Jane pikir pertemuan itu adalah pertemuan pertama dan terakhir, mungkin ia tak akan bertemu pria bermata coklat itu lagi ketika ia ak berkunjung ke kafe, tapi ternyata dugaan itu salah. Ia kembali bertemu dengan pria itu di pagi yang bahkan belum menunjukkan senyum cerahnya. Langi masihi gelap, suasana sekitar masih sunyi meskipun deburan ombak laut di ujung terdengar samar.
Jane tidak bisa tidur memilih untuk keluar setelah menghabiskan puluhan lembar halaman novel yang direkomendasikan oleh Lilibet. Oleh karena itu, wanita tersebut kini berdiri tegak dengan jaket hangatnya ketika ia bertemu dengan pria bermata coklat yang kini tengah mengangkat beberapa kotak styrofoam yang sudah pasti isinya ikan atau hewan laut lainnya.
Pria itu terlihat menarik dengan bisepnya yang kuat ketika mengangkat barang-barang. Rambut yang berwarna hitam nampak menari ketika terkena angin dan Jane yang sejak tadi hanya berdiri diam merasa bodoh sendiri lantaran memperhatikan pria itu. Dirinya adalah seorang model terkenal, pemandangan seperti itu seharusnya terlihat biasa untuknya. Tapi pria itu memiliki sesuatu yang menurut Jane unik dan berbeda dengan pria seksi yang pernah ia temui di tempat ia melakukan pemotretan.
Mungkin sadar akan kehadiran orang lain, Vincent menoleh dan yang ia dapati adalah wajah polos seorang wanita yang kini menatapnya dengan kening berkerut. Ia menepuk tangannya untuk menghilangkan pasir pantai, menutup mobil boxnya dan membersihkan sisa pasir di pakaian dan juga celana pendeknya sebelum kemudian berjalan menghampiri Jane yang masih terdiam di tempat.
“Apa Anda tersesat, Nona?” tanyanya membuat Jane tersentak dari lamunannya.
Wanita Itu mendongak untuk menyamakan pandangan.
“Ah, tidak. Hanya jalan-jalan pagi,” ucapnya dan membuang pandangan ke area lampu-lampu di penginapan yang juga ada di area itu.
Keheningan di antara mereka menghantarkan rasa canggung yang cukup panjang bagi Jane, ia tak terbiasa tidak dianggap orang sekitarnya meskipun dirinya sendiri tidak menyukai keramaian.
“Aku tidak tahu kenapa model terkenal sepertimu berada di tempat ini,” ucap Vincent tiba-tiba, bibir pria itu juga tersenyum, senyuman kecil yang terlihat cukup menyebalkan bagi Jane.
Jane mendengus, menatap angkuh pada pria di depannya yang kini nampak santai dengan kedua tangan masuk saku celana. Seolah-olah ucapannya tak menyinggung sama sekali.
“Sepertinya tidak ada plang peringatan tentang larangan model masuk pulau ini. Lagi pula memang kau siapa, pemilik pulau?”
“Wow, ucapanmu terlalu ketus, Nona.”
Tak ingin menanggapi pria tersebut, Jane memilih berlalu dari sana, ingin kembali ke penginapan dan menunggu hari menjadi cerah untuk memulai aktivitas liburan yang sebenarnya tidak direncanakan sama sekali. Masih banyak tempat yang belum ia singgahi dan pertemuannya dengan pria bermata coklat ternyata terkesan menghancurkan mood paginya.
“Aku tahu tempat yang bagus untuk melihat matahari terbit.”
Ucapan itu membuat Jane berhenti melangkah namun juga tidak berbalik.
“Jika kamu mau aku akan mengantarmu.”
*****
Disinilah mereka sekarang, sebuah bukit pendek dengan jalanan tak terlalu menanjak, namun masih bisa membuat Jane berkeringat. Jane mungkin sudah gila lantaran mengikuti ucapan sang pria asing yang bahkan baru dua kali ia temui. Jika dipikir-pikir, ini kali pertama Jane begitu sembrono keluar area amannya tanpa pengawasan. Dalam kepala wanita itu bahkan sudah bisa membayangkan tentang sesuatu yang buruk yang mungkin saja bisa terjadi padanya lantaran keputusannya saat ini.
“Namanya bukit Arck, jangan tanya artinya karena aku pun tidak tahu. Tidak banyak yang tahu tentang bukit ini, rasanya aku hanya mengajak Jeremy sekali. Profesinya seorang fotografer.”
Jane hanya melirik pria tersebut yang tanpa diduga ternyata banyak bicara. Jane berdehem.
