Share

BAB 4

“Jadi kau menolaknya?” Tanya Jasmine. 

Jane tak perlu menjawab pertanyaan itu lantaran sudah terlalu jelas jawabannya. 

Pandangannya fokus pada pemandangan di luar kereta, suara gesekan mesin yang terdengar sangat nyaring namun tak membuat suasana kereta teredam. 

Ini adalah pengalaman kabur paling mengesankan yang mungkin akan menghancurkan karirnya. Namun siapa yang akan peduli, jika Jane dikeluarkan dari perusahaan hiburan tempat ia bernaung saat ini, maka ada kontrak lain yang tengah menunggunya untuk ditandatangani dan untuk Jasmine, wanita itu terlampau nekat dan bahkan ia memang berencana membangkang pada ibunya.  

“Lagi pula apa pria itu tidak tahu siapa dirimu, kenapa berani sekali menawarimu hal semacam itu,” gerutu Jasmine.

“Yeah, semua laki-laki memang sama saja.”

Kekehan Jasmine terdengar  tapi masih kurang nyaring ketimbang pembicaraan segerombolan wanita-wanita tua yang duduk di kursi belakang mereka. 

Dua wanita yang memiliki pekerjaan sebagai seorang model itu tengah berada di dalam kereta ekonomi. Sebuah kesengajaan dan ide gila yang tercetus di kepala Jasmine selesai subuh, tepat ketika Jane ingin memesan pesawat eksklusif. 

Sebuah rencana dan cita-cita masa lalu Jasmine tentang pengalaman menjadi orang biasa meskipun dalam kantong tas kecil yang melekat di tubuhnya ada jutaan dolar cash yang dibawa. 

Jasmine membenahi posisi masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia menoleh ke arah kursi samping di barisannya, memandang seorang anak kecil yang terlihat tertarik dengan sepotong kue yang memang sengaja ia bawa. Dirinya dan Jane sudah menghabiskan setengah, kini tinggal sepotong dengan krim yang belepotan.

“Kau mau ini adik manis?” tanya Jasmine tak kira tempat.

Jane hanya melirik anak  laki-laki yang takut-takut menatap ibunya tertidur. Mereka duduk bersebelahan dan membuat kedua wanita itu dengan leluasa menatap sang anak dan ibu dengan barang bawaan mereka. Nampak sekali mereka tengah melakukan perjalanan jauh jika dilihat dari dua koper yang ada di bawah kursi dan terselip di depan mereka. 

“Berikan saja, sepertinya dia kelaparan,” ucapan Jane dan membuang muka.

Ia benci tatapan mata anak kecil itu. Jane pernah merasakan tidak memiliki uang dan kelaparan. Tatapan mata anak itu mengingatkannya pada apa yang pernah ia lalui di masa lalu. Tatapan mata anak-anak yang ingin dikasihani dan haus kasih sayang. Jika diingat-ingat rasanya Jane sudah melakukan banyak hal untuk merubah nasib buruknya sejak lahir.

“Apa yang kau makan?” 

Suara asing itu membuat Jane kembali memandang sepasang anak dan ibu. Wanita itu kini sudah bangun dari tidurnya. Matanya terlihat lelah dan kantung mata sangat jelas terlihat. Jika dilihat, ia terlihat lebih muda ketimbang dirinya.

“Anak Anda sepertinya menginginkan kue milik saya, tinggal sepotong. Tapi saya jamin itu masih enak dimakan,” ucap Jasmine secara terang-terangan 

Jane hanya menatap kedua orang itu tanpa memiliki minat menjelaskan satu dua hal. Karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan lagi.

Anak kecil itu menatap ibunya takut-takut, bahkan kunyahannya terhenti. Membuat kedua pipinya menggembung dengan mata bulat yang nampak ketakutan.

“Apa Anda juga mau, saya masih menyisakan beberapa roti manis,” ucap Jasmine kemudian sembari mengeluarkan dua roti dengan namanya tertera di depan bungkus roti. 

Sang ibu yang masih terlihat bingung itu mengalihkan perhatian ke anaknya dan berganti pada dua wanita berpakaian tertutup. 

“Ah, maafkan anak saya. Hmm, sebenarnya kami memang belum makan dari kemarin,” ucapnya dengan lugu bahkan terdengar polos di telinga kedua wanita dewasa itu. 

Dari cara canggung wanita itu menarik sang anak mendekat dan merasa tak enak hati  ketika menerima roti dari Jasmine, perkiraan Jane  kemungkinan besar tidak meleset. Wanita itu adalah ibu muda dengan satu anak, kemungkinan besar perekonomian mereka cukup buruk. 

Jane menghela nafas dan kembali membuang pandangan ke luar jendela. Ia benci dengan sikapnya yang senang mengamati orang-orang. Ia tidak banyak bicara jika dibandingkan Jasmine, namun satu kelebihannya adalah pandai memahami situasi dan memahami suasana hati orang lain. Itu menyebalkan dan sering Jane memilih bersikap abai dan acuh tak acuhnya. Namun sayangnya kali ini ia tak bisa mengabaikan bagaimana bocah laki-laki itu terlihat kesulitan menelan bagian terakhir kue. 

“Kau bisa berikan ini,” ucap Jane setelah pertukaran pendapat dengan dirinya sendiri tentang apakah ia akan memberikan botol minumnya atau tidak.

“Kebaikan hati Nona akan terganti,” ucap Jasmine dengan kerlingan nakal, sebuah kebiasaan yang akan dikeluarkan ketika Jane berubah lebih perhatian ketimbang dirinya. 

