“Jadi kau menolaknya?” Tanya Jasmine.
Jane tak perlu menjawab pertanyaan itu lantaran sudah terlalu jelas jawabannya.
Pandangannya fokus pada pemandangan di luar kereta, suara gesekan mesin yang terdengar sangat nyaring namun tak membuat suasana kereta teredam.
Ini adalah pengalaman kabur paling mengesankan yang mungkin akan menghancurkan karirnya. Namun siapa yang akan peduli, jika Jane dikeluarkan dari perusahaan hiburan tempat ia bernaung saat ini, maka ada kontrak lain yang tengah menunggunya untuk ditandatangani dan untuk Jasmine, wanita itu terlampau nekat dan bahkan ia memang berencana membangkang pada ibunya.
“Lagi pula apa pria itu tidak tahu siapa dirimu, kenapa berani sekali menawarimu hal semacam itu,” gerutu Jasmine.
“Yeah, semua laki-laki memang sama saja.”
Kekehan Jasmine terdengar tapi masih kurang nyaring ketimbang pembicaraan segerombolan wanita-wanita tua yang duduk di kursi belakang mereka.
Dua wanita yang memiliki pekerjaan sebagai seorang model itu tengah berada di dalam kereta ekonomi. Sebuah kesengajaan dan ide gila yang tercetus di kepala Jasmine selesai subuh, tepat ketika Jane ingin memesan pesawat eksklusif.
Sebuah rencana dan cita-cita masa lalu Jasmine tentang pengalaman menjadi orang biasa meskipun dalam kantong tas kecil yang melekat di tubuhnya ada jutaan dolar cash yang dibawa.
Jasmine membenahi posisi masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia menoleh ke arah kursi samping di barisannya, memandang seorang anak kecil yang terlihat tertarik dengan sepotong kue yang memang sengaja ia bawa. Dirinya dan Jane sudah menghabiskan setengah, kini tinggal sepotong dengan krim yang belepotan.
“Kau mau ini adik manis?” tanya Jasmine tak kira tempat.
Jane hanya melirik anak laki-laki yang takut-takut menatap ibunya tertidur. Mereka duduk bersebelahan dan membuat kedua wanita itu dengan leluasa menatap sang anak dan ibu dengan barang bawaan mereka. Nampak sekali mereka tengah melakukan perjalanan jauh jika dilihat dari dua koper yang ada di bawah kursi dan terselip di depan mereka.
“Berikan saja, sepertinya dia kelaparan,” ucapan Jane dan membuang muka.
Ia benci tatapan mata anak kecil itu. Jane pernah merasakan tidak memiliki uang dan kelaparan. Tatapan mata anak itu mengingatkannya pada apa yang pernah ia lalui di masa lalu. Tatapan mata anak-anak yang ingin dikasihani dan haus kasih sayang. Jika diingat-ingat rasanya Jane sudah melakukan banyak hal untuk merubah nasib buruknya sejak lahir.
“Apa yang kau makan?”
Suara asing itu membuat Jane kembali memandang sepasang anak dan ibu. Wanita itu kini sudah bangun dari tidurnya. Matanya terlihat lelah dan kantung mata sangat jelas terlihat. Jika dilihat, ia terlihat lebih muda ketimbang dirinya.
“Anak Anda sepertinya menginginkan kue milik saya, tinggal sepotong. Tapi saya jamin itu masih enak dimakan,” ucap Jasmine secara terang-terangan
Jane hanya menatap kedua orang itu tanpa memiliki minat menjelaskan satu dua hal. Karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.
Anak kecil itu menatap ibunya takut-takut, bahkan kunyahannya terhenti. Membuat kedua pipinya menggembung dengan mata bulat yang nampak ketakutan.
“Apa Anda juga mau, saya masih menyisakan beberapa roti manis,” ucap Jasmine kemudian sembari mengeluarkan dua roti dengan namanya tertera di depan bungkus roti.
Sang ibu yang masih terlihat bingung itu mengalihkan perhatian ke anaknya dan berganti pada dua wanita berpakaian tertutup.
