Share

Bab 5. Pertemuan dengan Keluarga Yoga

Oma Ayu adalah ibu dari ayahnya yang telah meninggal. Setelah ayahnya meninggal, oma Ayu dan Ibu Yoga saja yang merawat Yoga dari umur sepuluh tahun. Yoga tidak ingin menentang oma ataupun mengikuti perintahnya.

Begitupun mama, Yoga tahu mama juga selalu sependapat dengan oma. Mama tidak punya kuasa di rumah itu, karena mama hanyalah seorang menantu oma. Yoga pun tak bisa juga menyalahkan mamanya yang tidak mendukungnya.

"Yoga, tentukan pilihanmu. Oma tidak mau mendengar apapun alasanmu lagi".

"Tapi, Oma?".

"Yoga, kamu itu sudah tua. Tahun depan sudah berumur empat puluh tahun. Kapan kamu memberikan oma cicit".

"Apa salahnya dengan umur Yoga, Oma?".

"Kamu ini. Kalau dibilangin masih saja banyak alasannya. Oma mau segera ada penerus di keluarga ini".

"Eh..".

Yoga salah tingkah kalau membahas penerus keluarga. Yoga tahu dialah satu-satunya generasi terakhir keluarga ini. Tidak salah, Oma selalu mendesakny untuk segera menikah.

"Sekarang oma mau mendengar pilihanmu sekarang juga".

"Yoga tidak mau menikah dengan wanita pilihan oma itu".

"Lalu, kamu akan membawakan wanita mana untuk dikenalkan pada oma?".

Yoga bingung karena memang tidak ada wanita yang dekat dengannya saat ini, ataupun beberapa tahun terakhir. Yoga pun teringat dengan pak Dedi bawahannya.

"Iya, anak gadis kesayangannya, Clara. Aku membutuhkannya. Aku akan membawakannya kepada Oma". Pikir Yoga.

"Lusa akan kubawa wanita pilihan Yoga ke Oma".

"Baiklah, oma tunggu".

Yoga berpikir daripada menikah dengan wanita pilihan oma lebih baik dia menikah dengan Clara. Yoga tahu wanita pilihan oma adalah wanita matre dan bebas. Entah dengan alasan apa, omanya bisa menemukan wanita seperti itu untuk cucunya ini.

Tetapi...

Yoga melirik ke arah samping kanannya. Clara. Yoga pun menarik nafas dan menghembuskan nafas pelan. Ini juga bukan pilihan baik untuknya. Setidaknya, Clara tidak matre dan bebas. Bahkan, Clara saja tidak mau menikahinya, aneh bukan.

Yang terpenting Clara tidak akan mengganggu hari-harinya karena Yoga juga tahu, bahwa Clara juga tidak ingin berdekatan dengannya. Dan sekarang, Yoga berencana membawa Clara kerumahnya untuk dikenalkan dengan Oma dan Mamanya.

"Kita mau kemana, ini bukan jalan menuju butik Anggrek, kan?".

"Katanya tidak mau bicara denganku?".

Yoga menunjukkan kuasanya. Clara pun merasa kesal.

"Awas kalau kalian menculikku".

"Siapa juga mau menculik gadis kurus sepertimu".

"Apa?... "

"Kamu tidak dengar, gadis kurus".

"Dasar orang tua, kalau seperti ini bukan kurus tapi langsing".

Frengky yang fokus menyetir terkikik pelan karena mendengar Clara mengejek Yoga. Clara menjadi tidak enak hati sedangkan Yoga menjadi kesal karena disebut orang tua. Yoga berencana membalasnya.

"Dasar anak-anak".

"Aku bukan anak-anak lagi. Aku sudah berumur dua puluh satu tahun. Sudah dewasa".

"Sudah siap menikah berarti".

"Apa...?".

Clara pun mati kutu. Clara benar tidak menyangka dia masuk ke dalam perangkap pria tua itu. Yoga yang menang telak pun merasa berada di atas angin. Siapa suruh melawanku, pikir Yoga. Ternyata enak juga berdebat dengan anak kecil ini. Dia memang tidak akan menang berargumen denganku.

Yoga pun tertawa puas.

