Share

Bab 2. Kenyataan Pahit

Clara menatap papa dan mamanya bergantian.

"Ada apa, pa? Setiap tahun kan Clara mengadakan pesta seperti ini".

Papa lalu menyodorkan selembar kertas kecil. Aku meraihnya dan melihat bahwa itu adalah bukti tagihan kartu kreditku.

"Ini apa, pa?".

"Kenapa kamu begitu boros, Clara?".

"Boros gimana, pa. Ini saja belum sampai limit seratus juta, pa".

Papa yang mendengarkan itu langsung menghembuskan nafas kasar. Aku bingung apa yang telah terjadi. Sebaiknya, aku menanyakan pada mama.

"Papa kenapa sih, ma?".

Aku yang sejak tadi berdiri, akhirnya duduk di depan mama papa yang gelisah. Aku sungguh penasaran, apa yang telah terjadi.

"Kita harus segera berhemat, Clara. Maaf, seharusnya kami bilang kepadamu sejak awal pertengahan tahun ini".

"Iya, memang apa yang terjadi, Ma, Pa?".

"Aku hanya memakai total tujuh puluh juta untuk bulan ini. Mama dan papa kan hanya membatasi pengeluaran aku di angka seratus juta".

Aku seolah membela diri.

"Papa kalah dalam investasi saham, sehingga aset kita pun terancam untuk dijual satu persatu".

"Apa?".

"Beruntung papa kamu bisa meminjam sedikit uang perusahaan yang dipimpin oleh pak Yoga sehingga selama ini kita tidak terlalu bingung dengan keadaan keuangan kita".

"Iya, Clara. Kita berhutang budi dengan pak Yoga".

Oh. Aku mengerti sekarang.

"Jadi, karena pak Yoga membantu keuangan kita, Clara yang menjadi korban kalian".

"Clara... ".

Papa berteriak lalu melayangkan tangan kekarnya ke arahku. Aku terdiam lama. Aku tidak menyangka papa tega melakukan itu kepadaku. Rasa panas mulai menjalar di pipi kananku. Aku baru sadar papa telah menamparku.

"Clara... Papa ngga sengaja. Maafkan papa, Nak".

Aku tidak menghiraukan perkataan papa. Aku langsung berlari ke kamar. Di dalam kamar aku menangis. Ini pertama kali papa begitu marah kepadaku dan ini juga pertama kali papa menamparku.

Hiks... Hiks...

Semakin deras tangisanku ketika tahu bahwa kami akan segera bangkrut dan aku akan menikah dengan pria tua itu. Kenapa semua ini terjadi kepadaku?.

"Clara, Clara....".

Aku mendengar mama berulang kali memanggilku. Aku menutup telingaku. Aku ngga mau bicara dengan mama. Aku hanya ingin sendiri.

------

Keesokan pagi harinya.

"Clara...".

Aku mendengar suara mama memanggilku lagi. Aku tersadar ini sudah pagi hari. Sepertinya aku tertidur di kasur karena lelah menangis.

"Clara, buka pintunya, Nak".

Aku mendengar suara mama lagi. Aku semakin menutup kepalaku dengan bantal. Kemudian, aku tidak mendengar suara mama lagi. Aku mencoba bangun. Kepalaku rasanya pusing.

Aku segera melangkahkan kaki ke meja riasku. Aku melihat mataku sudah sembab dan bengkak. Hufftt... Aku menarik nafas dan menghembuskan pelan.

Tidak mungkin aku pergi kuliah dengan wajah ini. Aku bolos saja.

"Clara, kamu sudah bangun, nak?. Kamu gak kuliah? Ayo kita sarapan".

Aku yang mendengar mama terus memanggilku merasa tak tega. Aku pun keluar kamar. Mama yang melihatku keluar kamar pun langsung menghampiriku.

"Kenapa mata kamu sembab gini, Clara. Maafkan papa kamu ya, papa hanya terbawa emosi".

"Iya, ma".

Aku hanya menjawab singkat.

"Kalau gini, kamu gak usah kuliah. Istirahat aja dirumah ya".

"Papa mana ma?".

"Papa baru aja berangkat kerja. Ada meeting penting dengan pak Yoga".

