Aku menatap langit-langit kamar, badanku rasanya lelah karena Mas Panjul benar-benar membuatku kewalahan. Aku tak menyangka jika dirinya bisa seganas itu. Mas Panjul masih tidur di sebelahku, terdengar dari suara dengkurannya yang keras. Mataku melirik jam dinding, pukul sebelas siang dan perutku lapar.
Aku menyibak sedikit selimut yang menutupi badan lalu meraih pakaian yang tergeletak di lantai dan bergegas mengenakannya. Beranjak keluar kamar menuju dapur, memasak sesuatu yang bisa kami makan dan sepertinya Mas Panjul pun akan lapar jika sudah bangun. Rasa pusing yang tadi aku rasakan sedikit hilang dan kini aku berada di dapur, mengisi wadah rice cooker dengan beras lalu menyalakan tombol cook. Aku membuka lemari es dan mengambil beberapa sayuran dan bumbu, juga beberapa butir telur yang nanti akan aku dadar. Saat tubuhku berhadapan dengan kompor dan wajan, sebuah lengan memeluk erat, napasnya terasa hangat di telinga. “Kok udah bangun, sih, Sayang.” Mas Panjul mulai menciumi leher membuatku geli, nyaris saja tanganku menyentuh wajan yang panas. Aku lalu mematikan kompor dan memutar badan karena tangan Mas Panjul mulai meraba dada yang tanpa penghalang. “Aku lagi masak, loh, Mas. Jangan ganggu.” Aku terkejut melihat Mas Panjul yang hanya mengenakan celana boxer tanpa mengenakan pakaian, memamerkan roti sobek di perutnya yang jelas-jelas membuat degup jantungku berdebar kencang. Aku sendiri heran, kami sudah lama menikah, tapi aku selalu dibuat takjub bahkan salah tingkah jika di hadapkan situasi seperti ini. Terlebih tadi kami baru saja melakukan itu. Aih ... aku merasakan wajahku panas. “Aku mau makan kamu lagi aja!” serunya lalu dengan ringan membopong tubuhku dan pergi dari dapur. Tanganku erat melingkar di lehernya, sementara kedua kakiku berada di pinggangnya. Dua tangan Mas Panjul menahan punggungku agar tidak jatuh saat berjalan ke kamar. Pintu tertutup dan dikunci. Kunci itu dilempar entah ke mana, sepertinya jatuh di bawah lemari pakaian. “Mas!” Aku mendelik kesal ke wajahnya. “Biar kamu nggak kabur!” Mas Panjul tersenyum menyeringai dan membuat jantungku seolah-olah mau copot. Menakutkan. “Hari ini kamu aku larang ke mana-mana. Diam di sini dan layani aku!” Mata tajamnya mengerling nakal. Aku direbahkan di kasur dengan posisi terkurung oleh lengannya yang kekar, wajah Mas Panjul semakin mendekat seiring napasnya yang mulai memanas. Sesekali ia menyebut namaku dengan suaranya yang parau. Ah ... Mas. Kamu berhasil membuatku terbang! ** Sejak kejadian itu, Mas Panjul tak lagi membahas soal Jeni atau keinginannya menikahi waria itu. Aku cukup tenang dan hidupku damai seperti sebelumnya. Mama pun bahagia melihat kami yang kembali akur karena aku dan Mas Panjul sering mengunjunginya bersama. Hubungan aku dan Mas Panjul pun membaik, bahkan dalam urusan ranjang pun aku tak segan minta lebih dulu. Biar dapat pahala. Sampai suatu ketika aku merasakan sesuatu yang aneh dengan diriku. Mual, pusing juga malas keluar rumah. “Huek ... huekkk!” Aku bergegas menuju wastafel lalu muntah di sana. Entah apa yang aku muntahkan, tapi rasanya perut ini mual sekali. Mas Panjul yang tadi kulihat sedang mengenakan kemeja kini berada di belakangku, memijat tengkuk seraya mengusap punggung. “Kamu kenapa, Sayang?” “Nggak tau, Mas. Perut aku tiba-tiba mual. Huek!” Setelah menuntaskan muntah, Mas Panjul memapah tubuhku dan duduk di sisi ranjang. “Aku antar ke dokter, nggak jadi ke kantor,” ucapnya sambil mengambil pakaian ganti untukku. “Nggak apa-apa, Mas. Aku tidur bentar juga baikan, kok.” “Apanya yang nggak apa-apa. Kamu itu jarang sakit. Sekalinya sakit ya pasti begini.” Selama menjadi istrinya, aku