Share

Bab 2

 Kring!!! Kring!!!!! Kring!!!!!!

Suara bising jam beker yang bergoyang-goyang di meja samping tempat tidurku sontak membangunkanku. Berisik suaranya mengagetkan sampai aku terperanjat bangun. Kuraih jam beker yang masih mengaung itu dan melihat jarum jamnya. Oh God! Agaknya aku salah mengarahkan setengah jam lebih lambat di jarum jam penanda aku akan dibangunkan. Rasa kantuk menjelang tidur yang tak tertahan selepas kejadian ricuh bersama ayah semalam membuatku tak sepenuhnya sadar saat memutar jarum jam.

Setengah jam yang berharga karena kelebihan jam tidur. Setengah jam yang bisa kugunakan untuk mandi sarapan dan beres-beres sebelum kerja. Semoga tidak terlambat ke kantor pagi ini. Di waktu yang bersamaan, hp di samping jam beker memekik. Ada pesan masuk. Kulihat di riwayat panggilan. 15 kali panggilan tak terjawab. Lebih tepatnya tak sukses membangunkanku. Kubuka pesan. Mitra bisnis yang mengingatkan meeting penting yang mendadak dimajukan hari ini.

Pikiranku mendadak tak bersahabat dengan rutinitas pagi sebelum berangkat kerja.

“Makan dulu Nak sebelum berangkat. Ibu sudah siapkan. Temani ayahmu di ruang makan. Sudah dari tadi ayahmu menunggu kamu,” ujar Ibu mengingatkan. Permintaan ibu sungguh baik, tetapi tidak tepat momennya. Kuharap ibu bisa mengerti kenapa aku pagi ini begitu ricuh dan kupikir ia pasti sudah mengetahui keributanku dengan ayah semalam.

“Maaf bu, aku harus buru-buru. Ada hal penting yang harus kulakukan di kantor. Nanti aku bisa pesan makan di kantin kantor.”

“Ya sudah, hati-hati.”

Usai berpamitan segera aku menuju mobil di garasi dan mengabaikan ayah yang katanya sedari tadi di ruang tamu. Sengaja tidak berpamitan demi efesiensi waktu dan membalas rasa kesalku yang masih menggumpal di hati.

Meski hanya terlambat setengah jam rasanya seperti berjam-jam terlambat. Transportasi pagi memenuhi jalan pagi ini. Membuat waktu semakin molor. Berkali-kali klakson kubunyikan sambil berteriak sebal. Kucari celah kosong agar bisa menerobos cepat. Bahkan lampu merah yang seharusnya berhenti tak kusia-siakan untuk diterobos saat memang ada celah. Untung tidak jumpa polisi. Aman meskipun sayup-sayup kudengar suara teriakan berikut klakson dari orang-orang yang terlalu disiplin menaati lalu lintas.

Sesekali kulirik dan kupandangi kotak foto mungil yang menggantung di dekat kaca mobil. Aku juga memandangi foto berbingkai yang tersandar di dekat kaca mobil dengan posisi miring menghadapku. 2 buah foto cantik dengan pose foto berbeda. Renata. Gadis cantik dengan muka berseri yang membuat hatiku terpincut dan tertarik dengannya. Hanya beberapa kali jumpa sejak pertama kali bertemu di acara ulang tahun teman kami sudah sangat akrab dan menjalin hubungan yang sangat romantis. Terhitung dari pertama kenal sekarang sudah hampir 3 tahun kami menjalani kisah saling suka ini.

Aku merasa perlu mendinginkan suasana. Lagi-lagi aku yang mengalah. Tak apa. Demi cinta yang habis-habisan kuperjuangkan. Kuraih hp dan mengirim pesan suara kepadanya.

“Renata sayang, bagaimana keadaanmu pagi ini setelah kejadian semalam? Apa kau masih sebal dan sakit hati lantaran sikap ayahku yang tidak sepantasnya memperlakukanmu begitu? Namun, tenanglah sayang. Jangan sekalipun kau khawatir. Segenap daya upayaku akan kuperjuangkan cinta ini hingga kita menikah nanti, hingga kita akan hidup bersama dan selalu akan bersama. Segera kabari jika kau sudah mendingan. Aku merindukanmu dan ingin sekali memelukmu. Kiss you. Mmmmuahhh. 

**        **

Mobil terus melaju. Beberapa posisi jalan yang kuterobos aman. Namun tidak untuk yang kesekian kalinya saat panggilan telpon memecah konsentrasiku. Kulihat ternyata dari ayah. Tidak ada kepentingan untuk mengangkatnya saat ini. Aku abaikan dan terus menerobos ke ruas jalan yang kuanggap aman sebelum didahului pengendara lain. Di saat yang hampir bersamaan ada sepeda motor yang juga menerobos dan alhasil, crash!!!!!