Aku menjadi kesal ketika lagi-lagi mendengar nama pria tua itu.

"Ini masih pagi, ma. Kenapa harus menyebutkan nama atasan papa itu".

"Eh... ".

"Suka atau tidak suka, kamu tetap harus menerima pernikahan ini, Clara"

"Mama... ".

"Sebentar lagi rumah kita ini disita oleh bank".

"Apa, ma?".

Aku seolah tak percaya bahwa rumah yang sudah belasan tahun aku tempati ini akan dijual. Lalu kami akan tinggal dimana.

"Maka dari itu, papa menjodohkan kamu dengan atasannya, supaya kamu bisa tinggal lagi di rumah mewah pak Yoga".

"Aku bisa tinggal di rumah sederhana bareng kalian, ma".

"Tidak, Clara".

"Kenapa, Ma?".

"Kamu gak bisa ikut kami. Kami akan pergi meninggalkan kota ini".

"Apa, ma?".

Lagi-lagi aku dihadapi dengan kenyataan pahit dihidupku. Bagaimana bisa aku hidup tanpa mama dan papa disisiku. Apa aku harus hidup dengan pria tua itu?.

"Kamu harus tetap tinggal di kota ini. Kamu juga masih harus kuliah".

"Tapi, ma. Aku tidak mau menikah, ma".

"Clara...."

"Ma, Clara mohon, ma. Bujuk papa, ma".

"Nanti malam pak Yoga akan kemari melamarmu, bersikap baiklah, Clara".

Mama pun pergi meninggalkan aku dengan semua kebingunganku.

Apa nanti malam aku harus bertemu dengan pak Yoga?

-------

"Maafkan papa, Clara. Tadi malam papa tidak sengaja. Pak Yoga sebentar lagi akan datang. Bersikaplah yang baik padanya, Clara".

Papa memulai pembicaraan ini sambil menunggu kehadiran pak Yoga yang ingin melamarku.

"Iya, pa".

"Papa yakin ini adalah yang terbaik untukmu, Clara".

"Kami harap kamu menerima dengan baik rencana pernikahan ini".

"Terserah pa. Clara sudah tidak perduli".

Aku yang kecewa dengan perjodohan ini hanya dapat menerimanya. Apalagi yang bisa aku lakukan. Mama dan papa saja tidak goyah tetap mempertahankan pilihannya.

"Kenapa harus pak Yoga, pa?".

"Dia masih lajang, Clara. Papa sudah memilihkan yang terbaik. Atau mau papa ganti yang duda aja?".

"Apa kata papa tadi, pak Yoga itu masih lajang, Clara kira dia duda".

"Iya, Clara. Dia hanya kalah di umur. Dia belum pernah menikah. Papa yakin dia bisa menjadi suami yang baik untukmu".

"Oke, pa. Aku sedikit menerimanya ketika mengetahui dia masih lajang. Tapi, aku tidak menjamin, Clara bisa bersikap baik dengannya".

"Pak Yoga orangnya baik, kamu akan berubah jika sudah menikah dengannya, Clara. Kamu tidak akan menyesal".

"Apa kelakuan Clara kurang baik di mata mama dan papa?".

Aku seolah tidak terima bila aku dibilang akan berubah jauh lebih baik setelah menikah dengan pak Yoga. Kurang baik apa aku selama ini, aku tidak pernah melakukan pergaulan bebas, memalukan keluarga dan berbuat negatif.

Aku semakin kesal mendengar papa yang terus menerus memuji calon menantunya itu. Aku tidak sabar ingin melihat seperti apa sebenarnya pak Yoga itu?.

"Kamu tetap yang terbaik, Clara. Maksud papa tadi, setelah kamu menikah dengan pak Yoga kamu akan berubah bersikap baik dengannya. Pak Yoga pasti dapat membimbingmu".

"Clara tidak perduli, pa. Clara juga tidak mau berubah untuk bersikap baik dengannya".

Aku masih saja berdebat dengan papa jika membahas pak Yoga. Sungguh aku tidak menyukai pak Yoga yang tiba-tiba hadir mengacaukan kehidupanku.

"Clara, papa mohon, nak. Turuti saja kemauan papa kali ini".