memang terbilang jarang sakit, mengeluh sakit kepala pun jarang. Mengeluh apa yang dirasa tidak nyaman pun tidak pernah, ini adalah sakitku yang suamiku lihat. Pantas dia sebegitu khawatir. Aku tidak membantah dan menuruti permintaannya. Sementara Mas Panjul menunggu di ruang tamu, aku berganti pakaian yang ia siapkan. ** Aku berbaring di ranjang khusus pasien sementara suamiku duduk di kursi dekat meja dokter. Lalu tak lama muncul dua wanita berseragam serba putih, satunya memeriksa sedangkan satunya lagi mencatat pada papan jalan yang dipegangnya. Sesekali aku melirik Mas Panjul yang kebetulan sedang menatap ke arahku, bibir tipisnya tersenyum. Ada desir hangat di hati. Inikah rasanya diantar suami ke dokter. Kok manis, ya? Setelah melakukan berbagai hal yang diperintahkan oleh dokter, kami diminta menunggu hasil lab. Tidak lama, paling satu jam katanya. Mas Panjul mengajakku ke kantin rumah sakit. Agak berlebihan, memang jika hanya cek hal sepele seperti ini harus ke rumah sakit. Tapi mau bagaimana lagi, ini keinginan Mas Panjul, aku sebagai istri yang baik, ya menurut saja. Mas Panjul menuju loker saji, memesan beberapa makanan untuk kami, sementara aku menunggu di kursi paling belakang sambil mengirimkan pesan pada mama jika kami sekarang berada di rumah sakit. Wanita terbaik yang aku miliki setelah ibu adalah Mama. Beliau adalah mertua terbaik dan tidak ada duanya. Terlihat dari isi chat balasan dari beliau saat mengetahui aku berada di rumah sakit. Ia bersikeras ingin datang dan menemaniku, tapi segera aku larang karena kami pun akan mengunjunginya jika hasil lab sudah keluar. Mama menurut dengan tidak lagi membalas chat. Aku kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. Mataku berkeliling, menyapu kantin yang sedikit ramai. Ada beberapa yang duduk sendiri, mungkin mereka juga sedang menunggu kerabat yang sedang dirawat atau memiliki urusan yang sama denganku. Sementara Mas Panjul masih setia antre di depan sana. Lima belas menit kemudian, Mas Panjul kembali dengan membawa satu tray berisi makanan. Dua gelas teh hangat juga dua porsi siomay, kebetulan apa memang dia tahu apa yang sedang aku inginkan? Uuhh, so sweet banget suamiku. Untuk sesaat kami larut dalam diam dan menghabiskan makanan masing-masing, terlebih siomay milikku habis duluan dan minta jatah di piring Mas Panjul. Lelaki itu tentu saja memberikannya dengan senang hati, tanpa sadar, aku telah menghabiskan satu setengah piring siomay. Aku lapar atau emang doyan, sih. Di momen seperti ini, entah kenapa aku malah kepikiran dengan Jeni. Di mana manusia itu sekarang, sedangkan Mas Panjul mulai fokus pada diriku. Fokus mulai hidup dari nol, seperti saat pertama kali kami menikah. Ingin bertanya, tapi aku takut malah dapat jawaban yang tidak diharapkan. Tidak bertanya, malah penasaran. Halah, dasar, aku. Labil! Aku menimang-nimang pertanyaan yang sudah aku siapkan di kepala, sementara Mas Panjul, setelah makan ia malah asyik bermain game di hape. Tanya ... nggak ... tanya ... nggak .... Tanya, aja, deh! Aku menghembuskan nafas panjang, sebelum akhirnya sebuah pertanyaan lolos dari bibirku. “Mas ....” “Humm ...,” jawabnya tanpa menoleh. Raut mukanya masih serius pada game. “Jeni, ke mana. Kok Mas nggak pernah bahas dia lagi sekarang?” Lelaki berjakun yang kuyakini sudah normal itu menghentikan permainannya, meletakkan ponsel di meja dan menatap lurus padaku. “Jangan rusak momen baik kita dengan bahas orang lain, Sayang.” “Aku bertanya, bukan rusak momen.” Aku cemberut. Pertanyaan sepele itu malah dapat ceramah darinya. “Aku nggak mau jawab.” “Ah, elah. Jadi kamu nggak mau jawab demi melindungi Jeni? Lagi? Kamu