Share

Menjadi Umpan

last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-13 08:20:57

Freza hanya menatapku datar lalu melanjutkan aktivitasnya. Dia tak menjawab sedikit pun pertanyaanku. Dia telah membuatku kesal, dengan geram aku melempar bantal dan tepat mengenai wajahnya.

Aku tertawa, jika dipikir kembali sekarang aku lebih berani padanya. Mungkin karena ibu dan bapaknya Freza dekat denganku, jadi tak khawatir Freza akan mengusirku dari sini. 

Freza memicingkan mata menatapku, tetapi aku tak mempedulikannya. "Lo sih, gue tanya serius malah diem. Bisu atau tuli pun nggak," sungutku beralasan. 

"Lo emang pengen tahu? Kalau lo tahu gue harus apa? Gak penting, paham?" Freza melontarkan banyak pertanyaan padaku. Ck, pria itu ditanya malah nanya balik, dasar pria!

"Bodo, serah lo mau gimana," balasku tidak peduli. Langsung saja aku membanting tubuhku ke ranjang, terdengar Freza yang terkekeh geli senang membuatku kesal sepertinya.

"Lo mau gue jadiin umpan, keknya seru." Dahiku mengernyit heran mendengar penuturan Freza. Dengan segera aku bangkit dari tidurku, dan memilih menatap Freza yang juga tengah menatapku.

"Maksud lo apaan? Gue jadi umpan?" Freza tersenyum dan mengangguk. Aku semakin tidak mengerti dibuatnya. 

"Jelasin yang bener, jangan setengah-setengah." Aku berdecak kesal karena ternyata memang benar, kalau Freza menikahiku karena ada alasan lain.

Ya memang aku tidak mengharapkan cinta, dalam rumah tanggaku dengan Freza. Namun, tetap saja aku membenci orang yang memanfaatkan yang lain. 

"Lo mau dijadiin umpan, ngerti nggak sih?" Freza tampak berdecak mendengar penuturanku. Aih dia itu sangat tidak peka, masa balik nanya lagi sih!? 

"Iya gue ngerti jadi umpan tapi umpan apa? Umpan buaya darat atau apa? Tunggu kalau buaya darat berarti ...." Aku segera melemparkan bantal lagi ke arah Freza. Namun, kali ini lemparannya meleset, ah sial sekali!

"Apaan si, gak jelas banget lo lempar-lempar bantal gini," ucap Freza penuh dengan kekesalan. 

Freza kesal? Oh Tuhan, mengapa dia yang kesal? Seharusnya akulah! Karena kan yang dijadikan umpan itu aku bukan Freza. Dan Freza dengan seenaknya menjadikanku umpan.

Walaupun kami telah menikah, tetapi kan ini hanya sekedar pernikahan kontrak. Jadi Freza tak berhak sepenuhnya atas diriku, awas saja aku akan membalas perbuatannya yang ini nanti.

"Lo mau jadiin gue umpan buaya darat hah!? Awas aja ya, gue laporin Mama kalau anaknya KDRT sama menantu kesayangannya," ancamku membawa nama Bu Daniar. 

Rahang Freza menegas, dahinya semakin berkerut kesal tak terima dengan apa yang kuucapkan. Dia mengajakku beradu tatap, ayo. Kutatap balik Freza takmau kalah. 

Freza akhirnya pasrah untuk ke-dua kalinya. Dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, tetapi sebelum tubuhnya menghilang sepenuhnya masuk ke dalam kamar mandi. Freza mengatakan sesuatu, "Gampang, ntar gue kasih menantu baru aja."

Setelah mengatakan hal itu, Freza terkekeh geli dan segera menutup pintu kamar mandi. Sial! Aku hampir mengejarnya masuk karena kesal. Dipermainkan seperti ini olehnya. 

Tuhan, mengapa memberikanku suami seperti Freza? Sudah menyebalkan senang pula membuatku penasaran setengah mati. Aku harus segera membiasakan sikap Freza, ternyata Freza yang kukenal sangat berbanding terbalik dengan Freza di rumor.

