Pagi itu, langit tampak cerah meski angin sejuk menyelimuti kota. Farhan duduk di ruang kerjanya, menatap ponsel dengan pandangan kosong. Beberapa jam sebelumnya, ia baru saja mendapatkan kabar bahwa rumor yang disebarkan Hana mulai tersebar luas. Namun, ia tidak tinggal diam. Farhan segera melakukan klarifikasi, mengumpulkan bukti-bukti yang bisa membuktikan bahwa segala yang dituduhkan kepada dirinya adalah kebohongan belaka.
Dengan hati yang penuh tekad, Farhan mengetik pesan panjang, menjelaskan segala hal yang terjadi dan mengirimkannya kepada Aisyah. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang sangat penting. Jika ia ingin mendapatkan kepercayaan Aisyah kembali, ia harus menunjukkan bukti konkret bahwa ia tidak pernah mengkhianatinya. Namun, meskipun pesan itu sudah terkirim, hatinya tetap terasa berat."Aisyah, aku tahu kamu sedang terluka, dan aku hanya bisa meminta maaf. Semua yang terjadi bukan salahmu, dan aku akan berusaha membuktikan bahwa aku benar-benar menciAisyah menatap koper yang sudah tersusun rapi di sudut kamar. Tangannya gemetar saat ia merapikan selendang di bahunya. Udara terasa dingin, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Di luar, langit malam tampak gelap gulita, tanpa bintang. Sebuah kehampaan yang entah kenapa mencerminkan isi hatinya malam itu."Mas, aku mau pulang ke rumah orang tua dulu," ucap Aisyah dengan suara bergetar.Farhan, yang sejak tadi duduk diam di sofa ruang tamu, mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya terlihat lelah, matanya sembab. Ia tahu hari ini akan tiba, tetapi rasanya tetap tak siap mendengarnya. Ia menatap Aisyah yang berdiri dengan koper di sisi tubuhnya. Wanita itu tampak rapuh, seolah beban dunia ada di pundaknya."Kamu yakin?" tanya Farhan akhirnya, suaranya berat. "Ini yang kamu mau?"Aisyah mengangguk pelan. "Aku butuh waktu, Mas. Kita... kita butuh waktu. Aku nggak tahu harus gimana lagi."Farhan menelan ludah, berusaha menahan emosi yang berg
Farhan duduk sendirian di meja makan, menatap piring sarapan yang kini sudah dingin. Telur orak-arik yang ia masak tadi pagi tetap utuh, tak tersentuh. Pikirannya melayang ke arah Aisyah yang tadi pagi pergi tanpa sarapan, dengan alasan "Ada urusan penting." Tapi Farhan tahu, masalah sebenarnya bukan tentang waktu atau urusan. Masalahnya adalah jarak yang semakin terasa di antara mereka.Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Beberapa hari terakhir, suasana rumah terasa seperti medan perang yang sunyi. Aisyah tidak lagi berbicara banyak dengannya, dan ketika mereka berbicara, semuanya selalu berakhir dalam kebuntuan. Farhan tahu dia harus melakukan sesuatu. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.Pelan-pelan, sebuah ide mulai terbentuk di kepalanya. Dia ingin mencoba satu usaha terakhir untuk menyelamatkan hubungan mereka. Sebuah kejutan. Sesuatu yang bisa mengembalikan senyum di wajah Aisyah, sesuatu yang bisa membuat mereka merasa dekat lagi
Malam itu, meski rumah terasa sunyi, pikiran Farhan terus bergemuruh. Dia duduk di sofa ruang tengah, matanya kosong, tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin. Dari arah kamar, terdengar suara pelan ketikan di laptop. Farhan tahu siapa yang sedang sibuk di sana. Aisyah.Dia menghela napas panjang. Sudah berhari-hari belakangan ini, suasana rumah terasa berbeda. Ada jarak yang perlahan-lahan tumbuh di antara mereka. Jarak yang tidak terlihat, tapi begitu terasa. Farhan merasakannya setiap kali pulang kerja, saat mereka tidak lagi bercanda di dapur seperti dulu, atau saat makan malam yang kini hanya diisi dengan keheningan. Dan malam ini, Aisyah bahkan memilih tidur di kamar terpisah."Aku nggak mau kamu kehilangan diri kamu sendiri gara-gara ini."Kata-katanya sendiri tadi siang terngiang-ngiang di kepala. Dia mengatakannya dengan tulus, berharap bisa menyadarkan Aisyah. Namun, yang ada justru Aisyah semakin menjauh. Seolah-olah semua yang Farhan la
