Aku sedang mengandung anaknya, tapi dia dengan lantang meminta izin untuk menikah lagi dengan sosok yang tak pernah kubayangkan? Sungguh keterlaluan! Apakah aku harus meninggalkan suamiku atau memberinya pelajaran terlebih dahulu?
View More“Izinkan aku menikah lagi, Sarinah!” seru Mas Panjul suamiku. Lelaki ganteng dengan brewok tebal memenuhi rahang kekarnya itu berkata tegas. Aku memijat kening karena mendengar keinginan gilanya itu.
“Mas, apa nggak bisa dipikir lagi. Aku nggak mau diceraikan!” seruku. Tangisku pecah membahana memenuhi ruang tengah rumah kami. Iya ... sejak kami menikah Mas Panjul sudah memboyongku hidup berdua, dia lelaki yang mandiri dan bertanggung jawab menurutku. Namun ucapannya kali ini membuatku sedih. “Loh, siapa bilang aku mau menceraikan kamu, Inah. Aku cuma mau izin nikah lagi,” ucap Mas Panjul enteng. Segitu entengnya dia tidak memikirkan perasaanku. Apa dia sudah lupa dengan ikrar janji yang dulu ia ucapkan di hadapan penghulu? Setia padaku sampai mati. “Maksud kamu apa?” “Aku hanya minta izin menikah lagi. Tapi aku nggak akan menceraikan kamu.” “Kamu egois, Mas. Egois!” “Inah, Sayang. Izinkan Mas nikah lagi, ya.” Lelaki itu berjalan mendekat ke arahku, tangan kekarnya mengusap air mataku. “Mas, apa kurangku, Mas,” tangisku pecah. Mas Panjul memelukku erat. Ia mengembuskan napas panjang lalu berucap. “Besok aku akan mempertemukan kalian berdua. Mas harap kamu bisa menjaga sikap. Bagaimana pun juga, dia calon madumu.” Aku melepaskan pelukan dengan kasar, kudorong dada Mas Panjul sampai tubuh lelaki itu terdorong ke belakang dan nyaris jatuh. “Keterlaluan kamu, Mas!” Aku kembali menangis, namun Mas Panjul sama sekali tidak peduli. “Pikirkan baik-baik, Inah. Ini demi kebaikan kita!” Usai mengucapkan itu, Mas Panjul masuk ke kamar. Aku terduduk di lantai. Hatiku sakit, bagaimana mungkin Mas Panjul bisa semena-mena begini padaku. Malam menjelang, biasanya jika Mas Panjul pulang kerja, aku bermanja-manja di bahunya sambil menikmati tayangan TV, namun kali ini tidak. Jangankan bermanja-manja padanya, melihat wajahnya pun muak. Aku benci Mas Panjul! Berulang kali Mas Panjul membujukku agar kembali tidur di kamar kami, namun aku menolaknya. Aku akan kembali tidur bersama, jika ia mengurungkan niat gilanya itu. Untuk malam ini, kami pisah kamar. Mas Panjul tidur di kamar utama, sedangkan aku tidur di kamar tamu. Biar saja dia tidur sendiri, aku tidak mau tidur dengan lelaki jika di hatinya masih ada orang lain. ** Kokok ayam terdengar dari luar, aku bangun dan langsung mandi. Lalu setelahnya bersiap-siap memasak. Meski hatiku masih marah padanya, namun akan terasa sangat durhaka jika aku lalai padanya. Nasi goreng kecap dengan telur mata sapi adalah kesukaannya. Setiap pagi ia akan meminta dibuatkan sarapan itu. Selama hampir lima belas tahun menikah, ia tidak pernah absen makan masakan buatanku. Harus aku akui, Mas Panjul adalah lelaki hebat, meski sampai detik ini Allah belum memberikan kami keturunan. Namun Mas Panjul tidak pernah mengeluh atau menyinggung perihal itu. “Inah!” Suara Mas Panjul mengagetkanku. Lelaki itu sudah rapi dengan setelan jas dan dasi biru. Tangan kanannya menarik kursi, ia lantas duduk. “Aku pikir, jika kamu marah tidak akan ada sarapan pagi ini,” ucapnya sambil mengunyah. Ini bukan pertanyaan aneh. Selama kami menikah, ini adalah pertengkaran kami yang pertama. “Jam berapa kalian akan datang?” Aku bertanya sambil mengaduk nasi goreng di piring. Hilang sudah nafsu makanku pagi ini. “Jam satu siang. Kamu nggak perlu repot-repot masak, Sayang. Nanti biar aku delivery aja!” serunya sambil memasukkan data sendok terakhir sarapannya. Aku menghela napas. “Oke!” Aku bangkit, mengikuti langkah Mas Panjul