Share

Chapter 4

Galih memperhatikan nomor rumah Madeline Nainggolan sekali lagi untuk memastikan kebenaran rumah yang dicarinya. Ia tadi sempat berkonfrotasi dengan pihak keamanan komplek yang tidak bersedia membukakan portal untuknya. Tetapi setelah mereka melihat kartu identitas dan glock 19 di pinggangnya akhirnya mereka jiper juga. Dan di sinilah ia sekarang berada. Di kediaman Radja dan Madeline Nainggolan, tantenya Merlyn.

Saat ia menekan bel, seorang Satpam bertubuh kekar lagi-lagi tidak mengizinkannya untuk menemui majikannya. Ia beralasan tuan rumahnya pasti tidak bersedia menerima tamu pada jam-jam tidak lazim seperti ini. Mau tidak mau, ia harus kembali memperlihatkan kartu identitas kepolisiannya. Barulah sang Satpam menelepon majikannya.

Saat ini ia telah duduk di ruang tamu keluarga Nainggolan. Asiaten Rumah Tangga yang membukakan pintu berpesan agar ia menunggu sebentar. Nyonya rumahnya akan segera keluar untuk menemuinya. Sebenarnya ia juga merasa tidak enak bertamu ke rumah orang dini hari seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, keadaannya memang sedang terdesak.

"Adik saya buat salah apalagi sampai Anda mendatangi rumah saya tengah malam begini, Pak Polisi?" Seorang wanita paruh baya yang masih cantik di usia senjanya, menyambutnya tanda basa basi. Sepertinya wanita ini adalah Madeline Nainggolan. Tantenya Merlyn. Sebelum ia menjawab pertanyaan Madeline, seorang wanita paruh baya lainnya menyusul keluar. Dan ia yakin bahwa wanita yang usianya sepertinya beberapa tahun lebih muda dari Madeline ini adalah Marilyn, alias ibunya Merlyn. Wajahnya dengan Merlyn bagai pinang dibelah dua saking miripnya. Jika Madeline masih terlihat cantik di usia senjanya, maka kecantikan adiknya ini sampai membuatnya terpana saking terpesonanya. Pantas saja Merlyn sangat jelita. Ibunya yang sudah berumur saja masih bisa membuatnya ternganga. Sepertinya wanita-wanita dalam keluarga ini dianugerahi kecantikan di atas rata-rata. Maha sempurna Allah dengan segala ciptaanNya.

"Lo ngapain aja seharian ini, Lyn? Lo nggak melakukan perbuatan kriminal 'kan?" Galih melihat Madeline menatap galak pada adiknya. Saat ini kedua kakak beradik itu sudah duduk di sofa. Tepat di hadapannya.

"Nggak kok, Kak. Lyn 'kan udah lama nggak nyetir mobil sendiri. Jadi Lyn nggak pernah lagi melanggar rambu-rambu lalu lintas. Nabrak tanda dilarang setop dan tanda nggak boleh puter balik pun, udah nggak pernah lagi. Yang terakhir Lyn tabrak 'kan lampu lalu lintas yang merah kuning ijo. Itu pun udah lama kalinya, Kak. Waktu si Merlyn masih kecik."

Galih langsung mengerti darimana Merlyn mewarisi baik kecantikan maupun keonengannya yang hakiki. Dari bundanya ternyata. Galih seketika merasakan simpati yang mendalam serta penghargaan yang luar biasa terhadap Chris dan Tian. Mereka adalah orang-orang hebat yang sebenarnya. Menghadapi Merlyn seorang saja harus double sabar, apalagi harus di tambah dengan bundanya yang sama persis kelakuannya. Itu berarti sabarnya mereka telah mencapai pangkat enam. Luar biasa!

"Selamat malam Bu Diwangkara dan Bu Nainggolan. Saya Kompol Galih Kurniawan Jati, mohon maaf karena telah mengganggu ketenangan ibu-ibu semua ditengah malam seperti ini. Saya ke sini mencari ibu Diwangkara karena masalah Merlyn." Mendengar perkataannya mata indah Marilyn membelalak seketika.

"Astaga, Mer kenapa? Dia kecelakaan? Nabrak orang? Orangnya mati ya? Makanya Pak polisi sampai mencari saya ke sini? Tapi Bapak salah alamat. Ini rumahnya Radja Nainggolan. Bukannya rumah Christian Diwangkara. Keadaan anak saya bagaimana? Me--meninggal ya? Huaaaaaa!!!"

