Share

BAB 5

Mereka sampai pukul lima sore dengan keadaan langit yang menguning. Beberapa anak berlarian di pinggir pantai yang tampak bersih dan indah. Jane menghela nafas setelah sampai di pekarangan penginapan yang kata si supir adalah tempat yang mereka tuju. Jasmine masih terlihat ngantuk, namun wanita itu tetap memutar lensanya ketika melihat bunga-bunga indah di pekarangan penginapan. 

“Orang-orang mengira kita adalah dua orang mahasiswi yang tengah melakukan study tour jika kau tetap seperti itu,” ucap Jane sembari meletakkan kopernya. 

Ia kemudian duduk di salah atau kursi yang ada di sana. Ketika ia mencoba membuka ponsel, ternyata tidak ada jaringan internet di tempat itu. Sesuatu yang kelewat bagus. Secara otomatis keberadaannya tidak akan terlacak.

“Di sini tidak ada jaringan.”

“Ah, benarkah.” Jasmine membuka ponselnya. “Kau benar.” 

Jane hampir saja menarik satu batang rokok di saku tasnya. Namun hal itu ia urungkan ketika mendengar suara berisik dari dalam rumah. Jasmine juga segera menutup kameranya. 

Mereka bertatapan. 

“Astaga apa kalian yang dikatakan Lilibet? yang akan menginap di sini?”

Jasmine melepas maskernya, dengan sunggingan senyum kecil mengangguk. Jane juga berdiri dan melepas maskernya.

“Ya, kami adalah orang yang akan berlibur dan menginap di sini.”

Dilihat dari reaksi sang wanita itu terlihat sekali jika ia tak mengenali Jane dan Jasmine.

“Saya Maya dan pemilik penginapan ini, mari masuk. Nona-nona cantik ini pasti butuh istirahat sebelum berjalan-jalan,” ucapnya dan membantu membawa koper Jane yang memang terletak lebih dekat dengan pitu. Mereka berdua masuk dengan perasaan yang cukup takjub melihat isi dari penginapan tersebut. 

Penginapan itu di dalamnya terasa sejuk. Dari mulai lantai tembok hingga langit-langit terlihat dari kayu yang memang didesain sedemikian rupa. Semuanya di cat warna coklat mengkilap dengan beberapa ornamen antik yang ada di dinding. Sangat unik. Sofanya terlihat bersih dan Jane bisa mencium bau ruangan itu seperti jeruk segar. Salah satu buah yang ia cintai. 

“Sedikit informasi jika pantai di sini memang hanya diperuntukan khusus untuk seseorang yang memiliki permasalahan sama dengan Anda, Nona.”

Maya menatap Jane yang masih berdiri diam di tempat.

“Tapi tenang saja, semuanya aman di tempat ini. Lilibet juga berpesan pada Anda untuk tidak memikirkan pekerjaan Anda di kota,” jelasnya lagi. Wanita itu kemudian membuka dua kamar yang ada di sana.

Jane pikir pria tua tadi hanya bergurau ketika menjelaskan tentang pantai yang akan mereka kunjungi. Ia tak menyangka jika ini adalah salah satu proses penyembuhannya. Jasmine yang tahu tentang temannya hanya bisa mengelus pelan pundak Jane.

“Di sini adalah tiga kamar, kamar utama paling besar dan—hmm atas nama nona Jane,” ucap wanita itu sembari menatap Jane kembali.

“Kamar mandi sudah disiapkan di dalam kamar, dapur di sebelah kiri semua sudah dipersiapkan,” jelasnya sembari menunjuk satu per satu ruangan yang dia jelaskan.

“Tak jauh dari sini ada sebuah kafe, kalian bisa memesan makanan manis di sana. Oh, ada pasar tradisional juga jika nona-nona ingin berbelanja.”

Jasmine mendengar penjelasan itu sambil mengambil langkah menuju kamar yang berada tepat di depan kamar utama. Tidak buruk sama sekali dan terasa nyaman meskipun tampilannya tak jauh berbeda dengan ruang tamu. 

Maya izin pergi kembali ke rumahnya ketika selesai menjelaskan. Wanita itu juga mengatakan jika mereka bisa membawa masing-masing kunci yang ada di pintu ketika hendak keluar. Jane menjatuhkan tubuhnya ke sofa, kemudian melepas kemejanya. Menyisakan kaos tanpa lengan ketat. 