keluar dapur. Tangan kanannya Mengambil tas kerjanya di sofa, tak lupa kunci mobil aku ambilkan di laci meja. “Hati-hati, Mas.” Aku mencium punggung tangannya lembut, tak lupa Mas Panjul mencium keningku. Aku berdiri di ambang pintu, sampai mobil yang dikendarainya hilang di tikungan komplek. Di rumah sebesar ini, aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten. Setelah mencuci perkakas di dapur, aku mulai membersihkan ruang tamu dan halaman rumah, lalu terakhir membereskan kamar tidur. Pukul sebelas siang, semua pekerjaan selesai. Aku bisa sedikit bersantai sampai tamu istimewa suamiku datang. Entah seperti apa wujud orang itu. Yang jelas, aku malas memikirkannya. Semakin dipikirkan malah semakin sakit. Selama ini, Mas Panjul tidak pernah menunjukkan gelagat selingkuh. Semua gajinya ia serahkan padaku. Bahkan slip gaji dari kantor ia perlihatkan. Mas Panjul orang yang terbuka, apa pun masalahnya selalu ia ceritakan padaku. Pun dengan keluarganya, di antara semua menantu, aku yang paling disayang Mama mertua, bahkan selalu diajak ke mana pun jika pergi jalan-jalan. Apa lagi jika ia habis pulang dari luar negeri, selalu aku yang kebagian jatah oleh-oleh paling banyak dan mahal. Makanya saat Mas Panjul mengatakan ingin menikah lagi benar-benar membuatku shock berat. Wanita seperti apa yang membuatnya jatuh cinta dan ingin menduakanku.Riyanto menatapku yang sedang melihat ke arahnya. Bibirku mengatup, kehabisan kata-kata. “M-mas Panjul ... dia kenapa?”Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, rasanya aku tidak sanggup menatap mata Riyanto berlama-lama. “Dia kena sifilis ... hampir setengah tahun ini dia bolak-balik ke rumah sakit ini untuk memeriksakan sakitnya, apakah dia bisa sembuh atau tidak. Juga dia terkena ambeien parah. Anusnya robek dan terkena infeksi sampai mengeluarkan darah dan nanah, dan ....”Aku menatap Riyanto tajam. “Cukup, To ... aku nggak sanggup dengar penjelasan itu lagi ....”“Panjul sakit, Inah ....”“Apa Mama tahu soal sakitnya?”“Iya ... Panjul sering datang ke sini bersama Mama.”Aku bersyukur, mertuaku masih peduli pada anaknya yang meskipun Mas Panjul sudah mengecewakan Mama. Dan aku selalu berharap, Mas Panjul bertobat.“Lalu ... aku harus apa? Dia sakit karena ulahnya sendiri. Dan bukan kewajibanku merawatnya, Panjul bukan lagi suamiku.”“Aku hanya memberitahumu, Inah. Aku harap, kamu
Aku menggendong Ameena, kupeluk erat bayiku yang tertidur. Sementara bibi membawa tas berisi perlengkapan Ameena. Rasa khawatirku semakin tinggi saat taksi yang kami tumpangi bertemu jalanan yang cukup padat oleh kendaraan.“Kok berhenti, Pak?” tanyaku untuk memastikan kenapa tiba-tiba taksi yang kami tumpangi malah tidak bergerak.“Di depan macet, Bu. Kayaknya ada kecelakaan!” seru laki-laki yang mengenakan seragam taksi berwarna biru muda.“Apa nggak bisa cari jalan alternatif, Pak. Ini saya harus buru-buru ke rumah sakit. Anak saya demam.”“Duh, susah, Bu. Maaf. Ini jalur padat setiap hari, Bu. Jadi agak sulit menemukan jalan yang agak longgar.”Bagaimana ini? Demam Ameena belum juga turun, mau turun dari taksi, rasanya juga percuma. Di daerah sini tidak terlihat adanya klinik atau gedung kesehatan. Akhirnya, aku pasrah dan tetap berdiam diri di dalam taksi. Sambil berdoa, semoga saja jalanan lekas kembali lancar.Sepuluh menit kemudian jalanan kembali lancar dan taksi pun kembali
