Freza hanya menatapku datar lalu melanjutkan aktivitasnya. Dia tak menjawab sedikit pun pertanyaanku. Dia telah membuatku kesal, dengan geram aku melempar bantal dan tepat mengenai wajahnya.
Aku tertawa, jika dipikir kembali sekarang aku lebih berani padanya. Mungkin karena ibu dan bapaknya Freza dekat denganku, jadi tak khawatir Freza akan mengusirku dari sini.
Freza memicingkan mata menatapku, tetapi aku tak mempedulikannya. "Lo sih, gue tanya serius malah diem. Bisu atau tuli pun nggak," sungutku beralasan.
"Lo emang pengen tahu? Kalau lo tahu gue harus apa? Gak penting, paham?" Freza melontarkan banyak pertanyaan padaku. Ck, pria itu ditanya malah nanya balik, dasar pria!
"Bodo, serah lo mau gimana," balasku tidak peduli. Langsung saja aku membanting tubuhku ke ranjang, terdengar Freza yang terkekeh geli senang membuatku kesal sepertinya.
"Lo mau gue jadiin umpan, keknya seru." Dahiku mengernyit heran mendengar penuturan Freza. Dengan segera aku bangkit dari tidurku, dan memilih menatap Freza yang juga tengah menatapku.
"Maksud lo apaan? Gue jadi umpan?" Freza tersenyum dan mengangguk. Aku semakin tidak mengerti dibuatnya.
"Jelasin yang bener, jangan setengah-setengah." Aku berdecak kesal karena ternyata memang benar, kalau Freza menikahiku karena ada alasan lain.
Ya memang aku tidak mengharapkan cinta, dalam rumah tanggaku dengan Freza. Namun, tetap saja aku membenci orang yang memanfaatkan yang lain.
"Lo mau dijadiin umpan, ngerti nggak sih?" Freza tampak berdecak mendengar penuturanku. Aih dia itu sangat tidak peka, masa balik nanya lagi sih!?
"Iya gue ngerti jadi umpan tapi umpan apa? Umpan buaya darat atau apa? Tunggu kalau buaya darat berarti ...." Aku segera melemparkan bantal lagi ke arah Freza. Namun, kali ini lemparannya meleset, ah sial sekali!
"Apaan si, gak jelas banget lo lempar-lempar bantal gini," ucap Freza penuh dengan kekesalan.
Freza kesal? Oh Tuhan, mengapa dia yang kesal? Seharusnya akulah! Karena kan yang dijadikan umpan itu aku bukan Freza. Dan Freza dengan seenaknya menjadikanku umpan.
Walaupun kami telah menikah, tetapi kan ini hanya sekedar pernikahan kontrak. Jadi Freza tak berhak sepenuhnya atas diriku, awas saja aku akan membalas perbuatannya yang ini nanti.
"Lo mau jadiin gue umpan buaya darat hah!? Awas aja ya, gue laporin Mama kalau anaknya KDRT sama menantu kesayangannya," ancamku membawa nama Bu Daniar.
Rahang Freza menegas, dahinya semakin berkerut kesal tak terima dengan apa yang kuucapkan. Dia mengajakku beradu tatap, ayo. Kutatap balik Freza takmau kalah.
Freza akhirnya pasrah untuk ke-dua kalinya. Dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, tetapi sebelum tubuhnya menghilang sepenuhnya masuk ke dalam kamar mandi. Freza mengatakan sesuatu, "Gampang, ntar gue kasih menantu baru aja."
Setelah mengatakan hal itu, Freza terkekeh geli dan segera menutup pintu kamar mandi. Sial! Aku hampir mengejarnya masuk karena kesal. Dipermainkan seperti ini olehnya.
Tuhan, mengapa memberikanku suami seperti Freza? Sudah menyebalkan senang pula membuatku penasaran setengah mati. Aku harus segera membiasakan sikap Freza, ternyata Freza yang kukenal sangat berbanding terbalik dengan Freza di rumor.
Baru membayangkannya saja sudah membuatku pusing. Lebih baik aku pergi tidur sekarang, biarlah besok aku bertengkar lagi dengan Freza. Aku naik ke ranjang kembali, dan menyelimuti tubuhku dengan selimut lalu tertidur.