Jasmine memberikan satu botol air minum dengan logo brand minuman mahal ke sang anak yang langsung diterima dengan tangan kanan, sedikit menunduk untuk menunjukkan rasa terimakasih, hebatnya anak itu segera mengoper air minumnya pada sang ibu sebelum ia sendiri yang meminumnya. 

Setelahnya, Jane dan Jasmine kembali ke perbincangan mereka. Membiarkan  kedua orang asing itu beristirahat. Sang anak kini sudah tertidur pulas di pangkuan ibunya dan begitu pula ibunya yang kini terlihat lebih segar ketimbang beberapa saat lalu.

“Menurut berita, Jake memang akan menikahi artis muda dan gadis itu adalah anak rekan bisnisnya. Ada kemungkinan jika itu pernikahan bisnis. Aku tidak tahu kenapa orang sekarang senang sekali menikah dengan cara seperti itu. Sepertinya pernikahan sudah tidak memiliki harga diri lagi,” gumam Jasmine dengan nada provokatif. 

Jane terkekeh, baginya menikah memang tidak berharga. 

“Jadi apa yang harus kulakukan untuk menghadapi orang seperti dia?”

Jasmine mengerutkan dahi, mata menyipit seakan tengah berpikir keras. Setelahnya ia berdehem keras membuat beberapa orang menatap mereka. Jane memilih menyimpan tawanya ketimbang mendapatkan pukulan dari sang teman. Memang apa yang bisa diandalkan dari otak kosong milik Jasmine. Meskipun wajahnya rupawan, wanita di sampingnya itu memiliki cara pikir yang cukup tak berguna. 

“Aku mungkin memiliki jawaban setelah kita liburan satu bulan kedepan, hehehe.”

Benar perkiraan Jane. 

*****

Perjalanan memakan waktu hampir  lima jam dengan kereta. Membuat Jane yang memang belum terbiasa harus mual beberapa kali setelah keluar peron kereta. Jasmine yang setia menunggui sang teman hanya menggerutu, namun tangannya selalu memijat pangkal leher Jane yang kini kembali memuntahkan cairan perut. 

Rasa pahit langsung memenuhi rongga mulut, dengan segera ia berkumur dengan air minum lain yang memang dibawa sebagai jaga-jaga. Satu botol yang diberikan pada orang asing di dalam kereta  tentu hanya salah satunya.

Jane menegakkan badan dari posisinya yang tadi membungkuk. Kemudian mengusap ujung bibirnya dengan tisu dan membuangnya ke tempat sampah yang memang disediakan. Pandangannya menyebar pada sebagian besar orang-orang yang lalu lalang keluar peron. Keadaan menurut Jane cukup kacau atau memang dirinya yang tak terbiasa dengan bau menyengat keringat orang lain, wajah berantakan, dan baju kumal yang mereka kenakan.

Namun lamunan itu tak bertahan lama ketika seorang pria tua dengan pakaian yang tak kalah lusuh mendekat. Pria itu tersenyum teduh seakan menunjukkan jika ia tak memiliki niat jahat pada dua wanita muda dengan pakaian tertutup di depannya.

“Saya memiliki jasa antar barang dan itu mobil saya yang bisa mengantar kalian. Jadi ada yang bisa saya bantu?”

Jasmine menarik ujung kemeja hijau yang Jane kenakan. Wanita itu terlihat risih meskipun tatapannya tetap tegak. 

Sementara Jane memperhatikan pria itu dan mobil pick up yang ada tak jauh dari posisi mereka. Tak ada mobil lain di sana.

Jane merogoh saku jeansnya dan mengeluarkan satu kupon liburan.

“Bisakah Anda mengantar kami ke tempat ini.”

Sang sopir terlihat tak berani memegang kertas di depannya. Ia hanya mengamati alamat yang tertera. Setelahnya seulas senyum ramah diperlihatkan.

“Kebetulan sekali, tempat itu satu jalur dengan tempat tinggal saya. Saya bisa mengantar kalian.”

Jasmin melepas tarikannya dan memberikan satu koper besarnya pada sang pria yang langsung dibawa dengan langkah ringan. Dari belakang Jane menyeret koper miliknya. Pria itu meletakkan koper dan mbarang bawaan lain kedua wanita itu di belakang. Sementara Jane dan Jasmine duduk di depan. 

“Jadi kalian dari kota?” tanya pria itu ketika mereka sudah ada di dalam mobil. 

“Ya kami dari kota, kebetulan libur kerja jadi memutuskan berlibur setelah seorang rekan memberikan kami kupon liburan gratis,” jelas Jane. 

Pria itu mengangguk dan mengatakan jika ia merasa beruntung bisa mengantar mereka. 

“Tempat itu sebenarnya bukan tempat liburan. Setahu saya banyak warga yang kurang setuju jika dikunjungi karena ada kemungkinan bisa merusak lingkungan,” ucap sang sopir.

Dahi Jane mengernyit, tak paham dengan maksud dari penjelasan singkat tersebut.

“Namun kemudian, sekitar satu tahu lalu. Ada krisis perekonomian menimpa penduduk pantai dan mau tidak mau jalan satu-satunya adalah memperbolehkan pantai tersebut sebagai tempat wisata. Kalau tidak salah, sebenarnya hanya khusus untuk orang-orang yang memiliki masalah.”

“Maksudnya?” tanya Jane cepat. Si sopir tersenyum kecil. 

“Kebanyakan yang pergi ke pantai tersebut memiliki stres berlebihan dan kesana untuk menyegarkan pikiran sekaligus untuk terapi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status