Aku terdiam sesaat sebelum tawaku pecah memenuhi ruangan. Bahkan, Freza pun sampai menutup kedua telinganya. Kuusap kedua mataku lembut, lihatlah mataku sampai berair dibuatnya.
"Haduh, sakit pipi gue, lagian kenapa juga lo mau nikah ama gue?" tanyaku untuk ke sekian kalinya. Berusaha mencari tahu tujuan sebenarnya Freza menikahiku.
Freza hanya menatapku datar kemudian melanjutkan aktivitasnya. Dia tak sedikit pun menggubris perkataanku. Freza benar-benar menyebalkan, lihat saja aku akan membalasnya nanti.
Aku berbalik dan berjalan menjauhi Freza, untuk saat ini aku tak mau menganggunya. Sekarang aku harus mengerjakan pekerjaanku. Ya, pernikahan kemarin telah membuatku menjadi miliader dalam sekejap.
Tugasku sebagai seorang isteri yang baik adalah menghabiskan harta suami. Akan kuhabiskan dengan cara baik pula, hoho aku akan membelanjakan semua keinginanku yang sempat tertunda.
Kan kuhabiskan hartanya, walaupun tubuhku di sini, tetap saja hatiku tengah melayang ke sebuah butik. Tanganku terus bergerak dengan cepat, menelusuri setiap jenis pakaian yang terbaru.
Kedua mataku berbinar bahagia, rasanya ingin berteriak kegirangan karena berhasil mendapatkan apa yang kumau. Tiba-tiba aku merasakan aura aneh berasal dari samping kiri.
Segera aku menatap ke samping dan menemukan Freza tepat duduk di sana. "Woi, lo ngagetin tau!? Apaan si, tiba-tiba muncul di sini," sungutku geram.
Freza benar-benar mengagetkanku, tidak tahu sejak kapan dia sudah duduk di sampingku. Jantungku hampir dibuat jatuh ke angan oleh Freza.
"Biasa aja dong tu muka, kek gak pernah liat cowok cakep aja," ejek Freza membuatku semakin kesal.
Aku merenggut, "Emang susah kalo ngomong sama orang gila, lo mau ngapain ke sini? Gue gak ganggu ya, lo yang dateng ke sini nyamperin gue duluan," ucapku membuat Freza menutup telinga.
Sangat jelas jika aku berbicara dengan sedikit teriak, aku terkekeh geli. Karena kesal dikejutkan Freza, aku sampai berteriak. Padahal jarak kami begitu dekat, pantas saja Freza menutup telinganya.
"Jadi lo ngapain di sini?" tanyaku netral. Tak seperti sebelumnya berteriak.
"Bosen, kerjaan dah beres semua," balas Freza singkat. Aku terdiam cukup lama, walau demikian hatiku terus merutuki Freza yang bodoh.
Sejak pernikahanku dengan Freza, aku tak pernah ingin tahu tentangnya. Bagaimana pekerjaannya, kesibukannya, atau apapun itu. Namun, sekarang Freza mengatakannya tanpa kuminta.
Ekspresi wajahku begitu datar, mood-ku hancur seketika saat Freza datang. "Maaf nih ya, gue gak peduli sama kerjaan lo. Ya kalau dah beres bagus dong, gue bisa pulang berarti," ucapku santai yang mendapat pelototan Freza.
Aku mengernyit heran, ada apa dengan Freza? Mengapa dia melayangkan pelototan padaku? Kuingat kembali kata-kataku, tidak ada yang salah atau pun menyinggungnya. Lalu kenapa Freza seperti marah padaku?
"Jadi, lo mau apa?" tanyaku akhirnya karena takkunjung mengerti apa yang Freza inginkan.
Freza tersenyum smirk, "Mau ikut gue nggak? Gue mau nunjukin sesuatu sama lo," ucapnya berhasil membuatku tertawa.
Ya, aku menertawakan sikap Freza yang berubah drastis. Hantu apa yang merasukinya sehingga dia bersikap romantis seperti ini? Freza hanya terdiam menatapku datar.
"Gue serius, lo mau ikut nggak?" tanya Freza lagi membuatku membungkam.
Aku menatap wajahnya intens, kutelusuri apakah dia tengah berbohong apa serius padaku. Dan sedikit pun aku tak menemukan celah jika Freza hanya bercanda.
