Di perjalanan pulang, Nyai Ratna dan Naima di buat heran melihat perkumpulan orang yang sedang mengerubungi rumah salah satu penduduk. Di depan rumah itu terdengar seorang ibu-ibu yang sedang meraung menyayat hati, beberapa tetangganya mencoba menenangkannya. Bapak-bapak yang berada di sekitar rumah tersebut sedang berkumpul, merundingkan sesuatu.
Naima dan Nyai Ratna pun berjalan mendekat kearah mereka, menayangkan apa yang sebenarnya terjadi.“Punten Ceu, ada apa ini? Kok rame-rame?” Tanya pelan Nyai Ratna menepuk bahu salah seorang ibu yang sedang berdiri melingkar mengerubungi ibu-ibu malang tadi. Ibu-ibu yang kisaran berusia 40 tahun itu membalikkan tubuhnya, menatap kearah Nyai Ratna dan Naima dengan sedih bercampur ketakutan.“Ehh Nyai ternyata. Ini Nyai, bayi nya Ceu Maryam ada yang nyulik ba'da ashar barusan. Bayi nya hilang ketika Ceu Maryam shalat.” Terang ibu itu dengan wajah yang sedikit ketakutan. Nyai Ratna dan Naima pun terkejut, mereka saling pandangNaima duduk sila di samping Sagara, ia memusatkan pikiran mencari keberadaan sosok dengan tawa yang sangat menyeramkan itu. Ia yakin, keberadaan sosok itu tidak jauh berada di sekitarnya. “Pangeran apa kamu bisa melihat sosok bayangan dari suara tawa menyeramkan itu?” Tanya Sungguh-sungguh Naima yang masih memejamkan mata. Ia memusatkan pikirannya dengan cahaya gelang yang semakin bersinar. Sedangkan sagara disampingnya sedang fokus memutari tempat berdirinya, mencari sosok pemilik suara menyeramkan itu. “Aku belum bisa menemukannya Naima.” Jujur Sagara dengan wajah seriusnya. He... He... He... HeheheNaima langsung menangkap suara itu, yang jelas terdengar ditelinganya,“Pangeran, lihat kearah jarum jam dua belas, di atas pohon beringin.” Ujar Naima dengan keringat dingin, menerima petunjuk dari gelang yang dipakainya. Cahaya terang dari gelang itu seakan menyerap kekuatan dirinya, hingga si empunya kewalahan karena belum mampu mengendalikannya.
“Pangerannnn!” Sagara memejamkan matanya mendengar teriakan dari Cakra yang kini berjalan kearahnya, ia membalikkan tubuh lalu menatap tajam kearah bawahannya. Ia menggerutu dalam hati, Cakra menggangunya ketika ia berusaha mengungkapkan keinginannya. “Pangeran dari mana saja? Saya khawatir mencari Pangeran kemana-mana. Tadi sesepuh disini menanyakan keberadaan Pangeran.” Terang Cakra panjang lebar tanpa menyadari kehadiran Naima yang tubuhnya terhalang oleh Sagara. Sagara dengan wajah jengkel menatap tajam kearah Cakra yang kini berada didepannya. “Kamu tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya tak mungkin menghilang, saya sudah besar.” Ketus Sagara. Cakra pun di buat bingung dengan tingkah Sagara, yang kini terlihat jengkel padanya. “Maaf Pangeran.” Naima yang bersembunyi di belakang Sagara pun merasa kesal dengan sikap Sagara pada bawahannya. Ia menggeser tubuh Sagara agar tidak menghalangi jalannya.
