Kring!!! Kring!!!!! Kring!!!!!!
Suara bising jam beker yang bergoyang-goyang di meja samping tempat tidurku sontak membangunkanku. Berisik suaranya mengagetkan sampai aku terperanjat bangun. Kuraih jam beker yang masih mengaung itu dan melihat jarum jamnya. Oh God! Agaknya aku salah mengarahkan setengah jam lebih lambat di jarum jam penanda aku akan dibangunkan. Rasa kantuk menjelang tidur yang tak tertahan selepas kejadian ricuh bersama ayah semalam membuatku tak sepenuhnya sadar saat memutar jarum jam.
Setengah jam yang berharga karena kelebihan jam tidur. Setengah jam yang bisa kugunakan untuk mandi sarapan dan beres-beres sebelum kerja. Semoga tidak terlambat ke kantor pagi ini. Di waktu yang bersamaan, hp di samping jam beker memekik. Ada pesan masuk. Kulihat di riwayat panggilan. 15 kali panggilan tak terjawab. Lebih tepatnya tak sukses membangunkanku. Kubuka pesan. Mitra bisnis yang mengingatkan meeting penting yang mendadak dimajukan hari ini.
Pikiranku mendadak tak bersahabat dengan rutinitas pagi sebelum berangkat kerja.
“Makan dulu Nak sebelum berangkat. Ibu sudah siapkan. Temani ayahmu di ruang makan. Sudah dari tadi ayahmu menunggu kamu,” ujar Ibu mengingatkan. Permintaan ibu sungguh baik, tetapi tidak tepat momennya. Kuharap ibu bisa mengerti kenapa aku pagi ini begitu ricuh dan kupikir ia pasti sudah mengetahui keributanku dengan ayah semalam.
“Maaf bu, aku harus buru-buru. Ada hal penting yang harus kulakukan di kantor. Nanti aku bisa pesan makan di kantin kantor.”
“Ya sudah, hati-hati.”
Usai berpamitan segera aku menuju mobil di garasi dan mengabaikan ayah yang katanya sedari tadi di ruang tamu. Sengaja tidak berpamitan demi efesiensi waktu dan membalas rasa kesalku yang masih menggumpal di hati.
Meski hanya terlambat setengah jam rasanya seperti berjam-jam terlambat. Transportasi pagi memenuhi jalan pagi ini. Membuat waktu semakin molor. Berkali-kali klakson kubunyikan sambil berteriak sebal. Kucari celah kosong agar bisa menerobos cepat. Bahkan lampu merah yang seharusnya berhenti tak kusia-siakan untuk diterobos saat memang ada celah. Untung tidak jumpa polisi. Aman meskipun sayup-sayup kudengar suara teriakan berikut klakson dari orang-orang yang terlalu disiplin menaati lalu lintas.
Sesekali kulirik dan kupandangi kotak foto mungil yang menggantung di dekat kaca mobil. Aku juga memandangi foto berbingkai yang tersandar di dekat kaca mobil dengan posisi miring menghadapku. 2 buah foto cantik dengan pose foto berbeda. Renata. Gadis cantik dengan muka berseri yang membuat hatiku terpincut dan tertarik dengannya. Hanya beberapa kali jumpa sejak pertama kali bertemu di acara ulang tahun teman kami sudah sangat akrab dan menjalin hubungan yang sangat romantis. Terhitung dari pertama kenal sekarang sudah hampir 3 tahun kami menjalani kisah saling suka ini.
Aku merasa perlu mendinginkan suasana. Lagi-lagi aku yang mengalah. Tak apa. Demi cinta yang habis-habisan kuperjuangkan. Kuraih hp dan mengirim pesan suara kepadanya.
“Renata sayang, bagaimana keadaanmu pagi ini setelah kejadian semalam? Apa kau masih sebal dan sakit hati lantaran sikap ayahku yang tidak sepantasnya memperlakukanmu begitu? Namun, tenanglah sayang. Jangan sekalipun kau khawatir. Segenap daya upayaku akan kuperjuangkan cinta ini hingga kita menikah nanti, hingga kita akan hidup bersama dan selalu akan bersama. Segera kabari jika kau sudah mendingan. Aku merindukanmu dan ingin sekali memelukmu. Kiss you. Mmmmuahhh.”
