Rangga dengan tegas berkata, "Ya, aku ingin membantumu dengan sepenuh hati, Ratna. Aku di sini untukmu dalam setiap langkah yang akan kamu ambil. Kita akan menghadapinya bersama."
Ratna tersenyum. Dia teringat dengan nasehat dari teman baiknya yang menyuruh dia untuk membalas perlakuan suaminya dengan melakukan selingkuh dengan pria lain supaya mentalnya tidak semakin terpuruk.
Karena temannya pernah mengalami hal yang sama, selalu diselingkuhi oleh suami, dan temannya baru merasakan kelegaan setelah dia membalas perilaku perselingkuhan suaminya itu.
Tetapi selama ini, Ratna tidak berani untuk melakukannya, mengikuti nasehat temannya itu.
Tapi saat ini, saat melihat Rangga ini, mulai ada keinginan dalam hati Ratna, yang mulai terbentuk dengan semakin kuat, tanpa dapat dicegah lagi, untuk membalas semua perlakuan Rahul kepadanya.
"Terima kasih, Rangga. Mendengar kamu berkata begitu membuatku merasa lega. Aku merasa memiliki seseorang yang benar-benar peduli dan siap menemani perjalanan berat ini."
"Aku akan selalu membantumu. Apapun yang kamu inginkan," tegas Rangga. "Kamu tak perlu merasa sendirian lagi. Aku akan mendukungmu sebisa mungkin, baik dalam kebahagiaan maupun kesedihan. Kita bisa melewati ini bersama-sama."
"Aku benar-benar beruntung memiliki kamu, Rangga. Akan kujalani ini denganmu di sisiku." Ratna masih belum berani untuk mengungkapkan keinginannya kepada Rangga.
Rangga mengusap air mata Ratna lembut. "Dan aku akan selalu ada di sini, menggenggam tanganmu erat-erat. Kita tim yang tak terpisahkan, Ratna."
"Terima kasih, Rangga.”
Karena Ratna sudah memegang tangan Rangga, maka dengan tidak malu-malu lagi, Ratna menyandarkan tubuhnya di dada Rangga.
Kemudian Rangga langsung memeluk Ratna.
Namun, sesaat kemudian Ratna teringat kalau apa yang dia lakukan ini bisa dilihat orang. Karena itu, dengan sedih dan setengah mengeluh, dia segera melepaskan diri dari pelukan Rangga.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Aku malu dilihat orang. Nanti dilihat anakku."
"Tapi kamu masih terlihat rapuh dan tidak baik bagimu untuk terus mengkonsumsi obat sakit mental itu."
"Iya sih. Kalau bisa memilih, aku lebih merasa nyaman dalam pelukanmu daripada konsumsi obat itu."
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku memelukmu di kamarmu?"
Ratna kaget tapi ingin. "Tapi bagaimana kalau Pak Rahul datang?"
"Dia baru saja pergi. Pasti akan butuh waktu lama bagi dia untuk kembali karena dia sedang bersama selingkuhannya. Iya kan? Lagipula, aku kan cuma akan memelukmu, menenangkanmu setelah 10 menit. Setelah itu, aku akan segera keluar dari kamarmu."
Ratna mengangguk. "Baiklah. Aku duluan ke kamar ya? Aku tunggu kamu di kamar."
Setelah itu, Ratna segera beranjak menuju ke kamarnya.
Rangga menunggu beberapa saat kemudian dia mulai berdiri, untuk melangkah menuju ke kamar tempat Ratna menunggu.
Pintu kamar terbuka. Hanya gorden yang tertutup. Rangga menyibak gorden kamar kemudian dia mulai masuk ke dalam.
Ada perasaan ragu tapi ada juga perasaan kepuasan dalam diri Rangga karena dia akan segera membalas lagi akan apa yang dilakukan oleh Rahul kepadanya.
Setelah sebelumnya Rahul telah menodai kesucian pernikahannya, maka ini saatnya bagi dia untuk menodai kesucian pernikahannya Rahul.
