Suara adzan Subuh menggema lembut, menggugah hati siapa pun yang mendengarnya. Di dalam rumah sederhana mereka, Farhan membuka matanya perlahan, menghela napas panjang, seolah mengumpulkan energi untuk hari yang baru. Di sampingnya, Aisyah sudah bangkit lebih dulu, menyiapkan air wudhu di kamar mandi kecil mereka.
"Farhan, ayo bangun," panggil Aisyah lembut.Farhan mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia bergegas mengambil wudhu, bergabung dengan Aisyah untuk melaksanakan salat Subuh berjamaah. Saat sujud terakhir, hati Farhan bergetar. Ia memohon pada Allah agar hubungan mereka yang sempat retak kini dikuatkan dengan kasih sayang dan kepercayaan yang baru.Usai salat, mereka duduk berdampingan di sajadah. Aisyah membuka Al-Quran dan mulai melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang penuh kekhusyukan. Farhan hanya bisa memandangnya dengan rasa syukur yang dalam. Ia tahu, apa yang mereka miliki saat ini bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan kembali."Selamat datang, Farhan. Aku sudah menunggumu."Suara itu menggema di dalam bangunan tua yang berdiri angkuh di tengah hutan. Farhan berdiri mematung, rahangnya mengeras. Ia mengenali suara itu dengan sangat baik. Victor. Orang yang selama ini mereka kira sudah lenyap dari permainan, ternyata masih hidup dan kini berdiri di balik bayang-bayang, menunggu mereka masuk ke dalam perangkapnya."Mas, ini nggak beres," bisik Aisyah yang berdiri di belakang Farhan. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tenang. Tangannya menggenggam erat lengan suaminya, seolah mencari perlindungan.Farhan menoleh, menatap Aisyah dengan tatapan penuh keyakinan. "Kamu sama Safira tetap di belakangku. Jangan jauh-jauh."Safira, yang berdiri di samping Aisyah, menggigit bibirnya. Ia mencoba menahan rasa takut yang mulai merayap di dadanya. "Om, kita nggak harus masuk, kan? Kita bisa cari jalan lain?"Farhan menggeleng pelan. "Nggak ada jalan lain, Safira. Kalau k
Telepon dari ujung sana masih bergema di kepala Farhan. Ia berdiri di tengah ruang rapat kecil itu, memandang ke arah jendela lebar yang memperlihatkan hamparan malam Jakarta. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya memegang ponsel yang tadi ia gunakan untuk berbicara. Rodres benar-benar membawa kehancuran, dan kali ini lebih dari sekadar ancaman kecil. Ini adalah perang."Mas, kamu nggak apa-apa?" Suara lembut Aisyah memecah keheningan. Wanita itu berdiri di dekat pintu, memandang suaminya dengan raut khawatir. Farhan menghela napas panjang, mencoba meredam kekacauan pikirannya. "Aku nggak apa-apa, Aisyah. Tapi kita punya masalah besar. Rodres menyerang markas kita." Mata Aisyah membesar. "Apa? Serius? Ada korban?""Banyak," jawab Farhan singkat. Matanya masih terpaku pada jendela. "Ini lebih parah dari yang kita duga. Dia nggak cuma nyerang secara fisik, tapi juga ngambil akses ke sebagian besar data operasional kita."Aisy
Suasana di ruang tengah markas sementara itu terasa berat. Sisa-sisa serangan tadi malam masih membekas, baik di tubuh maupun di hati mereka. Masing-masing orang sibuk dengan pikirannya sendiri, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Safira duduk di sofa dengan wajah pucat, memeluk lututnya erat-erat. Arman duduk di sampingnya, memegang bahu putrinya dengan lembut. Di sudut lain, Farhan berdiri dengan tangan terlipat, matanya menatap kosong ke arah jendela. Dia sedang berpikir keras-tentang mereka, tentang Victor, dan tentang Yadi.Di sisi ruangan, Adnan dan Yadi duduk saling berjauhan. Wajah Adnan terlihat tegang, rahangnya mengeras setiap kali matanya melirik ke arah Yadi. Sementara Yadi, meski berusaha terlihat tenang, tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia tahu, kepercayaannya di tim ini masih sangat rapuh."Aku nggak ngerti," suara Adnan tiba-tiba memecah keheningan. "Kenapa lo masih di sini, Di? Gue nggak bakal lupa siapa lo dulu, apa yang lo la
Suasana di markas Farhan malam itu sunyi. Hanya suara angin yang sesekali berbisik melalui celah-celah jendela yang terbuka. Lampu di ruang utama sudah dimatikan. Farhan duduk di ruang kontrol, matanya fokus pada layar monitor yang menampilkan kamera pengawas dari berbagai sudut markas. Adnan berdiri di sampingnya, memutar-mutar pena di tangannya, tanda dia sedang gelisah. "Lo yakin kita udah siap, Han?" Adnan akhirnya membuka suara, memecah keheningan. Farhan mengangkat bahu tanpa menoleh. "Nggak ada yang pernah benar-benar siap untuk perang, Dan. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Victor pasti datang." Adnan menghela napas panjang. "Gue cuma nggak pengin kita kecolongan. Lo tahu sendiri, Victor itu licik. Kalau dia nyerang, dia pasti udah punya rencana cadangan." Farhan akhirnya menoleh, menatap Adnan dengan pandangan tajam. "Makanya kita nggak cuma siapin jebakan biasa. Semua orang udah di posisi mereka, Dan. Gue percay
Malam itu dingin, tapi suasana di rumah aman terasa lebih dingin lagi. Lisa masih duduk di kursi, memandangi jendela yang gelap. Matanya menatap ke luar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Rasa was-was tak kunjung pergi dari dirinya."Gue nggak yakin kita aman," katanya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menghalau hawa dingin yang sebenarnya lebih datang dari rasa takut.Adnan berdiri di dekat pintu. Sikapnya waspada, matanya tak berhenti mengelilingi ruangan, seperti mencoba memastikan tidak ada ancaman mendekat. "Gue juga nggak yakin," jawabnya. Napasnya terhembus berat. "Victor bukan orang bodoh. Kalau dia curiga, dia pasti bakal nyari tahu. Gue yakin dia udah punya rencana."Lisa menoleh, menatap Adnan dengan tatapan lelah. "Lo pikir dia bakal datang ke sini?" Nada suaranya bergetar. Kekhawatiran itu nyata, membayang di wajahnya yang pucat.Adnan mengangkat bahu. "Gue nggak tahu. Tapi
Adnan menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Instruksi yang baru saja diterimanya dari Victor terasa begitu berat. Di sebelahnya, Lisa duduk diam dengan ekspresi yang sulit ditebak. Suasana di dalam ruangan kecil itu begitu hening, hanya ada suara detak jam dinding yang berulang-ulang."Aku nggak suka ini, Dan," Lisa akhirnya memecah keheningan. Suaranya pelan tapi tegas. "Bunuh seseorang? Itu udah di luar batas."Adnan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Gue tahu, Lis. Tapi kalau kita nolak, Victor bakal curiga. Kita nggak bisa gegabah."Lisa menatap Adnan dengan mata yang menyiratkan kegelisahan. "Kita nggak punya banyak pilihan, ya?"Adnan mengangguk pelan. "Nggak. Tapi kita harus punya rencana. Gue nggak bakal biarin kita benar-benar ngelakuin ini.""Siapa targetnya?" Lisa bertanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya dari pesan sebelumnya.Adnan mengangkat ponselnya dan menunjukkan sebuah foto. "Na