Clara yang melihat dan mendengar Yoga tertawa semakin menjadi kesal. Entah apa maksudnya, Yoga mempermainkan dia seperti ini. Kalau begitu aku diam saja, aku tidak mau bicara dengannya.

Yoga yang menyadari bahwa Clara kesal dengan permainannya tadi seolah merasa bersalah. Baiklah, kali ini aku akan mengalah sedikit.

"Kita akan kerumah dulu baru fitting baju pengantin".

"Apa....?".

"Kita akan kerumah dulu baru fitting baju pengantin".

Yoga memulai pembicaraannya lagi dengan Clara setelah sepuluh menit mereka diam membisu.

"Apa.....?".

"Memangnya tidak ada kata lain selain 'apa', sudah berapa kali kamu mengatakan itu kepadaku".

"Salah siapa membuat aku harus mengatakan kata itu".

"Salah mulut kamu yang terlalu lemas".

"Apa...?".

"Tuh kan, apa saya bilang, kamu mengatakannya lagi".

"Terserah aku, mulut mulutku".

Clara menjadi kesal. Pria disampingnya seperti tidak mau kalah dengannya, umur tua tapi seperti anak kecil. Lalu, mau apa dia mengajakku kerumahnya, aku sungguh tidak ingin mengenal keluarganya, cukup pria tua ini yang aku kenal.

"Dia saja sungguh sudah membuat aku mati kesal". Clara mencibir dalam hati.

"Aku harap kamu bisa menjaga mulutmu ketika di rumahku".

Clara hanya diam saja. Dia tak mau berkata-kata lagi.

"Kamu mendengarkan apa yang aku katakan barusan?".

"Oke, aku akan menjaga mulutku. Tapi, jangan paksa aku berbicara jika aku tidak mau".

"Terserah padamu, Clara. Yang penting jangan membuatku malu telah membawamu kesana".

"Bukankah akan lebih baik apabila anda tidak mengajakku. Anda tidak perlu repot-repot menjemputku seperti ini".

"Bisa gak kamu tidak membantah apa yang aku perintahkan?".

"Baiklah, aku juga tidak perduli".

Perdebatan sengit antara mereka pun berakhir. Keadaan mobil menjadi sunyi. Frengky menjadi lebih fokus menyetir daripada beberapa saat yang lalu. Frengky sedikit tersenyum, kali ini Yoga mendapatkan lawan yang tangguh.

Lima belas kemudian, mobil mewah Yoga telah sampai ke dalam pekarangan rumah yang bak istana kerajaan. Clara bahkan tidak menyangka bahwa rumah keluarga besar Yoga akan sebesar ini.

"Ayo, Clara". Yoga mengajak Clara untuk mengikutinya.

Clara pun keluar dari mobil dan mengedarkan pandangannya seraya berjalan mengikuti Yoga. Rumah tersebut berlantai dua, bernuansa klasik gaya eropa, di cat berwarna sedikit warna keemasan bercampur putih. Di depannya terdapat taman yang juga berukuran luas dan ditanami beraneka bunga.

Clara cukup beruntung, karena kunjungannya pertama kali di rumah ini bertepatan dengan waktu bunga-bunga bermekaran. Bunga-bunga di taman ini seakan siap untuk menyambutnya.

Terlihat ada beberapa pekerja yang sedang membersihkan taman. Clara yang terlalu bersuka ria melihat indahnya bunga yang bermekaran berwarna-warni, tak sengaja menabrak Yoga yang ada didepannya.

"Aduh...".

Clara pun mendongakkan kepalanya dan sadar siapa yang sudah ia tabrak.

"Kamu lihat apa sih, Clara?".

"Yang penting saya tidak melihat kamu. Jadi masalah gak?".

Yoga menggelengkan kepalanya lagi melihat kelakuan Clara. Yoga sengaja berhenti karena sengaja ingin mempermainkan Clara. Tidak menyangka bahwa Clara menabraknya dan berakhir dengan keluar kata-kata dari mulut Clara yang masih saja lemas.

"Ayo, Oma dan Mama sudah menunggu di dalam, jangan banyak tingkah kamu, Clara".