“Jeremy—pria aneh kamarin?” tebaknya asal, lantaran naman itu begitu cocok dengan pria bermata jelalatan dan senyuman yang membuat pipi lemaknya naik.
Vincent menoleh dan tertawa. Tawanya terdengar nyaring dan lepas.
“Ya, dia memang aneh tapi dia temanku,” ucapnya dan mengedikan bahu.
Keheningan menenggelamkan mereka beberapa saat. Sampai kemudian pemuda itu mengatakan jika di ujung sana tempat dimana matahari akan muncul. Pandangan Jane terlihat antusias ke arah tersebut.
“Vincent.”
“Huh?”
“Namaku Vincent, akan terasa aneh ketika kita bicara dan tak tahu nama masing-masing,” ucap pria itu dengan senyuman kecil.
“Jane mengangguk. Ia mengeratkan jaketnya ketika hawa dingin terasa di kulit leher.
“Namaku Jane, kau mungkin sudah tahu jika—”
Suara tawa kecil membuat Jane menghentikan ucapannya, ia menoleh dan mendapati Vincent masih menetralkan tawanya. Jane menatapnya bingung, ia tidak tahu apa yang lucu.
“Sejujurnya, jangankan namamu, aku bahkan tidak tahu jika kau seorang model papan atas jika saja Jeremy tidak menceritakan beberapa hal tentang mu kemarin."
Jane terkejut mendengar itu, namun kemudian ia mengubah ekspresi wajahnya kembali datar seperti semula.
“Bukan masalah besar tidak semua orang harus tahu tentangku,” gumamnya dengan suara lirih, namun masih bisa didengar oleh Vincent.
“Itu yang menjadi alasanmu pergi kemari? Kau kabur atau memang disarankan seseorang?”
Ucapan itu mengundang tawa kecil Jane.
“Kabur? Hmm kurasa iya. Aku kabur dari perusahaan dan kemari karena memang seorang dokter menyarankan tempat ini.”
Pembicaraan mereka terhenti ketika matahari di ujung terlihat. Jane sampai berdiri dari posisi duduknya ketika melihat bagaimana matahari yang biasanya ia maki lantaran panasnya yang menyengat itu terlihat sangat indah disana. Cahaya langsung menyebar dengan sangat menawan. Sementara Vincent terdiam, ada satu dua hal yang ia pikirkan setelah mendapatkan jawaban dari Jane.
“Kau tak berniat memotretnya?” Tanya Vincent.
Jane menoleh masih dengan senyuman yang terlihat sama indahnya dengan matahari terbit.
“Tidak, aku bisa menyimpannya di ingatanku,” ucapnya dan kembali mengalihkan pandangan.
Wanita itu bahkan tidak sadar ketika ia diperhatikan dengan seksama oleh Vincent.
“Ingatan dan mataku masih berfungsi dengan baik, ku rasa aku hanya butuh kamera untuk memotret diriku di studio.”
“Kau adalah objek, bukan subjek. Itu menyedihkan,” ucap Vincent
Jane yang mendengarnya menoleh, menunggu kalimat apa yang akan pria itu ucapkan selanjutnya.
"Orang-orang sepertimu, biasanya lebih menyukai menjadi pusat perhatian, Benar? Kau lebih suka dibidik kamera ketimbang kau yang membidik. Itu membuatmu menjadi lebih suka diamati ketimbang mengamati.
Alis kanan Jane terangkat dan sudut bibir kanan berkedut.
“Kau bahkan belum mengenalku selama dua puluh empat jam dan kau sudah menyimpulkan hal konyol seperti itu? bukankah itu terkesan lancang?”
Vincent terdiam.
“Aku adalah model dan sudah pasi kamera mengarah padaku dan bukan sesuatu yang aneh ketika banyak orang mengamati ku karena aku adalah fokus utama bidikan kamera. Lalu kau pikir dengan hidup seperti itu, kau kira aku tak bisa mengamati sekitarku? Kau jelas salah besar, karena dari aku duduk untuk dijadikan objek, saat itu juga aku bisa melihat banyak orang dan mengamati satu persatu orang yang ada. Aku melihat banyak orang sementara mereka hanya mengamati satu orang, yaitu aku.”
Pembicaraan itu berakhir dengan Jane yang meninggalkan helaan nafas panjang sebelum berlalu pergi. Sementara Vincent hanya meringis, benar kata Jeremy. Jika tak tahu apapun tentang photography, lebih baik diam. Ia merasa telah menyinggung perasaan Jane.