“Kau harus menikmati hari-harimu di sini,” ucap Jasmine yang kini sudah berganti dengan kaos kebesaran dan celana pendek. Rambut pirangnya yang tadi tergerai, kini tergulung rapi. Ia ikut duduk di samping Jane dan pandangan mereka terarah ke luar jendela. View-nya benar-benar tepat. Mereka berdua terdiam, pikiran-pikiran aneh yang tadi melayang-layang di kepala Jane juga menghilang ketika wanita itu mengagumi betapa indahnya sunset di tempat itu. 

“Tempat ini begitu indah dan menenangkan,” gumam Jasmine dan dalam diamnya, Jane mengiyakan ucapan temannya tersebut. 

*****

Suasana di sebuah kafe nampak seperti biasa. Pengunjung kebanyakan adalah orang-orang asing yang tak berasal dari area pantai itu. Mereka nampak lebih hidup ketimbang saat-saat mereka datang. 

“Ku dengar ada pendatang baru, kemungkinan adalah salah satu pasien hasil rekomendasi,” ucap seorang pria dengan pakaian santainya.

Menyesap pelan late yang baru ia pesan. Posisi duduknya yang berada di bar kafe membuat ia bisa melihat seluruh aktivitas di kafe. Sebenarnya bar tidak diperuntukan untuk pelanggan dan pria itu adalah pelanggan yang memang tidak tahu malu. 

Sementara pemilik kafe juga tidak mempermasalahkannya. Mereka adalah teman sebaya dan terlalu sering melihat tingkah seenaknya dari temannya, Jeremy.

Vincent, pemuda berusia dua puluh sembilan tahun, berpakaian tak kalah santai.  Fitur wajahnya yang tegas membuat tak banyak orang menatapnya dengan berani, hidungnya tinggi dengan tatapan matanya yang tajam.

“Sampai kapan tempat ini menjadi tempat pembuangan orang-orang gila.”

“Vincent, mulutmu benar-benar perlu dilakban,” ucap Jeremy  menatap temannya dengan sinis.  Vincent hanya mendengus, kadang kala ia muak sendiri melihat kafenya dipenuhi oleh pasien depresi yang bahkan kadang kala terlihat lebih menyedihkan meskipun pakaiannya terlihat mewah.  

“Sudahlah, jangan berbicara begitu. Aku tau kau juga peduli dengan mereka. Secara tidak langsung, kafemu ini membantu mereka meringankan beban pikiran mereka,” ucap Jeremy dengan senyuman yang hanya ditanggapi helain nafas oleh sanga kawan.

Vincent memang orang asli tempat itu, namun dua tahun lalu ia menjadi lulusan terbaik di universitas Kanada, tempatnya menimba ilmu. Ketimbang mencari pekerjaan di luar daerah seperti saran orang terdekatnya. Pria itu malah melipir ke pinggir pantai yang sepi dan membangun kafe dengan makanan sehat. 

Ia tidak tahu motivasi apa yang mendasari dan menjadi konteks dari apa yang ia lakukan. Hanya  mengikuti insting jika kafenya akan banyak pelanggannya. Semua terbukti sekarang, meskipun ada yang diluar prediksinya. 

“Aku pernah melihatnya, namuan sebagai orang yang tidak ingin membuatnya risih lebih baik untuk pura-pura tidak tahu.”

“Maksudmu?” 

Jeremy menatap keluar jendela, tepat pada dua orang wanita dengan pakaian santai yang tampaknya memang akan menuju kafe Vincent.

“Mereka berdua adalah model populer di kota dan yeah, sayangnya berakhir di tempat ini.”

******

Jane memandang sekeliling kafe. Tatapannya tertuju pada beberapa furniture unik yang ada di dinding. Tembok yang menghadap ke laut sebagian besar dibuat dari kaca. Tak terlalu silau lantaran di depan ada tanaman hias yang mampu menghalau sinar matahari meskipun tidak sampai menutupi keindahan pantainya. 

Kafe itu memiliki pengunjung yang lumayan. Pelayan juga terlihat melayani dengan ramah pada setiap meja yang mereka hampiri. Satu hal yang membuat Jane cukup meyakini jika tempat itu memang ‘khusus’ adalah sebagai besar pengunjung duduk sendirian dan tak melakukan apapun selain menikmati kue manis dan melihat pemandangan sore pantai. Definisi dari refreshing sesungguhnya. 

“Kau pesen apa?”

Jane tersentak, tak menyadari jika mereka telah sampai di depan meja pemesanan. Pandangannya tertuju pada beberapa makanan manis yang ada di depannya. Anehnya di depan etalase ada catatan kecil yang berisi kandungan dari setiap kue dan roti yang ada. 

