Share

Chapter 2

"Kamu beneran ini nanti dijemput sama Tian, Mer? Kok Abang kayaknya nggak yakin dan percaya sama kata-kata kamu ini. Kamu nggak lagi bohongin Abang kan, Mer?"

Tama setengah hati mempercayai gadis imut berpikiran sederhana ini. Entah mengapa ia merasa seperti ada yang salah di sini. Saat ini mereka berada di parkiran cinema. Film telah usai dan Karin ribut terus ingin hang out di club. Ia setengah hati antara percaya dan tidak dengan kata-kata Merlyn.

"Abang memang nggak boleh yakin dan percaya sama Mer, Bang. Mer 'kan bukan Tuhan. Nanti Abang jadi musyirk lho kalau Abang yakin dan percaya sama Mer," Merlyn nyengir lebar. Ia berusaha untuk meyakinkan Tama. Udah, Abang jalan aja sama Karin kalau mau ke club. Mer nunggu Bang Tian nya di sini aja. Cepetan jalan, Bang. Itu udah di klakson-klakson sama pengemudi lain. Hattop, Bang." Akibat terus saja di klakson-klakson oleh pengemudi lain karena menghalangi jalan, Tama pun akhirnya melajukan mobilnya dan meninggalkan Merlyn sendirian di tempat parkir.

Merlyn merogoh-rogoh tas besarnya mencari ponselnya saat mobil Tama meninggalkan tempat parkir. Ia bermaksud untuk memesan ojek online. Tetapi nasibnya sedang tidak baik hari ini. Ponselnya mati karena kehabisan daya. Sementara dia sama sekali tidak membawa power bank. Tetapi kalau dipikir-pikir, buat apa juga juga dibawa-bawa. Orang power banknya juga rusak. Ia heran, tiga kali ia membeli power bank, tiga-tiganya rusak terus. Mulai yang bentuknya kecil kayak stabillo, persegi panjang gede warna putih dengan tulisan SAMSU**, sampai dengan yang gambarnya boneka lucu. Semuanya rusak. Pada nggak ada yang bener ini pabriknya power bank. Apa perlu ia mengusulkan pada ayahnya untuk membuka pabrik power bank ya?

Merlyn bingung. Bagaimana ia mau pulang coba? Mana sudah mulai gerimis lagi. Apes banget bukan? Memang ya, karma itu cepat sekali datangnya. Baru saja sepuluh menit yang lalu ia membohongi Tama. Sekarang ia sudah mendapatkan balasannya. Nasib... nasib...

Suasana tempat parkir cinema semakin lama semakin sepi. Orang-orang yang tadinya ramai menonton telah pulang satu persatu. Ketika mobil terakhir juga akhirnya meninggalkan tempat parkir, ia makin ketakutan. Mau tidak mau ia harus berjalan keluar gedung untuk mencari taksi konvensional. Yang  artinya ia akan berjalan cukup jauh dengan sepatu high heelsnya yang seruncing pensil.

Saat ia baru saja mencapai jalan raya dan bermaksud duduk sebentar di dalam halte yang kosong, ia dikejutkan oleh suara-suara teriakan yang saling bersahut-sahutan dan langkah-langkah cepat orang-orang yang sedang berlarian. Suara-suara tembakan terdengar satu dua kali. Demi Tuhan, ia ketakutan! Ini sebenarnya ada apa sih? Shooting film action? Tapi kok tidak ada kameranya? Terus tidak ada lagi yang mengucapkan kata, action, cut, atau istilah-istilah film lainnya. Satu lagi, ia sama sekali tidak mendengar kata-kata, ekspresinya mana? Harusnya jikalau sedang shooting, wajib ada kata-kata seperti itu 'kan?

"Anda telah dikepung, Rudi. Berhenti! Berhenti!" Terdengar beberapa kali suara tembakan lagi sebelum terdengar suara bruk seperti benda jatuh. Sumpah serapah dan desis kesakitan menyusul setelahnya.

"Berdiri dan angkat tangan Anda! Anda siapa? Kaki tangannya Rudi? Kalau begitu ikut kami ke kantor. Cepat berdiri!" Merlyn merasa dengkulnya lemas seketika saat ia dibentak-bentak dan dipaksa untuk berdiri. Saat ini posisinya sedang berjongkok dipinggir halte. Ia juga mengubur kepalanya dalam-dalam di atas lututnya karena ketakutan. Kedua tangannya gemetaran hebat sembari menutupi kedua telinganya. Ia kedinginan akibat derasnya hujan dan ketakutan mendengar suara bentakan demi bentakan di atas tubuhnya.