Satu tahun berlalu dan hidupku baik-baik saja meski tanpa memiliki seorang suami. Mama mencurahkan kasih sayangnya padaku dan juga Ameena. Aku tidak merasa kekurangan di sini, aku seperti memiliki sebuah keluarga yang lengkap dan aku tidak menginginkan apa-apa lagi.Ameena tumbuh dengan sangat baik, Mama bahkan membuatkan sebuah tabungan untuk masa depannya. Mama berkata, usia seseorang tidak ada yang tahu, jadi beliau memutuskan membuatkan tabungan untuk masa depan cucunya itu sebelum Mama meninggal, kalimatnya membuatku sedih. Bahkan Soni dan Sonia ikut menyumbang juga, mereka pun berharap agar keponakannya itu bisa hidup dengan layak dan sekolah sampai sarjana dan mampu menggapai cita-citanya.Ya Allah ... terima kasih Engkau berikan aku keluarga yang baik seperti mereka.Aku berdiri memandangi kamar di mana pertama kali aku tidur di rumah ini. Kamar pengantin bersama laki-laki yang kini entah di mana rimbanya. Sejak resmi bercerai, Mas Panjul tidak pernah lagi terlihat batang hidu
Satu hal yang aku kagumi dari sosok Riyanto. Dia masih peduli pada adik dan orang tuanya di kampung. Pernah aku bertanya padanya, tentang orang tuanya. Dan dia berkata bahwa mereka tidak keberatan dengan sosoknya yang menjadi waria. Orang tua Riyanto menganggap pekerjaan itu tetap halal karena tidak merugikan orang lain. Setelah Riyanto pulang, aku pun pulang karena sopir Mama sudah berada di parkiran lagi.Sepanjang perjalanan, otakku terus berpikir tentang apa yang harus aku lakukan sekarang. Soal mencari pekerjaan, aku sendiri bingung karena sejak menikah aku selalu dimanjakan oleh Mas Panjul. Pun dengan Mama, beliau selalu memenuhi kebutuhanku sampai aku terus merasa bergantung pada mereka. Dan saat ini, aku bingung mencari solusi. Bagaimana aku mau mencari pekerjaan, aku tidak punya pengalaman apa-apa.Aku menyandarkan kepala pada sandaran kursi, memejamkan mata sejenak karena sakit kepala yang mendera secara tiba-tiba. Jalanan yang sedikit macet membuat jarak tempuh menuju rumah
Aku memandangi kertas berwarna putih dengan aksen kuning yang tergeletak di atas meja, kertas itu bertuliskan AKTA CERAI. Yah, aku dan Mas Panjul sudah resmi berpisah, Mama yang mengurus semua itu. Meskipun Mas Panjul dengan wajah memelas dan memohon agar aku mengurungkan niat untuk mengajukan gugatan, aku akan tetap pada pendirian karena laki-laki itu pun tetap berat melepaskan Jeni. Jadi sudah aku putuskan untuk tetap melangkah maju untuk bercerai. Tapi, aku tetap dipaksa tinggal di rumah Mama, karena dirinya tidak mau berpisah dengan cucu kesayangannya. Ada satu syarat yang aku berikan pada Mama jika aku mau tetap berada di sini. Yaitu, aku tidak ingin melihat mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku. Dan Mama mengabulkan permintaanku, Mama mengusir Mas Panjul dan dirinya dilarang menginjakkan kakinya di rumah ini. Aku sudah tidak ingin memikirkan rumah yang dulu pernah ditempati olehku dan Mas Panjul. Meskipun rumah itu dibeli oleh Mama atas namaku, karena itu pemberian hadia
Satu minggu berlalu, Riyanto belum juga memberikan kabar. Pun dengan Bu Angelita dan Pak Dewa, semuanya tidak ada satu pun yang mengabarkan padaku tentang Mas Panjul atau Jeni.Di saat aku yang semakin gelisah, ponselku berdering. Panggilan dari Riyanto.“Iya, To ... gimana?” tanyaku tidak sabaran.“Sukses, Ciinnnn ... eyke sudah sama mereka. Sama Bu Angelita dan Pak Dewa.”“Hah! Kamu sama mereka? Kok bisa?”“Kan yey yang ngasih nomor eyke ke Bu Angelita. Gimana sih, Inah. Yey lupita?” Suara Riyanto terdengar kesal.Aduh, bagaimana aku bisa lupa. “Terus gimana?” “Kamu ke sini aja, ke rumah kamu yang lama.”“Oke ....”Aku menutup panggilan dan minta izin pada Mama, sekaligus minta tolong agar menjaga Ameena sementara dirinya pergi. Setelah diizinkan, aku pun berangkat, tentunya diantar oleh sopir pribadi Mama.Isi kepalaku dipenuhi banyak tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mas Panjul begitu berat melepaskan Jeni. Apakah hatinya sudah gelap sehingga tidak bisa menemukan jalan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments