“Bayar 500 juta untuk semalam!"
Selena mungkin sudah gila mengatakan hal tersebut. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Uang 500 juta itu harus sudah ada besok, sebagai ganti rugi karena Selena telah memecahkan guci keramik milik bosnya.
Pria tua bertubuh gempal yang ditabraknya tak sengaja terlihat berasal dari kalangan orang kaya. Selena pikir, tidak ada salahnya mencoba, meski ia harus mengorbankan harga dirinya.
Pria tua itu hanya tertawa kecil. Tampak, ia begitu tertarik pada tubuh molek Selena yang tertutup pakaian kerjanya.
"975 juta kalau kamu masih bersegel. Tapi jika terbukti tidak perawan lagi, kamu harus mengembalikan uangku tiga kali lipat!"
Mulanya, Selena membelo mendengar jumlah fantastis tersebut. Tak berselang lama, barulah ia mengangguk setuju.
“A-aku jamin, aku masih perawan.”
Pria itu mengangguk dingin, lalu meminta Selena mengikutinya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka.Tanpa banyak kata, pria tua yang belum ia ketahui namanya itu membawanya ke sebuah hotel bintang lima.
“Turunlah, dan tunggu di kamar ini.”
Pria tua itu lantas memberikan sebuah kartu akses kamar, begitu mobil yang mereka tumpangi berhenti di lobi.
Meski masih diliputi ketakutan, Selena menurut. Ia mengambil kunci tersebut dan langsung mencari kamar yang tertulis di sana.
Seorang diri, Selena menyusuri lorong kamar hotel mewah tersebut. Kehadirannya di sini bahkan tidak menimbulkan tanya bagi resepsionis yang justru menyambutnya dengan senyum.
‘Ke mana pria itu? Apa dia berniat menjualku pada pria lain?!’ tanya Selena sepanjang jalan menuju kamar.
Lift berdenting, Selena melangkah menuju kamarnya.
Takut-takut Selena masuk usai membuka pintu dengan kartu yang dimilikinya. Di dalam kamar sangat gelap, sampai Selena harus meraba-raba, agar kakinya tidak tersandung benda di dalam kamar yang gelap.
Ia baru akan mencari saklar lampu, tetapi sebuah suara terdengar, "Cepatlah kemari."
Sejenak, Selena mengerutkan dahi. Suara lembut dari pria itu seperti tidak asing, tapi bukan suara pria tua yang membeli tubuhnya yang masih tersegel itu tadi.
"Aku tidak bisa melihat apa pun," sahut Selena terus mengeksplor ruangan yang gelap, mencoba mencari sosok pria bersuara lembut itu. “Apa kamu bisa nyalakan lampu–akhh!!”
Tiba-tiba Selena memekik saat tangannya ditarik dan tubuhnya tersentak ke pelukan pria yang masih tidak bisa ia lihat wajahnya.
Selena mengerjapkan matanya, detik berikutnya ia kembali terheran. Pria yang memeluk dirinya saat ini sepertinya bukan pria tua bertubuh pendek dan buncit tadi.
Tubuh pria ini sangat atletis, wangi, dengan kulit tangan yang lembut.
Berkali-kali ia meneguk liurnya sendiri. Otaknya ikut bekerja keras, apa mungkin pria tua tadi ingin menggilirnya?
Di saat pikiran buruknya tengah berkelebar, suara lembut pria itu kembali terdengar berbisik.
"Cepat mandi." Saking lembut suaranya, Selena sampai nyaris tidak mendengar. "Masuklah, pakaianmu ada di dalam."
Pria itu mendorong bahunya mendekati pintu kamar mandi. Seiring pria itu melepas tangannya, seketika ruangan kamar terang benderang.
Selena memuputar badannya cepat untuk melihat siapa pria yang bersamanya di dalam kamar. Ajaibnya tidak ada orang selain dirinya.
Dahinya mengerut, matanya lantas menatap lekat pada pintu kamar mandi.
“Apa dia di sana?” batinnya terus curiga.
Ragu-ragu ia pun membuka pintu kamar mandi. Namun, tetap tidak menemukan siapa pun di sana.
"Ke mana dia?" gumamnya kesal. "Sial! Sudah tua, jelek, buncit, tapi masih suka main kucing-kucingan! Dia pikir aku ini apa?" rutuknya menggeram kecil. "Tapi yang tadi bukan pria tua itu, aargh!"
"Cepat, Selena! Berapa lama waktuku habis hanya menunggumu mandi?"
Selena berjingkat, kaget. Suara pria itu tiba-tiba terdengar. Dan lagi … pria itu tahu namanya. Padahal ia tidak memberitahu namanya ke pria tua tadi.
Ingin cepat-cepat mengakhiri ini, Selena cepat-cepat masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah selesai, wanita itu keluar dengan menggunakan kimono yang telah disiapkan pria itu.
Kamar kembali gelap, Selena yang sudah tahu di mana letak ranjang tertatih menuju ke sana.