"Siapa yang banyak tingkah, jangan perdulikan aku".

Clara pun mengikuti Yoga dengan awas, dia gak mau kejadian tertabrak tadi terjadi lagi. Dia hanya tak mau bersentuhan lagi dengan laki-laki judes itu. Frengky yang berjalan di depan pun mengawal langkah kami. Frengky juga melihat sedikit keributan antara Yoga dan Clara.

"Sudah mau bertemu Oma dan Mamanya, masih saja cari perkara". Frengky bicara sendiri dengan nada kesal seakan ingin memarahi Yoga.

Pintu kayu yang berukuran lebar dan bercat coklat sudah terbuka, berjejer di samping kanan kiri pegawai rumah tangga oma yang sudah siap menyambut tuan mudanya. Seraya menunduk para pelayan wanita tersebut memang tidak diizinkan bertatap muka dengan tuan mudanya, begitulah peraturan rumah ini.

Clara melihat di ruang tengah rumah tersebut sudah ada seorang wanita paruh baya yang sedang tersenyum melihat kedatangan kami. Clara yakin itu adalah oma Yoga. Oma Yoga masih kelihatan muda tidak sesuai dengan umurnya yang sudah memasuki kepala delapan. Rambutnya yang sudah memutih sebagai tanda bahwa umur tidak bisa membohongi.

Clara juga melihat ada seorang wanita yang agak muda terlihat berdiri dan menyambut Yoga. Itu pasti mamanya. Mamanya juga tidak beda jauh dengan Oma, mungkin berumur enam puluhan.

"Masih muda juga", pikir Clara.

"Apakah semua keluarga ini awet muda ya?". Clara berbicara pelan.

Yoga mendengar suara pelan Clara dan sedikit terusik. Tapi, suara Oma yang menyapanya membuat Yoga tidak menghiraukan apa yang Clara bicarakan

"Yoga, Oma kira kamu akan membohongi, oma".

"Tidak, Oma. Ini Yoga bawa wanita pilihan Yoga sendiri".

Clara yang sudah mendengar perkataan Yoga mengerti bahwa permainan baru saja dimulai. Baiklah, aku akan bertingkah sok manis kali ini.

"Jadi ini, wanita pilihanmu, apa tidak terlalu muda, Yoga?".

"Tidak, Oma. Dia sudah cukup umur untuk menikah. Bukankah itu yang terpenting".

Yoga mengatakan hal tersebut sambil melirik sedikit ke arah Clara. Clara tahu apa maksudnya.

Clara menghela nafas pelan, dia tahu Yoga sudah menyindirnya. Bukankah Clara sendiri yang bilang bahwa dia sudah dewasa dan itu artinya sama saja menganggap diri Clara sudah siap menikah.

"Awas kamu, Yoga". Clara bicara dalam hati.

"Benarkah?". Lanjut Oma.

"Iya Oma. Perkenalkan dia Clara, Oma, Mama".

Yoga pun memperkenalkan secara resmi Clara pada Oma dan Mamanya. Mama menyambut Clara dan mengajaknya duduk di sebelah dirinya. Yoga pun juga sudah menempati tempat duduknya dari tadi.

"Iya, Oma, Mama, saya Clara".

"Ngomong-ngomong Oma begitu penasaran, kata Yoga apa benar kamu sudah siap menikah dengan Yoga?".

"Benar, Oma. Apakah Oma tidak setuju?".

Yoga tidak menyangka kalau jawaban Clara sudah mulai menunjukkan kelemasan mulutnya. Yoga menanti dengan cemasan apa reaksi Oma dan Mamanya. Yoga menatap Clara dengan bola mata yang seolah siap untuk menguliti.

Clara juga sengaja mengatakan itu, Clara benar-benar ingin mengetahui secara langsung apakah dia memang diterima disini atau hanya drama, seperti yang sedang ia lakukan sekarang.

"Kamu cukup berani ya, Clara. Tapi, Oma suka kejujuran kamu ini. Sifat kamu sama dengan Yoga. Kalian pasti akan cocok".

"Apa?". Mata Clara pun seakan ingin lompat keluar karena terkejut dengan reaksi Oma Yoga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status