Farhan berdiri di depan timnya. Wajahnya keras, matanya menatap tajam ke peta yang terbentang di meja. Semua orang di ruangan itu-Arman, Adnan, Haris, dan anggota Tim Operasi Bayangan-menunggu instruksinya. Di luar, malam begitu sunyi, seolah alam pun tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan.
"Kita cuma punya satu kesempatan," suara Farhan terdengar tegas, menggetarkan para pendengarnya. "Markas terakhir Victor ada di sini." Ia menunjuk sebuah titik pada peta. "Ini benteng terakhir mereka. Kalau kita bisa masuk, operasi mereka selesai. Tapi kalau gagal, kita semua tahu apa yang bakal terjadi."Adnan menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil melipat tangan di dada. "Lo yakin informasi dari intelijen kali ini akurat? Jangan-jangan ini cuma jebakan lagi, kayak waktu itu."Farhan mengangkat pandangannya ke Adnan. "Gue udah cek semuanya, Dan. Informasi ini solid. Gue nggak akan bawa kalian ke sana kalo gue nggak yakin."Arman, yang duduk di sebelah AdnaFarhan duduk di kursi kayu di teras rumah aman, matanya menatap lurus ke arah pepohonan yang bergoyang lembut diterpa angin. Matahari sore mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga di langit. Suara pelan burung-burung yang pulang ke sarangnya menenangkan, kontras dengan apa yang telah ia alami beberapa hari terakhir. Luka di lengan kirinya masih terasa perih, meski perban sudah diganti pagi tadi oleh Aisyah. "Mas, kamu sudah minum obat?" suara lembut Aisyah terdengar dari dalam rumah. Tak lama, ia muncul dengan nampan kecil di tangannya, membawa segelas air dan beberapa tablet obat yang harus diminum Farhan. Farhan menoleh, lalu tersenyum tipis. "Belum. Aku baru mau ambil sendiri." Aisyah mendekat, duduk di kursi sebelah suaminya. "Kalau nunggu kamu yang ambil obat sendiri, sampai besok juga nggak bakal diminum," ujarnya sambil menyodorkan gelas dan obat di tangannya. Farhan tertawa kecil, meski suara tawanya terdengar lelah. "Kamu ta
Farhan berdiri di depan timnya. Wajahnya keras, matanya menatap tajam ke peta yang terbentang di meja. Semua orang di ruangan itu-Arman, Adnan, Haris, dan anggota Tim Operasi Bayangan-menunggu instruksinya. Di luar, malam begitu sunyi, seolah alam pun tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan. "Kita cuma punya satu kesempatan," suara Farhan terdengar tegas, menggetarkan para pendengarnya. "Markas terakhir Victor ada di sini." Ia menunjuk sebuah titik pada peta. "Ini benteng terakhir mereka. Kalau kita bisa masuk, operasi mereka selesai. Tapi kalau gagal, kita semua tahu apa yang bakal terjadi."Adnan menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil melipat tangan di dada. "Lo yakin informasi dari intelijen kali ini akurat? Jangan-jangan ini cuma jebakan lagi, kayak waktu itu."Farhan mengangkat pandangannya ke Adnan. "Gue udah cek semuanya, Dan. Informasi ini solid. Gue nggak akan bawa kalian ke sana kalo gue nggak yakin."Arman, yang duduk di sebelah Adna