Walaupun sebelumnya Rangga sudah berhasil meniduri Tineke, tetapi Rangga tidak terlalu puas, karena Tineke hanyalah istri kedua.
Apalagi sikap Tineke yang ganjen dan genit itu, membuat Rangga tahu kalau dia bukanlah lelaki pertama yang meniduri Tineke, saat Tineke sudah menjadi istri keduanya Rahul.
Tapi dengan gerak-gerik Ratna dan juga dengan cerita sedih Ratna, dan juga dengan pengakuan Ratna kalau Ratna tidak pernah tidur dengan pria lain selain Rahul, maka ini menjadi kepuasan tersendiri bagi Rangga karena dia sebentar lagi akan berhasil meniduri istri dari musuhnya.
Dan dia akan menjadi pria kedua yang akan meniduri Ratna, istri sah Rahul.
Rangga menutup pintu dan mengunci pintu kamarnya Rahul bersama Ratna ini. Setelah itu, perlahan-lahan dia mulai mendekati Ratna.
Walaupun hasrat Rangga mulai naik, tapi dia belum ingin mengumbar hasratnya, karena itu, dia mendekati Ratna dan berbisik, "Kamu bisa teruskan curhatanmu tadi."
Ratna mengangguk. Ratna menelan salivanya. Dia juga semakin terbawa hasrat, tapi, dia masih malu untuk meminta. Karena itu, dia berkata, "Peluk aku seperti tadi."
Ratna bergeser ke tengah pembaringan, seakan memberi isyarat dan kesempatan bagi Rangga untuk naik ke atas pembaringannya.
Rangga mengangguk. Dia terus menatap Ratna, seolah ingin memastikan pesonanya di dada Ratna, sambil dia berjalan mendekati pembaringan dan naik di atas pembaringan di samping kiri Rangga dan mulai memeluk Ratna.
Di dalam pelukan Rangga, Ratna merasa hangat dan aman, sehingga dia merasa nyaman untuk mulai kembali membuka hatinya tentang masalah yang sedang dia hadapi dengan Rahul.
Air matanya berlinang saat dia menceritakan bagaimana Rahul terus-menerus selingkuh darinya, mengkhianati kepercayaan dan cinta yang telah dia berikan.
Dalam pelukan yang penuh perhatian, Rangga mendengarkan setiap kata yang diucapkan Ratna, memberikan dukungan tanpa menghakimi.
Rasanya seperti waktu berhenti sejenak, dan saat itulah Rangga dan Ratna merasa saling mengerti dan terhubung secara emosional.
Apalagi tubuh mereka berdua sudah menempel semakin erat hingga membawa rasa yang semakin nyata bagi keduanya.
Ratna sambil menangis berkata, "Rangga, aku merasa hancur. Rahul terus saja selingkuh dan aku tidak tahu harus berbuat apa."
Rangga menyeka air mata Ratna. "Aku sangat mengerti perasaanmu, Ratna. Karena aku pernah mengalami hal yang sama dengan istriku. Rasanya seperti dunia runtuh."
Ratna membulatkan matanya. "Istrimu juga selingkuh?"
"Ya. Dia selingkuh dengan bosnya. Padahal aku selalu setia padanya."
"Padahal kamu nyaris sempurna. Tampan dan atletis. Kok bisa istrimu selingkuh?" Wajah Ratna menunjukkan tidak terima.
"Aku juga tidak tahu dan aku tidak pernah menyangka dia akan tega selingkuh dariku." Rangga tersenyum tipis.
Ratna tersenyum. "Tapi kamu tidak sendirian dalam perjuangan ini."
Rangga merangkul Ratna lebih erat. "Kita berdua akan melalui ini bersama, tak perlu merasa sendirian. Percayalah, suatu hari, luka ini akan sembuh, dan kamu akan menemukan cinta yang sesungguhnya yang pantas untukmu."
Saat ini, mereka berdua merasa senasib sepenanggungan dalam perasaan mereka yang pernah diselingkuhi.