Galih menepuk jidatnya sendiri. Speechless menghadapi bundanya Merlyn yang bukan hanya namanya saja yang nyaris sama, tapi kelakuan auto oon juga sama. Harusnya Pak Chris dulu tidak menamai putrinya dengan nama yang hanya berbeda beberapa huruf saja dari bundanya. Sekarang repot sendiri 'kan jadinya?

"Lo bisa diem dulu nggak, Lyn? Orang Pak Polisinya juga belum bilang apa-apa juga, lo udah mikir macem-macem aja. Dengerin dulu orang ngomong sampai selesai. Setelah itu lo mau nangis kek, mau kayang kek, terserah! Sekarang diem dan dengerin Pak Polisi ini bicara sampai selesai. Satu lagi, jangan dipotong-potong pembicarannya. Ngerti lo?!"

Galih terkesima melihat betapa beragamnya sifat dan karakter keluarga-keluarga yang ditemuinya malam ini. Yang satu onengnya hakiki, dan yang satu lagi, galaknya sampai tingkat propinsi. Kakak adik kok sifatnya seperti Sabang dengan Merauke. Jauh-jauhan, euy!

Dengan kesabaran yang semakin lama semakin teruji, Galih menjelaskan secara ringkas masalah yang menimpa Merlyn kepada bundanya. Tanpa banyak bicara lagi bunda Merlyn langsung minta diantarkan pulang saat itu juga. Galih tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Tapi satu hal yang pasti, hatinya menjadi sedikit lega karena tahu bahwa Merlyn pasti akan dilindungi oleh bundanya.

Galih tiba di kediamannya dalam keadaan tubuh letih luar biasa. Ia lagi-lagi melewatkan makan malamnya. Akhir-akhir ini peredaran narkoba sedang marak-maraknya. Atasannya IrjenPol Orlando Atmanegara, terus saja menginstruksikan satuannya untuk memberantas segala macam bentuk cikal bakal peredaran narkoba. Mereka kini memperbanyak seminar-seminar di setiap pelosok-pelosok kota bahkan sampai ke desa-desa. Mereka juga menggandeng instansi-instansi seperti Seksi P2M atau Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat dan juga Badan Narkotika Nasional Kota atau BNKK, untuk mensosialisasikan P4GN atau Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika di setiap pelosok-pelosok daerah. Para nara sumber dan juga pihak kepolisian memberikan pengarahan pada warga-warga sekitar untuk bersikap proaktif dalam melakukan kampanye stop narkoba.

TOK! TOK! TOK!

"Galih, boleh Ibu masuk, Nak?" Suara lembut ibunya membuat Galih yang sedang tidur-tidur ayam kembali membuka matanya. Ibunya belum tidur ternyata. Ia segera bangkit dan duduk di ujung ranjang.

"Masuk aja, Bu. Pintunya nggak Galih kunci."

Seraut wajah lembut ibunya muncul di ambang pintu. Guratan-guratan samar di wajah ayu ibunya semakin memperlihatkan kerasnya perjuangan hidup yang telah dilalui nya. Wanita ini lah orang yang paling ia hormati dan paling ia cintai di dunia ini. Tewasnya ayahnya akibat peluru nyasar yang dilesakkan oleh Raksana Jaya Krisna telah menjadikan ibunya seorang janda dalam usia muda. Sewaktu ia remaja dulu, ia sampai bersumpah akan menjadi seorang polisi agar ia bisa melindungi negara ini dari segala bentuk kejahatan. Dia berharap, kelak tidak akan ada lagi anak yang menangis karena ayahnya pulang dalam keadaan tidak bernyawa akibat tindak kejahatan. Galih remaja sangat membenci Raksana Jaya Krisna. Ayah Rahayu Jaya Krisna.

"Kok kamu malam sekali pulangnya akhir-akhir, Nak? Jaga kesehatan dan keselamatan diri kamu ya, Nak? Selain kakek dan nenek di kampung, Ibu hanya punya kamu. Tetaplah hidup untuk Ibu ya, Nak? Jangan meninggalkan Ibu seperti ayahmu. Jangan pernah pulang dalam keadaan tidak bernyawa seperti ayahmu ya, Nak? Ibu tidak akan sanggup lagi menghadapi saat-saat seperti itu."