*
Aku berjalan menyusuri lorong kantor pagi ini. Bu Daniar menginginkanku menemani Freza bekerja, katanya biar hubunganku dengan Freza semakin dekat. Aku tak enak hati mengatakan jika pernikahan kami hanya sebatas kontrak.Karena kasih sayang Bu Daniar, aku tidak tega jika menolak kemauannya. Makanya aku datang ke kantor Freza pagi ini. Freza sudah berangkat dari kemarin malam, Bu Daniar bilang kalau Freza ada urusan mendadak.
Aku tidak peduli, mau Freza pulang atau tidak bukan urusanku lagi. Aku hanya melakukan apa yang Bu Daniar inginkan, bersikap sebagai menantu kesayangannya.
Banyak sekali yang menyapaku saat aku tiba, semua karyawan Freza sangatlah ramah. Berbeda dengan bosnya sendiri yang cuek dan galak. Para karyawan di sini didominan oleh kaum hawa, mungkin sekalian sebagai ajang pencuri hati Freza.
Tidak sedikit pula karyawan wanita yang menatapku dengan taksuka. Karena memang akulah yang menjadi isteri sah dari Freza sekarang. Ntahlah, aku merasa sedikit bangga bisa mengalahkan ratusan wanita. Walau sebenarnya aku tak sedikit pun menyukai Freza.
Sampai aku di ruangan Freza, sekertarisnya menyambutku dengan ramah. Ia mempersilahkan aku masuk ke dalam tanpa harus menunggu.
Aku segera masuk, ruangan ini cukup besar. Baru dua langkah masuk ke dalam, parfum khas Freza sudah meraba indra penciumanku. Mataku menatap ke sekiling dan berhenti tepat pada seorang pria.
Ada yang aneh, mengapa Freza tidak mengeluh aku datang kemari? Freza hanya melayangkan tatapan kesal lalu kembali fokus dengan pekerjaannya.
Bukan aku namanya kalau nggak kepo, kudekati Freza dan menatapnya lekat. "Tumben banget lo nggak nanyain kenapa gue dateng ke sini? Pertanyaan yang sering lo tanyain sejak kita nikah tuh 'Ngapain lo di sana, ngapain lo gitu'. Tumben sekarang gak nanya gitu?"
Freza memijat pelipisnya, "Lo bisa diem kagak? Tinggal duduk di situ tanpa ngomong emang susah? Gak lihat gue lagi kerja?"
Aku berdecak kesal, "Ya kalau lo gak mau gue ganggu, ngomong dong. Cerita gitu napa gak tanyain kenapa gue di sini," sungutku tak mau kalah.
Ya, aku benar-benar sangat penasaran mengapa pria itu melunak sekarang. Tidak menuntut apapun dengan kalimat atau pertanyaan menyebalkannya.
Freza menghela napas pasrah, dia menatapku kesal dan mulai bercerita.
*
Setelah perdebatan panjang dengan Fiona, kamu memilih pergi dan membersihkan diri. Saat kamu keluar kamar mandi, kamu terkejut melihat Bu Daniar duduk di sebelah Fiona yang tertidur pulas.
Kamu pun bertanya, "Mama lagi apa? Apa ada hal pentingkah? Padahal Freza bisa aja dateng ke kamar Mama," ucapmu seraya mendekati Bu Daniar.
"Freza denger ucapan Mama, kamu itu harus jaga Fiona. Mama nggak mau kamu mempermainkan sebuah pernikahan," ucap Bu Daniar membuatmu tertegun.
Kamu tersenyum, "Iya Ma," balasmu singkat.
Mendengar balasanmu Bu Daniar segera memelukmu hangat, "Mama sayang kamu, jangan sampai kamu ngikutin jejak kakakmu," ucapnya.
Kamu mengangguk dalam diam, setelah Bu Daniar melepaskan pelukannya dia berkata, "Besok Fiona akan datang ke kantormu. Jangan marahi dia, bersikap baiklah padanya."
Kamu tersenyum miris, demi masa lalu kamu mengorbankan kehidupanmu sekarang. Kamu hanya bisa mengangguk pasrah, setelah itu Bu Daniar pergi meninggalkanmu dengan Fiona.
Kamu menatap Fiona dalam, memikirkan kata-kata Bu Daniar sebelumnya. Yang dikatakannya sangat benar, kamu menundukan kepala dan berbisik pelan, "Maaf, lo harus jadi umpan gue."