lebih mentingin mikirin waria itu daripada aku? Tega kamu, Mas.” Mas Panjul mengusap wajahnya kasar. Ia terlihat frustrasi dengan omelan dariku. Yang aku tidak mengerti adalah kenapa ia terus menghindar jika aku bahas soal Jeni. “Sudah satu jam, nih. Kita ke ruang dokter dulu, yuk. Bahas Jeni di rumah aja. Aku jelasin.” Mas Panjul menarik tanganku lembut. Aku pun manut dan kami berjalan bergandengan masuk ruang dokter. Ada rasa tenang, meski lebih banyak rasa penasaran tentang Jeni. Sejauh mana Mas Panjul mengenal manusia itu, lalu seperti apa kehidupan mereka sebelumnya. Kami masuk ke ruang dokter, yang ternyata lelaki berseragam putih itu sudah menunggu di sana. Aku merasakan debaran jantung yang tidak normal. Debarannya begitu kencang, seperti saat malam-malam kami tanpa memakai pengaman. Eh. Aku dan Mas Panjul duduk berhadapan dengan dokter, lalu setelahnya lelaki itu menyerahkan sebuah amplop berwarna putih. Dengan perasaan campur aduk kek es campur dicampur dengan es dawet kami berdua kompak membuka kertas itu. Positif .... Aku hamil .... “Selamat, ya, Bu Inah. Usia kandungannya sudah lima minggu dan dalam keadaan sehat.” Dokter itu berucap saat amplop itu aku baca. “Mas ....” “Selamat, ya, Sayang ....” Kami berpelukan penuh haru dan air mata juga ingus. Tidak peduli pada tatapan dokter. Pokoknya dunia ini milik kami berdua!Riyanto menatapku yang sedang melihat ke arahnya. Bibirku mengatup, kehabisan kata-kata. “M-mas Panjul ... dia kenapa?”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya aku tidak sanggup menatap mata Riyanto berlama-lama. “Dia kena sifilis ... hampir setengah tahun ini dia bolak-balik ke rumah sakit ini untuk memeriksakan sakitnya, apakah dia bisa sembuh atau tidak. Juga dia terkena ambeien parah. Anusnya robek dan terkena infeksi sampai mengeluarkan darah dan nanah, dan ....”Aku menatap Riyanto tajam. “Cukup, To ... aku nggak sanggup dengar penjelasan itu lagi ....”“Panjul sakit, Inah ....”“Apa Mama tahu soal sakitnya?”“Iya ... Panjul sering datang ke sini bersama Mama.”Aku bersyukur, mertuaku masih peduli pada anaknya yang meskipun Mas Panjul sudah mengecewakan Mama. Dan aku selalu berharap, Mas Panjul bertobat.“Lalu ... aku harus apa? Dia sakit karena ulahnya sendiri. Dan bukan kewajibanku merawatnya, Panjul bukan lagi suamiku.”“Aku hanya memberitahumu, Inah. Aku harap, kamu
Aku menggendong Ameena, kupeluk erat bayiku yang tertidur. Sementara bibi membawa tas berisi perlengkapan Ameena. Rasa khawatirku semakin tinggi saat taksi yang kami tumpangi bertemu jalanan yang cukup padat oleh kendaraan.“Kok berhenti, Pak?” tanyaku untuk memastikan kenapa tiba-tiba taksi yang kami tumpangi malah tidak bergerak.“Di depan macet, Bu. Kayaknya ada kecelakaan!” seru laki-laki yang mengenakan seragam taksi berwarna biru muda.“Apa nggak bisa cari jalan alternatif, Pak. Ini saya harus buru-buru ke rumah sakit. Anak saya demam.”“Duh, susah, Bu. Maaf. Ini jalur padat setiap hari, Bu. Jadi agak sulit menemukan jalan yang agak longgar.”Bagaimana ini? Demam Ameena belum juga turun, mau turun dari taksi, rasanya juga percuma. Di daerah sini tidak terlihat adanya klinik atau gedung kesehatan. Akhirnya, aku pasrah dan tetap berdiam diri di dalam taksi. Sambil berdoa, semoga saja jalanan lekas kembali lancar.Sepuluh menit kemudian jalanan kembali lancar dan taksi pun kembali
