Share

bab. 8

Author: Ana Battosai
last update Last Updated: 2024-10-09 22:07:20

Tok ... tok ... tok ....

Ck, siapa sih yang bertamu malam-malam begini. Pake ngetuk pintu segala lagi. Padahal, di sana ada bel yang masih normal yang bisa digunakan. Ganggu acara makan malam romantisku sama Mas Panjul.

Mas Panjul bangun dan berjalan ke arah pintu, lantas membukanya. Aku menoleh karena penasaran siapa tamu yang datang malam begini. Pizza di tangan mendadak terjatuh dari genggaman saat mata ini menatap tamu tak diundang itu.

Jeni!

Aku bangkit dan buru-buru menyusul Mas Panjul.

“Ngapain kamu ke sini? Mau ikut makan pizza? Eh, bentar, pizza nya belum aku campur racun. Nanti kamu tunggu dulu di luar, aku kasih racun dulu buat kamu!” seruku kesal. Bisa-bisanya dia datang ke sini sendirian.

Wajah Jeni yang cantik terlihat takut mendengar ucapanku barusan, wajahnya menunduk karena takut aku memelototi dirinya. Heran aku tuh, Jeni itu kan laki-laki, masa iya takut sama perempuan kayak aku sih. Lagian, meskipun wajah Jeni cantik, tapi otot lengannya yang terlihat kekar, bisa terlihat jika dirinya memiliki kekuatan laki-laki kekar yang terpendam.

“Inah, kok kamu gitu, sih, sama Jeni. Dia ke sini kan kita belum tahu tujuannya apa,” ucap Mas Panjul berusaha membuatku sabar. Lagi-lagi, Mas Panjul terus saja membela Jeni, ia bahkan tidak peduli padaku. Lupa jika aku sedang hamil anaknya, dan malah membela orang lain.

Akan tetapi aku sekarang sudah kehabisan rasa sabar, apalagi jika kedatangannya kali ini untuk memaksa Mas Panjul menikah. Huh, tidak akan aku biarkan!

“Ya, apa lagi emang tujuan pacar Mas Panjul ke sini. Pasti mau maksa Mas buat nikahin dia kan!” seruku ketus. Aku menarik tangan Mas Panjul agar berdiri di belakangku. Kini, aku berdiri berhadapan dengan Jeni.

“Ngapain kamu malam-malam ke sini, Jeni? Emang kamu nggak ada keluarga atau teman yang bisa kamu mintain tolong, kenapa harus suami orang, hah!” seruku lagi tepat di depan wajahnya.

“Maaf, Mbak Inah. Aku ada perlu sama Mas Panjul, sebentaaarr saja!” ucapnya dengan nada kemayu khas bencong, membuatku bergidik ngeri. Gaya khas bicara laki-laki bengkok benar-benar tercetak di lidahnya.

“Aduh, udah deh. Gaya bicara kamu nggak usah kemayu, gitu. Jijik aku dengernya!” Aku mengusap perut, sambil berucap amit-amit jabang bayi. Jangan sampai anak aku belok juga.

“Aku mau pinjem Mas Panjul. Sebentar aja, kok, Mbak Inah.”

“Enak aja, pinjem-pinjem. Kamu pikir suami aku ini barang, yang bisa seenaknya kamu pinjem.”

“Udah, Sayang. Jeni kayaknya lagi urgent banget. Aku keluar bentar ya, sama Jeni. Kamu terusin makan dulu, nanti Mas nyusul, ya, Sayang!” seru Mas Panjul yang kini berdiri di depanku. 

Mas Panjul mendorongku pelan agar masuk ke rumah dan pintu pun ditutup. Jeni dan Mas Panjul benar-benar pergi tanpa memberikan penjelasannya padaku.

Awas saja kalian, aku tidak akan tinggal diam. Terlebih Mas Panjul yang aku kira sudah berubah dan melupakan Jeni, ternyata diam-diam Mas Panjul masih saja mencarinya.

Karena kesal yang sudah berada di puncak ubun-ubun. Pizza yang masih tersisa banyak tidak aku sentuh lagi. Nafsu makanku hilang musnah sudah. Es krim pesananku pun mencair, seiring mencairnya cintaku untuk Mas Panjul. Semua makanan itu aku biarkan berserakan di meja, aku lantas masuk kamar tamu dan menguncinya. Tidak peduli jika nantinya Mas Panjul akan khawatir padaku. Biar saja, kalau pun nantinya Mas Panjul khawatir, aku tidak peduli. Aku akan membawa anak ini bersamaku dan aku akan membiarkan Mas Panjul menikah dengan Jeni. 