Ni membuat hubungan antara Ratna dan Rangga semakin mendalam. Mereka merasa saling mengerti satu sama lain dengan lebih baik, dan kepercayaan di antara mereka semakin kuat.
Perasaan dekat itu tumbuh karena mereka berbagi pengalaman dan dukungan, saling memberi kekuatan untuk melewati masa sulit tersebut.
Rangga berbisik, "setiap kali kamu butuhkan seseorang untuk mendengarkan dan memahamimu, aku akan selalu ada di sisimu."
"Makasih, Rangga. Aku merasa nyaman membuka hatiku kepadamu." Ratna menatap Rangga.
Saat ini, dalam pelukan emosional mereka berdua ini, mereka menemukan kedamaian dan rasa nyaman yang jarang mereka temukan di tempat lain.
Kedekatan ini membuat tumbuh suatu rasa persahabatan yang kuat dan bertumbuh menjadi sesuatu yang lebih daripada itu.
Tumbuh hasrat di antara mereka berdua pada saat ini, yang semakin tak tertahankan.
"Ini benar-benar, wow, begitu besar," kata Sophie, terpesona oleh pemandangan vulgar di antara kedua kakinya."Terima kasih," kataku."Selamat karena sudah tidak perawan lagi. Maaf aku tidak membawa kartu dan balon," Josie bercanda.Sophie mengabaikannya, masih terpesona dengan batang kemaluanku di dalam liang keintimannya."Aku bisa... aku bisa merasakannya, sampai ke dalam diriku. Sakit, sedikit, tapi juga terasa enak. Aku pikir mungkin akan terasa sangat enak," kata Sophie, mengusap tangannya di perutku yang kurang impresif, masih terpesona."Kamu pikir itu hebat, coba bergerak," usul Josie."Aku sedang berusaha melakukannya," kata Sophie. "Aku hanya, aku ingin merasakan ini, membiarkannya meresap. Ini seperti momen yang monumental, bukan? Aku ingin memberinya bobot yang pantas." "Berikan bobot sebanyak yang kamu mau. Aku baik-baik saja di sini," kataku. Aku mengatakan ini, tapi hanya karena gerakan sekecil apa pun darinya mungkin membuatku terangsang karena dia begitu ketat, dan
"Baiklah," kata Josie, melemparkan satu kakinya ke atas kepala Sophie, lalu duduk di atas wajahnya. "Jadi, karena aku satu-satunya di sini yang belum klimaks, aku pikir kamu berhutang budi padaku."Josie menumpukan berat badannya, duduk sepenuhnya di atas wajah Sophie. Dengan terkejut, Sophie berusaha melepaskan diri di bawahnya saat Josie menekan liang keintimannya ke mulutnya, tapi Josie tidak melepaskannya."Oh, ayolah, ini tidak lebih buruk dari hal lain yang kita lakukan, dan lagipula, aku akan tetap di sini sampai kamu menjilati liang keintimanku dan membuatku klimaks di wajah manismu itu," kata Josie, sambil menjulurkan tangannya dan bermain-main dengan salib Sophie, lalu payudaranya. Aku tidak bisa melihat wajah Sophie karena tertekan di bawah liang keintiman Josie yang luar biasa, tapi dari cara Josie mulai mendesah, aku tahu Sophie sedang berusaha sekuat tenaga."Hei, Ryan, kenapa kamu tidak membantu memotivasi Sophie? Tunjukkan padanya seperti apa rasanya menjilati liang ke
Sophie tidak bisa menelan seluruh sepuluh inci milikku, dia belum seberapa ahli, tapi dia cukup bersemangat untuk membuatku sampai ke bagian belakang tenggorokannya. Dia tersedak, mungkin bahkan muntah, tapi segera dia mulai naik turun di atas batang kemaluanku. Seperti saat dia memberi blowjob, gerakannya cepat dan belum terampil, tapi dia cukup pintar untuk tidak menggunakan giginya, dan antusiasmenya yang bercampur dengan bibirnya terasa sangat nikmat.Saat Sophie memberikan blowjob pertamanya padaku, Josie sibuk di belakangnya, membimbingnya, membujuknya untuk berlutut di tempat tidur. Sekarang mengisapku sambil berlutut, pantatnya mencuat ke udara dan payudaranya tertekuk di bawah lengannya, Sophie hampir tidak menyadari saat Josie menarik rok konservatifnya dan celana dalam putih polosnya ke bawah, memperlihatkan pantatnya yang indah. Sophie hampir tidak menyadari saat Josie menatap pantatnya yang telanjang, pucat, besar namun kencang dengan penuh cinta, melirik ke arahku dan be