Satu tahun berlalu dan hidupku baik-baik saja meski tanpa memiliki seorang suami. Mama mencurahkan kasih sayangnya padaku dan juga Ameena. Aku tidak merasa kekurangan di sini, aku seperti memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan aku tidak menginginkan apa-apa lagi.Ameena tumbuh dengan sangat baik, Mama bahkan membuatkan sebuah tabungan untuk masa depannya. Mama berkata, usia seseorang tidak ada yang tahu, jadi beliau memutuskan membuatkan tabungan untuk masa depan cucunya itu sebelum Mama meninggal, kalimatnya membuatku sedih. Bahkan Soni dan Sonia ikut menyumbang juga, mereka pun berharap agar keponakannya itu bisa hidup dengan layak dan sekolah sampai sarjana dan mampu menggapai cita-citanya.Ya Allah ... terima kasih Engkau berikan aku keluarga yang baik seperti mereka.Aku berdiri memandangi kamar di mana pertama kali aku tidur di rumah ini. Kamar pengantin bersama laki-laki yang kini entah di mana rimbanya. Sejak resmi bercerai, Mas Panjul tidak pernah lagi terlihat batang hidu
Satu hal yang aku kagumi dari sosok Riyanto. Dia masih peduli pada adik dan orang tuanya di kampung. Pernah aku bertanya padanya, tentang orang tuanya. Dan dia berkata bahwa mereka tidak keberatan dengan sosoknya yang menjadi waria. Orang tua Riyanto menganggap pekerjaan itu tetap halal karena tidak merugikan orang lain. Setelah Riyanto pulang, aku pun pulang karena sopir Mama sudah berada di parkiran lagi.Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan sekarang. Soal mencari pekerjaan, aku sendiri bingung karena sejak menikah aku selalu dimanjakan oleh Mas Panjul. Pun dengan Mama, beliau selalu memenuhi kebutuhanku sampai aku terus merasa bergantung pada mereka. Dan saat ini, aku bingung mencari solusi. Bagaimana aku mau mencari pekerjaan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak karena sakit kepala yang mendera secara tiba-tiba. Jalanan yang sedikit macet membuat jarak tempuh menuju rumah
Aku memandangi kertas berwarna putih dengan aksen kuning yang tergeletak di atas meja, kertas itu bertuliskan AKTA CERAI. Yah, aku dan Mas Panjul sudah resmi berpisah, Mama yang mengurus semua itu. Meskipun Mas Panjul dengan wajah memelas dan memohon agar aku mengurungkan niat untuk mengajukan gugatan, aku akan tetap pada pendirian karena laki-laki itu pun tetap berat melepaskan Jeni. Jadi sudah aku putuskan untuk tetap melangkah maju untuk bercerai. Tapi, aku tetap dipaksa tinggal di rumah Mama, karena dirinya tidak mau berpisah dengan cucu kesayangannya. Ada satu syarat yang aku berikan pada Mama jika aku mau tetap berada di sini. Yaitu, aku tidak ingin melihat mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku. Dan Mama mengabulkan permintaanku, Mama mengusir Mas Panjul dan dirinya dilarang menginjakkan kakinya di rumah ini. Aku sudah tidak ingin memikirkan rumah yang dulu pernah ditempati olehku dan Mas Panjul. Meskipun rumah itu dibeli oleh Mama atas namaku, karena itu pemberian hadia
Satu minggu berlalu, Riyanto belum juga memberikan kabar. Pun dengan Bu Angelita dan Pak Dewa, semuanya tidak ada satu pun yang mengabarkan padaku tentang Mas Panjul atau Jeni.Di saat aku yang semakin gelisah, ponselku berdering. Panggilan dari Riyanto.“Iya, To ... gimana?” tanyaku tidak sabaran.“Sukses, Ciinnnn ... eyke sudah sama mereka. Sama Bu Angelita dan Pak Dewa.”“Hah! Kamu sama mereka? Kok bisa?”“Kan yey yang ngasih nomor eyke ke Bu Angelita. Gimana sih, Inah. Yey lupita?” Suara Riyanto terdengar kesal.Aduh, bagaimana aku bisa lupa. “Terus gimana?” “Kamu ke sini aja, ke rumah kamu yang lama.”“Oke ....”Aku menutup panggilan dan minta izin pada Mama, sekaligus minta tolong agar menjaga Ameena sementara dirinya pergi. Setelah diizinkan, aku pun berangkat, tentunya diantar oleh sopir pribadi Mama.Isi kepalaku dipenuhi banyak tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mas Panjul begitu berat melepaskan Jeni. Apakah hatinya sudah gelap sehingga tidak bisa menemukan jalan