** **
Mobil terus melaju. Beberapa posisi jalan yang kuterobos aman. Namun tidak untuk yang kesekian kalinya saat panggilan telpon memecah konsentrasiku. Kulihat ternyata dari ayah. Tidak ada kepentingan untuk mengangkatnya saat ini. Aku abaikan dan terus menerobos ke ruas jalan yang kuanggap aman sebelum didahului pengendara lain. Di saat yang hampir bersamaan ada sepeda motor yang juga menerobos dan alhasil, crash!!!!!
Seperti ada yang peok di bagian mobil entah yang mana. Antara meladeni dan membiarkan karena waktu tidak memungkinkan, akhirnya aku lebih memilih mengabaikan saja. Namun belum genap sedetik tiba-tiba pengendara motor yang bersinggungan dengan mobilku tadi turun dan meminta keluar. Sebenarnya tidak mau meladeni tapi melihat tangannya yang menunjuk seperti mengancam ke kaca mobilku membuat darahku mendidih. Ini tidak bisa dibiarkan.
“Kalau nyetir mobil pakai mata dong! Anjing!” Aku disambut dengan kalimat yang memancing emosiku begitu keluar dari mobil.
“Hey kalau ngomong mulutnya dijaga ya!! Dasar!! Memang yang salah siapa? Siapa yang menerobos duluan? Ha?!”
Aku tak mau kalah dengan pembelaannya. Entah siapa yang benar atau salah aku merasa mobilku masuk duluan ke posisi kosong itu bersamaan dengan lampu sen yang kupasang.
“Hey, matamu apa! Siapa suruh lebih dulu. Jalanan ini punya mbahmu apa?! Ha!! Aku juga punya hak lebih dulu.”
Darah seperti mendidih di ubun-ubun. Emosiku sudah tak tertahan. Ingin sekali kuselesaikan secara jantan dengan meminta apa maunya meski harus berkelahi pada akhirnya. Jam sudah mendekati masuk kantor. Tak ada waktu untuk mengakhiri konflik dengan mencari siapa yang salah dan benar. Aku terdiam sesaat dengan memikirkan solusi terbaik.
“Hey jangan diam saja bangsat, lu harus ganti rugi motor gue yang lecet.”
Dadaku didorongnya kasar sembari ia mengatakan makian itu.
“Hey gak usah bermain kasar gitu mas. Kita bisa bicarakan baik-baik urusan ini.”
“Baik- baik apa ha!!! Emang lu mau apa?! Bisa apa ha! Sini kalau berani!” Ia semakin muntab. Kedua tangannya berkacak pinggang seperti menantang. Kutatap tajam ke arahnya sembari waspada jika bermain fisik dengan mendorong tubuhku atau mungkin menyentuhku.
“Hey bicara anjing! Jangan diam saja. Melotot kayak orang bego. Bego banget lu jadi orang, gak becus pakai mobil!” Setelah puas memuntahkan serapahnya ia bermaksud mendorongku tapi ia kalah cepat.
Ssssttttt bbbukkkkkk!!
Tubuhnya terkapar dengan darah mengucur dari hidungnya. Mungkin terlalu keras pukulan dan bantinganku barusan. Kudengar ia kesakitan. Di saat bersamaan suara klakson dari belakang memecah kegaduhan. Banyak pengendara lain yang turun melerai kejadian. Mendadak jalanan macet. Aku tak menyangka kejadiannya akan semenegangkan ini.
Kupikir ia sudah menyerah tapi begitu ia ditolong oleh salah satu pengendara yang melerai dan merasa punya kesempatan untuk menyerang ia mengepalkan tinju ke arahku, tapi sayang terhenti. Bukan olehku melainkan oleh bapak-bapak yang sambal menangkis pukulan itu ia mengatakan sesuatu yang melegakan.
“Sudah! Sudah! Jangan diteruskan. Kalau salah jangan ngenyel. Saya saksinya. Mas yang pakai mobil tidak salah. Mobilnya masuk ke celah jalanan yang kosong lebih dulu. Masnya saja yang memaksa masuk sehingga menabrak mobil itu.”
