Share

Chapter 3

"Kamu apain aja anak saya di dalam mobil, hah? Kamu ini setiap kali bertemu dengan anak saya, pasti ada saja acara pelukannya. Tidak di kebun kopi, di dalam mobil, selalu saja modus. Bajingan!"

Chris mengarahkan tongkat bisbolnya sekuat tenaga ke arah tubuh Galih. Dari samping kanan kirinya Tian dan Tama juga merangsek maju bermaksud untuk menghajar polisi modusan yang kesempatan banget memeluk-meluk si Merlyn. Tama kesal sekali. Enak sekali orang ini main peluk-peluk saja. Lah dia saja yang sudah bertahun-tahun menjadi pengawal santingan Mer, sekalipun tidak pernah mencuranginya. Padahal terkadang pengen juga. Eh ngebathin apa sih dia? Tama malu sendiri dengan pikiran absurdnya. Ingat pacar woy!

"Eh... eh... stopp... stopp... setopppp! Yah, Bang Tian, Bang Tama. Jangan sembarangan memukul aparat kepolisian yang sedang bertugas. Sanksinya berat! Denger ya, nih Mer bacain kata mbah g****e di klinik hukum online. Dalam KUHP terdapat pengaturan mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap aparat yaitu dalam Pasal 212 KUHP yang berbunyi ; Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada seseorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah, atau melawan kepada orang yang waktu membantu pegawai negeri itu karena kewajibannya menurut undang-undang atau karena permintaan pegawai negeri itu, dihukum karena perlawanan, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat juta lima ratus ribu rupiah," Merlyn yang melihat suasana sudah tidak kondusif segera meraih ponsel. Ia browsing mengenai tindakan mencelakakan petugas hukum. Bagaimana pun, Galih telah menolongnya.

"Terus ancaman hukumannya dapat di tambah. Kalau petugasnya sampai luka-luka, akan di penjara lima tahun. Kalau luka berat, delapan tahun enam bulan dan kalau sampai mati di penjaranya bisa sampai dua belas tahun! Abang polisi pasti mati ini kalau kalian keroyok bertiga. Ayah apa tahan tidur di hotel Rodeo eh Oreo sendirian selama dua belas tahun? Bang Tian, Bintang pasti kawin lagi kalau dianggurin selama dua belas tahun. Dan Bang Tama, apa mungkin Karina nungguin Abang sampai dua belas tahun? Yang bener Abang keluar dari penjara si Karina anaknya udah lima. Kalau punya otak dipake mikir dong. Jangan di anggurin aja? Jadi karatan kan jadinya?"

Merlyn membacakan hasil temuannya sembari berdiri tegak di depan Galih. Ia merentangkan kedua tangannya. Berusaha melindungi abang polisinya dari hajaran ayahnya, abangnya dan juga Tama. Galih mendengus. Tinggi badan gadis ini bahkan tidak mencapai bahunya. Tetapi lagaknya sudah seperti seorang Wonder Women saja. Ia tidak sudi berlindung dibalik rok wanita. Cuih! Tapi tunggu dulu. Ponsel siapa yang dipakai oleh gadis ini? Soalnya ponselnya 'kan dalam keadaan kehabisan daya. Jangan... jangan...

"Ponsel siapa yang kamu pakai browsing itu, Mer?"

"Ya ponsel Abang lah. Kan ponsel saya lagi mati karena habis baterenya. Abang lupa? Katanya polisi, tapi hal-hal kecil begini saja Abang tidak ingat. Bagaimana mau menangkap penjahat coba?" Merlyn menjawab dengan pandangan seolah-olah ia sudah gila karena menanyakan pertanyaan yang seabsurd itu padanya. Gadis ini memang luar biasa. Luar bisa onengnya maksudnya.

"Kamu tahu tidak, kalau seseorang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun, itu sudah melanggar Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU No.19/2016. Dan kamu tahu tidak ancaman hukumannya apa?" Merlyn dengan cepat menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Enam tahun penjara atau denda paling banyak banyak enam ratus juta rupiah. Satu hal lagi, Lembaga Permasyarakatan itu biasa di sebut dengan nama hotel Prodeo, bukan Rodeo apalagi Oreo. Mengerti kamu?" Ia mengambil kembali ponselnya yang di pinjam tanpa permisi oleh Merlyn.