**

Azan subuh berkumandang, aku terbangun dan langsung mandi. Rasa masih yang aku tahan semalaman membuat badanku gerah. Setelah mandi, aku keluar kamar. Mataku melirik pasar meja yang semalam masih berserakan makanan, kini sudah bersih dan rapi. Entah ke mana Mas Panjul, mungkin saja setelah mengobrol dengan Jeni semalam, ia merapikan itu semua dan tidur di kamar kami. 

Sudah, lah. Aku tidak peduli.

Aku berjalan ke dapur karena perutku keroncongan. Tanganku mengambil satu bungkus mi instan kuah dan satu butir telur dan memasaknya. Aku tidak ingin mencari tahu keberadaan Mas Panjul, aku sudah lelah dan muak menghadirkan sikapnya yang ingin dipahami, tapi tidak mau memahamiku. Aku juga tidak ingin masak sarapan pagi untuknya, biarlah dia mencari sarapan di rumah pacarnya itu. Hatiku sudah terlanjur sakit dan perih.

Aku duduk di meja makan, dengan posisi membelakangi kamar. Aroma mi instan membuatku melupakan masalah yang menggantung di pikiran. Dari arah belakang, aku bisa mendengar suara pintu kamar terbuka, Mas Panjul keluar dari sana. Langkahnya pun terdengar mendekat ke arahku.

“Kok makan mi sendirian, Sayang. Buat Mas mana?” tanya Mas Panjul sambil mengusap kepalaku dan mencium rambutku.

“Mas bisa minta dibuatkan sama Jeni. Jangan sama aku!” seruku tanpa menoleh ke arahnya.

Mas Panjul mengenakan baju koko dan sarung, sepertinya dia habis menunaikan salat subuh.

Tangan Mas Panjul menarik kursi di sebelahku,  merebut mangkuk yang masih berisi setengah mi instan. Dia menyantapnya tanpa rasa bersalah sampai habis tak tersisa.

“Mas!” Aku memprotes. Laki-laki itu hanya tersenyum padaku. Kenapa sih laki-laki tuh senang sekali membuat pasangannya marah!

“Mas buatin lagi ya. Lagian, kayaknya mi buatan kamu tuh enak. Mas pengen!” seru Mas Panjul sambil mengusap ujung bibirnya yang terkena kuah mi.

Aku memalingkan muka. “Nggak usah. Aku udah nggak pengen makan mi.” Aku berdiri hendak kembali ke kamar, rasa malas dan benci masih menyelimuti hati, enggan berlama-lama melihat wajah Mas Panjul yang selalu bilang cinta, tapi hatinya malah mendua.

“Mas mau ngomong, Inah!” sergahnya sambil menahan pergelangan tanganku.

“Aku nggak mau ngomong! Mas pergi aja cari Jeni. Nggak usah mikirin aku sama anak yang ada di dalam perut aku. Kalo Mas emang berat buat milih antara aku atau Jeni. Aku ikhlas kalo Mas pilih dia. Biar anak ini aku yang akan urus.” Aku menepis tangan Mas Panjul yang menggenggam pergelangan tanganku, tapi sulit karena genggaman itu cukup kuat.

“Mas mau ngomong bentar, ini soal kedatangan Jeni semalam.”

Aku membalikkan badan, lalu kembali duduk. Tanganku yang digenggam Mas Panjul pun dilepas.

“Ngomong apa?” Sejujurnya, aku juga penasaran, ada masalah apa sih sebenarnya. Mas Panjul terlihat sudah normal dan bukan lagi terlihat seperti laki-laki kemayu, dia sudah sehat dan jantan sepenuhnya. Lantas, kenapa dia berhubungan dengan Jeni?

“Sebenarnya, Jeni lagi ada masalah.”

“Terus?”

“Dia minta bantuan Mas, buat cari jalan keluarnya ....” seru Mas Panjul.

“Dengan jalan Mas nikahin Jeni?” ucapku memotong ucapannya.

“Jeni buntu, Inah. Dia nggak tahu harus gimana. Ini kehendak orang tua Jeni yang mau menikahkan Jeni dengan laki-laki kenalan ibunya?”

“Hah?” Aku terkejut. Kok ada seorang ibu yang tega membuat anak laki-lakinya menikah dengan laki-laki juga. Kok bisa ada seorang ibu yang bersedia anaknya terjerumus di dunia pelangi?

