Langit sore mulai merona kejinggaan ketika Farhan dan Aisyah berjalan berdampingan di taman kecil dekat rumah mereka. Angin semilir membawa aroma tanah basah sisa hujan siang tadi. Di tangan Farhan, sebuah kantong plastik berisi beberapa bungkus makanan ringan bergoyang perlahan mengikuti langkah mereka.
"Aku suka taman ini," ucap Aisyah, memecah keheningan. Suaranya lembut, seperti bisikan angin. "Tenang, nggak terlalu ramai."Farhan mengangguk, melirik wajah istrinya yang tampak damai. "Iya, taman ini kayak punya suasana sendiri. Adem."Mereka melangkah menuju bangku kayu yang menghadap ke danau kecil. Langit yang memantulkan warna senja di permukaan air membuat pemandangan terasa begitu syahdu. Farhan meletakkan kantong plastik di bangku, lalu duduk di sebelah Aisyah."Aku jadi inget dulu," kata Aisyah tiba-tiba, seraya menyandarkan punggungnya ke bangku. "Kita nggak pernah sempat jalan-jalan kayak gini, ya?"Farhan tersenyum tipis. "IUdara malam itu masih hangat, meskipun angin lembut sesekali menyapa dari jendela kamar yang sedikit terbuka. Farhan duduk di tepi tempat tidur, menggulung lengan bajunya sambil memandangi ponsel di tangannya. Pesan dari Arman belum juga dibalas. Padahal, tadi siang Arman bilang ada sesuatu yang penting ingin dibicarakan. Tapi, malam ini bukan itu yang mengganggu pikiran Farhan.Aisyah duduk di ujung ruangan, punggungnya bersandar di sofa kecil dekat meja rias. Wajahnya muram. Kesedihan jelas terlihat di matanya, meskipun bibirnya terkatup rapat. Farhan melirik istrinya dengan hati-hati. Dia tahu, akhir-akhir ini Aisyah sering seperti ini. Diam, murung, lalu tiba-tiba meluapkan emosi. Semua itu membuat Farhan bingung, tapi dia mencoba bersabar."Aisyah," panggil Farhan pelan, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian. "Kamu kenapa? Kok dari tadi diam aja?"Aisyah menghela napas panjang. Dia tidak langsung menjawab. Tangannya sibuk memainkan ujung jilbabnya
Farhan duduk di teras rumahnya, memandangi langit yang mulai berubah warna. Matahari terbenam perlahan, meninggalkan semburat jingga yang memantul di dedaunan basah setelah hujan sore tadi. Di sebelahnya, Aisyah membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di meja kecil di antara mereka."Mas, kamu kelihatan capek," kata Aisyah sambil duduk di kursi rotan di sebelah Farhan. Ia menatap suaminya dengan penuh perhatian.Farhan tersenyum kecil, menggeleng pelan. "Nggak, aku nggak capek. Aku cuma lagi mikir aja."Aisyah mengangkat alis, menunggu Farhan melanjutkan. Ia tahu, suaminya bukan tipe orang yang mudah berbagi pikiran, tapi ia juga tahu bahwa Farhan selalu merasa nyaman berbicara dengannya."Aku lagi mikir tentang kita, tentang hidup kita sekarang," kata Farhan akhirnya. Ia menatap Aisyah, matanya penuh rasa syukur. "Aku nggak pernah nyangka kita bisa sampai di titik ini, Aisyah. Setelah semua yang kita lewati, aku ngerasa ... akhirnya aku bis