"Lo, lo bener ngajak gue jalan gitu? Tumben, ada apa emang? Mama kan gak ada, gak perlu sok romantis di hadapan gue. Aneh tau lihat lo yang beda gini, berasa kek bukan lo," sungutku berusaha untuk tidak percaya dengan perubahan sikap Freza.
Freza tampak berdecak kesal membuatku semakin bingung. Apakah aku yang bodoh atau Freza yang gila? Ntahlah, menurutku keduanya benar.
"Tadi lo tanya gue soal alasan gue nikahin lo, kan? Nah gue akan jawab tapi sebelum itu, gue mau tunjukin sesuatu ke lo," tutur Freza.
Aku mengangguk mengerti, ternyata ini toh yang ingin Freza katakan. Mengapa dia mengatakan hal itu saja sangat susah sih. Membuatku merana saja karena ucapannya.
"Lo mau nggak?" Freza menatapku kesal. Aku terkekeh geli, Freza sangat tidak sabaran sekali. Aku kan tengah asyik berdialog dengan hati.
Aku mengangguk pelan, "Boleh, lagian gue juga gak ada kerjaan sih," balasku santai.
Kubantu Freza naik ke kursi roda, lalu kudorong keluar untuk pergi. Dari perjalanan ke kantor sampai ke tempat yang dimaksud Freza, tidak ada percakapan antara kami.
Freza dan aku sama-sama menikmati ramainya jalan kota. Namun, ada satu yang menganggu pikiranku. Mengapa mobil ini terus berjalan? Kemana Freza akan membawaku?
"Za, lo mau bawa gue kemana?" tanyaku khawatir. Tidak tahu mengapa aku berpikir yang aneh-aneh sekarang.
"Kenapa? Lo takut?" tanya Freza balik membuatku berdecak kesal."Ck, tinggal jawab aja malah balik nanya," sungutku emosi. Namun, Freza hanya terkekeh geli, setelah itu tak ada percakapan lagi.
Sungguh aku tersiksa dengan keadaan canggung seperti ini, mengapa juga aku mau diajak pergi oleh Freza. Sesaat aku merutuki sifat kepoku sendiri, termyata benar terlalu peduli itu tidak baik.
Mobil terus berjalan hingga sampai perbatasan kota, aku terheran-heran. Janutungku sudah berdegup dengan kencang, hatiku tak tenang karena tidak tahu diri ini akan dibawa kemana.
Kuusahakan untuk tetap tenang, aku tidak mau jika terus berpikiran buruk tentang Freza. Dia pasti tidak akan melukaiku, aku yakin itu. Namun, setelah memasuki daerah pedesaan, aku semakin tak yakin dengan keyakinanku sebelumnya.
Pasalnya, tempat ini adalah tempat di mana masa lalu terburukku terjadi. Kutatap Freza yang tampak biasa saja menatap lurus ke depan.
Apa yang tengah direncanakan Freza? Aku takbisa menahannya kembali. Tanganku sudah bergetar ketakutan, malam kelam itu terus menghujani ingatanku. Tak membiarkan aku menarik napas lega sebentar saja.
Tuhan, apa yang akan terjadi padaku nanti, kucoba untuk berusaha tenang. Ya, aku tak mau Freza tahu aku gelisah sekarang, jika tidak rahasiaku akan terbongkar.
Mobil kami berhenti tepat di depan sebuah villa mewah. Freza menyuruhku untuk keluar begitu juga dengan dirinya.
Hatiku sudah merasa tak nyaman, bagaimana bisa aku datang kembali ke tempat masa lalumu yang suram ini.
Apa yang harus kulakukan? Aku ingin segera pergi, sedari tadi jantungku berdetak dengan kencang. Ingatan masa lalu kelam itu datang menyelimuti pikiranku.
"Za, ngapain sih lo bawa gue ke sini?" tanyaku berusaha untuk bersikap baik-baik saja di depan Freza.
Freza tersenyum, "Apa lagi? Kita bakal bulan madu di sini. Apakah istriku tidak ingin menghabiskan waktu bersama dengan suaminya?"
Mataku terbelalak tak percaya mendengar penuturan Freza. "Hah?" Kutatap Freza dengan seksama. Menelusuri apakah dia tengah berbohong apa serius.
Freza terkekeh geli, "Kita akan berbulan madu sayang, makanya ngajak ke sini juga," ucapnya seolah mengerti denganku.