"Iya, pa. Clara setuju menikah dengan pak Yoga".

Aku tidak tahan lagi melihat papa yang terus memohon kepadaku. Aku iyakan saja permintaan papa, toh setelah aku menikah, terserah aku dong mau berbuat apa dengan pak Yoga.

Jangan harap pak Yoga akan bahagia karena telah memaksaku untuk menikah dengannya. Aku berharap pak Yoga akan menyesal dengan keputusannya kali ini. Aku tersenyum dengan penuh rencana licikku.

Sepuluh menit kemudian pak Yoga datang kerumahku.

Seorang laki-laki yang ternyata beda jauh dari poto yang kulihat kemarin. Ketika aku bertemu langsung ada hal yang berbeda. Dia nampak seperti pria dewasa yang keren. Tidak nampak usia tua untuknya. Bahkan, pak Yoga masih pantas dibilang berumur kepala dua.

"Apa dia awet muda?". Aku bertanya sendiri.

Aish.. Apa yang sedang aku pikirkan. Jangan lupakan, Clara. Dia adalah pria berumur. Aku hampir lupa hal itu.

Pak Yoga hanya membawa pengawal pribadinya. Dimana keluarganya? Apa jangan-jangan keluarganya tidak menyetujui perjodohan ini juga. Kabar gembira bagiku kalau benar.

Tidak ada basa basi yang disampaikan pak Yoga. Dia tidak menerima penolakan dan acara lamaran pada malam hari ini hanya sebagai formalitas. Pak Yoga hanya ingin bertemu denganku.

"Kamu yang bernama, Clara?".

Suara tegas pak Yoga terdengar di telingaku. Suaranya khas layaknya seorang atasan yang dominan dan penuh penekanan seperti harus segera diberikan jawaban.

Aku hanya diam. Mama menyentuh lenganku untuk menjawab pertanyaan pak Yoga.

"Sudah tahu, masih aja nanya. Gak liat apa cuma ada satu orang gadis disini".

"Clara...".

Papa tiba-tiba meneriakkan namaku. Aku tidak perduli.

"Santai pak Dedi. Saya hanya ingin mengatakan kepada anak Bapak bahwa acara pernikahan akan dilaksanakan minggu depan".

"Apa?".

Seperti itulah reaksiku. Aku melihat mama dan papa juga begitu syok sama sepertiku. Tapi, aku tahu mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

"Clara, aku tidak perduli kamu suka atau tidak. Pernikahan ini akan tetap terjadi".

"Sepertinya saya suka dengan sikap anak Bapak. Pembahasan masalah pernikahan, sekretarisku yang akan menjelaskannya nanti".

Setelah itu, pak Yoga meninggalkan kami semua. Aku tahu, aku sudah menggali kuburku sendiri dengan bersikap arogan kepadanya.

-----

POV Yoga

"Selidiki gadis itu!".

Sosok pria yang duduk di kursi kebesarannya sedang memerintahkan anak buahnya. Bahkan dengan intonasi suaranya saja sudah membuat orang di sekitarnya merinding.

Dia adalah Yoga Aditama Putra.

Cucu tunggal orang terkaya yang ada di kota ini. Betapa tidak, dia mewarisi kekayaan seluruh kekayaan generasi sebelumnya bahkan sebelum dia berumur tiga puluh tahun.

Dengan kekayaan itulah, tidak ada satu orang pun di kota ini yang mau menentangnya. Terlebih mencari gara-gara. Bahkan para gadis pun harus berpikir dua kali untuk mencoba mendekatinya.

Hal itulah yang membuat semua pria akan iri kepadanya. Betapa tidak, selain kaya, Yoga merupakan laki-laki yang tidak dapat dipungkiri kewibawaannya dan ketampanan khas laki-laki dewasa.

Ditambah dia pun sepertinya tidak tertarik dengan wanita manapun. Menurutnya, wanita hanya merepotkan. Tidak heran, di umurnya yang sudah mau menginjak kepala empat, masih berstatus lajang.

"Berikan semua informasi semuanya kepadaku, jangan sampai ada yang terlewati!".

"Baik, tuan saya mengerti".

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status