“Kalau pun Mas dan Jeni menikah, toh, kita nggak akan bisa punya anak. Jadi, kan nggak apa-apa kalo Mas nikahin Jeni. Demi keselamatannya.”

“Mas menyelamatkan Jeni, tapi membunuh aku, Mas! Membunuh kebahagiaan aku!”

“Mas nggak ada niat ke arah situ, Inah. Mas ....”

“Kalo Mas emang mau menyelamatkan Jeni. Mas bisa cari cara lain. Nggak harus Mas yang nikahin dia. Masih banyak di luaran sana perempuan baik-baik yang bisa jadi pasangan Jeni. Mas, Jeni itu laki-laki, sudah seharusnya dia menikah dengan lawan jenis, bukan sesama jenis. Kalau memang Mas menyayangi Jeni dan mau menyelamatkan dia, masih banyak cara yang dilakukan.”

“Caranya?” tanya Mas Panjul.

“Biar aku yang bertindak, Mas diem aja!” seruku.

Aku tidak akan tinggal diam. Masalahnya di sini bukan ada pada hubungan Jeni dan Mas Panjul. Melainkan parasit yang tumbuh di dalam keluarga Jeni. Ibunya Jeni, yang harus aku tumbangkan lebih dulu! Enak saja, laki-laki berwajah cantik itu merusak kebahagiaan dan kesempurnaan rumah tanggaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria yang Dicintai Suamiku    The End

    Riyanto menatapku yang sedang melihat ke arahnya. Bibirku mengatup, kehabisan kata-kata. “M-mas Panjul ... dia kenapa?”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya aku tidak sanggup menatap mata Riyanto berlama-lama. “Dia kena sifilis ... hampir setengah tahun ini dia bolak-balik ke rumah sakit ini untuk memeriksakan sakitnya, apakah dia bisa sembuh atau tidak. Juga dia terkena ambeien parah. Anusnya robek dan terkena infeksi sampai mengeluarkan darah dan nanah, dan ....”Aku menatap Riyanto tajam. “Cukup, To ... aku nggak sanggup dengar penjelasan itu lagi ....”“Panjul sakit, Inah ....”“Apa Mama tahu soal sakitnya?”“Iya ... Panjul sering datang ke sini bersama Mama.”Aku bersyukur, mertuaku masih peduli pada anaknya yang meskipun Mas Panjul sudah mengecewakan Mama. Dan aku selalu berharap, Mas Panjul bertobat.“Lalu ... aku harus apa? Dia sakit karena ulahnya sendiri. Dan bukan kewajibanku merawatnya, Panjul bukan lagi suamiku.”“Aku hanya memberitahumu, Inah. Aku harap, kamu

  • Pria yang Dicintai Suamiku    kabar mantan suamiku

    Aku menggendong Ameena, kupeluk erat bayiku yang tertidur. Sementara bibi membawa tas berisi perlengkapan Ameena. Rasa khawatirku semakin tinggi saat taksi yang kami tumpangi bertemu jalanan yang cukup padat oleh kendaraan.“Kok berhenti, Pak?” tanyaku untuk memastikan kenapa tiba-tiba taksi yang kami tumpangi malah tidak bergerak.“Di depan macet, Bu. Kayaknya ada kecelakaan!” seru laki-laki yang mengenakan seragam taksi berwarna biru muda.“Apa nggak bisa cari jalan alternatif, Pak. Ini saya harus buru-buru ke rumah sakit. Anak saya demam.”“Duh, susah, Bu. Maaf. Ini jalur padat setiap hari, Bu. Jadi agak sulit menemukan jalan yang agak longgar.”Bagaimana ini? Demam Ameena belum juga turun, mau turun dari taksi, rasanya juga percuma. Di daerah sini tidak terlihat adanya klinik atau gedung kesehatan. Akhirnya, aku pasrah dan tetap berdiam diri di dalam taksi. Sambil berdoa, semoga saja jalanan lekas kembali lancar.Sepuluh menit kemudian jalanan kembali lancar dan taksi pun kembali