“Ada apa Pangeran?” Tanya bingung Naima seraya menolehkan kepalanya, ia menatap aneh kearah Sagara yang masih memegang lengannya erat. Mendapat tatapan itu, Sagara melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia tersenyum sedikit lebar dengan mengeluarkan sebuah benda yang sejak tadi berada di tangan kanannya. Tanpa berkata apa-apa, Sagara langsung memakaikan jepit rambut itu di rambut Naima.Naima membulatkan matanya ketika Sagara memasangkan jepit rambut itu di kepalanya. Wajahnya sedikit merona menerima perlakuan manis dari Sagara.“Cantik.” Puji Sagara dengan tersenyum lebar. Naima yang memperhatikan gerak-gerik Sagara, akhirnya menundukkan wajahnya. Ia tersenyum samar dengan wajah memerah seperti kepiting rebus.“Kamu cocok mengenakan ini Naima. Awas Jepit rambutnya jangan sampai hilang! Jika hilang, saya akan menghukummu.” Ancam lembut Sagara dengan mata yang tak beralih dari wajah Naima yang masih tertunduk.Naima meraba kepalanya lalu mengusap lembut jepitan itu
Naima berjalan perlahan-lahan mengintari pepohonan yang mengelilingi pengungsian warga. Ia ingin memastikan beberapa makhluk yang menghuni pohon tersebut. Ia pun ingin mengetahui, apakah makhluk astral itu bisa dilihat pada siang hari.Sudah beberapa pohon ia amati, namun dirinya tidak melihat apapun. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah Abah Arya yang sudah lama tak ia lihat.Ia berjalan dengan terburu-buru seraya mengamati rumah warga yang tampak kosong. Suasana yang sepi, membuat kengerian. Bulu kunduknya meremang, namun diabaikannya. Ia harus memberanikan diri untuk pulang terlebih dahulu kerumah Abah Arya sebelum nanti kembali ke tempat pengungsian yang berada di rumah Maryam.“Jangan takut. Ini masih sore! Hantu tidak akan keluar pada sore hari.” Batin Naima seraya menepuk-nepuk dadanya yang mulai berdebar hebat. Karena merasa ada yang mengikuti, ia pun langsung berlari kencang ke rumah Abah Arya yang hanya terhalang beberapa rumah.Ketika Naim
Setelah melihat kondisi Maryam yang sudah terlelap, Naima keluar rumah dengan langkah pelan. Ia mengamati anak-anak yang sedang bermain di halaman, dan ibu-ibu yang berdiri berjejer menumbuk padi menggunakan lisung. Itu merupakan salah satu cara tradisional untuk menghasilkan beras agar lebih mudah di masak. Semoga teror Mak Rompang ini segera berakhir, agar masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa. Naima kembali mengamati keadaan sekitar, melihat kearah pepohonan rindang yang berada di sekitar pemukiman tersebut. Ia yakin para Wewe Gombel itu mengawasi mereka dari sana, walaupun jika siang hari tak terlihat. “Nana, banyaklah beristirahat! Kamu baru pulih Nak!” Teriak Nyai Ratna seraya melambaikan tangan kearah Naima yang sedang menatap dalam beberapa pepohonan. Naima menolehkan setengah tubuhnya kearah Nyai Ratna yang berdiri diantara kumpulan ibu-ibu yang sedang menumbuk tersebut. Naima tersenyum dengan membalas lambaian tangan
“Ibu ingat malam itu? Malam ketika Nana keluar melihat keadaan sekitar. Ibu Ingat suara Nenek-nenek tua yang sedang tertawa? Nana melihat Nenek-nenek tua itu sedang duduk di atap rumah yang berada di samping rumah Maryam. Nenek-nenek tua itu memandang kearah kita dengan penuh kebencian dan amarah yang berkobar.”“Nenek-nenek itu berusaha beberapa kali masuk ke rumah yang ditempati warga, namun terpental karena tidak bisa menembus ke 4 rumah ini. Dia marah-marah lalu pergi, dia mengancam akan datang lagi kesini. Nana mengikutinya, karena Nana merasa nenek-nenek tua itu dalang di balik terornya kampung ini. Entahlah kalian akan percaya atau tidak dengan cerita Nana. Tapi itulah yang terjadi, Nana tidak mengada-ada. Nana juga bingung, kenapa Nenek-nenek tua itu tidak menyadari keberadaan Nana.” Naima menceritakannya dengan terbata-bata. Tetesan demi tetesan air mata membasahi wajahnya yang putih pucat. Ia menangkupkan kedua tangannya ke wajah dengan sangat frustasi. Kam