Kutatap beliau dengan ramah sebagai tanda terima kasih sudah membela yang semestinya. Kulihat jam. Semakin molor. Pasti akan terlambat. Ugh! Sial. Bagaimana dengan citraku di mata karyawan yang selalu meminta mereka disiplin masuk kantor?
Agar masalah tak berlarut panjang aku berinisiatif untuk meminta maaf meski ia yang salah dan memberi sejumlah uang ganti rugi sebagaimana yang diminta dengan harapan masalah tak berlarut-larut dan berharap berakhir damai. Belum sempat kuutarakan tiba-tiba panggilan telepon berdering. Kulihat dari sekretarisku yang memintaku datang lebih cepat setelah menanyakanku kenapa aku terlambat. Ada berkas yang harus ditandatangi sebelum persiapan rapat penting hari ini.
Sementara dari belakang kendaraan seperti sedang berlomba memencet klakson. Urusan ini harus segera disudahi. Aku bergegas menghampirinya sembari mengajak bersalaman. Dengan angkuh ia tepis dan malah mengancamku sekaligus mengonfirmasi penolakannya atas uang yang hendak kuberi.
“Awas nanti kau bangsat!!! Urusan ini belum kelar!”
** **
“Bapak ibu dan semua tamu undangan. Sebagaimana yang saya sampaikan di depan tadi untuk memberikan keputusan saya atas perkara ini maka,dengan segala kerendahan hati saya, dengan segala pertimbangan yang saya pikirkan matang-matang, dengan segala rasa dan perjalanan yang saya ikhlaskan, memutuskan untuk memberi keputusan Mas David agar kembali mengejar cintanya kepada wanita yang pernah sangat dicintainya, dan wanita yang saking cintanya ke Mas David sampai pernah jatuh sakit berbulan-bulan hanya karena merindu.“Saya ikhlas dan saya tidak apa-apa. Toh semua ini hanya titipan. Soal jodoh urusan Tuhan. Saya merasa yang lebih pantas mendampingi Mas David dalam mengarungi hidup dan bahtera rumah tangga sampai akhir usia adalah wanita itu bukan saya. Maka dari itu mohon keikhlasannya semuanya.“Dan khususnya kepada ayah ibu. Hiks… hiks…. Ini memang sudah jalannya. Maaf selama ini saya tidak terus terang. Tapi yakinlah apa yang kita lepaskan
Entahlah apa maksud Sheily menolah-noleh tadi dengan durasi waktu yang cukup menyita perhatian para audience. Aku tak terlalu peduli. Aku hanya meperhatikan Sheily-ku. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istriku.Setelah Sheily kembali fokus ke apa yang ingin disampaikan, para tamu undangan kembali tertuju perhatiannya ke Sheily.“Bapak ibu sekalian. Izin untuk sedikit bercerita. Cerita ini bukanlah fiktif. Tapi cerita yang berangkat dari kejadian yang sesunggunya.“Cerita itu bermula saat ada seseorang yang diam-diam mencintai seorang lelaki. Sebut saja namanya Eli. Lelaki ini oleh Eli dianggapnya spesial. Saking spesialnya ia menyembunyikan perasaannya itu hingga bertahun-tahun lamanya. Ia gigih untuk tidak mengutarakan kepada siapapun selain kepada buku catatan yang menemaninya di tiap kali ia merindukan, teringat dan tengah merasakan cintanya terhadap lelaki itu. Sebut saja namanya Afi.“Singkat cerita, Afi dijodohkan den