Saya melanjutkan dari tempat Josie berhenti, mendekati Sophie dan berbisik di telinganya. "Kami tahu cara memberi kamu kenikmatan yang akan membuat jari-jari kakimu melengkung dan teriakanmu tak berujung. Kami bisa menunjukkan padamu bahwa nafsu bukanlah dosa, tapi sesuatu yang layak untuk diterima, bahwa itu adalah bagian dari dirimu, siapa dirimu sejak dulu. Begitu kau membiarkannya masuk ke hatimu, itu akan membantumu memahami bukan hanya siapa dirimu, tapi siapa yang seharusnya kau jadi. Kau akan memiliki kekuatan yang bahkan tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Apakah kau menginginkannya?"Ada pertempuran di balik mata Sophie, pertempuran batin antara apa yang dia inginkan dan apa yang dia diajarkan sepanjang hidupnya. Tampaknya pertempuran yang cukup kejam, tetapi satu yang mungkin kami menangkan melihat cara dia menghela napas."Y... ya..." Sophie berkata pelan, menatap dalam-dalam ke mataku, napasnya terengah-engah karena apa yang Josie lakukan pada liang keintimannya."Lalu,
Meskipun Sophie mengatakan dia akan menghindari ceramah, dia menjelaskan dengan detail tentang makna setiap ruangan dan siapa di antara anggota brigade-nya yang bertanggung jawab atas ruangan tersebut. Josie dan aku hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak mengomentari segala hal yang kami lihat. Namun, bagiku menjadi jelas bahwa rencana apa pun, bahkan rencana untuk berimprovisasi, hampir pasti gagal total. Sophie adalah benda yang tak bisa digerakkan, dan kami bukanlah kekuatan yang tak terhentikan. Aku mencoba meyakinkan diri sendiri untuk pasrah harus memberi tahu Nadia kabar buruk dan menghadapi protes Sophie tentang teriakan Halloween.Setidaknya, begitu pikirku, sampai kami sampai di ruangan keempat dosa: Nafsu.Sementara tiga ruangan lainnya norak, ruangan ini memiliki sesuatu yang mirip dengan nilai produksi. Set yang mereka buat adalah kamar tidur pinggiran kota berwarna merah gelap. Di luar jendela ada api dari kain murah, dan di tengah ruangan ada tempat tidur king-siz
Saya tidak tahu bagaimana Josie akan menanggapi ejekan Sophie, apakah dia akan berpakaian sesederhana yang diinginkan Sophie atau justru berpakaian seksi mungkin untuk menyakiti perasaannya. Fakta bahwa Josie menjemput saya dengan mengenakan pakaian yang hampir sama dengan yang biasa dia kenakan menunjukkan bahwa dia telah mempertimbangkan kedua pilihan itu dengan serius sebelum akhirnya memilih sesuatu yang nyaman.Setidaknya salah satu dari kami merasa nyaman. Sebagai orang yang tidak terbiasa ke gereja, saya tidak punya pakaian gereja, tapi saya punya kemeja berkerah dan celana khaki yang cukup bersih. Saya terlihat seperti orang bodoh, tapi semoga itu cukup untuk memberi saya kredit agar bisa menemukan cara untuk memanfaatkan malam ini. Mengingat malam sebelumnya saya menghabiskan waktu bermain video game dengan Tori saat kami tidak sedang berciuman, saya dalam mood yang cukup baik meskipun merasa tidak nyaman.Josie dan saya duduk di parkiran Gereja First Regan Hills, menatap jam