Share

bab 7

Author: Ana Battosai
last update Last Updated: 2024-10-08 17:56:52

Pulang dari dokter, kami bergegas menuju rumah Mama, ingin memberitahukan segera kabar bahagia ini. Harapan Mama untuk bisa menimang cucu akan terwujud dalam waktu dekat.

Pukul sebelas siang kami sampai di rumah Mama, beliau tengah merapikan tanaman kesayangannya yang ada di dalam pot yang berjejer di teras saat kami baru tiba. Mama menghentikan aktivitasnya dan bergegas memelukku seperti biasa.

“Kok tumbenan, Panjul, kamu nggak kerja?” tanya Mama karena melihat Mas Panjul berkeliaran di hari kerja.

“Masuk dulu, yuk, Ma, ada yang pengen kami sampaikan,” ucapku pada Mama. Kami pun masuk dan duduk di ruang tengah. 

“Ada apa?” tanya Mama terlihat penasaran. 

Aku dan Mas Panjul saling menatap, bingung harus bagaimana cara menyampaikan kabar gembira ini.

“Kalian lagi nggak berantem dan berencana pengen pisah, kan?” ucap Mama asal menebak.

“Bukan!” seruku dan Mas Panjul berbarengan.

“Ya udah. Lantas kenapa?”

“Inah hamil, Ma. Mama sebentar lagi bakal punya cucu,” ucapku lantang.

Wajah Mama yang semula bingung dan terlihat tidak bersemangat mendadak semringah. Senyumnya mengembang di wajahnya yang mulai termakan usia.

“Kamu nggak bercanda, kan?”

“Inah serius, Ma. Ini kami baru pulang dari dokter. Alhamdulillah calon cucu Mama sehat.”

“Alhamdulillah!” Mama berdiri dan mendekati aku dan memelukku erat. 

“Mama bahagia?” tanya Mas Panjul yang duduk di sebelahku.

“Ya jelas Mama bahagia. Akhirnya kamu udah buktikan pada semua orang. Kamu lelaki jantan dan bisa bikin hamil anak orang,” ucap Mama sambil melepas pelukan.

Mas Panjul tertawa mendengar ucapan Mama. Memang ada benarnya perkataan beliau. Selama ini sebelum menikah denganku, Mama sering bilang jika Mas Panjul tidak memiliki masa depan cerah karena ia adalah mantan waria, terlebih juga karena Mas Panjul tidak menyukai wanita. Ia lebih menyukai sesama jenis. Tapi entah mengapa, sejak Mama menikahkan aku dengan Mas Panjul, pikirannya yang negatif berubah dan selalu meyakinkan padaku bahwa Mas Panjul akan bisa sembuh dan punya anak.

“Kamu mau makan apa. Biar Mama masakin?” tawar Mama. Seperti biasa, wanita paruh baya itu memanjakan diri ini. Aku menantu di sini, tapi di hati Mama, aku adalah putrinya.

“Nggak usah, Ma. Inah nggak pengen apa-apa.”

“Ya sudah. Kalo kamu mau apa-apa, bilang Mama. Jangan sungkan.”

“Iya, Ma.”

“Mama mau ke kamar. Ambil ponsel dulu, mama mau kasih tau di grup-grup arisan kalo Mama sebentar lagi bakal jadi nenek!”

Wanita separuh abad itu berlalu dan masuk ke dalam kamar. Aku bahagia melihat wajah Mama yang ceria, pun senang akhirnya bisa membuat suamiku sadar dan kembali ke jalan yang benar.

Mas Panjul meraih bahuku lalu menyandarkan di bahunya. “Makasih, Sayang. Sudah membuat Mama bahagia seperti sekarang ini.”

“Ini berkat doa Mama juga, Mas. Kamu akhirnya bisa berubah dan melepas masa lalumu yang kelam itu.”

Tak ada jawaban, yang terdengar hanya helaan nafas panjang.

“Mas, aku ngantuk. Mau tidur.” Mas Panjul membimbingku ke dalam kamarnya, kami menghabiskan waktu di sana.

Entah apa yang dilakukan Mas Panjul saat aku tidur, yang jelas saat aku bangun lelaki itu tidak ada di sebelahku.

Aku keluar kamar dan mendapati dirinya tengah mengupas mangga muda bersama Mama di meja makan.