Melihat ibunya menangis sedih, Galih langsung memeluknya dengan sayang. Ibunya ini sangat takut kalau dia terkena musibah saat menjalankan tugasnya sebagai seorang abdi negara. Wajar saja seorang ibu merasa khawatir. Pekerjaannya memang riskan. Setiap saat berjibaku dengan para penjahat, pembunuh, bahkan teroris, menjadikan ibunya khawatir setiap ia belum pulang dinas. Tugasnya tentu saja meyakinkan ibunya agar tidak perlu mengkhawatirkan dirinya secara berlebihan.

"Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, Bu. Ibu doakan saja agar Galih selalu dilindungi oleh Allah subhanawa'taala ya, Bu? Insya allah Galih akan baik-baik saja. Tidak ada yang mengetahui jodoh, maut, rezeki dan takdir. Semuanya ada di tangan Allah. Kita perbanyak saja amal ibadah kita ya, Bu?" Galih berusaha menghibur ibunya yang terlihat masih saja mengkhawatirkan keadaannya. Ibunya hanya mengangguk mengiyakan.

"Oh iya, Ibu mau tanya. Kemarin saat kamu liburan ke kampung kakek dan nenek, kamu sudah dengan Arini 'kan? Ia sekarang makin cantik kan, Lih? Kalau kamu suka, ibu bisa segera melamar Arini buat kamu jadikan istri. Ibu sudah kepengen gendong cucu, Lih. Umur kamu juga udah tiga puluh tiga tahun kan?"

Sekar kembali menanyakan pertanyaan yang sudah bertahun-tahun lalu ditanyakannya pada putra tunggalnya. Waktu itu Galih tidak menyetujui namun ia juga tidak menolaknya. Galih seperti sengaja menggantung jawabannya.

"Maaf Bu. Galih cuma menganggap Arini ini sebagai seorang adik. Tidak lebih. Arini pasti akan lebih berbahagia apabila ia dinikahi oleh orang yang benar-benar mencintainya. Galih minta maaf, Bu." Jawab Galih cepat.

"Kamu mencintai orang lain, Lih?" Sekar merasa ada yang berbeda saat putranya menjawab dengan cepat dan tegas untuk menolak perjodohannya dengan Arini. Arini adalah anak salah seorang sahabat almarhum suaminya dulu. Biasanya putranya itu akan menjawab kalau ia belum siap untuk menikah atau malah diam sekalian. Tapi kali ini ia langsung saja dengan tegas menolak. Bagimana ia tidak curiga kalau anaknya mungkin telah punya pilihan sendiri?

"Tidak, Bu. Galih hanya ingin jujur pada perasaan Galih sendiri kalau Galih itu tidak bisa mencintai Arini seperti seorang kekasih. Galih hanya menganggap Arini itu seperti seorang adik. Tidak lebih." Galih berusaha menjelaskan pelan-pelan pada ibunya. Topik sensitif seperti ini memang riskan saat dibahas bersama dengan ibunya.

"Tapi Arini mencintai kamu, Lih. Ia langsung mengatakannya pada Pak Herman kemarin. Ia bilang ia siap kapan saja kamu nikahi. Ibu mohon, pikirkan sekali lagi permintaan Ibu ini ya, Nak? Kalau kamu capek istirahatlah. Sudah hampir pukul tiga dini hari. Ibu keluar dulu ya? Sekali lagi, pikirkan ya, Nak?"

Galih hanya bisa mengangguk. Ia terpaksa mengiyakan demi memutus pembicaraan. Karena kelelahan ia pun tertidur. Rasanya baru sebentar saja ia memejamkan matanya, akan tetapi ia malah terbangun karena bermimpi buruk. Ia memimpikan Merlyn yang terus saja menangis dan memanggil-manggil namanya. Galih terbangun dengan nafas tersengal-sengal dan keringat membanjir. Perasaannya sangat tidak enak sekali. Demi untuk menenangkan diri, Galih melakukan sholat tahajud di sepertiga malam terakhirnya pada pukul 04.10 WIB. Dan untuk pertama kalinya, dalam diam yang paling tenang, Galih menyelipkan nama Merlyn dalam doanya. Galih merasa ketika ia tidak mampu menyeka air mata kesedihannya, maka ia akan memeluknya melalui doa. Dan semoga saja dia di sana dalam keadaan baik-baik saja. Aamiin.

==================================

"Bagaimana keadaan Merlyn, Dokter? Badannya panas sekali ini. Telur aja digenggam bisa mateng kali di tangan si Mer?" Dokter Mahardika Ajisaka Prahasta tersenyum menanggapi kecemasan ibu pasien yang kebetulan suaminya adalah kolega lama papanya dalam berbisnis. Papanya Narendra Ajisaka Prahasta memang sudah kenal lama dengan Christian Diwangkara sekeluarga.