“Kue rasa blueberry dan coklat yang rendah lemak,” ucapnya sembari mendongak. 

Tatapannya bertemu dengan milik pemuda dibalik meja pemesanan. Retina pemuda itu berwarna coklat menyala, namun terbingkai oleh tatapan tajam nan dingin. Ketimbang manis, mata itu menjadi elegan dan misterius. Jane agak terkejut ketika Jasmine tak sengaja menyenggol bahunya ketika bergeser untuk melihat menu lain di etalase.

“Tuan, aku ingin kue rasa stroberi ini dan minuman apa yang ingin kau pesan?” tanya Jasmine lagi.

“Huh, ah, yah aku terserah padamu,” ucap Jane. 

Jasmine kemudian menyebutkan lemon tea dan Jane tak keberatan. Ia hanya menambahkan jika minuman miliknya tidak perlu diberi gula atau pemanis apapun. Sang pria tak berkomentar apapun, selain mencatat pesanan dan setelahnya dua wanita itu memilih meja yang sekiranya membuat mereka nyaman. Meja pojok dengan dua meja di barisan itu menjadi pilihan Jane dan Jasmine menyetujui usulan sang teman. 

Tatapan mata Jane melayang ke arah lautan. Matahari terbenam terlihat cantik dari tempatnya duduk. Suara ombak di lautan benar-benar sebuah bunyi yang menenangkan pikirannya,secara pribadi hal itu membuat dirinya merasa nyaman dan rileks. 

“Jane?”

Jane mengalihkan perhatian pada Jasmine. Alis kanannya terangkat. Menunggu kalimat yang akan dikatakan sang teman setelah memanggilnya. Namun wanita berambut pirang itu malah menunjuk satu objek di belakang Jane. 

“Ada apa?”

“Kalau lihat pria itu, entah kenapa dia menatap meja kita terus. Aku menyadarinya sejak masuk ke kafe tadi,” ucap Jasmine dengan nada sedikit berbisik.

Jane membalikkan badan. Wanita itu dengan sangat mudah menemukan sosok pria dengan pakaian santai yang kini masih memperhatikan mereka. Kemungkinan, ia belum sadar jika Jane dan Jasmine menyadari apa yang dilakukannya. Hal itu semakin aneh ketika sang pemuda asing melempar senyum. Jane menatapnya aneh. Merasa terganggu dengan perilaku tersebut, ia pun beranjak dari kursi dan hendak menghampiri pria asing dengan kaos abu-abu yang menurutnya cukup mencurigakan. Jasmine sempat ingin menahannya namun keburu Jane melangkah cepat. 

“Maaf apakah Anda mengenal kami?” 

Sang pria yang mendapat pertanyaan itu  terlihat terkejut di tempat duduknya. Mata sipitnya agak melebar ketika menyadari salah satu wanita yang tadi secara tidak sadar ia perhatikan kini berdiri di depannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan jangan lupakan tatapan curiga Jane. 

“Ah, maaf  jika mengganggu liburan kalian. Saya salah satu penggemar kalian,” ucap pria itu.

Jane tak memberikan respon berarti kecuali tatapannya yang datar. Pria itu terlampau payah berbohong dan ia hanya ingin memastikan jika pria asing yang kini terlihat salah tingkah itu buka haters atau paparazi. Jane datang hanya untut menyegarkan pikiran, bukan malah menciptakan masalah baru.  

“Maaf, Nona. Saya memang bukan penggemar Anda. Kebetulan saya tahu Anda karena saya seorang photografer dulu dan serius, saya tak memiliki niat buruk atau niat apapun. Hanya terpesona melihat dua wanita can—ah maksud saya melihat dua model populer ada di pantai kecil ini,” jelasnya. Tangannya secara spontan bergerak random sekana menunjukkan jika ia tidak berbohong dengan penjelasan tersebut.

Beberapa orang yang ada di sekitar mereka tak tertarik dengan obrolan tersebut, terbukti tak ada yang menengok atau bahkan melirik. Semua terfokus pada kegiatan masing-masing. 

Raut wajah Jane yang tadi penuh kerutan dengan tatapan tajam,  kini berangsur melunak. Namun ia tak mengurai lipatan tangannya. Belum juga ia menanggapi penjelasan sang pria. Suara asing mengintrupsi mereka. 

“Ada apa ini, Jer?”