"Apa? Enam ratus juta hanya karena meminjam hape orang buat browsing? Wahhh... yang buat undang-undang musti didemo ini. Nggak masuk akal! Kuota yang dipakai tidak seberapa tapi dendanya nauzubillah. Pemerasan ini namanya!" Merlyn mencak-mencak mendengar penjelasan Galih. Ia benar-benar tidak terima. Ternyata ada yang lebih mahal dari para penjual makanan dan minuman di cinema!

"Mengenai ehm pelukan yang saya lakukan pada putri Anda. Saya akan menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya pada Anda, Pak Chris.  setelah saya menjelaskannya, baru Anda boleh berasumsi. Tapi demi Tuhan, biarkan Merlyn menukar pakaian dan mungkin minum paracetamol dulu. Lihat bibirnya sampai membiru karena kedinginan!"

==================================

"Jelaskan semuanya dari awal, Mer. Jangan sampai ada yang ketinggalan atau kamu sembunyikan dari kami semua." Chris menatap tajam putrinya yang sedang memegangi selembar kertas dan terus saja komat kamit membaca dan sepertinya mencoba menghafalnya. Mer sudah berganti pakaian dan minum obat. Keadaannya sudah sedikit lebih baik. Mereka sekarang sudah berkumpul di ruang tamu. Siap mendengarkan cerita Merlyn.

"Bunda mana, Yah?" Mata Merlyn mencari-cari sekutunya. Ia tahu setelah ini ia pasti akan di hukum. Kalau bundanya ada disini, biasanya bundanya akan mencoba membelanya mati-matian. Makanya ia menanyakan keberadaan bundanya yang sama sekali belum terlihat sedari tadi.

"Bundamu menginap di rumah Tante Maddie. Kenapa? Mencari pembela? Jangan menjadi seorang pengecut, Merlyn. Ayah tidak pernah mengajarkan kamu untuk menjadi seorang pecundang. Ingat, tangan mencencang, bahu memikul. Sekarang jelaskan!" Chris duduk berhadap-hadapan dengan Merlyn. Di samping kanan dan kirinya duduk Tian, Tama dan Galih. Mereka semua bersiap mendengarkan cerita versi dirinya.

"Sebentar, Mer hafal dulu urutan kejadiannya." Merlyn membaca sekali lagi kertas yang terus dia tulis dan coret sedari tadi. Berkomat-kamit sebentar, sebelum mengucapkan kata aamiin diakhir hafalannya.

"Kamu mencatat semua kata-kata yang ingin kamu ceritakan pada ayah, Mer? Ayah cuma ingin kamu menceritakan kronologis kejadian kenapa kamu berbohong pada Tama dan pulang basah kuyub dengan bapak polisi ini. Ayah bukan meminta kamu untuk berpidato, Mer!" Chris menepuk dahinya. Merlyn menjengitkan alisnya.

"Tapi tadi Ayah sendiri yang bilang jangan sampai ada kata-kata yang ketinggalan atau Mer sembunyikan. Makanya ini Mer catat semua biar nggak ada kalimat yang terlupa atau ketinggalan, Yah." Merlyn menjawab bingung. Lah pan tadi mintanya versi lengkap. Sekarang malah minta ringkasannya saja. Ini yang bener sebenernya pegimana sih? Merlyn menjadi bingung sendiri.

"Seingatnya kamu saja, Mer. Bagian-bagian mana saja yang sekiranya menurut kamu penting untuk diceritakan. Dan yang paling penting, jangan menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya hanya karena takut kamu akan dimarahi. Itu maksud ucapan ayah kamu, Mer."

Galih berusaha menjelaskan dengar sabar. Ia tidak tega juga melihat Merlyn kebingungan dan ketakutan sedari tadi. Istimewa bundanya tidak ada. Merlyn pasti makin merasa tidak nyaman karena merasa tidak ada yang membelanya.

"Termasuk waktu Abang maksa saya angkat tangan dan menyuruh saya masuk ke dalam mobil patroli karena mengira saya ini kaki tangan gembong narkoba ya, Bang?"

Mampusss! Salah ngomong gue, batin Galih.