“Ah, maafkan anak saya. Hmm, sebenarnya kami memang belum makan dari kemarin,” ucapnya dengan lugu bahkan terdengar polos di telinga kedua wanita dewasa itu.
Dari cara canggung wanita itu menarik sang anak mendekat dan merasa tak enak hati ketika menerima roti dari Jasmine, perkiraan Jane kemungkinan besar tidak meleset. Wanita itu adalah ibu muda dengan satu anak, kemungkinan besar perekonomian mereka cukup buruk.
Jane menghela nafas dan kembali membuang pandangan ke luar jendela. Ia benci dengan sikapnya yang senang mengamati orang-orang. Ia tidak banyak bicara jika dibandingkan Jasmine, namun satu kelebihannya adalah pandai memahami situasi dan memahami suasana hati orang lain. Itu menyebalkan dan sering Jane memilih bersikap abai dan acuh tak acuhnya. Namun sayangnya kali ini ia tak bisa mengabaikan bagaimana bocah laki-laki itu terlihat kesulitan menelan bagian terakhir kue.
“Kau bisa berikan ini,” ucap Jane setelah pertukaran pendapat dengan dirinya sendiri tentang apakah ia akan memberikan botol minumnya atau tidak.
“Kebaikan hati Nona akan terganti,” ucap Jasmine dengan kerlingan nakal, sebuah kebiasaan yang akan dikeluarkan ketika Jane berubah lebih perhatian ketimbang dirinya.
Jasmine memberikan satu botol air minum dengan logo brand minuman mahal ke sang anak yang langsung diterima dengan tangan kanan, sedikit menunduk untuk menunjukkan rasa terimakasih, hebatnya anak itu segera mengoper air minumnya pada sang ibu sebelum ia sendiri yang meminumnya.
Setelahnya, Jane dan Jasmine kembali ke perbincangan mereka. Membiarkan kedua orang asing itu beristirahat. Sang anak kini sudah tertidur pulas di pangkuan ibunya dan begitu pula ibunya yang kini terlihat lebih segar ketimbang beberapa saat lalu.
“Menurut berita, Jake memang akan menikahi artis muda dan gadis itu adalah anak rekan bisnisnya. Ada kemungkinan jika itu pernikahan bisnis. Aku tidak tahu kenapa orang sekarang senang sekali menikah dengan cara seperti itu. Sepertinya pernikahan sudah tidak memiliki harga diri lagi,” gumam Jasmine dengan nada provokatif.
Jane terkekeh, baginya menikah memang tidak berharga.
“Jadi apa yang harus kulakukan untuk menghadapi orang seperti dia?”
Jasmine mengerutkan dahi, mata menyipit seakan tengah berpikir keras. Setelahnya ia berdehem keras membuat beberapa orang menatap mereka. Jane memilih menyimpan tawanya ketimbang mendapatkan pukulan dari sang teman. Memang apa yang bisa diandalkan dari otak kosong milik Jasmine. Meskipun wajahnya rupawan, wanita di sampingnya itu memiliki cara pikir yang cukup tak berguna.
“Aku mungkin memiliki jawaban setelah kita liburan satu bulan kedepan, hehehe.”
Benar perkiraan Jane.
*****
Perjalanan memakan waktu hampir lima jam dengan kereta. Membuat Jane yang memang belum terbiasa harus mual beberapa kali setelah keluar peron kereta. Jasmine yang setia menunggui sang teman hanya menggerutu, namun tangannya selalu memijat pangkal leher Jane yang kini kembali memuntahkan cairan perut.
Rasa pahit langsung memenuhi rongga mulut, dengan segera ia berkumur dengan air minum lain yang memang dibawa sebagai jaga-jaga. Satu botol yang diberikan pada orang asing di dalam kereta tentu hanya salah satunya.