Aku semakin terkejut mendengarnya. Freza berkata manis dan romantis? Setan apa yang telah merasukinya?Freza menatapku sambil tersenyum. Sial! Mengapa dia terlihat sangat tampan sekarang!? Aku hampir jatuh dalam pesonanya.Kedua pipiku merona merah, membuatku memalingkan wajah ke arah lain enggan menatap Freza. Hingga saat kurasakan sebuah tangan meraih tanganku, mataku menatapnya.Freza tersenyum kembali dan segera menarik tanganku. Aku terjatuh dalam pangkuannya, wajah kami begitu dekat.Aku tertegun cukup lama, kupandangi wajah tampan Freza membuat pria itu berbicara. "Gue tahu gue tampan tapi gak usah ditatap gitu juga."Freza sialan! Dia berkali-kali membuatku malu, dan sekarang aku terduduk diam di pangkuannya."Kok diem?" tanya Freza. "Enak ya duduk diem di pangkuan orang ganteng?" imbuhnya kemudian membuatku meringis. Fiks, Freza minta dihajar.Aku berniat untuk bangkit dan pergi, tetapi den
Oh Tuhan, aku sangat kebingungan sekarang. Terlebih Freza mengatakan jika dia menyukaiku. Memang aku tidak mempercayainya di awal, tetapi ntah mengapa sekarang aku sulit untuk menyangkalnya.Freza telah membuatku menjadi orang gila dalam sekejap. Langkah seperti apa yang harus kuambil? Baru memikirkannya sudah membuatku lelah. Tidak tahu sudah berapa kali indra penciuman ku menarik napas panjang.Tiba-tiba kurasakan perut ini yang terasa sakit, aku baru sadar jika hari ini diriku belum makan sesuap nasi pun. Karena ibu Freza menyuruhku berangkat pagi datang ke kantor, membuatku melupakan sarapan.Saat di kantor pun aku tak makan apapun, dengan langkah kaki gontai aku berjalan pergi ke kamar pun. Walau hati ini sedari tadi berdegup tidak karuan, aku tetap memaksa pergi.Ketika sampai di depan pintu, ku tarik napas panjang. Tanganku meraih gagang pintu dan segera mendorongnya. Ku telusuri setiap sudut
Ingin rasanya memarahi pria labil itu. Namun, hatiku tak tega melihatnya, jelas sekali terlihat jika Freza tengah kecewa. Tidak tahu dia kecewa karena apa, tetapi dapat ku simpulkan masalah Freza sangatlah berat.Sampai kami di perjalanan pulang pun Freza tak mengajakky berbicara. Sungguh Menyebalkan! Aku tak menyukai suasana canggung seperti ini."Maaf." Aku tersentak, kutatap Freza yang tertunduk lesu. Cukup lama dia terdiam, hingga kepalanya berputar menatapku."Maaf, lo pasti nungguin gue semaleman?" tanya Freza.Aku terdiam sesaat sebelum taw aku pecah memenuhi mobil. "Ya kali gue nungguin lo, lagian kapan sih seorang Freza bisa serius?" tanyaku balik berusaha menutupi luka di hati.Kesalahan terbesarku adalah mudah percaya pada pria, yang berstatus suamiku sekarang. Apakah ini efek dari sebuah pernikahan? Mudah sekali aku percaya pada Freza.Makanya, aku mencoba berbohong pada Freza aku tidak m
Aku baru menyadarinya, sejak kedatanganku ke sini aku tak pernah melihat keberadaan Rista. Segera kubuka pintu dan menatap gadis, yang selama dua hari ini tak kujumpai dengan intens. Rista menundukan kepalanya, mengalihkan pandangannya untuk tidak beradu mata denganku. Tidak tahu apa yang dipikirkannya, seolah ada sebuah perasaan tersirat yang ingin dia ucapkan padaku. "Kemana aja lo?" tanyaku penasaran. Tentu nadaku tidak ramah sama sekali, ntahlah aku tiba-tiba merasa kesal ketika Rista enggan menatapku. "Ma maaf, Nyonya. Dua hari ini Rista sibuk dengan tugas kampus. Banyak hal yang harus Rista siapkan, makanya Rista meminta cuci pada Tuan Freza. Beliau mengizinkan Rista, dengan syarat setelah ...." Rista menatapku yang tengah menatapnya balik. "Setelah apa?" Sungguh aku dibuat gila karena penasaran ini. Kenapa Rista menggantung ucapannya! Membuat sakit kepala orang saja. Rista kembali menundukan kepalanya, "Setelah Nyonya dan Tuan
Aku terdiam mematung mendengar seluruh sikap maupun ucapan Freza pada Rista. Perasaanku senang, Freza berarti memang benar peka. Tak perlu lagi aku khawatir, karena Freza membantuku. Rista menundukan kepalanya, wajahnya murung. Tangan kanannya terkepal kuat, aku tersenyum sinis melihatnya. Bisa dipastikan sekarang Rista sangat marah besar. Namun, dia tak bisa melakukan apa-apa. "Ba baik, Tuan," ucapnya kemudian bergegas pergi meninggalkan aku dan Freza berdua di kamar. Kutatap Rista sampai pintu benar-benar membuatnya hilang dari pandangan. Aku merasa sedikit jahat sekarang, tetapi itu lebih baik untuknya. Karena Freza tak menyukai Rista, jadi ku berusaha menyadarkannya untuk segera melupakan Freza."Ngapa lo? Seneng ya, tinggal kita berdua di sini?" Ucapan Freza berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tak menjawabnya, lebih baik sekarang menatapnya. Apakah pria itu akan merasa tidak nyaman jika kutatap seperti ini? Dan jawabannya tidak!