  • Pria yang Dicintai Suamiku    satu tahun kemudian

    Satu tahun berlalu dan hidupku baik-baik saja meski tanpa memiliki seorang suami. Mama mencurahkan kasih sayangnya padaku dan juga Ameena. Aku tidak merasa kekurangan di sini, aku seperti memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan aku tidak menginginkan apa-apa lagi.Ameena tumbuh dengan sangat baik, Mama bahkan membuatkan sebuah tabungan untuk masa depannya. Mama berkata, usia seseorang tidak ada yang tahu, jadi beliau memutuskan membuatkan tabungan untuk masa depan cucunya itu sebelum Mama meninggal, kalimatnya membuatku sedih. Bahkan Soni dan Sonia ikut menyumbang juga, mereka pun berharap agar keponakannya itu bisa hidup dengan layak dan sekolah sampai sarjana dan mampu menggapai cita-citanya.Ya Allah ... terima kasih Engkau berikan aku keluarga yang baik seperti mereka.Aku berdiri memandangi kamar di mana pertama kali aku tidur di rumah ini. Kamar pengantin bersama laki-laki yang kini entah di mana rimbanya. Sejak resmi bercerai, Mas Panjul tidak pernah lagi terlihat batang hidu

  • Pria yang Dicintai Suamiku    mertua terbaik

    Satu hal yang aku kagumi dari sosok Riyanto. Dia masih peduli pada adik dan orang tuanya di kampung. Pernah aku bertanya padanya, tentang orang tuanya. Dan dia berkata bahwa mereka tidak keberatan dengan sosoknya yang menjadi waria. Orang tua Riyanto menganggap pekerjaan itu tetap halal karena tidak merugikan orang lain. Setelah Riyanto pulang, aku pun pulang karena sopir Mama sudah berada di parkiran lagi.Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan sekarang. Soal mencari pekerjaan, aku sendiri bingung karena sejak menikah aku selalu dimanjakan oleh Mas Panjul. Pun dengan Mama, beliau selalu memenuhi kebutuhanku sampai aku terus merasa bergantung pada mereka. Dan saat ini, aku bingung mencari solusi. Bagaimana aku mau mencari pekerjaan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak karena sakit kepala yang mendera secara tiba-tiba. Jalanan yang sedikit macet membuat jarak tempuh menuju rumah

  • Pria yang Dicintai Suamiku    resmi bercerai

    Aku memandangi kertas berwarna putih dengan aksen kuning yang tergeletak di atas meja, kertas itu bertuliskan AKTA CERAI. Yah, aku dan Mas Panjul sudah resmi berpisah, Mama yang mengurus semua itu. Meskipun Mas Panjul dengan wajah memelas dan memohon agar aku mengurungkan niat untuk mengajukan gugatan, aku akan tetap pada pendirian karena laki-laki itu pun tetap berat melepaskan Jeni. Jadi sudah aku putuskan untuk tetap melangkah maju untuk bercerai. Tapi, aku tetap dipaksa tinggal di rumah Mama, karena dirinya tidak mau berpisah dengan cucu kesayangannya. Ada satu syarat yang aku berikan pada Mama jika aku mau tetap berada di sini. Yaitu, aku tidak ingin melihat mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku. Dan Mama mengabulkan permintaanku, Mama mengusir Mas Panjul dan dirinya dilarang menginjakkan kakinya di rumah ini. Aku sudah tidak ingin memikirkan rumah yang dulu pernah ditempati olehku dan Mas Panjul. Meskipun rumah itu dibeli oleh Mama atas namaku, karena itu pemberian hadia

  • Pria yang Dicintai Suamiku    maaf untukmu sudah mati

    Satu minggu berlalu, Riyanto belum juga memberikan kabar. Pun dengan Bu Angelita dan Pak Dewa, semuanya tidak ada satu pun yang mengabarkan padaku tentang Mas Panjul atau Jeni.Di saat aku yang semakin gelisah, ponselku berdering. Panggilan dari Riyanto.“Iya, To ... gimana?” tanyaku tidak sabaran.“Sukses, Ciinnnn ... eyke sudah sama mereka. Sama Bu Angelita dan Pak Dewa.”“Hah! Kamu sama mereka? Kok bisa?”“Kan yey yang ngasih nomor eyke ke Bu Angelita. Gimana sih, Inah. Yey lupita?” Suara Riyanto terdengar kesal.Aduh, bagaimana aku bisa lupa. “Terus gimana?” “Kamu ke sini aja, ke rumah kamu yang lama.”“Oke ....”Aku menutup panggilan dan minta izin pada Mama, sekaligus minta tolong agar menjaga Ameena sementara dirinya pergi. Setelah diizinkan, aku pun berangkat, tentunya diantar oleh sopir pribadi Mama.Isi kepalaku dipenuhi banyak tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mas Panjul begitu berat melepaskan Jeni. Apakah hatinya sudah gelap sehingga tidak bisa menemukan jalan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status