"Tersangka telah dilumpuhkan dan saat ini telah dibawa ke rumah sakit dengan mobil patroli, Komandan. Kami semua akan segera kembali ke markas. Ada perintah lagi, komandan!"

Di tengah derasnya hujan Merlyn merasa sangat menyesal telah membohongi dua orang dalam waktu bersamaan hari ini. Pertama, ia telah membohongi petugas pintu masuk cinema karena telah melakukan kecurangan membawa makanan dan minuman dari luar. Padahal makanan dan minuman itu berasal dari rumahnya sendiri, dan bukan dari luar. Beda 'kan? Berarti ia tidak bohong-bohong amat.

Kedua, ia telah membohongi Tama. Pasti saat ini Tama sudah diinterogasi habis-habisan oleh abangnya, karena ia tidak sampai-sampai ke rumahnya. Makanya karma buruk langsung saja menimpanya. Sepertinya malam ini ia akan menginap di kantor polisi. Tapi dia memang salah 'kan? Padahal tadi ia sudah diperingatkan oleh abangnya kalau nanti ia bisa kena razia. Inilah jadinya kalau ia keras kepala dan mengabaikan nasehat orang lain. Di penjara nanti temannya galak-galak atau tidak ya? Jangan-jangan nanti ia di botakin dan dibully seperti sinetron-sinetron sakaratul maut di televisi. Ia takut sekali.

"Untuk sementara tidak, Gede. Kamu bawa saja Rudi ke rumah sakit. Setelah itu baru kita interogasi secara marathon. Dan wanita ini mungkin salah satu anak buahnya Rudi yang kemarin bertugas mengirim paket ke beberapa cinema dan club-club papan atas ibukota. Naik 'kan saja dia ke mobil patroli sekalian." Mer membeku. Orang ini sebenarnya shooting film apa sih? Mengapa ada kata-kata mobil patroli segala?

"Seharusnya orang-orang seperti mereka ini perlu sedikit menikmati rasa sakit karena telah berniat ingin menghancurkan generasi muda negeri ini. Ayo kamu berdiri! Kamu tidak mengerti bahasa Indonesia, hah? Ngapain kamu jongkok-jongkok terus di situ? Kamu tuli?!" Suara bentakan itu terasa dekat sekali di telinganya. Merlyn makin mengkeret. Semakin ia dibentak, maka semakin tidak bisa bekerjasamalah dengkulnya. Merlyn benar-benar lemas karena kedinginan dan ketakutan. Tapi dia memaksakan diri untuk berdiri tegak dan menaiki mobil patroli dengan langkah gemetaran tidak karuan. Tepat pada saat ia akan membuka pintu mobil, salah satu mobil patroli lainnya mengarahkan lampu ke arah tempatnya berdiri. Karena silau, Merlyn refleks mengangkat tangannya melindungi matanya. Beberapa aparat polisian yang sedang bertugas sejenak terkesima saat memandang wanita yang akan mereka amankan ke kantor polisi. Bagaimanapun mereka hanyalah laki-laki biasa. Keindahan ragawi Merlyn yang hanya menggunakan mini dress putih tanpa lengan, nyaris terlihat naked karena gaun tipisnya melekat erat bagai kulit kedua karena siraman air hujan.

"Merlyn? Sedang apa kamu di sini?" Galih kaget saat melihat gadis yang ditemuinya di kebun kopi Malabar, kini ada di depan matanya. Penampilan seperti ini lagi. Ia langsung melepas jaket kulitnya dan memakaikannya pada tubuh Merlyn. Penampakan tubuh indah Mer sepertinya telah membuat para anak buahnya mimisan semua karena mupeng. Galih bahkan menarik resleting jaketnya sampai ke atas leher Merlyn hingga nyaris mencekiknya hidup-hidup.

"A--Abang polisi?" Merlyn juga kaget saat mendapati polisi jutek yang di temui di kebun kopi sekarang ada di depan matanya.

"Hah? Abang?" Para petugas kepolisian saling memandang saat mendengar Merlyn memanggil Galih dengan sebutan abang, alih alih Pak Kompol atau Pak polisi. Mesra sekali kedengarannya bukan?

"Kondisikan mata kalian semua, Briptu Hendrawan, Bripda Gede, Bripda Indra!Kalian jalan saja duluan ke Rembang Solo. Nanti saya menyusul." Galih mengubah pembicaraannya dengan bahasa sandi, saat Merlyn yang nota bene adalah masyarakat sipil ada di antara mereka. Mereka memang mempunyai aturan untuk mengubah bahasa apabila ada masyarakat sipil di sekitar mereka. Bagaimanapun urusan mereka memang sangat rahasia.

