Masuk
"Kumohon, jangan tinggalkan aku, Sayang! Aku membutuhkanmu!" seru seorang wanita yang penampilannya sudah tidak beraturan. Kedua tangannya memeluk erat lengan sang suami yang sangat dia cinta.
"Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Adeline! Jadi, berhentilah menangis karena aku tidak mau tinggal bersamamu!" balas pria itu dengan nada suara yang naik sampai enam oktaf. Bahkan suaranya itu terdengar hingga ke lantai satu. Tempat para pelayan di sana menguping pertengkaran kedua majikan mereka.
"Brandon, ayahku baru saja meninggal. Perusahaan juga sedang diambang kehancuran. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Apa kamu tega membiarkan aku seorang diri?" suara Adeline terdengar sangat lirih. Kehidupan sempurna wanita itu seperti akan sirna beberapa detik lagi.
Tangan Brandon yang sedang memasukkan pakaian ke dalam koper terhenti. Bibirnya tersenyum sinis, kepalanya menoleh, menatap Adeline tanpa hati kemudian menangkup wajahnya dengan kedua tangan.
"Kamu pikir, aku mau hidup bersama dengan wanita manja yang sudah tidak memiliki apa-apa?" Suaranya rendah namun sanggup menancapkan pedang di hati Adeline.
"Ap-apa maksudmu? Ke-kenapa kamu berubah?" tanya Adeline terbata-bata.
Brandon tersenyum kemenangan. Dia melepaskan wajah Adeline dan merapikan helaian rambut istrinya itu.
"Aku tidak pernah benar-benar mencintaimu. Tujuanku menikahimu hanya karena hartamu saja," ucapnya, masih merapikan helaian rambut di dahi Adeline dan juga tidak berperasaan.
Brandon melihat tatanan rambut Adeline yang sudah dia rapikan. Kemudian berbalik dan menutup resleting koper lalu menarik koper itu keluar. Meninggalkan Adeline yang masih terpaku, mencerna perkataannya barusan.
Ketika pintu kamar ditutup, barulah Adeline kembali dari lamunannya. Dia menatap sekeliling dan menyadari sang suami yang sudah pergi meninggalkan kamar mereka.
"Brandon! Jangan tinggalkan aku!" serunya, berlari keluar kamar dan menyusul Brandon yang sudah keluar dari rumah.
"Brandon! Kamu tidak boleh meninggalkan ku!" Suara teriakan Adeline membuat para pelayan berhamburan keluar. Menyaksikan majikan yang sudah setahun memperkerjakan mereka, nampak lusuh dan tidak terurus.
Sebelum masuk ke dalam mobil, Brandon berbalik dan melihat Adeline berlari ke arahnya. Dia tersenyum dan mengangkat sebelah tangan. Membuat gerakan seperti hormat namun hanya jari telunjuk dan jari tengah saja. Kemudian melepaskannya dengan santai. Setelah itu masuk ke dalam mobil, tak peduli Adeline yang mengejarnya sampai ke pintu gerbang.
"Jalan!" serunya pada sang supir.
Mobil maju pelam, meninggalkan rumah mewah dan segala isinya. Meninggalkan Adeline yang sedang terpuruk meratapi nasibnya yang sial.
“Brandon… hiks… kenapa kamu… hiks… meninggalkanku?” Adeline menangis di gelapnya malam.
Semua orang yang berada di sana pasti tahu bagaimana sedihnya Adeline saat itu. Kesedihan yang dirasakannya seperti hantaman ribuan batu yang sangat besar. Hatinya sesak dan seperti akan mati.
Ditinggalkan oleh sang ayah sudah merupakan sebuah musibah baginya. Kini dia harus dihadapkan oleh kenyataan bahwa ternyata sang suami tidak pernah mencintainya. Lantas … untuk apa dia hidup jika di dunia sudah tidak ada lagi yang menginginkan dirinya? Sudah tidak ada lagi yang mencintainya!