"Mer nggak apa-apa kok, Tante. Hanya sedikit flu dan demam saja. Namanya juga hujan-hujanan. Paling besok lusa juga sudah sembuh. Tante tidak usah terlalu khawatir ya?" Dika berusaha meyakinkan Marilyn. Beginilah sejatinya seorang ibu. Berapapun usia anaknya, rasa khawatir mereka tetap sama.

"Iya, Bun. Mer nggak apa-apa ini. Orang Mer cuma meriang-meriang dikit aja ngapain juga sampai diangkut-angkut ke rumah sakit segala. Kan sayang uangnya, Bun? Mer mau pulang sekarang aja!"

Merlyn yang merasa kalau keadaannya baik-baik saja, berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Jarum infus yang terpasang di lengan kirinya membuatnya sedikit kesusahan saat akan duduk. Apa-apaan mereka ini? Dia cuman batuk-batuk dan meriang sedikit saja, sudah diperlakukan seperti pasien stroke yang didorong-dorong di kursi roda. Padahal kalau disuruh lomba lari saja, dia yakin kalau dia masih bisa menang. Apalagi si dokter Dika ini. Semalam bundanya hanya menelepon untuk menanyakan obat apa yang lebih ampuh untuk menurunkan demam. Pilihannya antara Acetaminophen dan Ibuprofen. Bukannya tinggal menjawab saja, eh si dokter ini malah ujug-ujug mendatangi rumahnya pada pukul empat pagi. Alasannya ia tidak bisa sembarangan memberikan resep obat tanpa memeriksa pasien. Satu hal yang membuat Merlyn kesal adalah, dokter ini menggendongnya ke mobilnya begitu saja dan membawanya serta bundanya ke rumah sakit. Ayah dan abangnya dicuekin begitu saja oleh bundanya seperti dua orang makhluk tak kasat mata. Bundanya marah pada mereka semua. Bundanya mengusulkan ayahnya untuk tidur saja di keset bersama dengan si Cikur, kucing Bik Sari, alih-alih tidur di kamar bersama dengannya.

"Eh... eh... eh... mau kemana kamu, Mer? Kamu kan belum sembuh benar. Sekarang berbaring kembali atau mau saya suntik?" Mer langsung kicep. Ia ini paling takut disuntik. Saat memasang infus semalam, dokter jahat ini memeluknya erat-erat sampai ia tidak bisa bergerak barulah suster bisa memasang infus dengan sempurna di tangannya.

"Kalau Tante ingin pulang untuk berganti pakaian atau beristirahat sebentar di rumah, silahkan saja Tante. Biar saya yang akan menjaga Mer sementara Tante pulang." Tawaran manis dokter Dika membuat Marilyn lega. Ia memang harus membersihkan diri sekaligus membawa pakaian ganti untuk putrinya.

"Syukurlah akhirnya dokter mengajukan diri juga. Padahal sudah dari tadi saya tunggu-tunggu kapan dokter akan menawarkan diri mau menggantikan saya sebentar. Kalau begitu saya permisi pulang sebentar ya, Dokter? Tolong jagain anak saya. Kalau dia nakal dan tidak mau menuruti perkataan Dokter, suntik aja dia ya? Saya permisi dulu." Marilyn kini menghadap putrinya dengan ekapresi wajah mengancam.

"Kamu jangan membuat ulah macam-macam lagi ya, Mer? Bunda pulang dulu sebentar untuk mengambil baju ganti kamu." Mer mengangguk dengan patuh. Padahal di kepalanya telah penuh dengan rencana-rencana ajaib untuk kabur secepatnya.

"Kamu nggak punya rencana aneh-aneh kan, Mer?" Marilyn curiga melihat anak gadisnya manis dan patuh sekali. Biasanya kalau Mer patuh dan tidak banyak protes, maka itu artinya ia sedang merencanakan sesuatu. Marilyn sangat khatam dengan kelakuan anak gadisnya ini.

Merlyn dengan cepet menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak kok, Bun. Rencananya belum jadi, eh-- nggak ada rencana-rencana maksudnya." Merlyn keserimpet ngomong. Bisa buyar semua planningnya kalau sampai bundanya tahu.