“Nggak ngilu, Mas?” tanyaku lalu mengambil posisi duduk di sebelah kirinya.

“Mama juga aneh, Inah. Suami kamu kok tadi minta dicariin mangga muda, Mama kira buat kamu. Kok malah dia makan sendiri.”

Mas Panjul masih asyik menyantap rujak di piring tanpa memedulikan aku dan Mama yang menatapnya dengan menelan ludah.

“Kayaknya ini Panjul yang ngidam. Persis kayak almarhum papanya dulu. Mama yang hamil, beliau yang ngidam.”

“Masa, sih, Ma.”

Mama mengangguk dengan tangannya terus mengupas mangga muda. Memotongnya, lalu meletakkannya di piring yang terpisah dengan sambal.

“Tapi nggak apa-apa, Inah. Bagus itu. Itu tandanya suami sayang sama istri.”

Aku hanya mendengarkan Mama yang kembali menceritakan soal Papa mertua yang belum pernah aku lihat. Pasalnya beliau sudah lama meninggal.

Asyik bercengkerama di rumah Mama. Aku bahkan tidak diperbolehkan mengerjakan sesuatu di sana. Mama memperlakukan aku bak putri raja. 

Memiliki mertua baik adalah dambaan semua wanita dan aku adalah manusia paling beruntung yang memilikinya.

Menjelang sore, kami pamit pulang. Mama berusaha membujuk agar kami menginap satu malam di sini, tapi bagaimana pun, Mas Panjul harus kerja besok. Akhirnya dengan satu rayuan mama melepaskan kami pulang.

“Besok Mama aja ke rumah. Mas Panjul kan kerja. Inah juga sendiri di rumah.”

“Baiklah. Kalian hati-hati di jalan.”

**

Jalanan sore lumayan macet, membuat jarak tempuh terasa lebih lama. Tapi akhirnya kami sampai di rumah sebelum magrib.

Aku langsung mandi dan berganti baju tidur dengan model celana panjang dan atasan berlengan. Bukan baju tidur you can see yang biasa aku pakai, aku takut malah menggoda iman suamiku. Teringat pesan dokter supaya tidak terlalu sering melakukan hubungan badan selama trimester pertama, takut mengganggu janin.

“Mas, makan malam aku nggak mau masak, ya. Go food aja, ya,” ucapku saat melihat lelaki berkacamata itu selesai mandi. Ia hanya mengenakan handuk di pinggang dengan rambut yang basah.

Uuuhh ... seksi!

“Nanti Mas pesenin. Mau makan apa?” tanyanya sambil membuka lemari mengambil kaus dan sarung.

“Pizza aja, Mas. Aku udah lama nggak makan itu.” Aku duduk di sisi ranjang sambil memeluk bantal.

“Baiklah, Nyonya,” ucapnya dengan nada meledek. Aku tertawa. Bahagia juga terharu. Aku bersyukur karena doa yang aku panjatkan selama ini terkabul. Rumah tanggaku baik-baik saja, suamiku kembali ke jalan yang benar dan kini aku hamil.

Allah maha besar!

Azan magrib berkumandang, aku tidak menyia-nyiakan waktu saat suamiku mengajak untuk solat berjamaah. Bergegas aku mengambil wudu lalu mengenakan mukena dan berdiri di belakangnya sebagai makmum.

Selesai solat, Mas Panjul tidak langsung melipat sajadah. Ia malah mengambil Al-Qur’an untuk selanjutnya tadarus. Aku mendengarkan dengan saksama. Meski suaranya tidak semerdu para Qari di televisi, tapi suaranya mampu membuatku menangis sesenggukan.

Ahh ... suamiku. Hidayah dari Allah membuatmu menjadi lelaki sejati.

Tadarus usai saat terdengar suara azan isya. Kami pun lanjut solat karena belum batal wudu.

“Mas sama es krim juga, ya.” Aku berucap saat melepas mukena dan menggantungnya di belakang pintu.

“Oke.”

Kami lantas keluar kamar, duduk di sofa sambil menonton televisi dan menunggu pesanan datang.

Aku duduk sambil menyandarkan kepala di bahu suamiku. Tangan Mas Panjul mengusap perutku yang masih rata.