Jane menegakkan badan dari posisinya yang tadi membungkuk. Kemudian mengusap ujung bibirnya dengan tisu dan membuangnya ke tempat sampah yang memang disediakan. Pandangannya menyebar pada sebagian besar orang-orang yang lalu lalang keluar peron. Keadaan menurut Jane cukup kacau atau memang dirinya yang tak terbiasa dengan bau menyengat keringat orang lain, wajah berantakan, dan baju kumal yang mereka kenakan.
Namun lamunan itu tak bertahan lama ketika seorang pria tua dengan pakaian yang tak kalah lusuh mendekat. Pria itu tersenyum teduh seakan menunjukkan jika ia tak memiliki niat jahat pada dua wanita muda dengan pakaian tertutup di depannya.
“Saya memiliki jasa antar barang dan itu mobil saya yang bisa mengantar kalian. Jadi ada yang bisa saya bantu?”
Jasmine menarik ujung kemeja hijau yang Jane kenakan. Wanita itu terlihat risih meskipun tatapannya tetap tegak.
Sementara Jane memperhatikan pria itu dan mobil pick up yang ada tak jauh dari posisi mereka. Tak ada mobil lain di sana.
Jane merogoh saku jeansnya dan mengeluarkan satu kupon liburan.
“Bisakah Anda mengantar kami ke tempat ini.”
Sang sopir terlihat tak berani memegang kertas di depannya. Ia hanya mengamati alamat yang tertera. Setelahnya seulas senyum ramah diperlihatkan.
“Kebetulan sekali, tempat itu satu jalur dengan tempat tinggal saya. Saya bisa mengantar kalian.”
Jasmin melepas tarikannya dan memberikan satu koper besarnya pada sang pria yang langsung dibawa dengan langkah ringan. Dari belakang Jane menyeret koper miliknya. Pria itu meletakkan koper dan mbarang bawaan lain kedua wanita itu di belakang. Sementara Jane dan Jasmine duduk di depan.
“Jadi kalian dari kota?” tanya pria itu ketika mereka sudah ada di dalam mobil.
“Ya kami dari kota, kebetulan libur kerja jadi memutuskan berlibur setelah seorang rekan memberikan kami kupon liburan gratis,” jelas Jane.
Pria itu mengangguk dan mengatakan jika ia merasa beruntung bisa mengantar mereka.
“Tempat itu sebenarnya bukan tempat liburan. Setahu saya banyak warga yang kurang setuju jika dikunjungi karena ada kemungkinan bisa merusak lingkungan,” ucap sang sopir.
Dahi Jane mengernyit, tak paham dengan maksud dari penjelasan singkat tersebut.
“Namun kemudian, sekitar satu tahu lalu. Ada krisis perekonomian menimpa penduduk pantai dan mau tidak mau jalan satu-satunya adalah memperbolehkan pantai tersebut sebagai tempat wisata. Kalau tidak salah, sebenarnya hanya khusus untuk orang-orang yang memiliki masalah.”
“Maksudnya?” tanya Jane cepat. Si sopir tersenyum kecil.
“Kebanyakan yang pergi ke pantai tersebut memiliki stres berlebihan dan kesana untuk menyegarkan pikiran sekaligus untuk terapi.”