"Anda menyangka anak saya ini kaki tangan gembong narkoba? Kalau benar putri saya ini kaki tangan gembong narkoba, pasti sudah bangkrut itu bandarnya karena anak buahnya tertangkap melulu. Asumsi Anda sama sekali tidak masuk akal!" Chris sampai berdiri dari kursinya karena emosi mendengar tuduhan Galih terhadap putrinya.

"Saya tadi tidak melihat dengan jelas wajah putri Bapak karena gelap. Lagi pula dalam tugas saya tidak boleh tebang pilih. Semua orang sama kedudukannya di dalam hukum. Putri  Anda tadi berada di lokasi penangkapan gembong narkoba. Jadi wajar saja kalau saya berasumsi demikian bukan?" Galih menjawab diplomatis. Chris hanya mendengus kasar.

"Karina tadi pengen ke club, Yah. Dan dia ngajakin Bang Tama. Mer nggak enak bikin Bang Tama nanti berantem lagi sama Karina gara-gara Mer. Makanya Mer bilang kalau Mer nanti pulangnya dijemput sama Bang Tian. Nah, pas Mer mau mesen ojek online, rupanya hp Mer mati. Habis baterenya, Yah."

"Kan Abang sudah bilang jangan memakai ponsel danga danga seperti itu lagi. Baru saja dicharge full baterenya, eh baru sejam kemudian sudah padam. Pake hape yang lumayan sedikit dong, Mer. Kamu ini pelit banget sih jadi orang? Duit nggak bakalan di bawa mati juga!" Tian berusaha menasehati adik iritnya.

"Sudah besok kamu beli ponsel seperti punya abang saja. Sudah tahan air sampai 2 meter, tahan debu, ios 12 lagi. Baterenya juga nggak gampang soak. Hampir bisa di bilang nggak ada kelemahannya, Dek."

"Ada satu kelemahan iphon* yang Abang nggak tahu kan?"

"Hah? Apa coba?" Tanya Tian penasaran. Adik onengnya ini mengerti apa mengerti masalah fitur dan plus minusnya sebuah ponsel.

"Denger baik-baik ya, Bang. Kelemahan iphon* itu cuma satu. Nggak bisa d******d game atau aplikasi di play store. Cemen banget kan?"

Astaghfirullahaladzim! Keonengan hakiki adiknya ternyata makin meningkat tajam. Tian speechless. Ia tidak tahu lagi harus menasehati adik onengnya ini mulai dari mana dan dengan bahasa apa.

"Iphon* memang tidak bisa dipakai untuk mendownload game dan aplikasi via playstore, Mer. Karena khusus untuk iphon* aplikasi itu semua bisa di akses di APP store. Jadi intinya sama saja, hanya nama aplikasinya yang berbeda. Paham kamu, Mer?"

Galih kembali menjelaskan dengan sabar. Chris, Tian bahkan Tama harus mengakui kalau Galih ini sabar sekali dalam menghadapi cara berfikir sederhananya Merlyn. Cara Galih menjelaskan sesuatu itu sangat runut dan terkesan tidak menggurui. Ia memakai kaca mata dan sudut pandang Merlyn. Makanya Mer cepat mengerti maksud dan tujuan ucapannya.

"Oohhh gitu... namanya aja yang beda ya? Tapi fungsinya sama?" Merlyn mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri. Dia puas karena sudah mengerti. Ia kemudian melanjutkan kembali ceritanya.

"Nah terus waktu Mer keluar dari parkiran mau nyari taksi biasa aja yang nggak pakai aplikasi, eh malah hujan deras banget. Waktu Mer mau neduh di halte, Mer mendengar ada suara tembak-tembakan. Mer pikir lagi shooting film eh rupanya beneran," selama Mer bercerita, Galih memperhatikannya dengan mata tidak berkedip. Ia suka sekali melihat cara Merlyn cerita. Lucu dan menggemaskan.

Astaga, Galih. Ingat, kamu ini seorang polisi!

"Terus Mer mau diamankan ke kantor polisi sama Abang Polisi ini karena dipikir kaki tangan gembong narkoba. Tapi akhirnya nggak jadi karena Abang Polisi bilang Mer nggak salah. Terus Abang Polisi nganterin Mer pulang. Udah lengkap belum cerita saya, Bang?"