Baru membayangkannya saja sudah membuatku pusing. Lebih baik aku pergi tidur sekarang, biarlah besok aku bertengkar lagi dengan Freza. Aku naik ke ranjang kembali, dan menyelimuti tubuhku dengan selimut lalu tertidur.

*

Aku berjalan menyusuri lorong kantor pagi ini. Bu Daniar menginginkanku menemani Freza bekerja, katanya biar hubunganku dengan Freza semakin dekat. Aku tak enak hati mengatakan jika pernikahan kami hanya sebatas kontrak.

Karena kasih sayang Bu Daniar, aku tidak tega jika menolak kemauannya. Makanya aku datang ke kantor Freza pagi ini. Freza sudah berangkat dari kemarin malam, Bu Daniar bilang kalau Freza ada urusan mendadak. 

Aku tidak peduli, mau Freza pulang atau tidak bukan urusanku lagi. Aku hanya melakukan apa yang Bu Daniar inginkan, bersikap sebagai menantu kesayangannya.

Banyak sekali yang menyapaku saat aku tiba, semua karyawan Freza sangatlah ramah. Berbeda dengan bosnya sendiri yang cuek dan galak. Para karyawan di sini didominan oleh kaum hawa, mungkin sekalian sebagai ajang pencuri hati Freza.

Tidak sedikit pula karyawan wanita yang menatapku dengan taksuka. Karena memang akulah yang menjadi isteri sah dari Freza sekarang. Ntahlah, aku merasa sedikit bangga bisa mengalahkan ratusan wanita. Walau sebenarnya aku tak sedikit pun menyukai Freza.

Sampai aku di ruangan Freza, sekertarisnya menyambutku dengan ramah. Ia mempersilahkan aku masuk ke dalam tanpa harus menunggu. 

Aku segera masuk, ruangan ini cukup besar. Baru dua langkah masuk ke dalam, parfum khas Freza sudah meraba indra penciumanku. Mataku menatap ke sekiling dan berhenti tepat pada seorang pria.

Ada yang aneh, mengapa Freza tidak mengeluh aku datang kemari? Freza hanya melayangkan tatapan kesal lalu kembali fokus dengan pekerjaannya.

Bukan aku namanya kalau nggak kepo, kudekati Freza dan menatapnya lekat. "Tumben banget lo nggak nanyain kenapa gue dateng ke sini? Pertanyaan yang sering lo tanyain sejak kita nikah tuh 'Ngapain lo di sana, ngapain lo gitu'. Tumben sekarang gak nanya gitu?" 

Freza memijat pelipisnya, "Lo bisa diem kagak? Tinggal duduk di situ tanpa ngomong emang susah? Gak lihat gue lagi kerja?" 

Aku berdecak kesal, "Ya kalau lo gak mau gue ganggu, ngomong dong. Cerita gitu napa gak tanyain kenapa gue di sini," sungutku tak mau kalah.

Ya, aku benar-benar sangat penasaran mengapa pria itu melunak sekarang. Tidak menuntut apapun dengan kalimat atau pertanyaan menyebalkannya. 

Freza menghela napas pasrah, dia menatapku kesal dan mulai bercerita.

*

Setelah perdebatan panjang dengan Fiona, kamu memilih pergi dan membersihkan diri. Saat kamu keluar kamar mandi, kamu terkejut melihat Bu Daniar duduk di sebelah Fiona yang tertidur pulas.

Kamu pun bertanya, "Mama lagi apa? Apa ada hal pentingkah? Padahal Freza bisa aja dateng ke kamar Mama," ucapmu seraya mendekati Bu Daniar.

"Freza denger ucapan Mama, kamu itu harus jaga Fiona. Mama nggak mau kamu mempermainkan sebuah pernikahan," ucap Bu Daniar membuatmu tertegun. 