Langit pagi itu mendung. Matahari seakan enggan menampakkan sinarnya di balik awan kelabu. Farhan duduk di belakang kemudi, sesekali melirik ke arah Aisyah yang duduk di sampingnya. Wanita itu diam, pandangannya menerawang ke luar jendela mobil. Raut lelah masih terlihat jelas di wajahnya."Aku tahu kamu lagi kepikiran," ujar Farhan, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi cukup tegas.Aisyah menoleh perlahan. "Aku cuma ... ya, aku cuma takut, Mas," jawabnya pelan. Dia memainkan ujung jilbabnya dengan gelisah, kebiasaan yang selalu muncul saat pikirannya sedang kalut.Farhan mengangguk kecil, mencoba memahami. Dia tahu apa yang Aisyah maksudkan. Sudah beberapa bulan terakhir, mereka diselimuti kekhawatiran yang sama, tentang harapan yang belum juga terwujud. Perjalanan panjang mereka untuk memiliki momongan seolah menemui jalan buntu."Makanya kita ke dokter lagi, kan? Siapa tahu ada solusi baru," kata Farhan, mencoba menguatkan.Aisyah hanya mengangguk pelan, tapi tatapannya kembal
Sudah tiga bulan sejak Farhan dan Aisyah memulai program kehamilan. Setiap harinya, ada rasa harap yang menggantung di udara, seperti embun yang menunggu diterpa matahari. Aisyah menjalani berbagai pemeriksaan, mengikuti saran dokter, mengatur pola makan, dan menjaga tubuhnya tetap sehat. Farhan, meskipun awalnya ragu, berusaha memberi dukungan sebanyak yang ia bisa. Ia menemani istrinya ke dokter, memastikan Aisyah tidak terlalu lelah, dan selalu mencoba untuk menunjukkan bahwa ia ada di sana.Namun, waktu terus berjalan, dan belum ada tanda-tanda kehamilan. Setiap bulan, Aisyah akan menunggu dengan cemas, memperhatikan setiap perubahan kecil pada tubuhnya, hanya untuk merasa kecewa ketika kenyataan berkata lain. Pada awalnya, ia masih bisa tersenyum dan berkata, "Mungkin bulan depan, Mas." Tapi seiring waktu, senyuman itu mulai memudar.Sore itu, Aisyah duduk sendirian di ruang tamu. Ia memandangi kalender di ponselnya, menghitung hari dengan perasaan berat di dadanya. Bulan ketiga
Hujan deras masih mengguyur di luar. Suaranya menghantam atap genting, menciptakan irama yang monoton tetapi menenangkan. Di ruang tamu, Farhan masih terjaga di atas sofa. Pikirannya kalut, seperti benang kusut yang sulit diurai. Ia memandang gelas teh yang kini sudah dingin di atas meja. Matanya kosong, tapi dadanya terasa penuh-penuh dengan rasa bersalah, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.Sementara itu, di kamar, Aisyah duduk di tepi ranjang, menatap jendela yang dipenuhi titik-titik air hujan. Tangannya menggenggam erat selembar selimut. Ia merasa seperti terjebak di antara dua dunia-satu dunia yang memintanya untuk bertahan, dan dunia lain yang terus-menerus menggoda untuk menyerah."Aku salah, ya, Mas?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Tapi tak ada jawaban. Hanya suara hujan yang menemaninya.Esok paginya, suasana rumah masih sunyi. Farhan terbangun lebih awal dari biasanya. Ia masuk ke dapur, membuat kopi, lalu duduk di