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela rumah Farhan dan Aisyah. Udara segar dari taman kecil di halaman belakang membawa aroma embun yang menenangkan. Aisyah sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan sederhana. Sementara itu, Farhan duduk di meja makan, memandangi secarik kertas di tangannya."Mas, kamu serius mau buka usaha ini?" tanya Aisyah sambil membawa dua piring nasi goreng ke meja.Farhan mengangguk, meletakkan kertas itu di atas meja. "Iya, aku udah mikir lama. Aku pengen kita punya sesuatu yang bisa bikin kita sibuk, tapi juga bikin kita bahagia. Aku nggak mau kita cuma hidup buat nginget masa lalu terus."Aisyah duduk di depannya, menatap suaminya dengan penuh perhatian. "Tapi, usaha kafe? Kamu yakin kita bisa?"Farhan tersenyum kecil. "Kenapa nggak? Aku suka suasana kafe. Tempat di mana orang bisa ngobrol santai, ketawa, atau sekadar duduk menikmati kopi. Aku pengen kita punya tempat kayak gitu. Tempat yang nggak cu
Farhan duduk di bangku kayu di halaman belakang rumahnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Udara segar mengisi paru-parunya, memberinya rasa lega yang sudah lama tidak ia rasakan. Di sebelahnya, Aisyah membawa dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja kecil di antara mereka."Mas, kamu nggak mau masuk? Udah mulai dingin, loh," Aisyah berkata lembut sambil duduk di samping Farhan.Farhan tersenyum kecil dan menggeleng. "Nggak, aku masih pengen duduk di sini. Rasanya tenang banget, apalagi tahu semuanya sekarang baik-baik aja."Aisyah memandang suaminya dengan penuh kasih. Ia tahu betapa berat kehidupan yang telah mereka lalui bersama. Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda di wajah Farhan-seperti beban bertahun-tahun yang akhirnya mulai terangkat."Safira gimana tadi sama Mas Arman?" tanya Aisyah, mencoba membuka percakapan.Farhan menghela napas panjang sebelum menjawab. "Dia baik. Mas Arman juga kelihatan serius ban
Langit sore mulai merona kejinggaan ketika Farhan dan Aisyah berjalan berdampingan di taman kecil dekat rumah mereka. Angin semilir membawa aroma tanah basah sisa hujan siang tadi. Di tangan Farhan, sebuah kantong plastik berisi beberapa bungkus makanan ringan bergoyang perlahan mengikuti langkah mereka."Aku suka taman ini," ucap Aisyah, memecah keheningan. Suaranya lembut, seperti bisikan angin. "Tenang, nggak terlalu ramai."Farhan mengangguk, melirik wajah istrinya yang tampak damai. "Iya, taman ini kayak punya suasana sendiri. Adem."Mereka melangkah menuju bangku kayu yang menghadap ke danau kecil. Langit yang memantulkan warna senja di permukaan air membuat pemandangan terasa begitu syahdu. Farhan meletakkan kantong plastik di bangku, lalu duduk di sebelah Aisyah."Aku jadi inget dulu," kata Aisyah tiba-tiba, seraya menyandarkan punggungnya ke bangku. "Kita nggak pernah sempat jalan-jalan kayak gini, ya?"Farhan tersenyum tipis. "I
Langit sore mulai meredup saat Aisyah menata meja makan di ruang tengah. Sebuah kue ulang tahun kecil dengan lilin berbentuk angka lima sudah diletakkan di atas piring keramik putih. Hiasan sederhana berupa balon warna-warni tergantung di dinding, memberikan suasana ceria. Meskipun tidak ada pesta besar, Aisyah ingin momen ini tetap terasa istimewa. Safira pantas mendapatkan kebahagiaan di hari ulang tahunnya. "Mas, lilinnya udah pas belum?" Aisyah melirik ke arah Farhan, yang sedang sibuk dengan korek api di tangannya. Farhan mengangguk kecil sambil tersenyum. "Udah, Aisyah. Tinggal nunggu Safira sama Arman datang aja." Aisyah menghela napas pelan. Ada sedikit ketegangan dalam dirinya, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ada momen seperti ini-momen damai. Namun, di balik rasa syukurnya, masih ada bayangan masa lalu yang sesekali menghantui. Apakah benar semua sudah berakhir? Tepat saat itu, suara bel pintu berbunyi. Aisyah langsung ba