Namun, belum sampai ke ranjang, seseorang dengan kasar menarik kimono dari tubuhnya.
"Ahhh–" teriaknya berusaha menahan ujung kimononya.
Selena belum siap sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada pria misterius tersebut.
Tidak ada sahutan. Dengan beringas pria itu melepas kimono, dan menariknya dengan hentakan yang kuat.
Tubuhnya yang menggigil ketakutan itu akhirnya pasrah terjatuh menimpa tubuh polos pria di bawah tubuhnya.
"S- siapa kamu sebenarnya?" tanyanya gugup dan takut.
Pria yang tengah mencumbuinya dengan beringas itu bukan pria tua yang membelinya, tapi pria bertubuh atletis yang menyambutnya tadi.
Tidak ada jawaban. Pria itu terus menerjang tubuhnya yang setengah kejang-kejang mengimbangi hasrat liar dan panas pria itu.
Selena merasakan sakit tiada tara ketika pria itu tanpa perasaan meluluh lantakkan segel kegadisannya.
Entah apa yang dilakukan pria itu lagi, sebab setelah rasa sakit yang luar biasa itu Selena akhirnya pingsan.
**
Saat siuman dari pingsannya, sebuah cek sudah tergeletak di atas ranjang bersprei putih. Sementara, pria itu sudah hilang entah ke mana.
“Ah, sial!” umpat Selena.
Tubuhnya terasa remuk akibat serangan liar pria semalam. Belum lagi, melihat ia ditinggal sendiri dengan noda darah di seprai, juga cek berupa bayaran … Selena benar-benar merasa dirinya seorang gadis murahan.
975 juta!
Pria misterius itu benar-benar membeli kegadisannya dengan harga yang ia sebut pada pria tua buncit kemarin.
“Jam berapa ini?” Mata Selena membola kala melihat jam sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh. Sementara, ia sudah harus tiba di kantor pukul tujuh. “Ya Tuhan, mati aku!”
Selena memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai kamar. Setelah membersihkan diri seadanya, ia pun segera bergegas menuju kantor.
"Argh! Ponselku lowbat," geramnya kesal. Belum lagi rasa sakit di pangkal kakinya, membuatnya tidak berhenti meringis kesakitan.
Tidak punya pilihan lain, Selena pun memanggil ojek pangkalan di depan hotel untuk mengantarnya ke tempatnya bekerja.
Namun, sebelum itu, ia minta diturunkan di depan sebuah apotek.
Wanita itu merapikan rambutnya yang berantakan tertiup angin, lantas mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik, "Saya butuh pil kontrasepsi darurat."
***
"Semua sudah beres. Tinggal membawa Selena sekarang bertemu Tuan Collins, Aditya! Tapi tunggu aba-aba dariku!""Bagaimana dengan Tuan Barata? Apa Paman sudah menunjukkan bukti-bukti itu?" "Tenang saja. Semuanya sudah aman," jawab paman Grove meninggalkan perusahaan Barata. Sekarang dia hanya melakukan tugas terakhirnya sebelum Aditya tiba di rumah sakit. "Semua sudah beres?" Paman Grove menyambungkan ponselnya ke orang suruhannya di rumah sakit."Beres. Tuan Collins tampaknya sedikit syok dan tidak mengatakan apapun dengan bukti-bukti itu." "Oke, tugas kalian sudah selesai. Sekarang kalian bisa bebas. Katakan ke semua anggota, sampai kapanpun hal ini tidak bisa bocor! Ingat! Kalian berhadapan dengan Aditya!""Siap, Bos! Aman terkendali.""Oke, pergilah bersenang-senang. Bonus kalian sudah di transfer."Paman Grove mendahului Aditya ke rumah sakit, beberapa menit yang lalu Tuan Collins memintanya datang. Mungkin ingin menanyakan kebenaran bukti yang diberikan asisten pribadinya.