Dengan napas tersengal, Adeline menghapus air mata dan bangkit. Dia menghempaskan setiap uluran tangan yang mencoba membantunya berdiri. Masuk ke dalam rumah dan berdiam di kamar. Wanita itu tak lagi peduli dengan ketukan dari seorang pria yang merupakan asisten kepercayaan sang ayah.
“Pergi! Jangan menggangguku!” teriaknya.
Adeline menangis seraya membanting seluruh barang-barang yang berada di kamarnya. Dia tak peduli dengan harga dari barang-barang tersebut. Wanita itu hanya ingin meluapkan segala kesedihan, kekecewaan karena telah ditinggalkan seorang diri.
Kamarnya sudah sangat berantakan oleh pecahan kaca yang berserakan. Adeline tak peduli dan menginjak pecahan kaca itu sampai membuat telapak kakinya terluka. Dia berjalan masuk ke kamar mandi lalu menyalakan keran air. Mengisi bathup kemudian masuk dan membiarkan lukanya terkena air yang dingin.
“Ayah … kenapa Ayah meninggalkanku seorang diri di dunia yang kejam ini?” lirihnya.
Air di dalam bathup sudah menyatu dengan darah yang keluar dari kedua kaki Adeline. Wanita itu sama sekali tidak merasakan perih di kaki. Hatinya terlalu sakit sampai dia tidak merasakan ada luka lain di anggota tubuhnya.
“Ayah bilang akan selalu menjagaku, kenapa malah pergi, Ayah? Kenapa malah pergi dan membiarkan Brandon menyakitiku? Kenapa?”
Luka yang dihasilkan oleh pecahan kaca itu, tanpa sadar sudah menembus punggung kaki Adeline. Membuat kakinya mengeluarkan darah yang sangat banyak. Adeline larut dalam kesedihan. Dia menangis sampai kelelahan. Hingga akhirnya terpejam dalam kubangan air dan darah yang sudah menyatu seakan sedang membuat kolam berwarna merah. Dia berakhir di kegelapan dengan darah yang terus megalir dari tubuhnya yang terluka.
Sementara di luar kamar, sang asisten kepercayaan Killian Rothwell —ayah kandung Adeline— sudah sangat khawatir karena tidak lagi mendengar suara dari dalam kamar. Pria paruh baya itu langsung meminta seseorang mencari kunci cadangan.
Namun, tak satu pun dari para pelayan itu bisa menemukannya. Mereka hanya bisa menggelengkan kepala, wajah mereka penuh kekhawatiran. Para pelayan sangat tahu kondisi mental majikan mereka saat ini.
“Dobrak pintunya!” perintah pria paruh baya itu pada para pelayan di sana.
Setelah memanggil seorang ahli mendobrak pintu, mereka akhirnya berhasil. Terlihat kondisi kamar yang sudah hancur. Bukan hanya pecahan kaca yang bertebaran, kursi rias, seprai, gorden juga sudah tidak ada di tempatnya. Seolah sudah terjadi gempa bumi yang hanya di area kamar Adeline saja.
Di antara itu, yang paling membuat takut adalah terdapat darah yang berbentuk jejak kaki menuju kamar mandi. Tanpa memanggil, mereka langsung mengetahui keberadaan sang majikan.
Adeline ditemukan tenggelam di bathup dengan wajah yang sudah pucat. Para pelayan langsung membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan.
Sementara orang-orang sedang panik, di dalam tidurnya, Adeline sedang berjalan di sebuah ruangan yang serba putih. Dia kebingungan dengan keberadaannya sekarang. Merasakan hal aneh di tubuhnya, Adeline menunduk dan betapa terkejut dia melihat tubuhnya polos tanpa sehelai kain yang menutupi.
Wanita itu reflek menutup area sensitive dengan kedua tangan. Dalam hati dia berharap ada kain yang menutupi tubuhnya. Dan beberapa saat kemudian, harapannya terkabul. Adeline sudah berpakaian dengan pakaian yang berwarna putih.
Adeline melihat sekeliling untuk menerka dimana tempatnya berada. Namun, dia tak melihat pintu atau apapun yang menjadi petunjuk keberadaannya sekarang. Semua putih dan bersih.
“Ada dimana aku?” ucapnya bermonolog.
Dia teringat dengan harapan tentang kain yang menutupi tubuhnya. Terlintas sebuah harapan bertemu kembali dengan sang ayah.
Adeline tersenyum dan menutup kedua mata. Dia berharap saat ini sang ayah hadir di depannya dan menjemputnya. Kemudian dia membuka kedua mata dengan harapan bahwa harapannya akan terkabul.
Namun, harapannya sirna karena ketika dia membuka kedua mata, tidak ada satu pun orang yang hadir di depannya. Adeline menundukkan kepala dengan perasaan sedih. Tiba-tiba ….
Tap… Tap… Tap…
Adeline mengangkat kepala dan menyipitkan kedua mata. Dari kejauhan dia melihat seorang pria yang berjalan ke arahnya. Seketika senyumannya terkembang. Dia mengira sang ayah yang datang.
Namun, ketika pria itu semakin mendekat, yang dilihatnya adalah sosok lain dari pria yang sama sekali tidak dia kenal.
“Kembalilah bersamaku! Kamu harus membuat orang itu merasakan apa yang sudah dia perbuat padamu!”
Bersambung~~
"Tuan Leo? Kenapa Anda pergi? Bukankah istri Anda belum saya periksa? Kasihan nanti jika istri Anda tidak melakukan pemeriksaan kandungan hanya karena keegoisan Anda," ucap Alexi memanas-manasi Leo.Adeline tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Tapi melihat ekspresi wajah Leo yang sangat kesal dan penuh dengan amarah membuat dia yakin bahwa mungkin ada sesuatu yang terjadi antara Leo dan dokter itu yang bernama Alexi.Leo menolehkan kepala ke arah Adeline. Dia tersenyum pada istrinya itu dan memberikan usapan lembut di pipinya."Apakah tidak apa-apa jika kita melewatkan pemeriksaan kandungan hari ini?" tanya Leo dengan lembut.Adeline tersenyum pada Leo. Dia lalu menganggukkan kepala dan berkata, "Kita bisa mencari rumah sakit lain yang memiliki seorang dokter wanita seperti yang kamu inginkan. Aku akan selalu mengikuti keinginanmu."Senyuman Leo semakin lebar ketika melihat Adeline yang mengerti dengan perasaannya. Padahal ist
Adeline terkekeh melihat gurauan sang suami. Lalu dia menganggukkan kepala dan menunggu Leo melanjutkan ucapannya."Jadi, tadi ketika aku sedang duduk di meja kerjaku, laptopku sedang menyala. Aku sedang bekerja dengan serius saat itu. Hingga tiba-tiba sebuah gambar wajah seorang wanita cantik hadir dalam benakku."Terlihat Adeline yang kesal dengan perkataan pilihan padanya. Dia sangat kesal dengan Leo yang membicarakan wanita lain di saat sedang bersamanya."Jika kamu ingin membicarakan tentang wanita itu, maka jangan dilanjutkan! Aku tidak ingin mendengarkan apapun mengenai wanita itu!"Adeline bangkit dari tidur namun ditahan oleh suaminya itu. Leo langsung berpindah posisi hinggap yaitu berada di atasnya."Aku belum selesai berbicaranya, Sayang," ucap Leo dengan lembut seraya mengusap puncak kepala Adeline."Baiklah! Silakan lanjutkan ucapan," ucap Adeline mempersilakan sang suami."Aku mencoba menahan diriku tapi ternyata aku tetap merindukannya meski aku sudah berada di depanny