Farhan mengabaikan rasa sakit di bahunya yang terluka. Darah mengalir pelan, membasahi lengan bajunya, tapi dia tetap berdiri tegak. Adnan menatapnya dengan cemas, sementara Yadi hanya diam, wajahnya penuh rasa bersalah. "Lo nggak apa-apa, Han?" tanya Adnan lagi, kali ini lebih tegas. Farhan mengangguk pelan. "Aku masih bisa jalan. Kita harus keluar dari sini sebelum Victor balik dengan bala bantuan." Safira, yang berdiri di dekat pintu, menatap Farhan dengan mata berkaca-kaca. "Om, kita harus buru-buru. Aku dengar suara langkah kaki di bawah." Farhan mengangguk. "Kamu benar. Kita nggak punya banyak waktu." Dia membantu Adnan berdiri, sementara Yadi sudah lebih dulu bangkit dari kursinya. Mereka bergerak cepat keluar dari ruangan itu, menyusuri lorong gelap yang penuh dengan bau debu dan besi tua. Di luar pabrik, malam semakin larut. Angin dingin menusuk kulit, tapi itu bukan masalah bagi mereka. Yang terpenting a
Farhan duduk di dalam mobil yang melaju pelan di jalan sempit, tatapannya kosong menatap ke luar jendela. Pikirannya berputar. Victor telah membuat langkah yang kejam kali ini. Adnan dan Yadi ditangkap. Sebuah pesan singkat dari Victor tadi pagi muncul di ponselnya: "Lo punya dua pilihan, Farhan. Selamatkan teman-teman lo atau lanjutkan misi lo menghancurkan gue. Tapi lo tau kan, dua-duanya nggak bakal gampang." Farhan menghela napas berat. Pilihannya jelas, tapi konsekuensinya menakutkan. Dia tahu ini perangkap. Victor nggak pernah bermain bersih. Safira, yang duduk di kursi belakang, memecah keheningan. "Om, kita beneran mau ke sana? Itu pasti jebakan." Suaranya gemetar, tapi dia mencoba tetap tegar. Farhan berbalik menatap keponakannya. "Om nggak punya pilihan, Safira. Adnan itu temen lama Om, dan meski Yadi udah ngelakuin banyak hal buruk, Om nggak bisa ninggalin dia begitu aja." Safira menghela napas. "Tapi Om sendiri tahu, Vict
"Selamat datang, Farhan. Aku sudah menunggumu."Suara itu menggema di dalam bangunan tua yang berdiri angkuh di tengah hutan. Farhan berdiri mematung, rahangnya mengeras. Ia mengenali suara itu dengan sangat baik. Victor. Orang yang selama ini mereka kira sudah lenyap dari permainan, ternyata masih hidup dan kini berdiri di balik bayang-bayang, menunggu mereka masuk ke dalam perangkapnya."Mas, ini nggak beres," bisik Aisyah yang berdiri di belakang Farhan. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tenang. Tangannya menggenggam erat lengan suaminya, seolah mencari perlindungan.Farhan menoleh, menatap Aisyah dengan tatapan penuh keyakinan. "Kamu sama Safira tetap di belakangku. Jangan jauh-jauh."Safira, yang berdiri di samping Aisyah, menggigit bibirnya. Ia mencoba menahan rasa takut yang mulai merayap di dadanya. "Om, kita nggak harus masuk, kan? Kita bisa cari jalan lain?"Farhan menggeleng pelan. "Nggak ada jalan lain, Safira. Kalau k
Telepon dari ujung sana masih bergema di kepala Farhan. Ia berdiri di tengah ruang rapat kecil itu, memandang ke arah jendela lebar yang memperlihatkan hamparan malam Jakarta. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya memegang ponsel yang tadi ia gunakan untuk berbicara. Rodres benar-benar membawa kehancuran, dan kali ini lebih dari sekadar ancaman kecil. Ini adalah perang."Mas, kamu nggak apa-apa?" Suara lembut Aisyah memecah keheningan. Wanita itu berdiri di dekat pintu, memandang suaminya dengan raut khawatir. Farhan menghela napas panjang, mencoba meredam kekacauan pikirannya. "Aku nggak apa-apa, Aisyah. Tapi kita punya masalah besar. Rodres menyerang markas kita." Mata Aisyah membesar. "Apa? Serius? Ada korban?""Banyak," jawab Farhan singkat. Matanya masih terpaku pada jendela. "Ini lebih parah dari yang kita duga. Dia nggak cuma nyerang secara fisik, tapi juga ngambil akses ke sebagian besar data operasional kita."Aisy