“Nanti kalo perut aku udah gede dan nggak langsing lagi. Apa Mas Panjul masih sayang sama aku?” tanyaku tiba-tiba. Pertanyaan itu terbesit saat tayangan televisi beradegan seorang lelaki yang berselingkuh saat istrinya hamil tua.

Mas Panjul beringsut dan menatapku. “Kok nanyanya gitu?”

“Tuh kayak di film-film. Istrinya hamil tua malah ditinggal selingkuh sama wanita yang lebih cantik dan seksi.”

“Aku dari pada selingkuh, mending jadi waria lagi deh!” serunya kesal.

Lah ....

“Kok ....”

Ucapanku urung diteruskan saat bel pintu berbunyi. Mas Panjul bergegas membuka pintu dan menerima pesanan. Makan malam datang.

Untuk sejenak kami makan dalam diam dan lebih fokus pada tayangan di televisi karena lelaki itu sudah mengganti channel yang tadi ditonton.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria yang Dicintai Suamiku    The End

    Riyanto menatapku yang sedang melihat ke arahnya. Bibirku mengatup, kehabisan kata-kata. “M-mas Panjul ... dia kenapa?”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya aku tidak sanggup menatap mata Riyanto berlama-lama. “Dia kena sifilis ... hampir setengah tahun ini dia bolak-balik ke rumah sakit ini untuk memeriksakan sakitnya, apakah dia bisa sembuh atau tidak. Juga dia terkena ambeien parah. Anusnya robek dan terkena infeksi sampai mengeluarkan darah dan nanah, dan ....”Aku menatap Riyanto tajam. “Cukup, To ... aku nggak sanggup dengar penjelasan itu lagi ....”“Panjul sakit, Inah ....”“Apa Mama tahu soal sakitnya?”“Iya ... Panjul sering datang ke sini bersama Mama.”Aku bersyukur, mertuaku masih peduli pada anaknya yang meskipun Mas Panjul sudah mengecewakan Mama. Dan aku selalu berharap, Mas Panjul bertobat.“Lalu ... aku harus apa? Dia sakit karena ulahnya sendiri. Dan bukan kewajibanku merawatnya, Panjul bukan lagi suamiku.”“Aku hanya memberitahumu, Inah. Aku harap, kamu

  • Pria yang Dicintai Suamiku    kabar mantan suamiku

    Aku menggendong Ameena, kupeluk erat bayiku yang tertidur. Sementara bibi membawa tas berisi perlengkapan Ameena. Rasa khawatirku semakin tinggi saat taksi yang kami tumpangi bertemu jalanan yang cukup padat oleh kendaraan.“Kok berhenti, Pak?” tanyaku untuk memastikan kenapa tiba-tiba taksi yang kami tumpangi malah tidak bergerak.“Di depan macet, Bu. Kayaknya ada kecelakaan!” seru laki-laki yang mengenakan seragam taksi berwarna biru muda.“Apa nggak bisa cari jalan alternatif, Pak. Ini saya harus buru-buru ke rumah sakit. Anak saya demam.”“Duh, susah, Bu. Maaf. Ini jalur padat setiap hari, Bu. Jadi agak sulit menemukan jalan yang agak longgar.”Bagaimana ini? Demam Ameena belum juga turun, mau turun dari taksi, rasanya juga percuma. Di daerah sini tidak terlihat adanya klinik atau gedung kesehatan. Akhirnya, aku pasrah dan tetap berdiam diri di dalam taksi. Sambil berdoa, semoga saja jalanan lekas kembali lancar.Sepuluh menit kemudian jalanan kembali lancar dan taksi pun kembali

  • Pria yang Dicintai Suamiku    satu tahun kemudian

    Satu tahun berlalu dan hidupku baik-baik saja meski tanpa memiliki seorang suami. Mama mencurahkan kasih sayangnya padaku dan juga Ameena. Aku tidak merasa kekurangan di sini, aku seperti memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan aku tidak menginginkan apa-apa lagi.Ameena tumbuh dengan sangat baik, Mama bahkan membuatkan sebuah tabungan untuk masa depannya. Mama berkata, usia seseorang tidak ada yang tahu, jadi beliau memutuskan membuatkan tabungan untuk masa depan cucunya itu sebelum Mama meninggal, kalimatnya membuatku sedih. Bahkan Soni dan Sonia ikut menyumbang juga, mereka pun berharap agar keponakannya itu bisa hidup dengan layak dan sekolah sampai sarjana dan mampu menggapai cita-citanya.Ya Allah ... terima kasih Engkau berikan aku keluarga yang baik seperti mereka.Aku berdiri memandangi kamar di mana pertama kali aku tidur di rumah ini. Kamar pengantin bersama laki-laki yang kini entah di mana rimbanya. Sejak resmi bercerai, Mas Panjul tidak pernah lagi terlihat batang hidu

  • Pria yang Dicintai Suamiku    mertua terbaik

    Satu hal yang aku kagumi dari sosok Riyanto. Dia masih peduli pada adik dan orang tuanya di kampung. Pernah aku bertanya padanya, tentang orang tuanya. Dan dia berkata bahwa mereka tidak keberatan dengan sosoknya yang menjadi waria. Orang tua Riyanto menganggap pekerjaan itu tetap halal karena tidak merugikan orang lain. Setelah Riyanto pulang, aku pun pulang karena sopir Mama sudah berada di parkiran lagi.Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan sekarang. Soal mencari pekerjaan, aku sendiri bingung karena sejak menikah aku selalu dimanjakan oleh Mas Panjul. Pun dengan Mama, beliau selalu memenuhi kebutuhanku sampai aku terus merasa bergantung pada mereka. Dan saat ini, aku bingung mencari solusi. Bagaimana aku mau mencari pekerjaan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak karena sakit kepala yang mendera secara tiba-tiba. Jalanan yang sedikit macet membuat jarak tempuh menuju rumah

  • Pria yang Dicintai Suamiku    resmi bercerai

    Aku memandangi kertas berwarna putih dengan aksen kuning yang tergeletak di atas meja, kertas itu bertuliskan AKTA CERAI. Yah, aku dan Mas Panjul sudah resmi berpisah, Mama yang mengurus semua itu. Meskipun Mas Panjul dengan wajah memelas dan memohon agar aku mengurungkan niat untuk mengajukan gugatan, aku akan tetap pada pendirian karena laki-laki itu pun tetap berat melepaskan Jeni. Jadi sudah aku putuskan untuk tetap melangkah maju untuk bercerai. Tapi, aku tetap dipaksa tinggal di rumah Mama, karena dirinya tidak mau berpisah dengan cucu kesayangannya. Ada satu syarat yang aku berikan pada Mama jika aku mau tetap berada di sini. Yaitu, aku tidak ingin melihat mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku. Dan Mama mengabulkan permintaanku, Mama mengusir Mas Panjul dan dirinya dilarang menginjakkan kakinya di rumah ini. Aku sudah tidak ingin memikirkan rumah yang dulu pernah ditempati olehku dan Mas Panjul. Meskipun rumah itu dibeli oleh Mama atas namaku, karena itu pemberian hadia

  • Pria yang Dicintai Suamiku    maaf untukmu sudah mati

    Satu minggu berlalu, Riyanto belum juga memberikan kabar. Pun dengan Bu Angelita dan Pak Dewa, semuanya tidak ada satu pun yang mengabarkan padaku tentang Mas Panjul atau Jeni.Di saat aku yang semakin gelisah, ponselku berdering. Panggilan dari Riyanto.“Iya, To ... gimana?” tanyaku tidak sabaran.“Sukses, Ciinnnn ... eyke sudah sama mereka. Sama Bu Angelita dan Pak Dewa.”“Hah! Kamu sama mereka? Kok bisa?”“Kan yey yang ngasih nomor eyke ke Bu Angelita. Gimana sih, Inah. Yey lupita?” Suara Riyanto terdengar kesal.Aduh, bagaimana aku bisa lupa. “Terus gimana?” “Kamu ke sini aja, ke rumah kamu yang lama.”“Oke ....”Aku menutup panggilan dan minta izin pada Mama, sekaligus minta tolong agar menjaga Ameena sementara dirinya pergi. Setelah diizinkan, aku pun berangkat, tentunya diantar oleh sopir pribadi Mama.Isi kepalaku dipenuhi banyak tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mas Panjul begitu berat melepaskan Jeni. Apakah hatinya sudah gelap sehingga tidak bisa menemukan jalan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status