Membuat wanita itu merasa malu karena perutnya tidak bisa diajak kompromi.Sedangkan Leo tentu saja merasa lucu dengan tingkah apa adanya yang ditunjukkan oleh istrinya."Kamu lapar? Mau pasta?" tanya Leo.Adeline menganggukkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Leo.Pria itu menggulung lengan kemejanya dan mulai membuat makan malam untuk mereka. Melihat sang suami yang baru saja pulang dan langsung membuatkan makan malam untuknya, ditambah suaminya itu belum sempat mengganti pakaian, membuat Adeline semakin merasa tidak enak."Apakah tidak apa-apa?" tanya Adeline pada Leo yang masih sibuk dengan urusan perdapuran."Tidak apa-apa, apanya?" tanya Leo tidak mengerti."Itu ... kamu baru saja pulang yang dan belum beristirahat. Tapi, kamu malah menyiapkan makan malam untukku. Padahal harusnya aku juga menyiapkan makanan untukmu," ucap Adeline sedikit merasa malu."Memang kenapa jika aku yang menyiapkannya? Aku senang memasakkan makanan untukmu. Aku senang ketika kamu mau makan apapun
Entah apa yang membuat Adeline ragu untuk mengatakan bahwa dirinya sedang marah pada Leo. Padahal sebelumnya Adeline sangat yakin dengan saran yang dikatakan oleh Anna.Adeline berdiri bersandar di balik pintu kamar. Seketika dia merasa takut jika bertemu dengan suaminya."Aku ini kenapa, sih? Kenapa malah jadi tidak ingin bertemu dengannya? Padahal sebelumnya aku ingin melihat terus di sini bersama aku. Sekarang aku malah ingin pria itu pergi."Adeline menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia mendengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Seketika itu juga Adeline langsung naik ke atas ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.Ceklek!Pintu kamar terbuka. Adeline bisa merasakan langkah kaki mendekat ke arah ranjang. Beberapa saat kemudian, dia juga merasakan sisi sebelahnya yang seakan sedang diduduki. Tentu saja Adeline mengira bahwa itu adalah Leo. Karena hanya ada dirinya dan pria itu di dalam apartem
"Kamu pikir aku takut dengan ancamanmu? Aku tidak pernah takut dengan siapapun! Bahkan aku tidak pernah takut jika harus berhadapan dengan Kane Global! Aku tidak peduli dengan perusahaan yang menjadi top 3 perusahaan paling besar di Eropa. Aku tidak pernah takut pada—"KRINGGG! KRINGGG!Telepon kantor yang ada di meja Adrian tiba-tiba berbunyi. Membuat pria itu menghentikan ucapan yang akan dia katakan pada Leo.Smirk tipis muncul di bibir Leo, pandangannya tajam mengarah tepat ke iris hitam pria paruh baya itu.Awalnya Adrian ragu untuk menjawab. Namun, karena telepon itu terus berdering akhirnya dia menjawab panggilan itu.Adrian mengangkat telepon dengan kedua mata yang masih menatap Leo. Nampak senyuman pria itu yang begitu menakutkan untuknya. Seketika dia memiliki perasaan yang tidak enak tentang panggilan yang akan diterima."Ya," ucap Adrian sembari terus memperhatikan Leo. Seketika kedua mata Adrian terbelalak ke
"Sebenarnya, aku meminum semua obat itu. Tapi, setelah meminumnya aku akan masuk ke dalam kamar mandi dan mulai memuntahkan semua isi perut ku. Aku tidak tahu kenapa aku lakukan itu. Seperti yang aku katakan sebelumnya bahwa aku hanya ingin anak ini tidak lahir ke dunia."Alice menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia harus banyak-banyak bersabar ketika mendengarkan cerita dari Adeline.Berulang kali dia berkata pada diri sendiri bahwa yang dilakukan oleh Adeline adalah hal yang wajar. Setiap wanita yang sedang depresi pasti akan melakukan hal yang di luar nalar manusia normal pada umumnya."Sekarang kamu sudah tahu bahwa yang kamu lakukan itu adalah percuma. Apakah kamu masih mau untuk tidak meminum obatmu?" tanya Alice dengan lembut.Adeline menggelengkan kepalanya. Dia sadar bahwa sebenarnya yang membutuhkan obat-obatan itu adalah dirinya sendiri. Karena itu dia akan mulai membiasakan diri untuk meminum kembali obat-obatan itu.Alice tersenyum menyadari bahwa Adelin