Aku terdiam sesaat sebelum tawaku pecah memenuhi ruangan. Bahkan, Freza pun sampai menutup kedua telinganya. Kuusap kedua mataku lembut, lihatlah mataku sampai berair dibuatnya."Haduh, sakit pipi gue, lagian kenapa juga lo mau nikah ama gue?" tanyaku untuk ke sekian kalinya. Berusaha mencari tahu tujuan sebenarnya Freza menikahiku.Freza hanya menatapku datar kemudian melanjutkan aktivitasnya. Dia tak sedikit pun menggubris perkataanku. Freza benar-benar menyebalkan, lihat saja aku akan membalasnya nanti.Aku berbalik dan berjalan menjauhi Freza, untuk saat ini aku tak mau menganggunya. Sekarang aku harus mengerjakan pekerjaanku. Ya, pernikahan kemarin telah membuatku menjadi miliader dalam sekejap.Tugasku sebagai seorang isteri yang baik adalah menghabiskan harta suami. Akan kuhabiskan dengan cara baik pula, hoho aku akan membelanjakan semua keinginanku yang sempat tertunda.Kan kuhabiskan hartanya, walaupun tubuhku di sini, tetap saja hat
Aku semakin terkejut mendengarnya. Freza berkata manis dan romantis? Setan apa yang telah merasukinya?Freza menatapku sambil tersenyum. Sial! Mengapa dia terlihat sangat tampan sekarang!? Aku hampir jatuh dalam pesonanya.Kedua pipiku merona merah, membuatku memalingkan wajah ke arah lain enggan menatap Freza. Hingga saat kurasakan sebuah tangan meraih tanganku, mataku menatapnya.Freza tersenyum kembali dan segera menarik tanganku. Aku terjatuh dalam pangkuannya, wajah kami begitu dekat.Aku tertegun cukup lama, kupandangi wajah tampan Freza membuat pria itu berbicara. "Gue tahu gue tampan tapi gak usah ditatap gitu juga."Freza sialan! Dia berkali-kali membuatku malu, dan sekarang aku terduduk diam di pangkuannya."Kok diem?" tanya Freza. "Enak ya duduk diem di pangkuan orang ganteng?" imbuhnya kemudian membuatku meringis. Fiks, Freza minta dihajar.Aku berniat untuk bangkit dan pergi, tetapi den
Oh Tuhan, aku sangat kebingungan sekarang. Terlebih Freza mengatakan jika dia menyukaiku. Memang aku tidak mempercayainya di awal, tetapi ntah mengapa sekarang aku sulit untuk menyangkalnya.Freza telah membuatku menjadi orang gila dalam sekejap. Langkah seperti apa yang harus kuambil? Baru memikirkannya sudah membuatku lelah. Tidak tahu sudah berapa kali indra penciuman ku menarik napas panjang.Tiba-tiba kurasakan perut ini yang terasa sakit, aku baru sadar jika hari ini diriku belum makan sesuap nasi pun. Karena ibu Freza menyuruhku berangkat pagi datang ke kantor, membuatku melupakan sarapan.Saat di kantor pun aku tak makan apapun, dengan langkah kaki gontai aku berjalan pergi ke kamar pun. Walau hati ini sedari tadi berdegup tidak karuan, aku tetap memaksa pergi.Ketika sampai di depan pintu, ku tarik napas panjang. Tanganku meraih gagang pintu dan segera mendorongnya. Ku telusuri setiap sudut
Ingin rasanya memarahi pria labil itu. Namun, hatiku tak tega melihatnya, jelas sekali terlihat jika Freza tengah kecewa. Tidak tahu dia kecewa karena apa, tetapi dapat ku simpulkan masalah Freza sangatlah berat.Sampai kami di perjalanan pulang pun Freza tak mengajakky berbicara. Sungguh Menyebalkan! Aku tak menyukai suasana canggung seperti ini."Maaf." Aku tersentak, kutatap Freza yang tertunduk lesu. Cukup lama dia terdiam, hingga kepalanya berputar menatapku."Maaf, lo pasti nungguin gue semaleman?" tanya Freza.Aku terdiam sesaat sebelum taw aku pecah memenuhi mobil. "Ya kali gue nungguin lo, lagian kapan sih seorang Freza bisa serius?" tanyaku balik berusaha menutupi luka di hati.Kesalahan terbesarku adalah mudah percaya pada pria, yang berstatus suamiku sekarang. Apakah ini efek dari sebuah pernikahan? Mudah sekali aku percaya pada Freza.Makanya, aku mencoba berbohong pada Freza aku tidak m