Tuan Collins menunjukkan senyum smirk-nya. Dia memang menanyakan Aditya ke paman Grove. Sudah seminggu ini Julia mencari-carinya ke rumah sakit. Dari Julia jugalah Tuan Collins tahu Aditya tidak lagi tinggal di rumahnya. Namun, Tuan Collins tidak ingin membahasnya."Apa kamu sudah mengurus pernikahanmu dengan Julia?" tanya Tuan Collins membetulkan letak selang infus yang melilit di tangannya."Pernikahan? Aku memang sedang merencanakan pernikahan, tapi tidak dengan Julia, Kek." Aditya melipat kedua tangannya di dada.Ucapannya itu menarik atensi Tuan Collins dan menaikkan pandangannya. "Apa maksudmu, Aditya? Kamu mau menggagalkan rencanaku dengan Barata?" berangnya melotot tajam."Rencana mengakuisi perusahaan milik Tuan Abeth dan Viktor? Sepertinya Kakek tidak tahu jika Tuan Bramasta sudah bergerak lebih cepat." Aditya menarik punggungnya yang menempel di dinding kamar rumah sakit. "Tidak bisa di salahkan juga Tuan Bramasta. Kalian saja yang tidak bergerak cepat. Yah, kalian sibuk
Selena terbangun setelah mendengar bunyi alarm dari ponselnya. Sedikit kaget mendapati dirinya tertidur di ruang tamu. Punggungnya terasa mau patah karena semalaman tidur membungkuk di sofa kecil.Selena meregangkan otot tubuhnya sebelum berjalan ke kamar Baby Lea. Pun cepat-cepat membersihkan diri sebelum Aditya datang ke sana.Namun, belum selesai berkutat dengan Baby Lea, terdengar suara bell. "Iya, bentar," serunya berlari kecil ke depan. Tampak Aditya menunggu di depan pagar."Masuklah, aku belum selesai," ujar Selena memberikan Baby Lea kepada Aditya.Ia tidak tahu mengapa senyaman itu memperlakukan Aditya. Bahkan tubuhnya yang cuma terbungkus daster basah tidak merasa malu. "Selena," panggil Aditya melihatnya terburu masuk."Tunggu sebentar aku mandi," serunya menghilang di balik pintu kamar.Sengaja atau tidaknya, pintu kamar jelas tidak menutup sempurna. Aditya meletakkan Baby Lea di ruang bermain, niatnya ingin menutup pintu kamar. Aditya tidak yakin bisa menguasai dirin
Setelah beberapa lama berbincang, Aditya berpamitan pulang. "Kamu pulang saja dulu, Selena. Mumpung ada Aditya yang bisa mengantarmu ke rumah," ujar Mami kasihan melihat Selena terus-terus di sana. "Mami saja yang pulang. Aku---""Biar Mami dan Riana di sini malam ini. Kamu dan Baby Lea pulanglah. Pun ada Papi juga di sini," potong Mami memaksa Selena pulang."Aditya, tolong antarkan Selena ke rumah ya.""Baik, Nyonya." Aditya meraih Baby Lea dari pangkuan Selena. Membawanya keluar mendahului Selena.'Pucuk dicinta ulam pun tiba. Semua sesuai dengan rencana. Sekarang tinggal menunggu giliran Kakek tua itu!' batin Aditya tertawa kecil. "Maaf merepotkan kamu," kata Selena menarik Baby Lea dari pangkuan Aditya dan mendudukkannya di kursi belakang.Aditya bergumam dalam hati, itu semua sudah direncanakan. Sekarang dia hanya ingin membuat Selena merasa dirinya malaikat penolong."Tidak apa-apa. Lupakan saja yang lalu-lalu, fokus dengan kesehatan Hendra dulu.""Tapi ... kata dokter Kak H
Di kediaman keluarga Bramasta tidak lantas membuat Selena tenang. Pikirannya tentang Aditya semakin kuat saja. "Hei, malah bengong." Riana yang baru tiba menepuk pundak Selena. Selena mengangkat kepala lemah. Melihat Riana jadi timbul niatnya keluar ingin menemui Aditya. Ia harus mengakui semuanya ke Aditya dan meminta Aditya untuk melupakannya dan Baby Lea.Selena tidak ingin jika Tuan Collins sampai tahu ia memiliki keturunan keluarga Collins. Ancaman pria tua itu belum bisa hilang dari pikirannya."Malah bengong," omel Riana menyikut bahu Selena."Iya, aku kelelahan seharian menjaga Baby Lea," sahut Selena tertawa kecil. "Elleh, kan Mami sudah langsung pulang. Sekarang kamu bisa bersantai juga."Benar juga. Ini kesempatannya bisa keluar dengan mengajak Riana yang doyan belanja-belanja dan salon."Hmm, kamu mau mengajakku keluar?" pancing Selena mengedipkan sebelah matanya menggoda calon iparnya.Benar saja, mendengar kata keluar, Riana mencampakkan tas belanjaannya ke dalam kam
Paman Grove mengerahkan seluruh orang suruhannya mendapatkan benda untuk keperluan tes DNA yang diminta oleh Aditya."Aku yang akan mendapatkan sampel rambut putriku, paman Grove. Kalian hanya perlu mengawasi Hendra dan keluarga Bramasta saat aku berkepentingan di rumah Selena.""Baik, info sudah aku dapatkan, Tuan Bramasta dan istrinya juga putrinya tengah ke pertemuan mitra bisnis keluar kota, sore nanti baru kembali. Kami hanya akan mengendalikan Hendra selama kamu berkepentingan di rumah Selena."Aditya setuju dan segera bergerak menuju rumah Selena. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan kembali wanita yang jadi cinta pertamanya.Sebenarnya, terlihat konyol bagi seorang Tuan Muda bangsawan mengejar-ngejar wanita yang tidak sederajat dengannya, pun mengemis cinta darinya. Selena di rumahnya. Setelah beberapa lama memastikan Aditya tidak datang lagi, ia mulai berani membuka pintu rumah dan bersantai di teras rumah. Hingga lima belas menit kemudian."Ekkhem!