Jane berbalik dan saat itu juga tatapannya  bertemu kembali dengan pria bermata coklat yang sebelumnya berada di balik meja pemesanan. Ada sesuatu yang cukup menarik perhatian Jane. Jika tadi pemuda itu menggunakan atribut karyawan. Kini lebih terlihat seperti pemilik kafe, pikir Jane. Penampilan pria itu  dengan kemeja putih tergulung ke siku dan celana pendek membuatnya terlihat lebih maskulin.

“Tidak ada apa-apa. Ini salahku karena mengganggu kenyamanan mereka,” ucap Jeremy, merasa bersalah lantaran tatapannya yang memang terbiasa jelalatan membuat temannya kerepotan. Mungkin beberapa pelanggan merasa terganggu dengan Jane dan dirinya meskipun tak secara terang-terangan.

Pandangan Vincent beralih pada Jane yang nampak mengalihkan pandangan pada  temannya yang kini mengayunkan tangannya menunjuk pada meja yang berisi makanan yang telah ia esan. Jane menghela nafas, mengurai lipatan tangannya dan menatap Jeremy. Gerakan-gerakan itu tertangkap dengan muda pada indra penglihatan Vincent.

“Lain kali bisa kau jaga pandanganmu, karena itu cukup mengganggu.”

“Maaf, Nona Jane.” 

Jane mendengus, tatapannya kembali bertemu dengan milik Vincent sebelum ia berlalu menuju mejanya. DI sana ia sudah disambut respon heboh kawannya.

“Astaga aku tidak tahu di tempat seperti ini ada pangeran tampan,” komentar Jasmine yang sudah pasti ditunjukkan pada  dua pria yang tengah berbincang. 

“Sudahlah, ayo makan dan kembali ke penginapan sebelum gelap.”

“Huh, selalu saja. Kalau membicarakan orang tampan, kau selalu mengalihkan perhatian,” ucap Jasmine sebelum kemudian fokus pada pesanannya. Memakannya pelan-pelan sesuai dengan table manner yang pernah ia pelajari. Jane pun demikian, menikmati makanan manisnya dan pemandangan sore pantai yang begitu indah. 

Di ujung sana, langit menjadi ke ungungan dengan orange yang mendominasi. Laut di pantai itu begitu tenang dan pasir putihnya yang menawan. Ia tak menyesal psikiaternya menyuruhnya untuk datang ke tempat itu. Meskipun di beberapa menit ia akan kepikiran tentang nasib Lucas, namun ia hanya berharap pemuda itu tidak mendapatkan teror dari perusahaan terlebih Lucas juga tengah sibuk dengan keluarganya. 

Ting

Suara dentingan pintu masuk membuat Jane mengalihkan perhatian. Pintu masuk memang berada lurus dari jangkauan mata Jane. Seorang gadis dengan dress putih selutut berjalan riang ke dalam kafe dengan bingkisan di tangannya. Ia terlihat ramah dengan senyuman yang tak luntur dan sapaan yang terus diterimanya dari pelayan dan pengunjung, sampai kemudian langkahnya agak cepat ketika menghampiri meja yang tadi sempat Jane datangi. Pemuda bermata coklat menyambutnya dengan senyuman dan  pelukan hangat. 

Jane mengalihkan pandangan ketika menyadari kelakuannya dan memilih kembali menikmati cake yang dia pesan. 

“Yahhh, dia ternyata punya kekasih,” ucap Jasmine dramatis, sambari menunjuk dengan garpu, Jane yang melihat itu tentu langsung menepis lengan temannya. 

“Tapi, gadis itu terlihat terlalu sederhana untuk pria panas berbaju putih itu.”

“Kau—kebiasaanmu mengomentari penampilan orang benar-benar mirip ibumu,” ucap Jane sinis. Membuat Jasmine langsung tertawa. 

Suaranya nyaring membuat kedua pria yang tadi sibuk dengan isi bingkisan langsung mengalihkan perhatian mereka. 

“Mereka orang baru?” tanya gadis yang berdiri di antara kedua pria itu. Namanya Naomi, wanita yang berprofesi sebagai perawat di pesisir dan mungkin satu-satunya wanita yang dekat dengan Vincent

“Ya, mereka pendatang baru,” jawab Jeremy.  

Ia menggeleng kecil dan menahan seringai ketika mendapati sang kawan malah terpaku pada satu sosok yang kini tengah kembali berbincang dengan temannya di temani semburat indah matahari sore di luar kafe. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status