Merlyn menatap Galih meminta dukungan. Galih menganggukkan kepalanya agar gadis ini bisa segera beristirahat. Galih melihat wajah Merlyn memerah dan matanya berair. Pasti suhu tubuhnya mulai meninggi. Lebih baik gadis ini segera beristirahat. Entah mengapa ia selalu jatuh kasihan setiap melihat si Merlyn ini dalam kesulitan. Saudara bukan, teman bukan, pacar apalagi. Tetapi entah kenapa hatinya selalu merasa ingin menjaganya, melindunginya. Mungkin itu karena tugasnya sebagai seorang polisi yang memang sudah seharusnya melindungi setiap warga negaranya. Ya, pasti karena itu.

"Mengenai mengapa saya memeluk putri Bapak, itu saya lakukan karena putri Bapak terus-terusan menggigil kedinginan. Pakaiannya basah kuyup. Saya menyarankan untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian bersih saya, tapi putri Bapak menolak. Saya takut kalau putri Bapak terkena hipotermia. Makanya saya, maaf memeluknya sepanjang perjalanan dengan lengan kiri saya selama saya menyetir. Saya berusaha membagi panas tubuh alami saya kepada putri Bapak yang untungnya berhasil. Putri Bapak tertidur di sepanjang perjalanan dalam maaf, pelukan saya. Itulah penjelasan saya mengenai masalah pelukan tadi. Masalah Bapak mempercayai atau tidak kata-kata saya, Bapak bisa mengkonfirmasinya langsung dengan putri Bapak sendiri. Kita berdua sama-sama tahu bahwa kejujuran putri Bapak itu bahkan lebih jujur dari pada seorang anak kecil sekalipun."

Galih dengan kesatria mengakui semua perbuatannya pada Merlyn kepada ayahnya. Masalah apakah ayah gadis itu mempercayainya atau tidak, itu bukan urusannya. Yang terpenting adalah ia sudah menjelaskan semua kejadiannya.

"Saya mengucapkan terima kasih karena Anda telah menolong putri saya lagi, Pak Polisi. Tetapi saya tetap tidak suka kalau Anda menyentuh-nyentuh putri saya walau sekasual apapun bentuknya. Saya harap Anda tidak akan mengulanginya lagi. Putri saya ini istimewa sekali cara berpikirnya. Dia tidak akan mengerti kalau ia itu dimodusi atau dimanfaatkan sekalipun. Ini peringatan pertama dan terakhir untuk Anda. Jangan memanfaatkan kenaifan putri saya lagi atau saya akan menghabisi Anda dengan kedua tangan saya sendiri. Mengerti!"

Chris menatap kedua mata Galih dengan pandangan mengancam. Ada keteguhan dan keseriusan yang nyata di sana. Chris bersungguh-sungguh dengan semua ucapannya.

"Siap! Saya mengerti Pak Chris." Galih menjawab tegas ala polisi. Pandangan Chris kini beralih pada Tian. Ada tatapan yang hanya mereka berdua sajalah yang mengerti.

"Tian, bawa adikmu ke ruang isolasi. Biarkan dia merenungi semua kesalahannya hari ini. Nasib baik dia tadi bertemu dengan seorang polisi. Ayah tidak tahu nasibnya akan seperti apa jika ia bertemu dengan seorang perampok atau pemerkosa. Bawa ia sekarang kesana."

Chris menugaskan Tian untuk membawa Merlyn ke gudang belakang rumah yang biasa mereka sebut dengan ruang isolasi. Ruangan ini tempatnya terpisah cukup jauh dari rumah utama. Dia memang sengaja menugaskan Tian yang membawa putrinya ke sana. Karena sejujurnya ia takut hatinya nanti akan luluh apabila ia melihat cucuran air mata putrinya. Semua kesalahan memang harus ada konsekuensinya bukan? Bukan masalah hukumannya point utamanya. Akan tetapi masalah indisiplinernya lah yang ingin ia tekankan. Ia bertujuan agar yang bersangkutan lain kali akan berpikir seribu kali untuk mengulangi kembali kesalahannya. Chris selalu bersikap tegas terhadap anak-anaknya.