Kamu tersenyum, "Iya Ma," balasmu singkat. 

Mendengar balasanmu Bu Daniar segera memelukmu hangat, "Mama sayang kamu, jangan sampai kamu ngikutin jejak kakakmu," ucapnya.

Kamu mengangguk dalam diam, setelah Bu Daniar melepaskan pelukannya dia berkata, "Besok Fiona akan datang ke kantormu. Jangan marahi dia, bersikap baiklah padanya."

Kamu tersenyum miris, demi masa lalu kamu mengorbankan kehidupanmu sekarang. Kamu hanya bisa mengangguk pasrah, setelah itu Bu Daniar pergi meninggalkanmu dengan Fiona.

Kamu menatap Fiona dalam, memikirkan kata-kata Bu Daniar sebelumnya. Yang dikatakannya sangat benar, kamu menundukan kepala dan berbisik pelan, "Maaf, lo harus jadi umpan gue."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Priaku di Kursi Roda   Terungkapnya Masa Lalu

    "Apa yang kau katakan!?" Segera kulepas genggaman tangannya.Aku tidak mengerti dengan Ardi yang tiba-tiba mengatakan seperti itu.Ardi menarik nafas panjang, dia menatapku dengan tatapan yang serius."Dengarkan aku dulu Fiona.""Aku benar mencintaimu, aku bahkan siap dengan masalalumu. Aku akan membesarkan anak yang tengah kau kandung dan mengatakan pada dunia jika dia adalah anakku.""Ardi cukup! Kau sudah gila apa!? Kita baru bertemu beberapa kali, aku mengikuti keinginanmu bukan berarti aku akan selalu setuju dengan apa yang kau katakan!""Aku memang sudah gila, apa kau lupa Fiona? Di restaurant ini adalah pertemuan pertama kita?" Ardi bertanya membuat dahiku mengernyit.Kutatap sekitar, perasaan familiar ini datang. Tiba-tiba aku teringat dengan masa laluku.Saat itu merupakan

  • Priaku di Kursi Roda   Pengakuan

    Tatapanku menatap kosong ke depan. Pikiranku melayang kemana-mana, hari-hari yang begitu indah kini sudah terganti dengan hari kelam.Satu jam yang lalu Ardi mengantarkanku pulang. Kupikir aku akan diusir dari rumah, tetapi yang mengejutkan Freza menungguku.Dan seperti biasa dia memarahiku, tetapi diriku sudah kebal dengan amarahnya. Jadi aku sekarang bisa menganggapnya angin lalu.Ucapan Ardi waktu itu benar-benar membuatku membuka mataku dengan lebar."Dunia sangat kejam jika kita tidak menikmatinya. Ayolah, tidak semua ucapan orang harus kita dengar, karena untuk mereka kita adalah tokoh sampingan, pun sama dengan kita."Aku tersenyum ketika mengingat Ardi mengatakannya dengan penuh percaya diri. Sulit untuk kupercaya, melihat dirinya sudah memiliki banyak skandal. Dan mungkin aku akan menjadi salah satu bagian dari skandalnya itu.&

  • Priaku di Kursi Roda   Balas Dendam Terbaik

    Freza menatapku dengan tersenyum picik, dia berdiri kemudian mendorong kursi rodanya mendekat padaku. "Apa maksud lo, hah?" Kulempar koran tadi tepat mengenai wajahnya. Aku benar-benar muak, memangnya tidak cukup jika aku hanya digunjing oleh orang-orang di sekitar kita? Kenapa harus melibatkan media juga? "Emang kenyataannya kan? Kalau lo selingkuh dari gue! Kenapa lo harus marah?" Aku terdiam, benar-benar Freza sudah melampaui batasnya. Namun, aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku tidak memiliki apapun. Lebih baik aku memilih pergi, enggan untuk berdebat dengan Freza. Akan tetapi Freza segera menarik tanganku, hingga aku menatap ke belakang."Lepas!" Kulempar tangan Freza yang mengenggam tanganku erat. "Bener ya kalau tampang baik gak selamanya baik. Kayak lo, yang sering main di belakang gue!" tutur Freza dengan rahang yang menegas. Aku tersenyum mendengarnya, "Gue gak peduli sama yang lo pikirin. Dan satu hal lagi, lo gak perlu nyewa anak buah buat gertak gue. Gak ada