"Woi bangun lu, tidur Mulu perasaan dah." Ucapan itu berhasil membuatku bangun dari tidur nyenyak sebelumnya.Kedua mataku menangkap sosok pria yang duduk di sebelahku. "Kenapa emangnya? Jangan ganggu gue tidur!" balasku membentak. Aku langsung terbaring kembali di atas kasur, tidak mempedulikan Freza yang berteriak memanggil namaku. "Fiona, bangun nggak? Lo udah jadi beban, jangan nambah beban lagi," ujar Freza menarik selimut yang membungkus tubuhku. Aku tidak peduli, bukan urusanku juga. Namun, sepertinya pria itu tak menyerah. Buktinya dia malah semakin kuat menarik selimutku. "Iya-iya, gue bangun nih," ucapku pasrah dan segera bangkit. Lagipula diriku sudah tidak mengantuk lagi karena teriakan Freza tadi. Freza tersenyum puas, dia mendorong kursi rodanya pergi keluar kamar. Aku yang melihatnya menjadi bingung. "Za, lo mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran. Karena masa sih Freza datang kemari hanya untuk memba
Kubuka mataku hingga terasa akan keluar. Kutatap sekeliling kamar, tidak ada siapapun di sini selain diriku. Aku bermimpi jika semalam Freza mengutarakan perasaannya. Dalam mimpi, Freza mengatakan jika dia tidak akan meninggalkanku. Kuusap wajahku dengan gusar, aku terlelap begitu nyenyak hingga tak sadar sudah berganti hari. Seluruh benakku diisi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Freza. Sulit untuk aku akui jika akhir-akhir ini hati dan kepalaku tidak bisa lepas untuk memikirkan Freza. Pria itu sudah mengisi dan memenuhi seluruh ruangan hampa dalam diriku. Kulirik jam di samping yang sudah menunjukan pukul delapan pagi. Yang artinya Freza sudah berangkat ke kantor. Hati ini terasa begitu rumit, ntah apa yang kupikirkan selama ini. Kubaringkan tubuh ini kembali, langit-langit kamar menjadi tujuan pandanganku. Hingga suara ketukan pintu berhasil membuatku tersadar dari lamunan sesaat. Segera aku beranjak mengham
"Apakah aku peduli?" tanyaku sambil memasang wajah datar menatap Freza. Sebenarnya diriku sedikit takut, tetapi aku merasa tertantang karena sikap Freza sudah cukup berbeda dari biasanya. Mungkin, ini akan menjadi hal yang sangat menarik bagiku. Freza berdecih kesal, "Baiklah, karena kamu istriku maka pijat bahu saya sekarang!" perintah Freza membuatku memelotot tajam. "Aku istrimu bukan pembantumu yang bisa seenaknya disuruh!" bantahku tidak terima. Akan tetapi bukan Freza namanya, dia menarik lenganku dan menyimpannya di bahu dirinya sendiri. "Ayo!" Aku mendengus kesal, kuturuti apa keinginannya. Sambil berpikir ada sesuatu hal yang berbeda di antara kami berdua. "Za, sejak kapan lo jadi ngomong formal gini sama gue?" tanyaku spontan ketika menyadari Freza menjadi lebih formal dari biasanya. "Suka hati lah, emang buat rugi kamu?" tanya Freza balik membuatku berdecih kesal. "Aneh tau gak? Lo biasanya gak bisa formal sekarang malah formal, dan ngapain juga lo nyuruh gue dateng