"Ampun, Yah. Ampun. Jangan membawa Mer ke ruangan itu lagi, Yah. Disana gelap sekali, Yah. Mer! Mer bukannya ingin mengelakkan hukuman, Yah. Ini pakai ini aja ya, Yah. Mer sudah pilih yang paling lebar dan paling tipis kulitnya. Libas aja Mer pakai ikat pinggang, Ayah? Suka hati ayah berapa kali pun. Mer nggak akan minta pengurangan angka. Asal jangan di bawa ke gudang ya, Yah? Mer takut!"

Merlyn sampai menyembah-nyembah ayahnya karena ketakutan. Dia tidak suka dikurung di gudang dalam keadaan gelap-gelapan. Setiap ia dan Tian kecil dulu melakukan kesalahan, biasanya ayahnya akan menghukum mereka agar mereka tahu konsekuensi dari sebuah kesalahan. Mulai dari berdiri satu kaki, menulis berlembar-lembar dengan kata-kata saya tidak akan mengulangi kesalahan lagi, dicambuk ikat pinggang dan yang terakhir, disekap di gudang belakang rumah. Merlyn yang sangat takut dengan kegelapan selalu menangis sepanjang malam apabila ia harus dikurung semalaman di sana. Hingga sampai dewasa seperti sekarang ini pun, Merlyn tetap ketakutan saat dihukum di sana.

"Maaf, Pak Chris. Bukannya saya bermaksud lancang. Tapi hukuman seperti itu tidak mendidik, Pak. Bukankah lebih baik kalau Bapak menghukumnya dengan cara-cara yang lebih manusiawi? Membersihkan rumah, bakti sosial atau menjadi tenaga honorer di panti jompo misalnya. Bukankah itu lebih mendidik, Pak Chris? Lagi pula putri anda itu sedang sakit. Kasihan, Pak."

Galih yang tadi sudah bermaksud ingin pamit pulang, menjadi tidak tega saat melihat Merlyn minta-minta ampun sambil nangis kejer seperti itu kepada ayahnya. Galih yakin sampai di rumah pun dia tidak akan bisa tidur dengan tenang karena membayangkan Merlyn yang pasti akan menangis ketakutan di dalam gudang semalaman.

"Kamu jangan mengintervensi segala keputusan saya. Pintu keluar ada di sebelah sana. Anda mau pulang sekarang atau mau saya mutilasi kecil-kecil!" Chris mengamuk karena merasa digurui. Ia paling tidak suka kalau segala keputusannya di intervensi.

Dengan apa boleh buat Galih terpaksa undur diri. Hatinya bagai diremas-remas saat melihat Merlyn yang terus saja menangis menghiba-hiba saat ditarik paksa Tian ke gudang belakang rumah. Sesaat sebelum Merlyn menghilang dari ruangan, mereka berdua saling bertatapan. Ada permintaan tolong tak terucap dari kolam air matanya untuk Galih. Hanya saja ia bukan siapa-siapa di sana. Ia tidak punya hak untuk mengintervensi Chris. Tapi dia tidak bisa diam saja tanpa bertindak. Ia akan menolong Merlyn bagaimanapun caranya!

Di dalam mobil Galih memasang earphone dan menelepon seseorang. Untuk pertama kalinya Galih menggunakan kekuasaannya untuk urusan pribadinya.

"Hallo Iptu Bramantyo, tolong lacak nomor ponsel Marilyn Diwangkara dan alamat rumah Madeline Nainggolan. Sekarang!"

Setelah menunggu kurang lebih sekitar lima menit, Galih mendapatkan apa yang dicarinya. Masalahnya nomor ponsel Marilyn dalam keadaan tidak aktif. Akhirnya dalam keadaan hujan deras pada pukul 01.45 dini hari, Galih mendatangi rumah Madeline Nainggolan untuk menemui Marilyn Diwangkara. Dia harus segera membawa bunda Merlyn ini pulang, untuk menenangkan hati putrinya yang saat ini pasti sedang demam tinggi dan ketakutan.

Ia memang tidak bisa menolong Merlyn secara langsung. Tapi ia akan menolongnya melalui bundanya. Kalau saja para anak buahnya tahu akan kelakuan absurdnya ini, entah mau ditaruh di mana mukanya. Ia yang selalu saja menasehati para anak buahnya untuk bersikap professional antara masalah pribadi dan pekerjaan, kini malah ia sendiri yang melanggarnya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status