Seperti ada yang peok di bagian mobil entah yang mana. Antara meladeni dan membiarkan karena waktu tidak memungkinkan, akhirnya aku lebih memilih mengabaikan saja. Namun belum genap sedetik tiba-tiba pengendara motor yang bersinggungan dengan mobilku tadi turun dan meminta keluar. Sebenarnya tidak mau meladeni tapi melihat tangannya yang menunjuk seperti mengancam ke kaca mobilku membuat darahku mendidih. Ini tidak bisa dibiarkan.

“Kalau nyetir mobil pakai mata dong! Anjing!” Aku disambut dengan kalimat yang memancing emosiku begitu keluar dari mobil.

“Hey kalau ngomong mulutnya dijaga ya!! Dasar!! Memang yang salah siapa? Siapa yang menerobos duluan? Ha?!”

Aku tak mau kalah dengan pembelaannya. Entah siapa yang benar atau salah aku merasa mobilku masuk duluan ke posisi kosong itu bersamaan dengan lampu sen yang kupasang. 

“Hey, matamu apa! Siapa suruh lebih dulu. Jalanan ini punya mbahmu apa?! Ha!! Aku juga punya hak lebih dulu.”

Darah seperti mendidih di ubun-ubun. Emosiku sudah tak tertahan. Ingin sekali kuselesaikan secara jantan dengan meminta apa maunya meski harus berkelahi pada akhirnya. Jam sudah mendekati masuk kantor. Tak ada waktu untuk mengakhiri konflik dengan mencari siapa yang salah dan benar. Aku terdiam sesaat dengan memikirkan solusi terbaik.

“Hey jangan diam saja bangsat, lu harus ganti rugi motor gue yang lecet.”

Dadaku didorongnya kasar sembari ia mengatakan makian itu.

“Hey gak usah bermain kasar gitu mas. Kita bisa bicarakan baik-baik urusan ini.”

“Baik- baik apa ha!!! Emang lu mau apa?! Bisa apa ha! Sini kalau berani!” Ia semakin muntab. Kedua tangannya berkacak pinggang seperti menantang. Kutatap tajam ke arahnya sembari waspada jika bermain fisik dengan mendorong tubuhku atau mungkin menyentuhku.

“Hey bicara anjing! Jangan diam saja. Melotot kayak orang bego. Bego banget lu jadi orang, gak becus pakai mobil!” Setelah puas memuntahkan serapahnya ia bermaksud mendorongku tapi ia kalah cepat.

Ssssttttt bbbukkkkkk!!

Tubuhnya terkapar dengan darah mengucur dari hidungnya. Mungkin terlalu keras pukulan dan bantinganku barusan. Kudengar ia kesakitan. Di saat bersamaan suara klakson dari belakang memecah kegaduhan. Banyak pengendara lain yang turun melerai kejadian. Mendadak jalanan macet. Aku tak menyangka kejadiannya akan semenegangkan ini.

Kupikir ia sudah menyerah tapi begitu ia ditolong oleh salah satu pengendara yang melerai dan merasa punya kesempatan untuk menyerang ia mengepalkan tinju ke arahku, tapi sayang terhenti. Bukan olehku melainkan oleh bapak-bapak yang sambal menangkis pukulan itu ia mengatakan sesuatu yang melegakan.

“Sudah! Sudah! Jangan diteruskan. Kalau salah jangan ngenyel. Saya saksinya. Mas yang pakai mobil tidak salah. Mobilnya masuk ke celah jalanan yang kosong lebih dulu. Masnya saja yang memaksa masuk sehingga menabrak mobil itu.”

Kutatap beliau dengan ramah sebagai tanda terima kasih sudah membela yang semestinya. Kulihat jam. Semakin molor. Pasti akan terlambat. Ugh! Sial. Bagaimana dengan citraku di mata karyawan yang selalu meminta mereka disiplin masuk kantor?

Agar masalah tak berlarut panjang aku berinisiatif untuk meminta maaf meski ia yang salah dan memberi sejumlah uang ganti rugi sebagaimana yang diminta dengan harapan masalah tak berlarut-larut dan berharap berakhir damai. Belum sempat kuutarakan tiba-tiba panggilan telepon berdering. Kulihat dari sekretarisku yang memintaku datang lebih cepat setelah menanyakanku kenapa aku terlambat. Ada berkas yang harus ditandatangi sebelum persiapan rapat penting hari ini.

Sementara dari belakang kendaraan seperti sedang berlomba memencet klakson. Urusan ini harus segera disudahi. Aku bergegas menghampirinya sembari mengajak bersalaman. Dengan angkuh ia tepis dan malah mengancamku sekaligus mengonfirmasi penolakannya atas uang yang hendak kuberi.

“Awas nanti kau bangsat!!! Urusan ini belum kelar!”

**        **

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status