Aku baru menyadarinya, sejak kedatanganku ke sini aku tak pernah melihat keberadaan Rista. Segera kubuka pintu dan menatap gadis, yang selama dua hari ini tak kujumpai dengan intens. Rista menundukan kepalanya, mengalihkan pandangannya untuk tidak beradu mata denganku. Tidak tahu apa yang dipikirkannya, seolah ada sebuah perasaan tersirat yang ingin dia ucapkan padaku. "Kemana aja lo?" tanyaku penasaran. Tentu nadaku tidak ramah sama sekali, ntahlah aku tiba-tiba merasa kesal ketika Rista enggan menatapku. "Ma maaf, Nyonya. Dua hari ini Rista sibuk dengan tugas kampus. Banyak hal yang harus Rista siapkan, makanya Rista meminta cuci pada Tuan Freza. Beliau mengizinkan Rista, dengan syarat setelah ...." Rista menatapku yang tengah menatapnya balik. "Setelah apa?" Sungguh aku dibuat gila karena penasaran ini. Kenapa Rista menggantung ucapannya! Membuat sakit kepala orang saja. Rista kembali menundukan kepalanya, "Setelah Nyonya dan Tuan
Aku terdiam mematung mendengar seluruh sikap maupun ucapan Freza pada Rista. Perasaanku senang, Freza berarti memang benar peka. Tak perlu lagi aku khawatir, karena Freza membantuku. Rista menundukan kepalanya, wajahnya murung. Tangan kanannya terkepal kuat, aku tersenyum sinis melihatnya. Bisa dipastikan sekarang Rista sangat marah besar. Namun, dia tak bisa melakukan apa-apa. "Ba baik, Tuan," ucapnya kemudian bergegas pergi meninggalkan aku dan Freza berdua di kamar. Kutatap Rista sampai pintu benar-benar membuatnya hilang dari pandangan. Aku merasa sedikit jahat sekarang, tetapi itu lebih baik untuknya. Karena Freza tak menyukai Rista, jadi ku berusaha menyadarkannya untuk segera melupakan Freza."Ngapa lo? Seneng ya, tinggal kita berdua di sini?" Ucapan Freza berhasil membuyarkan lamunanku. Aku tak menjawabnya, lebih baik sekarang menatapnya. Apakah pria itu akan merasa tidak nyaman jika kutatap seperti ini? Dan jawabannya tidak!
"Woi bangun lu, tidur Mulu perasaan dah." Ucapan itu berhasil membuatku bangun dari tidur nyenyak sebelumnya.Kedua mataku menangkap sosok pria yang duduk di sebelahku. "Kenapa emangnya? Jangan ganggu gue tidur!" balasku membentak. Aku langsung terbaring kembali di atas kasur, tidak mempedulikan Freza yang berteriak memanggil namaku. "Fiona, bangun nggak? Lo udah jadi beban, jangan nambah beban lagi," ujar Freza menarik selimut yang membungkus tubuhku. Aku tidak peduli, bukan urusanku juga. Namun, sepertinya pria itu tak menyerah. Buktinya dia malah semakin kuat menarik selimutku. "Iya-iya, gue bangun nih," ucapku pasrah dan segera bangkit. Lagipula diriku sudah tidak mengantuk lagi karena teriakan Freza tadi. Freza tersenyum puas, dia mendorong kursi rodanya pergi keluar kamar. Aku yang melihatnya menjadi bingung. "Za, lo mau pergi ke mana?" tanyaku penasaran. Karena masa sih Freza datang kemari hanya untuk memba
Kubuka mataku hingga terasa akan keluar. Kutatap sekeliling kamar, tidak ada siapapun di sini selain diriku. Aku bermimpi jika semalam Freza mengutarakan perasaannya. Dalam mimpi, Freza mengatakan jika dia tidak akan meninggalkanku. Kuusap wajahku dengan gusar, aku terlelap begitu nyenyak hingga tak sadar sudah berganti hari. Seluruh benakku diisi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Freza. Sulit untuk aku akui jika akhir-akhir ini hati dan kepalaku tidak bisa lepas untuk memikirkan Freza. Pria itu sudah mengisi dan memenuhi seluruh ruangan hampa dalam diriku. Kulirik jam di samping yang sudah menunjukan pukul delapan pagi. Yang artinya Freza sudah berangkat ke kantor. Hati ini terasa begitu rumit, ntah apa yang kupikirkan selama ini. Kubaringkan tubuh ini kembali, langit-langit kamar menjadi tujuan pandanganku. Hingga suara ketukan pintu berhasil membuatku tersadar dari lamunan sesaat. Segera aku beranjak mengham