“Aku tidak ingat kau kenal dekat dengan pemuda pemilik kafe. Like, what?!! Bagaimana bisa dengan percayanya kau pergi dengannya di pagi buta,” kata Jasmine seraya berkutat dengan kamera kesayangannya. Kaki gadis itu sesekali menendang pasir putih di bawahnya, sesekali juga menggerutu lantaran bidikannya tidak tepat. "Tak sengaja. Ia ingin mengajakku ke tempat yang tepat melihat matahari terbit," jelas Jane. Jasmine kembali menggerutu tentang seberapa bahaya jika mereka berkeliaran sendirian, terlebih tempat asing yang belum mereka kenal. Jane memilih untuk mengabaikan celoteh Jasmine, ia hanya ingin menikmati suasana pantai dengan damai. Di sekeliling mereka tidak banyak orang berlalu lalang, hanya beberapa wanita yang ang nampak berbincang dan berpisah dengan orang lain. Hanya orang-orang yang sama dengannya yang ada di pantai ini. Sudah tentu kebisingan tidak akan cocok untuknya. Pandangannya mengedar, melihat beberapa anak-anak yang ang nampak bermain pasir dan membentuknya m
Menjadi model atau apapun yang berkaitan dengan bidikan kamera, tidak semenyenangkan yang orang lain bayangkan. Bahkan untuk mereka yang setiap hari hilir mudik di layar televisi, pekerjaan ini tidak seindah apa yang terpampang di depan kamera. Banyak orang bicara dalam sebuah siaran televisi atau podcast, tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang menjadi pusat perhatian. Jane kira, orang-orang yang bicara tentang rumitnya hidup di tengah dunia hiburan adalah orang yang terlampau berani, Jane masih sering kali ketakutan untuk berbicara pada dunia jika dirinya tidak sesempurna yang mereka pikirkan di depan kamera. Apa yang ada di depan kamera, tidak selalu sama dengan apa yang ada di belakang kamera. Banyak rules yang sebenarnya harus dipelajari terlebih dahulu. Meskipun begitu, masih banyak orang berlomba-lomba melakukan segala hal untuk bisa masuk industri hiburan, bukan masalah, mereka akan tahu bagaimana industri itu berjalan ketika sudah masuk dan menjalani. Seberapa gelap
Sore hari tidak terlalu bagus seperti biasanya. Jane dan Jasmine berjalan di area sekitar penginapan. Sebenarnya kegiatan yang mereka lalui di tempat itu memang hanya dua hal, menikmati suasana pantai dan berbelanja. Namun kali ini dan dari kemarin, mereka tidak pergi ke pasar atau tempat aksesoris sama sekali. Selain karena bahan makanan yang masih melimpah, dua wanita itu ingin menghabiskan waktunya untuk bersantai benar-benar menikmati suasana sekitar yang masih segar, jauh berbeda dengan tempat tinggal mereka di kota. Suara tali tambang yang sengaja nelayan pasang untuk menangkap ikan membuat Jane mengalihkan perhatian. Sekumpulan laki-laki dewasa dengan topi bundar menarik tambang bersama-sama, sebelum disauti dengan suara gemuruh kegembiraan lantaran jaring mereka memberikan hasil yang lumayan. Jane ikut tersenyum tanpa sadar ketika melihat salah satu diantara mereka nampak melompat-lompat kecil dengan ucapan syukur yang tak terputus. Jasmine melihat kawannya dengan heran.
Ketika masih di usia sekolah dulu, Jane sering melihat ayah dan ibunya bertengkar. Sebagai anak kecil, tentu hal semacam itu terdengar menyeramkan. Terlebih ketika ayahnya sudah mulai melempar barang-barang rumah ke ibunya. Beberapa kali, ia melihat ibunya terlihat memar di bagian wajah dan juga tubuh lainnya. Ibunya sering menangis ketika malam hari tanpa sepengetahuan ayahnya dan saat itu Jane masih belum tahu sebenarnya apa yang terjadi terhadap keluarganya sampai kemudian ia masuk usia remaja. Tidak bisa dikatakan remaja sebenarnya, karena masa ia baru saja keluar dari sekolah dasar gratis yang ada di kawasan kumuh. Jane yang bahkan belum memahami apa yang terjadi di lingkungan dengan baik, secara mengejutkan menjadi pelampiasan kemarahan ibunya. Mungkin terdengar aneh ketika Jane menjadi pelampiasan ibunya yang telah memendam amarah itu sejak lama. Jane tidak habis pikir bagaimana sang ibu memukulnya sama seperti ayahnya memukul ibunya.“Kau anak pembawa sial! seharusnya kau t