  • Priaku di Kursi Roda   Kabar Buruk

    Aku memilih untuk pergi ke sebuah butik, kemarin sebelum aku pergi ke hotel. Sempat aku bawa beberapa kartu ATM yang diberikan oleh Freza padaku. Hari ini aku berniat untuk membeli beberapa pakaian yang akan kupakai nanti di undangan malam ini. Cukup lama aku mencari gaun yang cocok untuk kugunakan. Ketika sedang fokus berpikir, aku mendengar seseorang yang berbicara di sampingku. Lirikanku berubah untuk menatap seorang pria. "Kenapa?" tanyaku ketika melihat pria itu menatapku dengan tersenyum. "Anda memiliki wajah yang begitu cantik, dan tubuh yang begitu indah," tuturnya membuatku membulatkan kedua mata. Kupeluk diriku dan segera menjauh, ingin sekali aku menampar pria di depanku ini. Dia begitu sembarangan dengan memuji diriku yang tidak dikenalinya. Dan parahnya, dia menatap seluruh tubuhku. Pria itu tertawa, "Maaf, saya tidak suka memaksa wanita. Apakah ada gaun yang anda sukai?" tanyanya kembali. Aku terdiam

  • Priaku di Kursi Roda   Rahasia Freza

    Malam ini aku memilih untuk tidak pulang ke rumah, aku menginap di hotel tempat aku dengan Freza datang dulu. Sebelumnya aku takut dengan tempat ini, tetapi ketika Freza membawaku ke sini dan mulai bersikap lembut padaku, membuatku tidak takut untuk datang ke sini lagi. Tempat ini merupakan tempat yang membuatku kehilangan kesucianku. Ya, malam itu adikku yang membawaku ke hotel ini dan seorang pria yang merenggut kesucianku. Aku benar-benar benci ketika mengingatnya, apalagi karena ulah mereka kini aku harus mendapat bencananya. Cukup lama aku terdiam di kamar, hanya keheningan yang menemaniku malam ini. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamarku. Suara langkah kaki itu benar-benar nyata dan semakin dekat. Aku terkejut, segera aku bersembunyi di dalam lemari. Beruntungnya lampu di kamar itu sedikit pencahayaannya, sehingga membantuku untuk menyembunyikan diriku. Samar-samar aku mendengar suara pria yang begitu akrab dengan telingaku. Wajahku men

  • Priaku di Kursi Roda   Pria Mesum

    Sudah dua hari lamanya dari  obrolanku dengan Freza di ruang kerjanya. Sejak saat itu aku sudah tidak menemui Freza, bahkan ketika kami berpapasan kita berdua seperti orang asing. Hatiku benar-benar hancur melihat sikap acuh Freza. Bahkan ketika aku berada di kantor, semua orang menghinaku dengan tanpa rasa malu. Dan aku hanya bisa diam saja, aku pergi ke kantor untuk menunaikan janjiku pada Mama. Namun yang kudapatkan hanya sebuah kesia-siaan. Seperti hari ini, aku memilih untuk diam di atap kantor sendirian di sana. Menikmati angin sejuk yang menyapu seluruh kulit. "Nyonya," seseorang memanggil membuatku melihatnya. Seorang pria menunduk hormat, membuatku menatapnya dengan tatapan bingung. "Nyonya, maaf tapi Anda diundang untuk datang ke acara pesta aniversary pernikahan temannya tuan. Saya diperintahkan untuk menyampaikannya kepada nyonya," ucapnya dengan tegas. Aku terdiam, "Siapa yang menyuruhmu?" tanyaku.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status