun bukan itu yang menarik perhatian. Ketika Jane menunduk, ia kembali tersentak saat sadar
“Akhir-akhir ini sepertinya aku tidak merasakan gangguan tidur seperti sebelumnya,” ucap Jane tiba-tiba ketika mereka sampai di pantai yang Vincent rencanakan sebelumnya. Pria itu dengan sengaja meliburkan kafenya demi membawa Jane ke pantai yang jaraknya lumayan jauh dari pantai tempat Jane bermukim. Pantai itu sangat indah dengan pemandangan alami yang belum tersentuh dengan tangan usil manusia. Suasanana masih sangat alami dan sejauh mata memandang, sampah yang ada tak lebih hanyalah pelepah kelapa yang ada di area pinggir pantai. Berbeda jika berada di kawasan penginapan, pantai itu tidak tercium garam ataupun pengasinan ikan seperti yang Jane selalu tau ketika lewat di beberapa pos khusus untuk usaha garam dan ikan asin warga lokal. Ujung kaki Jane mengeruk pasir berwarna merah muda pelan, menimbulkan sensasi geli. Kemungkinan itu terjadi lantaran jumlah alga di lautan dan terbawa hingga tepi pantai membuat psir yang semula putih berubah warna. Kata Vincent ketika laut pasang,