"Ya sudah Bunda pulang dulu. Kalau rencananya sudah jadi, kasih tahu Bunda ya? Biar Bunda nggak susah nyarinya kalau kamu ngilang lagi." Merlyn pun kembali mengangguk dengan takzim. Mahardika tidak dapat menahan senyumnya melihat pembicaraan absurd antara anak dan ibu yang polos-polos lucu ini. Dia ini adalah seorang dokter. Bertemu dengan 1001 macam manusia dan 1001 karakter adalah makanannya sehari-hari. Tapi untuk pertama kalinya ia tidak memperhatikan kalimat-kalimat dari lidah orang yang sedang berbicara padanya, akan tetapi ia memperhatikan kalimat-kalimat yang dipancarkan oleh mata mereka.

"Pak Dokter, saya boleh meminjam ponselnya tidak? Sebentarrr saja." Setelah bayangan ibunya tidak terlihat, Merlyn mulai menjalankan aksinya. Ia mempunyai satu kewajiban yang harus ia selesaikan. "Kamu harus beristirahat Mer. Jangan bertingkah yang aneh-aneh." Dika tidak mau meloloskan keinginan Merlyn. Tetapi saat mata puppy eyes Merlyn menatapnya dengan pandangan yang begitu memohon, ia tidak tega juga melihatnya. Dengan apa boleh buat, Dika mengangsurkan juga ponselnya pada Merlyn. Dengan wajah berseri-seri dan senyuman manis, Mer berkali-kali mengucapkan kata terima kasih. Dika sampai takut terkena diabetes akibat terus memandangi wajah manis pasiennya ini.

"Hallo Bu Wiwit, uhuk... uhuk... ini Merlyn, Bu. Ulang tahun anak-anak lusa ya, Bu? Mer minta maaf belum bisa main seminggu ini. Habisnya boneka kainnya belum selesai semua Mer buat, Bu. Masih kurang lima. Uhuk... uhuk... tapi Mer janji, lusa semua pasti sudah siap. 35 buah boneka lucu untuk anak-anak panti."

"Oh Mer sehat-sehat aja kok, Bu. Kan Mer buatnya nyicil malem-malem, nggak sekaligus. Ya karena beli bahannya juga nyicil dari uang saku, Mer sendiri. Kan Mer belum kerja, Bu. Hehehe... oh Mer sehat kok, Bu. Cuma batuk-batuk manjah sedikit aja. Tapi insya Allah Mer sehat walafiat kok, Bu.

Sekarang? Oh sekarang Mer ada di rumah sakit, Bu. Iya ibu tenang aja, pasti lusa Mer akan main ke sana. Walaikumsalam."

Merlyn lega saat tahu bahwa ulang tahun anak-anak Rumah Ceria down syndrome itu lusa baru diselenggarakan. Dia sudah hidup dengan seirit mungkin untuk bisa membeli bahan-bahan kain flanel, dakron, pita, lem dan lain-lain. Ia tidak bisa membantu banyak. Tetapi ia ingin membagi kebahagiaan dengan anak-anak down syndrome dengan IQ yang dibawah 30 itu. Sejak kecil ia sebenarnya sudah merasa banyak orang-orang yang suka menyebutnya oon, oneng atau lola alias loading lama. Rata-rata teman sebayanya membullynya karena cara berpikirnya yang sederhana.

Sampai suatu hari bundanya membawanya ke panti sosial down syndrome yang ada didekat rumahnya. Di sana ia menangis melihat anak sebayanya yang tidak bisa berbicara dan bahkan pipis sembarangan. Ternyata ada juga orang yang lebih menyedihkan nasibnya dibandingkan dirinya. Betapa tidak tahu berterima kasihnya dirinya yang diberi panca indera sempurna dan keluarga yang menyayanginya oleh Allah subhanawata'ala. Sejak saat itu ia bertekad untuk membantu anak-anak down syndrome itu semampunya. Julukan princess irit ia terima dengan lapang dada demi untuk sekedar membelikan jajanan untuk mereka. Mereka memang tidak tahu apa arti bahagia, tetapi ia kan tahu. Makanya ia ingin membaginya dengan mereka semua. Ia jatuh cinta pada mereka semua saat mereka mengucapkan satu kalimat sederhana.

"Terima kasih, Kakak. Bonekanya cantik. Teman saya satu-satunya yang ada di dunia."

Sejak saat itu ia terus mengasah kemampuannya untuk membuatkan boneka-boneka kain dengan sisa-sisa uang sakunya. Mungkin baginya boneka itu bukan apa-apa, tapi bagi mereka adalah segalanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status