Sementara Merlyn yang melihat para anak buah Galih sudah masuk semua ke dalam mobil patroli, ia juga hendak menyusul masuk. Tangannya baru saja bermaksud untuk membuka pintu mobil, saat suara ketus Galih menahannya.

"Mau ngapain kamu ikut ke kantor polisi? Kamu ingin merasakan tidur di hotel prodeo ya?" Galih menarik lengan Merlyn yang nyaris saja masuk ke dalam mobil patroli Bipda Gede.

"Di kantor polisi memangnya ada hotel ya, Bang? Padahal kalau di televisi 'kan cuma ruangan segi empat, terus dikasih jeruji besi. Kantor polisi punya Abang beda ya?" Tanya Merlyn bingung. Istimewa sekali berarti kantor polisinya si abang polisi ini. Ada hotelnya! Galih menghela napas panjang. Ia teringat kalau gadis ini memang sepertinya otaknya tidak berkembang.

"Sudah lupakan." Galih mengibaskan tangannya ke udara. Dia pusing harus menjelaskan mulai dari mana pada si oneng ini. Lebih aman kalau dia memutuskan saja topik pembahasannya. Buang-buang nafas saja saling beradu argumentasi dengan gadis yang otaknya cuma sebesar biji kacang ijo ini.

"Saya nggak jadi ditahan ini, Bang? Beneran ini saya bebas?" Merlyn mencoba meyakinkan keputusan Galih atas dirinya. Galih lagi-lagi menarik napas panjang. Memang membutuhkan kesabaran yang lebih dalam menghadapi gadis naif ini.

"Sekarang saya tanya. Kenapa kamu merasa kalau kamu harus ditahan. Apa kamu ini anak buahnya Rudi?"

"Rudi siapa? Rudi anak tukang tambal ban di pengkolan kompleks?" Tanya Merlyn bingung. Seingatnya satu-satunya orang yang bernama Rudi yang ia kenal adalah Rudi anaknya Cang Sueb. Tukang tambal ban di dekat kompleks perumahannya. Dia tidak mengenal Rudi yang lain.

"Bukan, Mer. Rudi gembong narkoba. Kamu anak buahnya ya?" Selidik Galih lagi. Merlyn dengan cepat menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak buah gembong narkoba? Lah dia aja pagi-pagi sarapannya masih minum susu, apa pantes jadi anak buahnya gembong narkoba? Si Cikur kucing Bik Sari aja bisa tertawa dengernya. Nggak ada pantes-pantesnya. Ye kan?

"Jadi kalau begitu ngapain kamu mau ikut naik ke mobil patroli segala?" Galih merasa lama-lama ia jadi seperti sedang menginterogasi anak TK alih-alih seorang wanita dewasa. Gadis ini childish sekali.

"Lah bukannya tadi Abang polisi yang menyuruh saya naik ke mobil patroli?" Tanya Mer bingung. "Ini ceritanya Abang polisi mau menangkap saya karena saya menyembunyikan ini semua di dalam tas 'kan waktu di cinema? Abang sedang merazia makanan dan minuman 'kan?" Merlyn membuka tas oversize bagnya dan memperlihatkan semua barang bawaannya. Sebotol air mineral, sebotol minuman soda, dan beberapa bungkus makanan ringan lainnya.

Astaghfirullahaladzim Allahuakbar! Galih memijat-mijat keningnya sendiri.

Berilah hambaMu ini kebesaran hati dan kesabaran yang berlebih dalam menghadapi kesederhanaan cara berpikir gadis ini, ya Allah. Aaminn.

"Bukan, Merlyn. Saya dan team Brawijaya 78 sedang menjalankan misi menangkap gembong Narkoba. Bukannya mau menangkap kamu. Lagi pula ngapain kamu tengah malam begini gentayangan di jalanan? Ayah dan abangmu kemana?"

Diingatkan pada keadaannya yang masih berada di jalanan pada pukul berapa ini? Merlyn melirik pergelangan tangannya. Pu--pukul dua belas lewat delapan menit! Mati! Pasti Tama telah dieksekusi oleh ayah dan abangnya saat ini. Ia harus segera cepat-cepat pulang ke rumah. Selain itu tubuhnya mulai terasa meriang rasanya. Pakaiannya yang basah kuyub juga membuatnya kedinginan. Giginya sampai bergemelutuk. Ia merasa sangat kedinginan. Sumpah!