Ya! Ini bukan mimpi di siang bolong atau dalam tidur. Ini sungguhan yang kupastikan beberapa kali dengan kenyataan yang ada sehingga tak perlu lagi menyimpulkan kalau ini mimpi atau sungguhan.Gadis yang dijebak untuk bertunangan denganku tak lain dan tak bukan adalah Sheily. Mengetahui kalau itu Sheily, bagaimana aku tidak bahagia dan menangis haru? Di saat aku melepaskan dan netral sentral-netralnya, tiba-tiba aku dihadirkan dirinya untuk mewujudkan apa yang menjadi harapanku kemarin.Aku memprediksikan semua ini telah dirancang dan direncanakan dengan sedemikiannya oleh satu orang yang dibantu timnya. Orang itu siapa lagi kalau bukan Pak Komisaris yang mungkin diam-diam meriset keadaan kami dan mengambil celah untuk sebuah kejutan yang memang aku harapkan.Lalu kehadiran teman-teman kantor, keluargaku, persiapan gedung ini, modus seseorang yang menjadi donatur biaya pengobatan ayah Sheily, dan semua yang terlibat untuk acara ini adalah bagian dari rencana Pak
Sekali lagi aku terkejut begitu tahu kalau benar-benar dia yang ada di depanku. Lama tak jumpa setelah kejadian itu. Dan selama tak jumpa itu tak terdengar kabar tentangnya olehku. Secepat itukah dia menjalani proses hukuman? Apa ia dan pengacaranya mengajukan banding atas keringan hukuman sehingga hanya setahun?“Hai Lucas. Apa kabar bro? Sudah bebas nih? Kok ada disini Bro?”“Kabar baik bro. Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi. Ya aku sudah terbebas dengan segala pertimbangan yang ribet jika aku ceritakan. Yang jelas selama masa hukuman itu ada banyak hal yang kulalui disana. Soal pergulatan batin, introspeksi diri, penyesalan karena telah mengkhianati orang sebaik dirimu, dan lain-lain.“Ya! Aku sangat menyesal Bro. Karena salahku itu aku merasa tidak berhak mendapatkan apa yang dulu aku dapatkan disini. Meski begitu aku tetap berhak untuk mengunjungi tempat ini yang penuh kenangan dan kerinduanku selama di sel. Dan itulah alasan
Alhasil, setelah semua isi pesan ibu Sheily kubaca, hatiku malah dirundung rasa sedih kembali. Sedetik kemudian, kecewa. Lalu, ngilu rasanya.Kalau saja aku mengetahui isi pesannya demikian, tentu lebih baik aku tidak usah membacanya atau langsung menghapusnya saja. Tapi, karena aku sudah bertekad untuk berdamai dan memaafkan semuanya, perlahan rasa tidak mengenakkan itu luntur dan kembali netral.Dalam pesan itu, ibu Sheily mengabarkan berita tunangan Sheily. Sebelumnya beliau meminta maaf padaku yang sebesar-besarnya. Pembicaraan kemarin saat kunjungan ke rumah Sheily terkait niat baikku melamar Sheily juga sudah diceritakan ke Sheily. Sontak Sheily terkejut, bahagia yang bercampur sedih yang teramat.Sheily juga menyesali kenapa semua ini datang terlambat. Tapi bagaimanapun harus ikhlas menerima. Dan ia berharap aku mendapatkan wanita yang lebih baik darinya.Sheily sudah ikhlaskan aku, ia lepaskan dan biarlah kisah perjalanan cinta dalam diamnya selam
Menyadari suasana menuju tidak nyaman aku berpura-pura izin ke belakang. Aku berpura-pura ingin buang air kecil demi menyelamatkan suasana yang kurang nyaman itu.“Adek. Tolong diantar Mas David ya,” pinta Sheily pada adiknya. Yang diperintah menurut dan mengantarkanku ke belakang. Setidaknya upayaku berhasil membuat keadaan jauh lebih baik. Usai dari belakang aku izin untuk pamit.Saat memasuki mobil aku menatap wajah Sheily yang mengantarku sampai halaman rumah. Kutangkap sekilas pancaran wajahnya yang tidak menunjukkan kecurigaan ia sedang menyimpan sesuatu. Ia malah tersenyum dan berterimakasih atas kehadiranku. Aku balik tersenyum padanya lalu, pada ayah ibunya yang melepas kepulanganku dari depan pintu.Keluarga sederhana yang hangat. Rasanya aku seperti berada di rumah sendiri.Di dalam mobil menuju rumah mataku seketika berkaca-kaca. Tak kuasa aku menanggung beban seperti ini. Padahal tinggal sebentar lagi. Padahal kurang selangk