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Na
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana.Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent.‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’“Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?”Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya.‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat.“Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang.Terdengar helaian nafas di seberang sana.‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara ru
Sore hari yang terik, tidak diduga pria yang baru diketahui Jane bernama Kevin itu benar-benar datang ke pesisir. Pakaiannya nampak rapi, Jane bisa melihat aura karismatik menguar dari pria itu. Namun, yang membedakan adalah struktur wajahnya yang memang lebih ke barat-baratan.Pria itu nampak kalem, bahkan lebih kalem dari pada apa yang Jane duga sebelumnya. Tak ada raut marah, yang ditemukan Jane adalah kerinduan pada sang putra yang barang kali telah lama tidak bertemu.Leo, anak kecil itu terlihat nyaman dipelukan ayahnya yang belum mengeluarkan suara apapun ketika datang. Anak kecil itu sepertinya juga tahu betul siapa orang tau aslinya. Sementara itu, Lusi nampak membuang muka, duduk di single sofa yang berada dekat dengannya.“Jadi—apakah kau akan tetap disini? Jika iya, aku akan membawa Leo bersamaku,” ucap pria matang itu dengan mantap.Pandangan mata Lusi nampak memicing, namun bibirnya tidak mengatakan apapun.“Kau tak keberatan jika anakmu dibawa ayahnya?” tanya Jane, men
‘Halo?’ Sebuah suara berat terdengar di seberang sana. Jane memperbaiki posisi duduknya. Ia tengah berada di halaman belakang kafe saat ini. Tempat itu adalah tempat yang penuh kenangan untuknya, lantaran disana ia pernah menanam bunga bersama Maya, ibu Vincent. ‘Halo? Tolong katakan sesuatu jika memang ada sesuatu yang penting.’ “Apakah Anda suami wanita yang bernama Luis?” Suara benda bergeser di seberang yang terdengar nyaring membuat Jane sejenak menjauhkan ponselnya. ‘Ya, ini siapa? Apakah Anda tengah bersama wanita gila itu?’ saut di sebarang, suara pria itu terdengar keras dan tak bersahabat. “Saya tahu keberadaannya. Bisa Anda sedikit ceritakan apa yang terjadi tentang Anda dan Lusi?” tanya Jane dengan tenang. Terdengar helaian nafas di seberang sana. ‘Siapa Anda? Aku tdiak mungkin menceritakan perkara rumah tangga ku pada orang asing,’ saut laki-laki itu. Jane kembali melihat sekitar, kafe nampak sibuk dan ia tak menemukan akan adanya gangguan untuk hal ini. “Nam
‘Lusi? Aku seperti tidak asing dengan nama itu,’ ucap Lilibet di seberang. Jane kini tengah berada di halaman belakang penginapan. Ia sudah cukup muak dengan apa yang dilakukan Lusi dengan anaknya. Yeah, Jane cukup paham memang jika ia tak seharunya cemburu dan jengkel dengan bayi kecil yang belum tahu apa-apa itu. Namun, wanita itu juga tak bisa membendung kekesalannya lantaran sang ibu dari bayi itu sangat mengganggu waktu liburannya dengan Vincent. “Bisakah kau tanya pada teman-temanmu di Inggris?” ‘Ya, tunggu sebentar. Memangnnya apa yang terjadi?’ Terdengar suara ketikan di seberang, sepertinya Lilibet benar-benar tengah menanyakan tentang siapa wanita asing itu. “Dia dan anaknya benar-benar mengganggu waktuku dan Vincent. Sejak kedatangannya kemari, wanita itu selalu membawa anaknya kemari dengan alasan jika anaknya tengah mencari Vincent,” keluh Jene. ‘Ah, sepertinya kau memang selalu memiliki banyak rintangan ketika ingin menjalani hubungan dengan Vincent secara biasa,’
“Aku sering melihat foto kakak,” ucap seorang anak yang Jane temui di dekat pantai hari ini. Sekitar satu jam semenjak Jane memilih untuk berdiam diri di gazebo yang ada di pinggir pantai. Suasana yang masih cukup suram untuk dirinya dan sekitar, membuatnya memilih untuk pergi lebih jauh. Ujung kakinya menyentuh pasir yang lembut, pasir yang terasa nyaman untuk kaki telanjangnya. Beberapa hewan kecil nampak berlarian dengan bebar, tanpa memikirkan tentang apa yang akan terjadi jika mereka keluar dari sarang. Suasan yang tadinya tenang bagi Jane yang masih dilanda kemarahan, harus dirusak dengan kedatangan seorang gadis kecil yang asing baginya. Bajunya kumal dengan beberapa jahitan tak rapi di sekitar lengan. Kancing bajunya juga taksama antara satu dengan lainnya. Jane masih terdiam, memperhatikan si bocah cilik yang kini tengah bercoleteh tentang dirinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan juga teman-temannya yang sering menjahili dirinya. “Apakah—kau takut ketika teman-t