"B--Bang, saya bo--boleh tidak meminjam ponsel Abang sebentar? Sa--saya mau mengorder o--ojek on--online."

Gigi Merlyn terus saja saling beradu karena merasa kedinginan. Galih menatap kasihan gadis yang penampakannya sudah amat sangat menyedihkan itu. Gaun mininya melekat begitu erat bagaikan kulit keduanya, sementara bagian atasnya ditutupi oleh jaket kulitnya. Besarnya jaket yang menutupi hingga setengah pahanya, membuatnya jadi seperti tidak menggunakan bawahan. Belum lagi sepatu hitam seruncing pensil yang dikenakan kaki mungilnya. Gadis ini tampak seksi sekali. Sumpah! Galih tidak yakin membiarkan makhluk lugu imut ini naik ojek online di tengah malam buta. Ia takut kalau gadis ini dijahati orang. Istimewa mengingat betapa minimalisnya otaknya. Galih tidak bisa membiarkannya. Dia tidak rela tepatnya.

"Ayo, kamu saya antar pulang saja. Kamu kedinginan banget ya? Pakai baju saya saja sementara, mau? Saya kebetulan membawa beberapa baju bersih di mobil. Kamu bisa memakainya dulu untuk sementara," Galih meraba kening Merlyn dengan punggung tangannya saat melihat sang gadis berbangkis.

"Suhu tubuh kamu juga sepertinya mulai naik. Kamu demam sepertinya, Mer." Galih kasihan juga melihat tubuh mungil tapi semok ini terus saja gemetaran kedinginan.

"N--nggak u--usah, Bang. Bajunya di ganti tapi da--dalemannya tidak di ga--ganti ya sama a--aja. Tetap ba--basah, B--bang."

Merlyn tetap berusaha menjawab walaupun kepalanya mulai terasa keliyengan. Galih tidak bisa berkata apa-apa lagi karena ia memang tidak memiliki dalaman perempuan di mobilnya. Gila saja jika dia punya dalaman perempuan di sana. Memangnya dia banci apa? Tanpa berkata apa-apa lagi ia membantu Mer masuk ke dalam mobil. Di sana ia juga terus berbangkis. Merlyn sepertinya akan flu.

Perjalanan baru saja berjalan sekitar lima menit, tapi Galih merasakan kepala Merlyn telah jatuh di bahunya. Gadis ini tertidur dengan perasaan gelisah sepertinya. Galih menghentikan kendaraannya sejenak dan meraih sebuah selimut dari baris kedua mobilnya. Pekerjaanya sebagai seorang polisi telah menjadikannya siap bermalam di manapun juga. Makanya mobilnya ini sudah seperti rumah kedua baginya. Apa saja ada di dalamnya.

Dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh menggigil Merlyn dengan selimut dan memeluk tubuhnya dengan lengan kirinya, sementara lengan kanannya memegang kemudi. Untung saja lalu lintas dalam keadaan sepi sehingga ia masih bisa berkendara dengan hanya bermodalkan satu lengan saja. Nafas hangat Merlyn yang menyapu-nyapu lehernya membuat darah Galih berdesir dan jantungnya berdebar-debar seperti sedang bermain genderang. Ini jantungnya kenapa sih? Apakah ia telah menderita penyakit jantung di usia tiga puluh tahun? Hah yang benar saja!

Tiga puluh menit kemudian mereka telah tiba di rumah yang dulu pernah disebutkan alamat lengkapnya oleh Mer saat di perkebunan kopi. Untung saja ia mengingat alamat rumah ini. Coba kalau tidak, ia pasti terpaksa harus membangunkan gadis ini. Sebenarnya bukan kebetulan juga ia mengingat alamat ini. Ia menghafalnya sebenarnya.

Pintu gerbang dengan cepat terbuka diiringi dengan suara langkah-langkah bergegas beberapa orang. Ia mengenali Chris dan Tian. Ayah dan abang gafis ini. Namun ia tidak mengenali seorang laki-laki gagah dengan wajah memar yang ikut berjalan di samping mereka berdua. Siapa pria gagah ini?

TOK! TOK! TOK!