“Dia hanya kelelahan." “Apa? Jane bahkan hanya berkeliling dan tidak melakukan kegiatan apapun. Bagaimana bisa kau bilang jika dia hanya kelelahan?” “Jika kau tak percaya padaku, kau bisa membawanya ke kota untuk dirujuk.” Percakapan itu terdengar di telinga Jane. Dengan pelan, Jane mengerjakan matanya. Buram, putih dan abu-abu sebelum kemudian sedikit demi sedikit semua menjadi terlihat lebih jelas. Lampu kamar? Kamarnya di penginapan. Lalu pandangannya beralih pada lampu tidur kecil yang memang selalu ada di dekat kasurnya. Ia menoleh ketika merasakan elusan pelan ia terima di punggung tangan. “Kau sudah sadar?” Kenapa—pertanyaan sederhana itu terdengar menenangkan. Bagaimana bisa pertanyaan sederhana seperti itu terasa hangat seperti duduk di dekat tungku api di musim dingin. Vincent, pemuda itu menggenggam tangannya erat, namun hal itu membuat Jane segera menarik tangannya hingga terlepas. Bersentuhan intens dengan orang lain cukup menakutkan untuknya. Selama ini ia
Jika berbicara tentang masa lalu Jane bingung harus memulainya dari mana. Dari yang pahit atau yang paling pahit, kah? Wanita itu sering berpikir jika sebenarnya tidak akan ada yang tertarik dengan sebuah kisah kelam. Namun, siapa yang menduga jika ternyata kisah sedih bisa mendongkrak seseorang untuk lebih bersimpati. Jujur Jane tak membutuhkan hal semacam itu. Ia mungkin akan menceritakan sedikit tentang masa lalunya, bukan untuk dikasihani. Namun, hanya untuk pengingat bahwa kupu-kupu cantik pun pernah direndahkan lantaran dulunya hanya seekor ulat menjijikkan. Saat itu umur Jane masih dua belas tahun. Jane tinggal di sebuah kawasan kumuh. Suasana di daerah itu selalu terlihat mendung dan murung. Lingkungan terpinggirkan dan barangkali dilupakan oleh orang-orang berkuasa. Daerah yang penuh timbunan sampah yang mana ternyata memiliki banyak manusia yang mendiaminya.Jane tidak pernah menginginkan dirinya dilahirkan di situasi yang cukup bisa dikatakan buruk. Sebagai anak, ia ti
"Aku mendengar kau sakit oleh karena itu langsung terbang kemari meskipun tidak bisa lama-lama disini. Dia jam lagi aku harus kembali ke kota.”Jane menghela nafas dan mengangguk. Tatapannya tertuju pada pot bunga kecil yang ada di tengah meja. “Kau kenal Vincent?”Lilibet yang tadinya hendak minum lemon teanya harus tertunda saat ia mendengar nama seseorang yang tak asing baginya. Dahinya mengkerut sebelum kemudian terkekeh. “Wah, kau sudah bertemu dengn pria itu? ya, dia temanku.”“Jadi penginapan ini milik ibunya? miliknya?”Lilibet mengangguk. “Yap, secara tidak langsung memang milik Vinct. Aku penasaran bagaimana kalian bisa bertemu, maksudku pria itu cukup cuek terhadap wanita.”Jane mengedikkan bahunya.“Pertemuan yang tidak berkesan, aku berkunjung ke kafe miliknya dan yeah pertemuan yang tidak disengaja lainnya terjadi.”“Sayang sekali, ku kira kau bertemu dengnnya dengan cara yang romantis, mungkin.”“Dia sudah memiliki calon istri.”“Wow, benarkah? Aku merasa kau terliha
Naomi, tahun ini wanita itu berumur dua puluh lima tahun dan sejak tiga tahun lalu mendapatkan tugas untuk bekerja di sebuah klinik kesehatan yang bertempat di sebuah pelosok.Tempat itu, jujur bukan tempat yang selama ini ia impikan ketika memilih terjun di dunia kesehatan. Naomi benar-benar menyesal ketika surat tawaran kerja ia tandatangani tanpa pikir panjang lantaran terlalu tenggelam dalam euforia kelulusan dengan predikat bagus. Penyesalan benar dirasakan. Kawasan pantai itu sebenarnya tidak buruk sama sekali, bisa dikatakan indah dan masih asri, belum banyak orang-orang luar ke sana. Sayangnya bagi Naomi yang sejak bayi sudah menikmati kecepatan teknologi, hidup di tempat itu adalah neraka baginya. Jaringan internet dan komunikasi cukup buruk, ditambah penduduk di area itu cukup sensitif dengan pendatang. Sampai beberapa bulan kemudian ia bertugas, barulah Naomi merasakan kenyaman di pesisir tempat ia bekerja. "Nona, bisakah Anda datang ke rumah saya—" Naomi yang saat itu