Kaca mobilnya digedor-gedor dengan kuat dari arah kanan dan kiri. Bisa pecah semua kaca mobilnya kalau cara mengetuknya seperti ini. Galih melihat Merlyn terbangun karena kaget. Matanya mengerjap-ngerjab bingung sejenak sebelum akhirnya terlihat ketakutan saat memandangi orang-orang yang mengetuk jendela mobil dengan kasar. Bukannya turun ia malah memeluk lengan kirinya sambil menangis sesenggukan di sana. Galih menjadi kebingungan antara ingin membuka pintu mobil atau menenangkan gadis yang nyaris histeris ini dulu.

"Ba--bagaimana ini, B--Bang? Saya pasti akan dihukum di ruang isolasi karena sudah melakukan kebohongan beruntun hari ini. Saya takut, Bang. Disana gelappp sekali. Hiks... hiks... hiks..." Galih semakin kebingungan saat gadis ini malah menangis.

KRAKKK!

Nah akhirnya kejadian juga 'kan? Kaca mobilnya retak karena dihajar dengan tongkat bisbol oleh ayah gadis ini. Yang dipukul kaca mobil, tapi yang histeris malah gadis dalam pelukannya ini. Siapapun suami dari gadis ini kelak, semoga saja ia tidak mati muda karena mempunyai ayah mertua yang begini ganas dan beringas.

"Makanya, ayo kita keluar Mer. Kita jelaskan saja semua kejadian yang sebenarnya. Saya ini polisi. Pedoman hidup saya adalah Tribrata dan Catur Prasetya. Jadi sebagai seorang warga negara kamu pasti akan saya lindungi dengan segenap jiwa raga. Ayo, kita keluar." Galih membuka pintu mobil diikuti Merlyn yang langsung berlari mengitari mobil dan bersembunyi ketakutam di belakang tubuhnya. Kasihan.

"Pak Galih?" Chris langsung mengenali Galih sebagai seorang polisi yang dulu pernah menolong putrinya saat di perkebunan kopi.

"Merlyn! Kenapa kamu membohongi Abang, hah? Kamu bilang kalau kamu akan dijemput Tian? Tapi Tian malah menelepon Abang karena kamu tidak pulang-pulang sampai pukul dua belas malam. Lihat! Abang sampai bonyok begini digebukin Tian. Maksud kamu apa hah?"

Tama ini jarang sekali marah. Tetapi sekalinya marah ya begini ini? Suara bentakannya membuat jantung Merlyn jumpalitan saking takutnya. Ini masih satu orang yang marah. Kemarahan ayah dan abangnya masih waiting list. Alamat bisa pecah gendang telinga dan gagal jantung apabila mereka bertiga saling berkolaborasi marahnya. Bagaimana lah ini? Padahal ia sudah lemas sekali.

"Mengapa kamu berbohong Mer? Dan jaket siapa yang kamu pakai itu? Apa yang telah terjadi sama kamu? Kamu di--di--" Chris tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia ngeri dengan asumsinya sendiri. Sementara Merlyn sendiri tidak sanggup lagi menjawab berondongan pertanyaan dari Tama dan ayahnya. Ia sudah lemas sekali.

"Putri Anda tidak apa-apa, Pak Chris. Tadi ia kehujanan dan bajunya basah kuyub sehingga, maaf lekuk liku tubuhnya terlihat jelas. Makanya saya meminjamkan jaket saya. Putri Anda ini juga kedinginan dan sedikit demam sepertinya. Alangkah baiknya jika ia di biarkan dulu berganti pakaian dan menghangatkan diri terlebih dahulu baru ditanyai. Kasihan, Pak."

Argumen Galih sedikit meredakan kemarahan Chris. Bagaimana pun Merlyn ini adalah putri kesayangannya. Melihatnya gemetaran dan ketakutan begini sebenarnya hatinya lah yang paling sakit. Merlyn itu anaknya. Darah dagingnya.

"Kamu kedinginan, Mer?" Chris melepas sweaternya dan melapisi jaket kulit Galih dengan sweater hangatnya. Ia kini bertelanjang dada.

"Sekarang ia. Tapi di mobil tadi nggak." Jawab Merlyn jujur.

"Kenapa di mobil bisa nggak dingin? Pak Galih mematikan ac mobil?" Chris penasaran. Merlyn menggeleng.

"Kan selama Mer di mobil, Mer dipeluk terus sama Abang polisi. Jadi rasanya hangat, Yah. Harum lagi."

"Apaaa?!"

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nadia Ariyanto
idiotnya keblablasan......aduh....ngakaknya ga abis abis sampai perutnya kram.
goodnovel comment avatar
tantty tan
wkkkww...ngakak ra uwis-uwis...
goodnovel comment avatar
Yara
dasar merlin..sekonyong konyong ...wkwkwkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status